Sebenarnya Endra juga tahu kalau keputusannya mengajak Gista tinggal itu akan menuai sedikit masalah. Namun terlepas dari itu, Endra rasa dia sekarang bukan butuh dokter paling hebat sejagad raya, atau teknologi canggih sepanjang masa.
Dia butuh suasana tenang di mana dia bisa menerima dirinya.
Maksud Endra, gadis itu sendiri sudah putus asa datang ke dokter. Kelihatan sekali kalau dia marah, kesal dan kecewa sampai tidak lagi percaya. Sementara hal yang paling harus dihindari oleh orang-orang yang datang ke dokter adalah ketidakpercayaan terhadap dokter itu.
Tubuhnya tidak akan sembuh mau diberi obat apa pun kalau mentalnya lebih percaya dia tidak sembuh, jadi Endra memberinya ide untuk tinggal kalau dia mau.
Lagipula dia ... mengingatkan Endra pada seseorang.
"A, kapan pulang? Nisa kangen."
Seseorang yang berusaha tidak ia ingat meski setiap saat rindu dan berharap dia 'pulang'.
Maka dari itu Endra sampai rela mengantar dia ke kota, menunggu Gista di terminal beberapa jam sampai gadis itu kembali dengan koper di tangannya.
Dia terlihat habis menangis lagi. Mungkin dia memang sedang di masa sulit hidupnya, hal yang semua orang alami, tentu saja.
Sambil membawa koper dengan motor malam-malam, Endra sesekali mengecek wajah gadis asing yang tahu-tahu masuk ke hidupnya itu.
Dia hanya salah satu pasien Endra, tapi dia membuat Endra tidak bisa berhenti peduli.
"Besok Teteh ketemu Kepala Desa dulu yah buat izin. Nanti saya temenin."
Gista mungkin tipe yang tidak merepotkan karena dia tidak banyak tanya, hanya mengangguk paham.
"Ada bau ganggu enggak, Teh?"
Dia juga jujur, karena ketika ditanya, Gista mengangguk. "Bau sabun baju kamu."
Jadi sampai sedetail itu?
Tadi sebenarnya Endra menghubungi dokter kenalannya untuk bertanya mengenai kasus serupa, tapi dari respons beliau, memang itu kasus langka. Beliau minta pasiennya dibawa ke rumah sakit, sayangnya Gista mungkin tidak mau.
"Nanti kalau bisa catetin yang Teteh enggak bisa cium. Biar enggak ganggu."
***
Orang ini baik sekali, sampai rasanya Gista mau bertanya niat dia apa. Masih sih ada orang sebaik dia?
Tapi Gista tidak banyak tanya dulu. Baru setelah mereka memasuki desa lagi, ia memberanikan diri bertanya karena motor melaju sangat pelan.
"Umur kamu berapa?"
"Saya? Masuk dua lima, Teh. Kalau Teteh?"
"Dua-dua."
Gista menutup mulutnya ketika mereka lewat di dekat bengkel desa dan baunya membuat Gista nyaris muntah.
Mungkin itu bau oli atau bau asap yang berubah jadi sesuatu menjijikan di hidungnya.
"Jangan panggil saya Teteh kalau gitu. Kamu kan lebih tua," ucap Gista dengan mulut dan hidung tertutup tangan.
Endra malah tertawa. "Saya mah manggil perempuan semuanya Teteh, kecuali anak kecil."
Bukankah Gista terhitung 'anak kecil' buat dia? Dia tiga tahun lebih tua.
"Tapi kalau enggak suka nanti saya ganti. Cuma, saya manggilnya apa?"
"Gista."
"Enggak enak atuh, Teh. Kata Mamah saya, enggak boleh manggil nama cewek sembarangan kecuali udah deket."
Orang ini bercanda? Soalnya tidak lucu.
Tapi baiklah.
"Yaudah, teteh aja enggak pa-pa." Daripada repot.
"Oke, Teh." Endra memutar motornya dan berhenti di depan bangunan rumah dia.
Sebenarnya rumah dia besar. Salah satu rumah bertingkat di antara sekian rumah kecil di sekitar, kalau dilihat-lihat.
Posisinya juga tinggi. Tadi waktu keluar, Gista bisa melihat pemandangan kebun dari kejauhan di halamannya.
Orang kaya?
"Kamu tinggal sendiri di sini?"
Endra secara alami mengambil kopernya padahal Gista berencana membawa sendiri.
"Ya enggak atuh, Teh. Kalau saya tinggal sendiri, mana berani ngajak Teteh tinggal bareng. Kebetulan ada beberapa yang ngontrak di sini."
Pantas saja semudah itu mengajak orang tinggal.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Yane Kemal
Semoga berjodoh ya
2023-04-05
1