Gombal

Jangan lupa follow, Like, komen, dan tambahkan ke favorit, ya. Biar makin semangat 🤗😘

...Happy reading 🍁🥰...

..."Kuharap ini akan menjadi awal yang baik. Bukankah tidak salah seorang hamba mengharapkan kebahagiaan?"...

...-Rafka Sanjaya-...

Matahari telah tampak di ufuk timur, membelah pekatnya malam. Kehangatannya mengiringi hubungan sepasang anak adam yang baru saja jadian.

Ceklek!

Suara pintu dibuka membuat atensi Azalia teralihkan dari jendela yang terbuka. Ia tersenyum saat tahu siapa yang masuk.

"Kamu sudah bangun?" tanya Rafka dan dibalas anggukan oleh Azalia.

"Aku tadi beli bubur untuk kamu, sebelumnya sudah izin ke dokter juga jadi aman. Aku suapi kamu, nggak ada penolakan. Ok?," pinta Rafka lembut.

Azalia tersenyum mendapatkan perhatian seperti ini. Sudah lama ia tak diperhatikan. Ia pun sudah lupa kapan terakhir kali ia merasakan hal tersebut.

"Mau diaduk apa tidak?" tanya Rafka.

"Diaduk," balas Azalia.

"Tim bubur diaduk, ya. Padahal enak nggak diaduk, loh. Bentuknya juga masih terlihat estetik. Nggak usah diaduk, ya?"

"Tadi kamu tanya mau diaduk apa tidak. Kalau maunya nggak diaduk ngapain tanya aku," sungut Azalia membuat Rafka terkekeh.

"Iya, iya, bercanda. Kamu, mah, baperan. Jadi gemes, deh!" Rafka mencubit pipi Azalia.

Akhirnya, ia menuruti keinginan gadisnya. Namun, sebelum itu Rafka memperbaiki ikatan rambut Azalia terlebih dahulu karena berantakan.

Rona merah langsung tampak di pipi Azalia. Jantungnya berdetak sangat kencang. Jika bisa didengar, mungkin Rafka juga bisa mendengarnya.

Rafka tahu gadis itu sedang malu, tetapi belum saatnya ia menjahili Azalia. Gadis yang masih terpasang selang infus di tangan kirinya itu harus segera sarapan dan ia pun juga harus berangkat ke kampus menyelesaikan masalah kemarin.

"Lia?" panggil Rafka di sela-sela menyuapi Azalia.

"Iya?"

"Coba kamu lihat ke luar. Kayaknya bakal hujan, deh," tunjuk Rafka ke arah jendela.

Azalia mengamati keadaan di luar. Walaupun jendela itu terhalang kaca, tetapi ia bisa melihat di luar sedang cerah. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan.

"Perasaan nggak mendung, Ka. Mau hujan dari mana coba? Orang langitnya cerah gitu, kok." Azalia masih memperhatikan sekitar.

"Iya, mau hujan. Langitnya akan menangis karena bidadari yang satu sedang berada di sini," celetuk Rafka membuat senyum terkembang di bibir Azalia.

"Cieee, pipinya nggak bisa bohong. Katanya Azalia lagi salah tingkah, tuh," goda Rafka.

Azalia yang digoda langsung menutup wajah dengan kedua tangannya dan langsung diturunkan oleh Rafka.

Lama ia menatap netra itu, netra yang selalu menyimpan kesedihan sejak dua puluh dua tahun silam. Namun, indah menurut Rafka.

"Cantik," gumam Rafka semakin membuat semburat merah di pipi mulus Azalia tercetak jelas.

"Makan lagi, ya. Habis itu aku panggil suster untuk bantu kamu bersih-bersih. Oh, iya, pagi ini aku harus ke kampus. Ada urusan sedikit. Nggak apa-apa, 'kan, aku tinggal sebentar?" sambung Rafka.

Azalia mengangguk, tak mempermasalahkan hal itu. Ia tak tahu saja jika masalah itu berkaitan dengan dirinya.

Tak butuh waktu lama, Rafka telah selesai dengan kegiatannya menyuapi Azalia. Ia pun pamit untuk memanggil suster dan menunggu di luar ruangan.

Sementara menunggu, Rafka menelpon bundanya karena semalam ia tak mengangkat panggilan masuk sebab ponselnya dalam mode senyap.

"Rafkaaa! Kamu ke mana saja, hah?! Kenapa baru telepon Bunda sekarang?" Suara nyaring dari seberang sana membuat Rafka menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Aduh, telingaku! Copot nggak, ya," kelakar Rafka membuat bundanya semakin kesal.

"Rafka, jawab! Astaghfirullah."

"Bun, Rafka semalam nginap di rumah sakit. Sekarang Rafka masih di sini. Tapi, bentar lagi bakal ke apartemen untuk ganti baju, 'trus ke kampus," ujar Rafka.

"Ya Allah, kamu sakit? Kenapa nggak hubungi Bunda? Kamu sakit apa? 'Trus ngapain kamu malah ke apartemen dan ke kampus. Harusnya kamu pulang, Ka," tanya Bunda Raya khawatir. "Oh, iya, Bunda hampir lupa. Kamu melakukan hal apa di kampus sampai Bunda sama Ayah diundang ke sana? Rafka kamu itu sudah dewasa, sudah jadi Mahasiswa bukan lagi anak SMA. Astaghfirullah, ya Allah," sambung Bunda Raya seraya beristighfar dengan lirih.

"Aduh, Bun. Ngomongnya itu pelan-pelan dan jangan terlalu panjang kayak kereta api. Rafka bingung mau jawab yang mana dulu," tukas Rafka seraya berdecak pelan.

"Gini, ya, Bun. Rafka jelasin dan Bunda dengar baik-baik. Rafka tidak sakit, yang sakit itu calon menantu Bunda. Sekarang dia di rumah sakit. Kalau masalah di kampus, itu biar menjadi urusan Rafka. Rafka minta, baik Ayah atau Bunda nggak usah datang ke kampus," timpalnya lagi.

Lama Rafka tak mendengar suara bundanya hingga tiba-tiba suara tawa terbahak-bahak yang masuk ke indra pendengarannya. Alis pemuda itu hampir bertautan, bingung dengan respon bundanya.

"Bunda kenapa?" tanya Rafka.

"Kamu yakin sudah punya pacar?" Bukannya menjawab, sang bunda malah balik bertanya masih dengan tawa yang tak bisa ia hentikan.

"Bunda meragukan aku? Bunda meragukan anak tertampan Bunda sama Ayah? Wah, aku curiga, jangan-jangan aku bukan anak Bunda sama Ayah? Oh, jangan sampai itu benar, Ya Allah," keluh Rafka penuh dramatis.

"Ngawur kamu. Yang buat kamu itu Bunda sama Ayah. Yang cetak kamu, ya, Bunda. Kamu pakai pelet apa biar dapat pacar?" Kekesalan Bunda Raya hilang dan berganti dengan rasa ingin tahu.

"Bunda bisa nggak berpikir positif sama anak sendiri? Ya kali, ganteng begini pakai pelet. Udah, ah. Ngomong sama bunda malah bikin naik tensi. Aku mau lihat calon menantu Bunda lagi. Daaa, Bunda."

"Eee, tunggu dulu. Kamu bilang calon menantu Bunda ada di rumah sakit. Rumah sakit mana?" cecar Bunda Raya.

"Bunda mau apa? Bunda jangan macam-macam sama, Azalia," ancam Rafka.

"Kamu mengancam Bunda? Orang Bunda hanya satu macam, kok. Jahat kamu sama orang tua sendiri. Kalau nggak mau kasih tahu, bilang. Bukan mengancam." Rafka membuang napas kasar mendengar kesedihan sang bunda.

"Bukan gitu, Bun. Ok, ok, Rafka kasih tahu. Azalia ada di Rumah Sakit Cendekia, VIP Ruang Mawar. Sudah dulu, ya, Bun. Rafka sudah telat banget ini. Hati-hati di jalan kalau mau ke sini jengukin dia." Rafka langsung mengakhiri panggilan setelah sebelumnya mengucapkan salam.

'Kuharap ini akan menjadi awal yang baik. Bukankah tidak salah seorang hamba mengharapkan kebahagiaan?,' batinnya seraya tersenyum.

Setelah suster itu keluar, Rafka mengucapkan terima kasih dan masuk ke ruangan Azalia di rawat. Dilihatnya gadis itu sudah lebih segar dan tak pucat lagi seperti kemarin. Langkah Rafka mendekati Azalia yang duduk di ranjang pasien. Rafka tak memberitahu kepada Azalia jika bundanya akan datang. Biarlah mereka akrab dengan cara mereka, begitu pikirnya.

"Rafka, kapan aku bisa keluar dari sini? Orang tua aku pasti nyariin aku. Ponsel aku baru saja aku cas untuk bisa menghubungi mereka," rengek Azalia.

Matanya berkaca-kaca mengingat orang tuanya di rumah, terlebih kemarin adalah kepulangan papanya. Ia tak pernah benci ataupun dendam dengan keluarganya, sebab keluargalah tempat ia akan pulang sejauh apapun melangkah.

"Iya, nanti juga kalau kamu sudah sembuh total bakal keluar dari sini. Tapi, belum sekarang. Masalah orang tua kamu, biar nanti aku yang kasih tahu mereka. Sekarang kamu istirahat, kalau ada apa-apa atau mau dibawakan sesuatu telepon aku saja, ya. Kamu juga bisa panggil suster lewat tombol di samping ranjang ini. Ok, cantik," tutur Rafka lembut seraya tangannya mengusap kepala Azalia.

"Tapi, aku maunya segera keluar." Azalia terus merengek bak anak kecil.

Ingin rasanya Rafka mencium bibir yang terus merengek itu, tetapi ia harus bisa sabar. Tak ingin Azalia merasa tak nyaman dengannya.

Rafka menghela napas, lalu berkata, "Baiklah, nanti aku coba bicarakan dengan Dokter. Sekarang kamu istirahat, ya. Aku mau ke kampus sebentar, setelah itu aku balik lagi." Setelahnya, Rafka memandangi wajah bulat dengan hidung yang kecil tersebut. " Azalia ..., apa aku boleh mencium kamu sebelum aku pergi?" sambungnya.

Azalia mengangguk dengan sangat pelan. Tanpa membuang waktu, Rafka mendaratkan bibirnya di dahi gadis itu. Lewat ciumannya itu, Rafka berharap Azalia bisa menerimanya dengan tulus dan gadis itu menjadi sosok yang kuat.

Sementara Azalia, ia memejamkan mata. Menikmati setiap detik yang berlalu dengan penuh kehangatan.

"Aku pergi dulu, ya," pamit Rafka yang dibalas anggukan oleh Azalia yang pipinya telah merona bak tomat.

Setelah pintu tertutup, gadis itu langsung memegangi dadanya yang berdetak sangat cepat. 'Ada apa denganku? Mungkinkah aku telah jatuh cinta padanya? Kenapa rasanya aku tidak rela dia pergi, ya? Padahal dia hanya ke kampus,' tanya Azalia dalam hati.

Gadis itu tersenyum sendiri memikirkan hal yang beberapa saat lalu terjadi. Tangannya terulur menyentuh dahinya, tempat di mana Rafka mendaratkan bibirnya. Akibat terlalu senang, ia memukul ranjang dengan perasaan gemas sehingga tak sadar bahwa tangan kirinya masih terpasang selang infus.

"Aduh," pekiknya. "Ah, mengganggu kesenangan orang saja ini infus. Kenapa harus pakai ini coba, aku sudah sehat begini juga," gerutunya menyalahkan infus yang terpasang.

'Rafka Sanjaya, ternyata kamu lelaki yang penuh kehangatan. Semoga saja kamu selalu seperti ini,' lirihnya dalam hati.

Terpopuler

Comments

Ahmad Suhaemi

Ahmad Suhaemi

🤩💯

2023-04-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!