*Sebelum membaca, jangan lupa follow akun author, ya. Biar semangat 🥰🤭. Like dan komen juga.😘
...🍁Happy reading🍁...
..."Harapanku adalah melihatmu tersenyum tanpa paksa. Mendengar tawamu tanpa beban. Jadilah batu karang yang selalu tegar."...
...-Rafka Sanjaya-...
Langit malam belum terlalu pekat, hamparan bintang penuhi angkasa. Sang rembulan bersinar terang. Suara jangkrik dari kebun belakang terdengar sampai ke dapur.
Seorang gadis berkuncir kuda tengah menyiapkan makanan. Namun, sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Akibat rasa pusing, Azalia tak mampu menyeimbangkan tubuhnya hingga sebuah mangkuk berisi sup jatuh dari tangannya dan menimbulkan suara gaduh.
"Apa-apaan ini?" hardik Mama Lana. "Kamu ini bisanya apa, hah?!" imbuhnya penuh emosi.
Tanpa menunggu gadis itu membela, Mama Lana langsung menarik rambut Azalia dan membawa gadis malang itu ke gudang.
"Ampun, Ma. Lia ... Lia nggak sengaja," ucap Azalia terbata.
Mama Lana menghiraukan rintihan pilu gadis itu, seolah telinganya telah tuli. Begitu sampai gudang, ia langsung mendorong tubuh rapuh itu dengan kasar.
"Nggak ada jatah makanan untuk kamu malam ini dan kamu tidur di sini!" bentak Mama Lana.
Gadis malang itu pasrah akan apa yang terjadi. Ingin melawan, tetapi tak cukup kekuatan dan tak ada yang bisa menjadi tameng untuknya.
Azalia hanya bisa merenung akan hidupnya yang tak seperti orang lain. Ingin meraung dan menyalahkan takdir. Tapi, tak bisa. Semua sudah menjadi kehendak-Nya. Ia hanya harus kuat dan sabar.
***
'Aku bukan seorang pujangga yang mahir berbahasa cinta. Mengungkap rasa dalam untaian kata. Mengukir kasih lewat indahnya deretan diksi.
Akan tetapi, aku hanyalah seseorang yang menginginkan kebahagiaan tanpa kesedihan.
Duhai gadis ayu ....
Lihatlah, diri ini yang begitu merindu
Berharap pilu 'kan sirna dan berlalu
Layaknya pelangi setelah hujan'
Sebuah buku dengan sampul gambar daun maple telah tertutup rapat setelah sebuah puisi tertoreh di lembar yang kosong.
Rafka tersenyum mengingat mulai besok ia akan memperjuangkan cintanya. Tanpa tahu saat ini gadis pujaan hatinya tengah meringkuk kedinginan serta kelaparan di gudang.
***
Arunika perlahan memancarkan cahayanya, membelah pekat malam penuh kelam bagi seorang gadis bernama Azalia.
Waktu masih menunjukkan pukul 06:30 WIB, tetapi gadis itu telah berjalan sekitar setengah jam. Bulir keringat mengucur di pelipisnya.
Beruntung, gudang yang sudah menjadi kamar keduanya tak dikunci. Membuat gadis itu bisa menyiapkan sarapan ketika waktu Subuh menjelang.
Biarlah ia akan dimarah dan dipukul nanti. Terpenting dirinya harus segera sampai di kampus sebelum waktu belajar tiba.
Sebuah gedung bertuliskan Universitas Gaharu telah menyambut gadis berbaju merah. Senyumnya merekah tanpa beban. 'Alhamdulillah, akhirnya aku sampai. Walaupun agak sedikit pusing. Ya Allah, berilah hamba kekuatan,' lirihnya dalam hati.
Sejuk pepohonan kampus terasa oleh indra peraba Azalia. Ia berusaha untuk cepat sampai di kelas sebelum semakin banyak mahasiswa yang datang dan suhu tubuhnya naik.
***
Bisik-bisik suara mahasiswa yang mulai berdatangan mengusik tidur seorang mahasiswi berada di kursi paling belakang sebelah kiri. Terlebih ada yang menyebutkan namanya.
"Eh, tahu nggak? Kemarin katanya Rafka nembak si Azalia, loh."
"Ha? Serius? Di mana?"
"Di taman kampus. Heran gue sama si Rafka. Cantik nggak, tampilan modis apalagi. Perlu periksa mata kayaknya si Rafka."
Azalia mendengar semuanya, tetapi bersikap tuli mungkin lebih baik. Terlebih badannya serasa meriang. Beruntung dirinya telah sarapan meskipun tak meminum obat.
"Kerjain tugas gue!" perintah Sesil yang langsung melempar bukunya ke kepala Azalia.
Azalia dengan penuh kesabaran mendongak menatap sang pelaku yang berdiri dengan kedua temannya. "Maaf, Sil. Kepalaku pusing kamu menyalin punyaku saja, ya." Azalia tak berbohong. Namun, Sesil seolah tak peduli.
"Siapa lo nyuruh-nyuruh gue, hah?! Pokoknya sebelum Pak Alham masuk, tugas gue sudah selesai!"
"Apa-apaan lo nyuruh dia!" Suara bariton dari seseorang yang berasal dari ambang pintu membuat Sesil dan yang lainnya menoleh ke arah yang sama.
"Punya tangan, 'kan? Punya mata juga, 'kan? Terlebih gue tahu lo punya otak buat berpikir. Jangan selalu semena-mena sama saudara lo sendiri. Lo pikir gue nggak tahu kalian bersaudara? Ambil buku lo dan ingat, ini terakhir kali gue lihat lo memperlakukan Azalia kayak gini. Kalau masih gue lihat lo kayak gini, lo akan berhadapan dengan gue!" cecar Rafka seraya mendekat ke arah Sesil.
Rafka yang di rumah, akan berbanding terbalik dengan Rafka yang di kampus. Seolah memiliki kepribadian ganda, tetapi hal tersebut tak mampu mengubah kadar ketampanannya.
Sesil tak percaya bahwa Rafka telah mengetahui bahwa ia dan Azalia bersaudara. Ia diam dan menatap penuh emosi kepada Rafka. Sementara Azalia, ia pun diam tak melawan.
Seisi kelas menjadi ribut karena mengetahui kabar baru dari sang idola kampus.
"Wah, bakal jadi trending kampus, nih."
"Gila, Azalia dan Sesil bersaudara ternyata."
Banyak bisik-bisik yang membuat Sesil semakin murka. "Diaaam!" murkanya.
"Sesil, Sesil, mudah bagi gue buat mendapatkan informasi kecil seperti itu. Lo pikir dengan mengatakan nama belakang kalian yang sama hanya sebuah kebetulan gue akan percaya?" Rafka masih terus mencecar Sesil tanpa peduli ada gadis itu.
"Rafka stop! Gue bilang stooop!" Sesil merasa dipojokkan oleh Rafka.
Air matanya mengalir deras karena malu. Rahasia yang sengaja ia tutupi harus terbuka pagi ini. Sebelum ia pergi meninggalkan kelas, ditatapnya penuh kebencian Azalia yang hanya diam bak patung di tempat duduk. Menyusul kedua temannya, Manda dan Caca.
"Kamu nggak apa-apa, Lia?" tanya Rafka penuh kelembutan saat pemuda itu berada di samping Azalia.
"Iya," balas Azalia.
"Kamu sudah sarapan? Wajah kamu pucat, Lia. Sarapan dulu, yuk! Aku yang traktir kamu."
"Aku sudah sarapan, terima kasih tawarannya."
"Tapi, kamu beneran nggak apa-apa, 'kan?" tanya Rafka lagi untuk memastikan dan dibalas anggukan oleh Azalia.
"Tugas kamu sudah selesai? Coba aku lihat!" Rafka langsung mengambil buku Azalia di tas gadis itu tanpa disuruh dan langsung memeriksanya. Tak peduli jika mereka menjadi sorotan seisi kelas.
***
Mata kuliah pertama telah selesai dan sekarang tengah berlangsung mata kuliah kedua dari Pak Alham, dosen yang terkenal dengan wajahnya yang tampan juga sikap yang dingin kepada orang lain. Disiplin adalah hal penting baginya.
Saat tengah menerangkan materi, mata Pak Alham tak sengaja menatap salah seorang mahasiswinya menunduk.
"Azalia!" panggilnya.
"Azalia!" Sekali lagi ia mencoba, tetapi gadis itu tak juga bangun.
"Azalia Atmadja!" Suaranya memenuhi seisi kelas hingga sang empunya nama terbangun.
"I–iya, Pak?" lirih Azalia dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Kerjakan soal nomor 2 di papan tulis tanpa melihat buku!" tegas Pak Alham tak terbantahkan.
Dengan langkah gontai Azalia menuju ke depan. Saat akan mengambil spidol, tiba-tiba saja pandangannya gelap dan langsung ambruk begitu saja di lantai.
Semuanya panik, tak terkecuali Pak Alham. Namun, sebisa mungkin ia tutupi dengan ekspresi datarnya.
Rafka begitu panik sehingga ia telah beranjak akan menolong, tetapi urung karena suara Pak Alham. "Kamu diam di situ! Ini menjadi urusan saya," tegasnya menatap Rafka.
"Azalia, bangun! Saya tahu kamu berpura-pura seperti mahasiswa lain hanya untuk mendapatkan perhatian saya!"
Rafka dan lainnya menatap tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut dosennya. Terkecuali, Sesil. Gadis itu kembali masuk saat mata kuliah pertama tadi. "Pak, dia pingsan bukan pura-pura. Punya mata nggak, sih?!" bentak Rafka.
"Trik seperti ini sudah tidak mempan sama sa–"
Bugh!
Rafka langsung memberikan bogem mentah ke arah Pak Alham, tak peduli ia akan mendapat masalah setelah ini. Sementara yang lain kaget akan tindakan Rafka.
"Lo punya mata nggak?! Wajahnya pucat dan lo bilang dia pura-pura! Lo dosen, orang berpendidikan. Tapi, lagaknya kayak orang nggak berpendidikan!" bentak Rafka.
Siapa yang tak akan emosi bila melihat orang yang sakit, tetapi diabaikan. Terlebih yang mengabaikan adalah seorang dosen. Rafka tak lagi memperlihatkan sikap santunnya.
Pak Alham yang mendapat perlakuan seperti itu menjadi tersulut emosi juga. Ia pun membalas memukul Rafka. Tak butuh waktu lama, perkelahian pun tak terhindarkan.
Mahasiswa laki-laki berusaha melerai. Sementara yang perempuan membantu Azalia yang tergeletak di lantai.
"Rafka stop! Pak Alham stop, Pak!" teriak Revan selaku ketua kelas. "Rafka stop! Azalia lagi sakit!" sambungnya.
Rafka yang mendengar nama Azalia pun spontan berhenti dan langsung mendekati gadis pujaan hatinya. Tak peduli darah segar mengalir dari bibirnya dan rasa sakit di beberapa bagian wajahnya.
Begitupun pak Alham yang langsung diam menatap Rafka dan Azalia.
"Urusan kita belum selesai!" tunjuk Rafka pada Pak Alham yang tengah mengusap bibirnya yang berdarah.
Rafka langsung membawa Azalia ke mobilnya dan menuju rumah sakit, meninggalkan kekacauan yang belum terselesaikan.
'Bodohnya aku yang tidak mengecek suhu tubuh kamu tadi pagi. Bodohnya aku yang percaya begitu saja kalau kamu baik-baik saja. Bodoh! Bodoh! Bodoh!' raung Rafka dalam hati seraya memukulkan kepalanya di setir mobil.
Dipandanginya lagi wajah teduh Azalia, ada rasa sedih menyelimuti hatinya kala mengingat apa yang sudah dirasakan oleh gadis itu sejak kecil.
Ia pun langsung tancap gas menuju rumah sakit agar Azalia mendapat pertolongan terbaik.
'Harapanku adalah melihatmu tersenyum tanpa paksa. Mendengar tawamu tanpa beban. Jadilah batu karang yang selalu tegar.' Rafka membatin seraua tangannya menyentuh tangan Azalia yang terasa panas. Seolah memberikan kekuatan pada gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments