NovelToon NovelToon

Teteh Kesayangan Aa Dokter

1. Penyakit Misterius

“Belum pernah saya liat orang sakit kayak kamu. Kamu sakit apa gila?”

Gistara masih bisa mendengar suara ayahnya ketika pelan-pelan kesadaran itu terkumpul. Ia membuka mata, menemukan sebuah pemandangan aneh dari langit-langit kamar asing yang cerah.

Hanya sesaat kemudian ia menutup mulut, ingin memuntahkan sesuatu meski kemudian berakhir tersedak akibat perutnya yang kosong.

“Minum dulu.”

Suara itu mengejutkan, dan sosok pria muda tampan tambah mengejutkan, tapi Gista diserang oleh perasaan tak waras. Jantungnya berdebar-debar.

Bau AC ruangan yang serasa ikan busuk di tong sampah, bercampur dengan bau parfum pria ini yang ia yakin wangi tapi tercium seperti bangkai baginya membuat Gista kembali muntah.

Lagi-lagi ia menangis. Ingin gila rasanya terhadap semua ini.

Kenapa? Kenapa hanya dirinya yang mengalami ini? Apa sungguhan ia gila? Seperti kata Ayah?

“Teh.”

Gista mengulurkan tangan untuk menyuruh dia mundur. Jika tidak, maka ia akan terus diserang gejala penyakit aneh ini.

Lama Gista tersiksa oleh dorongan mual. Rasa busuk di sekitarnya menyiksa. Segala hal terasa seperti ikan busuk dan daging mentah. Mulutnya juga terasa aneh.

Menyiksa.

“Hiks.”

“Teh.” Suara itu terdengar lagi, tapi kali ini ditambah uluran kain tebal.

Gista langsung meraihnya. Menutup mulut rapat-rapat, dan jelas menutup penciumannya dari segala hal.

Jemarinya gemetar. Buram melihat lelaki itu karena matanya basah. Tapi Gista tahu diri bahwa ia sudah ditolong, jadi sambil berusaha menahan diri, ia mengusap-usap kasar matanya.

“Jangan digosok-gosok matanya, Teh, nanti lecet," kata dia sopan.

Pemuda itu duduk agak jauh, seolah paham Gista tidak bisa jika dia mendekat.

“Udah baikan?” tanya dia lagi.

Gista masih mau menangis. “Kamu siapa?”

Baru Gista bisa melihat dia tersenyum ramah. “Nama saya banyak. Orang sini manggilnya Gasen, kadang-kadang juga Pak Dokter, Kang Dokter, Aa Dokter, tapi nama saya Endra.”

Hah?

“Nama Teteh siapa?” tanya pemuda asing itu, alih-alih menjelaskan perkataannya barusan.

“Gista.” Suara Gista gemetar waktu menjawab.

Dia agak cengengesan. “Udah tau sih, soalnya saya baca buku resepnya.”

Pemuda itu menunjuk kantong obat Gista.

“Habis dari dokter saraf, Teh?” tanya dia sekali lagi, dengan nada yang sangat ramah dan lembut.

Gista mengangguk. Mulai bisa teralihkan dari rasa frustrasinya meski ia harus terus menutup mulut.

Harus, sekali lagi, karena semua hal di sekitarnya akan terasa bau.

“Sakit apa Teh, kalau boleh tau?”

Lalu kembali Gista mau menangis.

Sakit apa, katanya? Justu Gista yang mau tanya, harus bertanya ke mana untuk tahu jawabannya?

Gista sudah bertemu tiga dokter saraf, menghamburkan banyak uang hanya untuk pemeriksaan dan semuanya cuma soal diagnosa tanpa kepastian. Yang ia lihat cuma wajah heran dokter karena tak pernah mendengar sakitnya.

Ia mencari di google, mencari di buku medis, tapi tidak ada nama. Ia sakit jiwa, kata Ayah.

Waktu Gista menangis terisak-isak, pemuda yang mengaku bernama Endra itu menggaruk tengkuknya canggung. Dia melirik kantong obat Gista, sebenarnya bukan tidak tahu bahwa pasti ada masalah.

“Saya liat di sana ada gangguan saraf. Kebetulan saya tau sedikit soal medis. Kalau Teteh mau, boleh saya denger keluhannya?”

Gista sudah terlalu lelah menyebutkannya, jadi ia cuma menyingkat. “Semuanya bau.”

Dua kata itu sudah cukup membuatnya mau menangis.

“Saya enggak bisa makan. Semuanya kayak daging mentah.”

“.... Ngerasain keluhan udah berapa lama? Pernah ada benturan atau—“

“Enggak ada.” Gista menjawabnya terlalu cepat, karena selalu itu yang ditanyakan dan jawabannya tak akan pernah berubah.

Ia sudah menjawab ini sebelumnya ke tiga dokter spesialis yang berbeda. “Enggak ada benturan. Enggak ada sakit. Saya gila. Saya gila makanya begini.”

Gista mengusap matanya yang tak bisa berhenti menangis. Itu sakit, demi Tuhan. Hatinya sakit, bukan kepalanya atau apa pun itu.

Ia cuma terluka karena menderita penyakit aneh yang dokter saja heran, lalu Ayah yang muak pun berkata ia gila.

Memang ada begitu penyakit seperti ini? Sabun bau daging busuk, odol rasa daging mentah, nasi rasa bangkai, segalanya tidak bisa makan sampai ia cuma bisa menelan satu roti dalam sehari, yang satu itu dibagi tiga.

Apa kalau bukan gila?

“Psikosomatis bukan gila, Teh.” Pemuda itu tersenyum teduh.

Tapi Gista sudah terlalu putus asa untuk menganggapnya hiburan.

***

2. Tak Tega

Gista membuka ponselnya ketika Endra keluar dan berkata ia lebih baik beristirahat malam ini. Bahkan Gista tidak sadar kalau sekarang sudah pukul satu malam.

Dari cerita singkat orang itu, Gista pingsan di dekat lapangan, lalu karena warga tidak tahu harus melakukan apa, mereka membawa Gista kepada Endra.

Dia belum menjelaskan sebenarnya dia siapa dan pekerjaannya apa sampai dia yang disuruh mengurus Gista.

Ada chat dari Ibu, menanyakan apa malam ini Gista pulang ke kosan atau akan pulang ke rumah. Gista cuma membaca, tidak membalasnya karena penat.

Ia tahu menangis tidak akan menyelesaikan apa-apa, tapi Gista hanya mau menangis sekarang.

Sepanjang malam, Gista sedikitpun tidak tidur. Hanya terus terisak seperti orang depresi. Atau memang sudah depresi.

Dipandangi kantong obat miliknya, berisi tiga kantong obat lagi dari dokter berbeda namun sebenarnya sama. Semuanya cuma vitamin.

Vitamin untuk saraf, vitamin untuk darah, bahkan vitamin C.

Uangnya habis jutaan untuk membeli vitamin, karena ia menderita penyakit yang tidak jelas dan mungkin akan sembuh jika diberi vitamin selama setahun, atau dua tahun, atau sampai ia mati.

Pagi hari, meski punggungnya sudah pegal melengkung dan tubuhnya basah oleh keringat juga air mata, Gista belum beranjak.

Pintu kamar diketuk, disusul kemunculan Endra bersama nampan makanan.

Lagi-lagi air mata Gista mau keluar.

Kenapa? Dia bawa makanan karena berpikir Gista bohong soal tidak bisa makan apa-apa? Atau apa? Dia mau makan nasinya biar Gista makan piringnya saja?

Sumpah, itu melelahkan. Sangat melelahkan kalau Gista sudah bilang tidak bisa, dia masih saja merasa bisa.

Tidak bisa. Mau makanannya ada emas pun tidak bisa.

“Teh, saya bawa—“ Dia berhenti melihat Gista menangis makin putus asa.

Badan Gista gemetaran. Ia lapar. Ia luar biasa lapar, demi Tuhan!

Ia juga mau makan seperti orang lain tapi tidak bisa.

Semuanya menjijikan. Makanya ia gila. Makanya ia tidak normal. Makanya Ayah berkata ia tidak waras.

***

Gasendra tahu ada masalah pada gadis ini. Dari resep dokter di tiga kantong obatnya, menandakan dia sudah mendatangi tiga dokter berbeda nyaris di waktu berdekatan.

Diberi obat yang nyaris sama, dan sebenarnya kebanyakan lebih mengarah pada vitamin.

Sepertinya ada masalah pada saraf dia, yang membuat dia berkata tidak bisa makan dan semuanya busuk. Tapi tidak disangka dia menangis melihat makanan dan menggigil seperti sudah sangat putus asa.

Apa Endra salah, yah? Pasien ini nampak sangat depresi. Kalau yang dia derita bukan sakit fisik melainkan psikosomatis, maka dia harusnya ke psikeater. Tapi ....

“Saya gila.”

Kenapa yah rasanya Endra tidak tega melihat dia begini?

Diletakkan nampan makanan itu agak jauh, lalu melihat AC ruangan mati padahal panas. Dia memakai baju kaus putih pas body, jadi Endra dapat terlihat pakaian dalamnya mencetak gara-gara keringat.

Apa AC juga mengganggu?

Endra perlahan mendekat. Duduk di tepi kasurnya yang ia pinjamkan, ragu tapi tetap mengulurkan tangan pada gadis itu.

Tangannya menggigil. Sekali lihat juga nampak kalau dia stres berat. Tangannya juga kurus dengan cara tidak normal. Seperti berat badannya turun drastis dalam waktu singkat hingga kulitnya mengendur.

“Enggak ada apa-apa, Teh.” Endra menggenggam kuat tangan yang rapuh itu. “Semua penyakit bisa sembuh, kok. Butuh waktu bukan berarti enggak ada obat. Nanti saya bantuin.”

Meski Endra memang belum pernah dengar penyakit itu.

Tapi untuk sekarang, prioritasnya adalah gadis ini merasa lebih baik.

*

3. Dokter atau Bukan?

"Jadi, intinya, Teh Gista enggak bisa makan sama sekali?"

Setelah sangat lama Gista menangis dan kepalanya serasa mau pecah, ia pun berhasil menjelaskan lagi.

"Maaf, Teh. Saya banyak nanya dulu. Makan apa pun? Apa pun?"

Iya, itu aneh, makanya dia bertanya untuk memperjelas.

Kepala Gista sakit saat ia mengangguk.

"Kalau buah, Teteh makan? Enggak juga?"

Gista menggeleng. Sudah ia bilang, apa pun.

Apa pun ya apa pun.

"Kemarin cuma nyoba makan jeruk kecut. Aneh juga, cuma masih bisa saya tahan," jelas Gista sedikit, untuk lebih memperjelas.

Ekspresinya seperti dokter yang serius mendengarkan keluhan pasien. "Apel, enggak bisa?"

"Kayak daging ikan cincang."

Gista tak pernah makan daging ikan cincang mentah, namun bayangkan saja itu masuk ke mulut kalian.

Kalau menjijikan, maka Gista merasakannya secara fisik.

Begitu rasanya.

"Kalau buah kecut, belimbing, bisa? Belimbing yang kecil?"

Gista menggeleng. "Belum pernah nyoba."

Lalu dia mengangguk-angguk. "Saya boleh periksa sebentar? Kalau enggak mau enggak pa-pa."

Dia orang baik, karena dia menolong Gista dan bahkan membiarkannya berada di ruang ber-AC yang luas begini.

Jadi Gista mengangguk, berbaring untuk memudahkan dia.

Yang dia periksa bukan denyut jantung atau nadi.

Dia menyentuh wajah Gista, seperti yang dokter-dokter sebelumnya lakukan, menekan-nekan di beberapa titik dekat hidung, pipi, lalu memberi pertanyaan klasik.

"Sakit? Atau mati rasa?"

"Biasa aja."

Dan Gista menjawab sama, selalu.

Dia menekan di berbagai titik. Bertanya sakit atau tidak, mati rasa atau tidak, lalu duduk lagi.

Ekspresinya kebingungan. Sama juga dengan dokter.

"Kemungkinan ada masalah di bagian saraf—"

"Penciuman." Gista hafal. "Dikasih vitamin B12, sering-sering kena matahari, minum vitamin C yang rajin. Saya tau."

"...."

"Tapi yang bermasalah sama saya bukan cuma penciuman, tapi juga rasa."

"...."

"Saya bukan anosmia. Indera saya enggak ilang. Penciuman dan perasa saya enggak ilang. Semuanya ada, tapi semuanya beda."

"...."

"Saya bukan enggak bisa makan karena bau, tapi juga karena rasa. Rasanya enggak enak, bukan ilang."

Gista bahkan mengulang-ulang penjelasan sama dalam kalimat berbeda agar dia mengerti karena seperti begitu sulit.

Berhenti mengatakan sesuatu yang omong kosong. Dan tolong dengarkan orang kalau bicara.

Bukan INDERA PENCIUMAN HILANG tapi SEMUANYA BAU DAN BUSUK.

Meskipun sadar ia terkesan sangat emosional, Gista benar-benar sudah tidak tahan dengan pertanyaan itu.

Batinnya sudah capek setelah bertemu tiga dokter dan tiga-tiganya selalu menanyakan pertanyaan serupa.

Dan bila sudah dijelaskan, tidak ada hasil yang Gista dapat.

Pikir Gista, dia akan marah, tapi ternyata salah.

Endra malah tersenyum. "Teteh tinggal di mana?"

".... Ngekos." Agak tidak menjawab, tapi yasudah.

"Kalau mau saya kenalin sama dokter kenalan saya. Kebetulan dia dokter spesialis saraf juga."

Gista tersenyum getir. "Saya udah enggak mau ketemu dokter saraf."

Itu cuma membuatnya gila. Pada akhirnya ia pulang dengan pikiran hanya dirinya yang sakit begini dan hanya dirinya yang gila.

Demi Tuhan, itu luar biasa tidak enak di hati ketika kalian mengalami sesuatu yang ternyata tidak dialami orang lain. Bingung bertanya ke mana, bingung ada apa, pelan-pelan terasa hanya kalian yang aneh di dunia.

".... Selain makanan, apa lagi yang enggak bisa?" Dia mengalihkan pembicaraan.

"Bau."

"Bau? Bau busuk enggak bisa?"

"Semua bau." Gista menunjuk AC. "Itu bau."

"AC bau? Saya juga?"

Gista mengangguk. Membuat dia tertawa, tapi seketika padam karena Gista serius.

Tiga dokter yang ia temui mengeluarkan candaan sama.

Gista berkata AC bau, lalu mereka bertanya 'saya juga bau?' untuk mencairkan suasana padahal Gista semakin membeku oleh penyakit tak bernama ini.

Candaan sudah tidak lucu bagi Gista.

Ia merasa seperti orang yang sudah terkena kanker stadium empat dan yah, cuma tinggal menunggu mati saja.

"Oke." Endra menggaruk tengkuknya canggung. "AC bau, parfum bau—parfum yah, maksudnya?"

Gista menatap sayu tangannya sendiri. "Saya bau."

"...."

"Keringat, air kenciing, semuanya bau. Semuanya. Semuanya yang ada rasa, yang ada bau, semuanya."

"...."

"Saya gila, yah?"

Katakan saja begitu biar cepat.

Katakan saja ia tidak waras atau dikutuk.

".... Kalau mau nangis, nangis aja, Teh."

Pemuda itu tersenyum lagi.

"Yang penting enggak menvonis diri sendiri. Kalau Teteh sakit terus dokternya enggak tau sakit apa, mungkin dokternya yang kurang ilmu."

"Dokter juga bukan Tuhan, enggak tau segalanya. Saya liat mah Teteh normal-normal aja."

"...."

"Kalau Teteh enggak mau ketemu dokter, yaudah, enggak pa-pa. Istirahat aja di sini."

Gista agak sesenggukan melihat pemuda itu beranjak. "Saya nanti ngerepotin."

"Atau gini aja deh, biar Teteh enggak ngerasa beban banget. Teteh tinggal di sini sampe ngerasa enakan, nanti bantu-bantu saya kalau ada kerjaan. Kebetulan juga saya butuh temen kerja."

"Kerja?"

Dia menggaruk tengkuknya lagi. Membuat Gista sadar kalau dia canggung, otomatis tubuhnya melakukan itu.

"Sebenernya, saya alumni kedokteran, Teh. Cuma enggak bisa lanjutin pendidikan."

Tidak lanjut? Maksudnya apa?

"Saya kebetulan di sini bantuin Om saya berkebun. Kalau mau, Teteh bantuin saya aja."

".... Saya enggak tau berkebun."

Endra tertawa. "Maksud saya mah bukan bantu nanem atau manen, Teh. Itu mah kerjaan buruhnya. Saya bagian catet-catet aja."

Meski dengan mata basah, Gista mengangguk. Untuk sementara ia memang tak mau pulang. Daripada ia sakit jiwa di kosan sendirian atau ke rumah dan bertemu Ayah, lebih baik ia di sini.

"Ta-tapi saya mau pulang ke kosan saya dulu," ucap Gista terbata karena menangis.

"Emang bagusnya begitu. Teteh juga sekalian ambil barangnya enggak pa-pa."

Ketika dia pergi, Gista cuma merenung sendiri.

Jadi ... dia dokter atau bukan?

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!