Gista membuka ponselnya ketika Endra keluar dan berkata ia lebih baik beristirahat malam ini. Bahkan Gista tidak sadar kalau sekarang sudah pukul satu malam.
Dari cerita singkat orang itu, Gista pingsan di dekat lapangan, lalu karena warga tidak tahu harus melakukan apa, mereka membawa Gista kepada Endra.
Dia belum menjelaskan sebenarnya dia siapa dan pekerjaannya apa sampai dia yang disuruh mengurus Gista.
Ada chat dari Ibu, menanyakan apa malam ini Gista pulang ke kosan atau akan pulang ke rumah. Gista cuma membaca, tidak membalasnya karena penat.
Ia tahu menangis tidak akan menyelesaikan apa-apa, tapi Gista hanya mau menangis sekarang.
Sepanjang malam, Gista sedikitpun tidak tidur. Hanya terus terisak seperti orang depresi. Atau memang sudah depresi.
Dipandangi kantong obat miliknya, berisi tiga kantong obat lagi dari dokter berbeda namun sebenarnya sama. Semuanya cuma vitamin.
Vitamin untuk saraf, vitamin untuk darah, bahkan vitamin C.
Uangnya habis jutaan untuk membeli vitamin, karena ia menderita penyakit yang tidak jelas dan mungkin akan sembuh jika diberi vitamin selama setahun, atau dua tahun, atau sampai ia mati.
Pagi hari, meski punggungnya sudah pegal melengkung dan tubuhnya basah oleh keringat juga air mata, Gista belum beranjak.
Pintu kamar diketuk, disusul kemunculan Endra bersama nampan makanan.
Lagi-lagi air mata Gista mau keluar.
Kenapa? Dia bawa makanan karena berpikir Gista bohong soal tidak bisa makan apa-apa? Atau apa? Dia mau makan nasinya biar Gista makan piringnya saja?
Sumpah, itu melelahkan. Sangat melelahkan kalau Gista sudah bilang tidak bisa, dia masih saja merasa bisa.
Tidak bisa. Mau makanannya ada emas pun tidak bisa.
“Teh, saya bawa—“ Dia berhenti melihat Gista menangis makin putus asa.
Badan Gista gemetaran. Ia lapar. Ia luar biasa lapar, demi Tuhan!
Ia juga mau makan seperti orang lain tapi tidak bisa.
Semuanya menjijikan. Makanya ia gila. Makanya ia tidak normal. Makanya Ayah berkata ia tidak waras.
***
Gasendra tahu ada masalah pada gadis ini. Dari resep dokter di tiga kantong obatnya, menandakan dia sudah mendatangi tiga dokter berbeda nyaris di waktu berdekatan.
Diberi obat yang nyaris sama, dan sebenarnya kebanyakan lebih mengarah pada vitamin.
Sepertinya ada masalah pada saraf dia, yang membuat dia berkata tidak bisa makan dan semuanya busuk. Tapi tidak disangka dia menangis melihat makanan dan menggigil seperti sudah sangat putus asa.
Apa Endra salah, yah? Pasien ini nampak sangat depresi. Kalau yang dia derita bukan sakit fisik melainkan psikosomatis, maka dia harusnya ke psikeater. Tapi ....
“Saya gila.”
Kenapa yah rasanya Endra tidak tega melihat dia begini?
Diletakkan nampan makanan itu agak jauh, lalu melihat AC ruangan mati padahal panas. Dia memakai baju kaus putih pas body, jadi Endra dapat terlihat pakaian dalamnya mencetak gara-gara keringat.
Apa AC juga mengganggu?
Endra perlahan mendekat. Duduk di tepi kasurnya yang ia pinjamkan, ragu tapi tetap mengulurkan tangan pada gadis itu.
Tangannya menggigil. Sekali lihat juga nampak kalau dia stres berat. Tangannya juga kurus dengan cara tidak normal. Seperti berat badannya turun drastis dalam waktu singkat hingga kulitnya mengendur.
“Enggak ada apa-apa, Teh.” Endra menggenggam kuat tangan yang rapuh itu. “Semua penyakit bisa sembuh, kok. Butuh waktu bukan berarti enggak ada obat. Nanti saya bantuin.”
Meski Endra memang belum pernah dengar penyakit itu.
Tapi untuk sekarang, prioritasnya adalah gadis ini merasa lebih baik.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Yane Kemal
Please Endra selamatkan Gista, Uti punya pengalaman dengan Depresi
2023-04-05
1