Perempuan Di Ujung Senja

Perempuan Di Ujung Senja

Pengakuan

Note : bacanya jangan setengah-setengah, ya. Ikuti terus cerita ini sampai tamat.

...Happy reading 😘...

..."Bisakah aku menganggap dirinya sebagai matahari dan pelangi yang akan membawakan kecerahan di hari-hari suramku?"...

...-Azalia Atmadja-...

Rintihan seorang gadis harus menjadi pembuka pagi ini. Tetesan air mata tak ada artinya bagi mereka yang membenci. Entah alasan apa. Azalia tak tahu.

"Kamu semakin hari dikasihani malah makin menjadi, ya! Dasar anak tidak tahu terima kasih!" Emosi Lana kian tak terkendali, tangan kanannya menjambak rambut Azalia yang dikuncir kuda.

"Ampun, Ma. Sakit," rintih Azalia yang tak dipedulikan oleh mamanya.

"Dia makin ngelunjak, Ma. Kemarin aku sampai di keluarin dari kelas hanya karena ini orang nggak ngerjain tugas aku. Malu banget, Ma. Mana ada Rafka lagi," adu Sesil dengan raut wajah yang kesal.

"Nggak, Ma. Sesil kemarin nggak memberikan tugasnya sama aku di kampus-aaa!" Tarikan yang kuat di rambutnya membuat Azalia memekik seraya menutup mata, mencoba menahan rasa sakit.

"Halah, alasan, lo! Harusnya lo sendiri bisa langsung ambil ke gue, bukan harus nunggu gue yang ngasih. Siksa aja, Ma."

"Dasar anak nggak tahu terima kasih! Mulai sekarang, motor kamu Mama sita dan kamu nggak akan ada uang saku selama sebulan!" Lana menghempaskan Azalia hingga gadis itu tersungkur dan punggungnya mengenai kursi makan. Sakit tak hanya batin, tetapi juga fisik. Namun, semua sudah bukan hal lumrah baginya. Sejak kecil pun, ia sudah mendapatkan hal serupa.

"Ayo, Sayang. Nanti kamu telat ke kampus." Ibu dan anak itu pergi meninggalkan Azalia yang menangis sendirian di ruang makan.

"Apa salahku? Kenapa aku sangat dibenci di keluarga ini? Tak adakah rasa cinta mereka untukku sedikit saja?" tanya Azalia, entah pada siapa dengan deraian air mata.

Sandi, sang papa saat ini sedang berada di luar kota menghadiri pertemuan bisnis. Rasanya percuma juga jika papanya berada di rumah. Semua sama saja. Dia diperlakukan selayaknya pembantu.

Sekuat tenaga gadis berkulit putih itu berusaha berdiri, menghapus air mata dan mencoba menguatkan hati.

Hari ini dia harus segera sampai di kampus. Setengah jam lagi kelas akan dimulai dan itu jadwal Pak Alham, dosen yang terkenal dengan kedisiplinannya.

***

"Permisi, Pak," ucap Azalia dengan perasaan tak menentu. Gugup kian membungkus raganya yang rapuh.

"Jangan mengganggu kelas saya!" Suara tegas dan dingin itu mampu membuat nyali Azalia semakin menciut.

"Minggir dari pintu itu, kamu menghalangi udara yang masuk!" imbuh Pak Alham tanpa menatap objek yang dituju.

"Pak ...."

"Kamu tidak punya telinga? Jangan membuat saya mengulang kalimat yang sama, Azalia!" Tatapan tajam Alham layangkan pada Azalia yang menahan tangis.

Para mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas menatap gadis yang menunduk itu dengan perasaan yang berbeda-beda.

Dari kursi paling kanan dekat jendela, Sesil menatap Azalia dengan tatapan merendahkan dan senyum yang mengejek. 'Bagus. Gue berharap lo nggak dikasih ampun sama Pak Alham,' batin Sesil.

Sementara Rafka, ia tak sengaja melihat ada tanda memar di lengan kanan Azalia saat gadis itu menggerakkan tangannya. 'Ada apa dengannya?' tanya Rafka dalam hati.

"Kerjakan tugas kalian!"

Dengan langkah gontai Azalia mundur perlahan dari pintu kelas dan melangkah menuju gudang kampus tempat ia menyendiri dan tak seorang pun yang tahu.

Mentari bersinar dengan cerah. Kehangatannya terasa saat menerpa indra peraba. Namun, tak mampu menghangatkan hati dan juga hari-hari gadis berkulit putih tersebut.

***

Hari menjelang siang, pemuda jangkung berhidung mancung berdiri menatap sekitar sambil mengatur napas. 'Kamu di mana, Lia? Harus ke mana aku mencari kamu lagi? Bahkan nomormu juga tidak bisa dihubungi,' batin Rafka.

"Rafka!" panggil Sesil setengah berlari menuju ke arah Rafka.

"Ada apa?" tanya pemuda berkemeja hitam itu.

"Makan siang, yuk! Kebetulan ada kafe yang baru buka dekat Masjid Agung," ajak Sesil.

"Maaf, aku sibuk."

Rafka berlalu begitu saja tanpa memedulikan teriakan Sesil.

"Sialan! Apa, sih kurangnya gue, cantik iya, badan bagus juga iya. Tapi, kenapa Rafka selalu nolak gue? Ini pasti gara-gara Azalia. Awas aja lo sampai rumah. Gue pastikan lo akan menderita lebih dari ini," ucap Sesil penuh emosi.

***

Gudang adalah tempat paling dihindari oleh orang-orang. Selain tempatnya yang kotor dan banyak tumpukan barang tak terpakai, hewan-hewan kecil menjadi penghuni di tempat tersebut. Akan tetapi, berbeda dengan Azalia, gadis itu sudah terbiasa dengan ruangan bernama gudang.

Kruuk! Kruuk!

Rasa lapar mendera Azalia yang meringkuk di atas kardus bekas. Ia pun bangun, melihat angka yang ditampilkan pada benda yang melingkar di tangan kirinya. Jam satu siang, selama itukah ia tertidur, pikirnya.

Kembali, suara dari perutnya yang keroncongan terdengar. Azalia membuka tasnya, melihat apakah ada sisa uang dan ternyata tidak ada. Ponselnya lobet sebab semalam ia tak mengisi daya.

"Sebaiknya aku pulang sekarang, takut jika Mama marah lagi kepadaku," lirihnya.

***

Rafka yang masih kelimpungan mencari Azalia tak menyerah begitu saja. Dia harus tahu apa yang terjadi pada Azalia, pemilik hatinya. Ya, Rafka memang telah jatuh cinta pada sosok gadis baik hati itu sejak pertama kali ia melihatnya.

Rasa bahagia akhirnya kembali hadir setelah sebelumnya redup karena gadis cantik bermata bulat itu hilang dari pelupuk mata Rafka. Tuhan mempertemukan mereka pada kelas yang sama saat ia pindah kampus.

"Permisi, Pak. Apa Bapak sudah melihat mahasiswi ini melewati pos di sini?" tanya Rafka pada petugas jaga di pos kampus Universitas Gaharu seraya memperlihatkan foto Azalia yang sedang duduk di taman kampus.

"Bapak tidak ingat. Mahasiswa di sini, kan banyak. Jadi, Bapak kurang yakin kalau sudah melihat apa belum," ujar Pak Rapno petugas jaga.

"Oh, begitu. Terima kasih, Pak."

"Sama-sama."

***

Suasana taman kampus tidak terlalu ramai, Rafka duduk di salah satu bangku yang disediakan. Lama Rafka berada di sana dan saat Rafka hendak melangkah, netranya menatap objek yang sejak tadi ia cari. Wajahnya yang bulat terpapar sinar matahari, menambah kesan cantik pada Azalia. Tapi, sorot mata itu tak lagi teduh saat pertama kali dilihat Rafka. Melainkan menyimpan sejuta kesedihan dan Rafka bisa melihat itu. Langsung saja pemuda itu menghampiri Azalia.

"Lia, kamu dari mana saja?" Tampak guratan khawatir di wajah tampan Rafka.

Tangannya terulur memegang lengan Azalia, membuat gadis itu meringis.

"Tangan kamu kenapa, Lia?"

Azalia langsung melepaskan tangan Rafka. "Aku nggak apa-apa. Permisi," ucapnya hendak melangkah pergi.

"Aku antar kamu pulang, ya?" tawar Rafka penuh kelembutan.

Saat akan menjawab, Azalia tak sengaja melihat Sesil dan dua temannya menatap mereka dengan penuh kebencian. 'Apalagi ini, Ya Allah?' batinnya menangis. Paham apa yang akan terjadi selanjutnya, ia pun bersikap sangat dingin dengan wajah datarnya.

"Hei, kenapa diam? Aku antar, ya. Aku lihat di parkiran nggak ada motor kamu. Kamu nggak bawa motor, 'kan?" Rafka masih berusaha membujuk.

"Tidak! Terima kasih atas tawarannya, aku bisa pulang sendiri. Kuharap ini menjadi interaksi kita yang terakhir dan jangan ganggu aku!" tegas Azalia.

Sakit karena lapar berusaha ia tahan karena harus meladeni Rafka. Baru saja berbalik dan akan melangkah, Rafka kembali berucap, "Aku akan antar kamu dan kita bisa sekalian mengerjakan tugas yang baru Pak Alham berikan. Kumohon, kali ini saja terima tawaranku. Kamu selalu menolakku, Azalia." Ada nada putus asa pada kalimat terakhirnya.

Ada rasa sedih mendengar kalimat terakhir Rafka. Namun, sebisa mungkin ia harus tetap pada pendiriannya. Menghindar dari Rafka.

"Tugas Pak Alham biar nanti menjadi urusanku. Kau tak perlu ikut campur. Jika kau memohon, aku pun akan memohon padamu, jangan ganggu aku. Sekali lagi jangan ganggu aku!" tegas Azalia tanpa menoleh ke belakang tempat Rafka berdiri.

"Jadi, selama ini kamu menganggapku sebagai pengganggu? Tak adakah kamu merasa sesuatu selain diganggu? Kalaupun aku pengganggu, kenapa saat kerja kelompok kamu tampak nyaman berbicara denganku?" Pertanyaan beruntun Rafka tak mampu dijawab oleh Azalia.

"Kamu pikir aku tidak tahu apa yang sering dilakukan oleh saudaramu? Kamu sering disiksa dengan kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahanmu. Apa itu benar?"

Azalia berbalik menatap tajam kedua manik hitam milik Rafka. Seolah ingin membunuh pemuda itu kewat tatapannya. "Kau tak perlu ikut campur, Rafka! Kuucapkan terima kasih atas semua perhatianmu yang selalu aku tolak selama ini. Mengertilah, posisiku jika kau tahu apa yang selama ini terjadi padaku." Azalia menimpali perkataan Rafka dengan wajah tanpa ekspresi.

Sejak tadi ia ingin segera beranjak dari tempat itu. Seandainya saja bisa menghilang, sudah sejak tadi ia lakukan. Gadis itu tak nyaman dengan tatapan membunuh milik Sesil yang tak jauh dari mereka. Asam lambungnya sudah sejak tadi mendera.

"Azalia pahami sedikit sikapku padamu, tak bisakah kau peka sedikit saja? Aku mencintaimu, Azalia. Aku mencintaimu, mengapa kau tak paham akan hal itu?" tanya Rafka penuh keputusan asaan. Netranya berkaca-kaca menatap Azalia.

Ungkapan Rafka membuat suasana menjadi tenang. Suaranya yang lantang membuat orang-orang sekitar diam dan menatap pada objek yang sama, yaitu Azalia. Banyak yang menatap tak suka pada Azalia. Bagaimana tidak, Rafka adalah salah satu mahasiswa populer sejak ia mulai kuliah di kampus itu.

Sementara Sesil, hatinya terbakar api cemburu mendengar bahwa lelaki yang ia cintai lebih memilih mencintai orang lain. Tangannya terkepal erat.

Azalia diam dan menatap dalam kedua manik indah itu. Mencari kebohongan di sana, tetapi tak menemukannya. Ia tak menyangka akan mendapat pernyataan yang tak pernah ia harapkan. Terlebih dari Rafka, ia cukup sadar diri. Dari penampilan saja, sangat tak pantas untuk bersanding dengan pemuda itu.

"Aku cinta kamu sejak pertama aku melihatmu bermain bersama anak-anak di taman kota saat senja mulai menyapa. Sejak hari itu senyummu tak pernah lepas dari ingatanku. Bayanganmu tertawa menghiasi hariku, Azalia. Besoknya aku ke sana berharap dapat melihatmu lagi. Tapi, hingga hari-hari berikutnya dirimu hilang bak ditelan bumi. Semangatku hilang sejak kamu tak ada dalam pandanganku. Konyol memang. Tapi, itulah yang aku rasakan. Kamu menjadi matahari dan awan hitam bagiku di saat bersamaan, tanpa kutahu jati dirimu bahkan namamu pun aku tak tahu."

Hingga hari pertama aku masuk ke kampus ini, hatiku sangat bahagia. Matahari yang sempat tertutup awan hitam telah bersinar kembali. Aku berada dalam kelas yang sama denganmu, Azalia," ungkap Rafka.

Air mata Azalia menetes tanpa diminta. 'Benarkah yang diucapkan oleh Rafka? Bisakah aku menganggap dirinya sebagai matahari dan pelangiku yang akan membawakan kecerahan di hari-hari suramku?' tanyanya dalam hati. Jiwanya menghangat mendengar ungkapan itu. Ia terharu, ternyata masih ada orang yang mengharapkan kehadirannya.

"Rafka ...," lirih Azalia seraya menatap pemuda di depannya. Pusing mulai menghinggapinya dan pandangan mulai mengabur.

"Hari ini kamu mengatakan bahwa aku hanyalah seorang pengganggu. Selama enam bulan aku hanyalah pengganggu buatmu. Tak mengapa, kuterima perkataanmu. Tapi, ketahuilah, Lia. Aku akan tetap mencintaimu dari kemarin, hari ini, besok, dan selamanya. Hanya satu yang kuminta padamu, izinkan aku menyimpan cinta ini hanya untukmu dan biarkan aku berjuang semampuku untuk mendapatkan cintamu, Azalia Atmadja."

Dengan sekuat tenaga gadis itu menahan rasa pusing, baru akan membuka suara, tubuhnya langsung ambruk tak sadarkan diri. Beruntung Rafka sigap menangkapnya.

"Lia! Lia, bangun! Azalia!" panggil Rafka seraya menepuk pelan pipi Azalia. "Badannya panas sekali," gumamnya penuh kekhawatiran.

Tanpa membuang waktu, Rafka langsung menggendong gadis itu untuk di bawa ke klinik kampus yang terletak di samping. Dalam hatinya terus saja mengatakan maaf juga doa agar Azalia tak apa-apa.

Sesil semakin murka melihat pemandangan itu. "Lo harus segera bertindak, Sil," ucap Manda.

"Rafka ganteng banget, sumpah," timpal Caca dan langsung mendapatkan pukulan serta tatapan tajam dari Sesil. Sedangkan yang ditatap menyengir tanpa dosa.

"Lihat saja nanti. Lo berdua harus bantuin gue." Senyum jahat tercetak di wajah cantik Sesil dan kedua temannya mengangguk.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

Hmmm
awal yg sulit, azalia

2023-07-13

0

Tetik Saputri

Tetik Saputri

semangat kak

2023-06-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!