"Nanti saya bayar sewanya juga."
"Seenak Teteh aja."
Endra mengajaknya masuk, tapi ketika di depan pintu, aroma harum masakan tercium jelas. Karena ingat perkataan Gista, Endra pun berhenti.
"Waduh, kayaknya orang rumah lagi masak, Teh. Enggak pa-pa?"
Tapi Gista langsung berhenti di pintu dan menutup mulutnya. Ia trauma mencium bau makanan yang biasanya enak menjadi sangat menjijikan.
"Yaudah, saya tunggu sini aja. Kamu masuk aja dulu, makan bareng."
Lagi, dia menggaruk tengkuknya canggung. "Enggak bisa nahan emang, Teh? Maaf, saya nanya lagi."
Gista menggeleng. Tidak bisa. Mandi saja ia muntah-muntah karena aroma sabun.
Sabun yang wangi, yang seharusnya enak di badan terasa menjijikan, apalagi makanan yang gurih. Itu cuma membuat Gista benci.
Kondisi Gista mungkin masih berusaha dicerna oleh Endra. Dia sempat diam, tapi kemudian berusaha menyesuaikan diri.
".... Saya masukin kopernya dulu. Teteh tunggu sini," ucapnya santun.
"Iya."
Ketika dia masuk, Gista menjauh dari pintu agar tidak sampai mencium aromanya. Sayangnya waktu ia melepas penutup mulut di halaman, ternyata masih tercium.
Gista langsung mual. Buru-buru berlari menjauh, duduk di tepi jalan yang agak jauh. Ia lapar. Ia lapar tapi rasanya sudah lelah untuk makan.
Rasa roti cokelat itu seperti ... entahlah. Mungkin seperti besi yang sudah dimasukkan ke toilet mampet.
Sudah dua puluh hari berlalu. Gista mungkin akan mati kelaparan nanti.
"Teh?" Endra ternyata mencarinya.
"Kenapa enggak makan dulu?" tanya Gista spontan, karena tidak enak hati. Bagaimanapun kan Endra tidak seperti Gista.
Kalau orang rumahnya masak, sebaiknya dia ikut makan bersama.
"Tadi saya makan waktu nungguin Teteh," tolak dia halus.
Dia malah duduk di sebelah Gista, mengulurkan buah jeruk utuh di tangannya. "Ini kayaknya manis sih, Teh, tapi coba dulu. Kalau enggak enak, saya ambilin belimbing aja. Daripada enggak makan."
"...."
Entah kenapa Gista jadi sedih melihat orang asing ini mengulurkan tangan padanya.
Apa dia tidak muak? Apa dia tidak menganggap Gista gila? Padahal Ayah menganggapnya tidak waras. Kenapa orang asing ini malah peduli?
"Makasih."
"Sama-sama, Teh."
Gista memakan sepotong jeruk dengan takut-takut. Yang paling buruk baginya sekarang adalah ketika makanan terasa normal lalu tiba-tiba berubah dalam mulut.
Satu potong tertelan. Dua potong tertelan. Tiga potong—
"Huek!"
Rasanya berubah.
"Wah, Teh. Kalau begini terus yang ada nanti diinfus."
Gista sudah mendengarnya. Ia tak mau masuk rumah sakit dan harus bertemu dokter lagi, jadi buru-buru diseka mulutnya, memaksa makanan menjijikan itu tertelan.
Satu potong berhasil. Namun lagi-lagi ia muntah.
"Saya ambilin air bentar, Teh."
Gista memeluk dirinya sendiri, menggigil takut. Ia tahu Endra orang asing. Tapi mendadak ia takut kalau sampai dia juga berkata Gista itu aneh dan gila.
Harus ke mana Gista agar ia tidak dianggap aneh dengan penyakit tak jelas ini?
***
"Gis, kamu di mana, Nak?"
Gista mengusap wajahnya saat berusaha menjawab Ibu dengan suara tenang, walau akhirnya kacau. "Di rumah temen."
"Temen di mana? Ibu kan bilang pulang aja dulu. Kamu lagi sakit."
Buat apa? Buat dikatai gila oleh Ayah? Adalah apa yang mau Gista katakan, dan tertahan di kerongkongan.
"Aku berobat di sini. Ibu tenang aja."
"Gis."
"Udah yah, Bu." Gista terisak-isak juga. "Nanti Gis kabarin lagi."
"Nak, kamu jangan—"
Dimatikan panggilan itu, meski ada secuil rasa bersalah pada ibunya.
Ibu tidak mengatainya. Bahkan meminta Gista untuk berobat lagi meski dokter pertamanya tidak memberi diagnosa jelas. Tapi, tetap saja menyakitkan.
Kepalanya tidak bisa berhenti memikirkan ekspresi dingin Ayah yang biasanya tersenyum, tiba-tiba berkata kalau Gista mungkin gila.
Ia menatap sekali lagi langit-langit kamar Endra yang sekarang jadi kamarnya. Orang itu aneh. Rumah ini ada dua lantai dan cukup banyak kamar, tapi cuma satu yang punya AC yaitu kamar Endra.
Dia bilang lebih baik Gista di sini setelah dia menghilangkan seluruh pengarum ruangan dan benda apa pun yang memiliki bau harum.
"Saya mah tidur di teras juga bisa, Teh. Lagian di kamar lain kipas anginnya banyak. Terus saya juga pake AC cuman pas siang aja, pas gerah aja. Malem mah enggak."
Dia mengatakan itu, tapi keringat di lehernya mengatakan sebaliknya. Padahal tadi dia baru mandi. Dia pasti tipe yang tidak bisa hidup tanpa AC.
Dan dia mengalah.
Kenapa, yah?
Gista kini sudah lelah menangis. Tenaganya pun sudah habis setelah muntah seharian. Bisakah besok ketika bangun penyakit ini sudah hilang?
Tolong. Tolong jangan terus berlangsung dan membuatnya tersiksa.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Yane Kemal
Betapa berat rasanya jadi Gista
2023-04-06
1