"Jadi, intinya, Teh Gista enggak bisa makan sama sekali?"
Setelah sangat lama Gista menangis dan kepalanya serasa mau pecah, ia pun berhasil menjelaskan lagi.
"Maaf, Teh. Saya banyak nanya dulu. Makan apa pun? Apa pun?"
Iya, itu aneh, makanya dia bertanya untuk memperjelas.
Kepala Gista sakit saat ia mengangguk.
"Kalau buah, Teteh makan? Enggak juga?"
Gista menggeleng. Sudah ia bilang, apa pun.
Apa pun ya apa pun.
"Kemarin cuma nyoba makan jeruk kecut. Aneh juga, cuma masih bisa saya tahan," jelas Gista sedikit, untuk lebih memperjelas.
Ekspresinya seperti dokter yang serius mendengarkan keluhan pasien. "Apel, enggak bisa?"
"Kayak daging ikan cincang."
Gista tak pernah makan daging ikan cincang mentah, namun bayangkan saja itu masuk ke mulut kalian.
Kalau menjijikan, maka Gista merasakannya secara fisik.
Begitu rasanya.
"Kalau buah kecut, belimbing, bisa? Belimbing yang kecil?"
Gista menggeleng. "Belum pernah nyoba."
Lalu dia mengangguk-angguk. "Saya boleh periksa sebentar? Kalau enggak mau enggak pa-pa."
Dia orang baik, karena dia menolong Gista dan bahkan membiarkannya berada di ruang ber-AC yang luas begini.
Jadi Gista mengangguk, berbaring untuk memudahkan dia.
Yang dia periksa bukan denyut jantung atau nadi.
Dia menyentuh wajah Gista, seperti yang dokter-dokter sebelumnya lakukan, menekan-nekan di beberapa titik dekat hidung, pipi, lalu memberi pertanyaan klasik.
"Sakit? Atau mati rasa?"
"Biasa aja."
Dan Gista menjawab sama, selalu.
Dia menekan di berbagai titik. Bertanya sakit atau tidak, mati rasa atau tidak, lalu duduk lagi.
Ekspresinya kebingungan. Sama juga dengan dokter.
"Kemungkinan ada masalah di bagian saraf—"
"Penciuman." Gista hafal. "Dikasih vitamin B12, sering-sering kena matahari, minum vitamin C yang rajin. Saya tau."
"...."
"Tapi yang bermasalah sama saya bukan cuma penciuman, tapi juga rasa."
"...."
"Saya bukan anosmia. Indera saya enggak ilang. Penciuman dan perasa saya enggak ilang. Semuanya ada, tapi semuanya beda."
"...."
"Saya bukan enggak bisa makan karena bau, tapi juga karena rasa. Rasanya enggak enak, bukan ilang."
Gista bahkan mengulang-ulang penjelasan sama dalam kalimat berbeda agar dia mengerti karena seperti begitu sulit.
Berhenti mengatakan sesuatu yang omong kosong. Dan tolong dengarkan orang kalau bicara.
Bukan INDERA PENCIUMAN HILANG tapi SEMUANYA BAU DAN BUSUK.
Meskipun sadar ia terkesan sangat emosional, Gista benar-benar sudah tidak tahan dengan pertanyaan itu.
Batinnya sudah capek setelah bertemu tiga dokter dan tiga-tiganya selalu menanyakan pertanyaan serupa.
Dan bila sudah dijelaskan, tidak ada hasil yang Gista dapat.
Pikir Gista, dia akan marah, tapi ternyata salah.
Endra malah tersenyum. "Teteh tinggal di mana?"
".... Ngekos." Agak tidak menjawab, tapi yasudah.
"Kalau mau saya kenalin sama dokter kenalan saya. Kebetulan dia dokter spesialis saraf juga."
Gista tersenyum getir. "Saya udah enggak mau ketemu dokter saraf."
Itu cuma membuatnya gila. Pada akhirnya ia pulang dengan pikiran hanya dirinya yang sakit begini dan hanya dirinya yang gila.
Demi Tuhan, itu luar biasa tidak enak di hati ketika kalian mengalami sesuatu yang ternyata tidak dialami orang lain. Bingung bertanya ke mana, bingung ada apa, pelan-pelan terasa hanya kalian yang aneh di dunia.
".... Selain makanan, apa lagi yang enggak bisa?" Dia mengalihkan pembicaraan.
"Bau."
"Bau? Bau busuk enggak bisa?"
"Semua bau." Gista menunjuk AC. "Itu bau."
"AC bau? Saya juga?"
Gista mengangguk. Membuat dia tertawa, tapi seketika padam karena Gista serius.
Tiga dokter yang ia temui mengeluarkan candaan sama.
Gista berkata AC bau, lalu mereka bertanya 'saya juga bau?' untuk mencairkan suasana padahal Gista semakin membeku oleh penyakit tak bernama ini.
Candaan sudah tidak lucu bagi Gista.
Ia merasa seperti orang yang sudah terkena kanker stadium empat dan yah, cuma tinggal menunggu mati saja.
"Oke." Endra menggaruk tengkuknya canggung. "AC bau, parfum bau—parfum yah, maksudnya?"
Gista menatap sayu tangannya sendiri. "Saya bau."
"...."
"Keringat, air kenciing, semuanya bau. Semuanya. Semuanya yang ada rasa, yang ada bau, semuanya."
"...."
"Saya gila, yah?"
Katakan saja begitu biar cepat.
Katakan saja ia tidak waras atau dikutuk.
".... Kalau mau nangis, nangis aja, Teh."
Pemuda itu tersenyum lagi.
"Yang penting enggak menvonis diri sendiri. Kalau Teteh sakit terus dokternya enggak tau sakit apa, mungkin dokternya yang kurang ilmu."
"Dokter juga bukan Tuhan, enggak tau segalanya. Saya liat mah Teteh normal-normal aja."
"...."
"Kalau Teteh enggak mau ketemu dokter, yaudah, enggak pa-pa. Istirahat aja di sini."
Gista agak sesenggukan melihat pemuda itu beranjak. "Saya nanti ngerepotin."
"Atau gini aja deh, biar Teteh enggak ngerasa beban banget. Teteh tinggal di sini sampe ngerasa enakan, nanti bantu-bantu saya kalau ada kerjaan. Kebetulan juga saya butuh temen kerja."
"Kerja?"
Dia menggaruk tengkuknya lagi. Membuat Gista sadar kalau dia canggung, otomatis tubuhnya melakukan itu.
"Sebenernya, saya alumni kedokteran, Teh. Cuma enggak bisa lanjutin pendidikan."
Tidak lanjut? Maksudnya apa?
"Saya kebetulan di sini bantuin Om saya berkebun. Kalau mau, Teteh bantuin saya aja."
".... Saya enggak tau berkebun."
Endra tertawa. "Maksud saya mah bukan bantu nanem atau manen, Teh. Itu mah kerjaan buruhnya. Saya bagian catet-catet aja."
Meski dengan mata basah, Gista mengangguk. Untuk sementara ia memang tak mau pulang. Daripada ia sakit jiwa di kosan sendirian atau ke rumah dan bertemu Ayah, lebih baik ia di sini.
"Ta-tapi saya mau pulang ke kosan saya dulu," ucap Gista terbata karena menangis.
"Emang bagusnya begitu. Teteh juga sekalian ambil barangnya enggak pa-pa."
Ketika dia pergi, Gista cuma merenung sendiri.
Jadi ... dia dokter atau bukan?
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Yane Kemal
Ayo Gistaaa
2023-04-05
1