..."Aku tidak akan berjanji untuk sesuatu yang belum pasti bisa aku buktikan. Aku tidak melarang siapapun memiliki rasa terhadapku pun berjuang demi rasa itu karena semua normal bagi manusia. Tapi, aku juga punya hak untuk memilih dan berprinsip."...
...-Azalia Atmadja-...
Suara lenguhan dari gadis berbaju putih terdengar. Kelopak mata yang semula tertutup rapat kini bergerak seakan berusaha untuk terbuka.
Rafka dengan sabar menunggu gadis itu bangun. "Lia?" panggilnya lembut.
Objek yang dipanggil perlahan membuka matanya. Menetralkan cahaya yang masuk ke dalam retina. "Aku di mana?" tanya Azalia.
"Kamu di klinik kampus, tadi kamu pingsan. Asam lambung kamu naik," ucap Rafka. "Maaf, gara-gara aku asam lambung kamu kambuh," imbuhnya seraya menatap manik cokelat milik Azalia.
"Bukan salah kamu. Terima kasih sudah membawaku kemari. Aku harus pergi sekarang." Azalia harus segera pulang, tak ingin Sesil tambah murka padanya.
"Kamu makan dulu, aku sudah belikan kamu makanan. Tolong jangan menolak, ini demi kebaikan kamu." Dengan penuh kelembutan Rafka membantu Azalia untuk duduk.
Rafka tak membiarkan Azalia makan sendiri, ia menyuapi gadis itu dengan penuh kasih sayang. Azalia menolak dengan keras, tetapi Rafka tetap memaksa. Dengan sangat terpaksa ia membiarkan Rafka dengan keinginannya.
Tiba-tiba saja, jantung Azalia berdetak dengan cepat. 'Kenapa denganku?' batinnya.
Tangannya memegang dada sebelah kiri seraya menunduk, membuat Rafka menatapnya dengan alis hampir bertautan.
"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mau aku panggilkan Dokter?" tanya Rafka yang dibalas gelengan oleh Azalia.
"Beneran? Serius?"
"Iya, Rafka."
"Ya, sudah kamu makan lagi, ya. Tinggal sedikit. Habis itu kamu aku antar dan tidak ada penolakan, titik!"
Azalia menghembuskan napas kasar. Terpaksa ia menerima. Dipikir-pikir lagi, dia di antar atau tidak pasti tetap akan kena marah.
"Terima kasih," ucap Azalia tulus setelah makanan habis.
"Sama-sama." Tangan Rafka terulur mengusap kepala Azalia.
***
Bagaskara masih bersinar terang di antara arakan awan ke arah timur, padahal waktu telah menunjukkan pukul dua siang.
Azalia membuka kaca mobil, membiarkan angin masuk menerpa wajahnya seraya menatap jalanan ibu kota Jakarta yang tampak lengang serta bangunan-bangunan pencakar langit yang menjulang.
Lima belas menit telah berlalu, mobil yang dikemudikan Rafka akan memasuki kompleks perumahan yang ditempati oleh keluarga Azalia.
Tiba di pertigaan, Azalia meminta untuk berhenti. "Kenapa? Padahal bentar lagi sampai, loh. Tinggal belok kanan aja kan?" tanya Rafka.
"Iya, benar. Tapi, lebih baik kamu segera pulang. Terima kasih atas tumpangannya. Aku akan jalan kaki sampai rumah."
"Yakin nggak apa-apa?" Rafka memastikan lagi dan dibalas anggukan oleh Azalia.
"Baiklah." Rafka menarik napas sebentar mengisi rongga dada dengan oksigen sebanyak-banyaknya. "Lia," panggil Rafka sebelum gadis itu turun.
Azalia menoleh, menatap seolah bertanya ada apa. "Kabari aku apapun yang terjadi sama kamu, ya. Soal aku mencintai kamu, itu benar. Aku mohon, jangan menghindar apalagi menolakku di saat kamu tidak berusaha membuka hati. Aku harap kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa meraih hatimu, Azalia," tutur Rafka seraya menatap dalam manik cokelat itu.
"Aku tidak akan berjanji untuk sesuatu yang belum pasti bisa aku buktikan. Aku tidak melarang siapapun memiliki rasa terhadapku pun berjuang demi rasa itu karena semua normal bagi manusia. Tapi, aku juga punya hak untuk memilih dan berprinsip. Maaf jika suatu hari nanti perasaanmu masih tak terbalaskan. Sekali lagi, terima kasih atas tumpangannya. Permisi." Azalia langsung keluar dan berjalan menuju rumahnya. Rumah yang sudah seperti neraka baginya.
Sementara Rafka, ia terus menatap punggung gadis itu hingga hilang di pertigaan itu.
"Mungkinkah itu sebuah harapan bahwa aku bisa meraihmu? Kuharap begitu, Azalia," lirih Rafka.
Rafka pun melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan kompleks kediaman gadis pujaannya.
***
"Dasar sialan! Perempuan murahan! Gue udah bilang menjauh dari Rafka!" Sesil langsung menjambak rambut Azalia begitu gadis itu tiba di depan rumah.
"Ampun, Sil. Aku sudah berusaha menghindar. Tapi, dia yang terus mendekati aku. Lepas, Sil. Sakit." Azalia berusaha melepaskan tangan Sesil dari rambutnya, tetapi tak bisa. Tenaganya yang masih belum cukup kuat tak mampu melawan.
Sesil langsung mendorong Azalia hingga gadis itu tersungkur. Tak sampai di situ, Sesil langsung menyiram Azalia menggunakan selang air untuk menyiram tanaman.
"Sil, cukup. Tolong, badanku ... sedang ... tidak sehat," ucap Azalia terbata di antara percikan air yang mengenai wajahnya.
"Bodo amat! Hati gue lebih sakit karena lo terlalu caper ke Rafka. Alasan lo klasik sampe pura-pura pingsan segala!"
Azalia yang sudah tak tahan lagi langsung mengepalkan kedua tangannya. Rasanya cukup sudah penderitaannya selama ini. Selalu saja salah dan harus mengalah, bahkan di kampus sering di-bully sehingga gudanglah tempat ia berlindung setelah mata kuliah pertama dan kedua selesai.
"Cukup, Sesil! Iya, gue memang pura-pura pingsan biar Rafka perhatian ke gue. Kenapa, lo cemburu? Hahaha, seorang Sesil Atmadja dengan tampilan modis dan menjadi idola kampus takut kalah saing sama upik abu kek gue. Lucu lo, Sil. Lo bukan saingan gue, Sesil Atmadja!" Entah kekuatan dari mana, Azalia mengucapkan kalimat yang membuat Sesil kian murka. Terlebih mendengar kalimat bukan saingannya.
Plak!
Tamparan keras mengenai pipi mulus Azalia hingga meninggalkan bekas. Bukan Sesil pelakunya melainkan mamanya.
"Apa kamu bilang?" Pertanyaan itu bersamaan dengan tarikan di rambut Azalia membuat sang empu mendongak menatap mamanya.
Gadis itu menggeleng penuh ketakutan, air matanya mengalir tanpa bisa dihentikan. Nyali yang sempat hadir seketika menciut.
"Katakan apa yang kamu bilang barusan!" tegas Mama Lana seraya menguatkan jambakannya.
"Berani kamu sama anak saya itu berarti kamu berani melawan saya! Saya bisa membunuh kamu jika kamu berani melawan di rumah ini!" Kalimat tegas dan penuh penekanan itu membuat Azalia semakin takut.
"Ampun, Ma. Aku ... aku akan menuruti perkataan Mama. Tapi, tolong ampuni aku," rintih Azalia.
"Bagus, sekarang kamu masak. Saya lapar!"
"Awas lo masih dekat sama Rafka. Gue bisa melakukan yang lebih dari ini!" tegas Sesil penuh penekanan.
Setelah mengatakan itu, Mama Lana dan Sesil melangkah memasuki rumah, meninggalkan Azalia yang terlihat sangat kacau.
"Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini? Kenapa Mama, Sesil, dan Papa seolah membenciku? Kak Ilyas, aku kangen," lirih Azalia.
Ilyas adalah kakaknya dan Sesil yang sekarang sedang bekerja di luar negeri. Hanya Ilyas yang sangat menyayangi Azalia. Tempat ia mengeluh dan bermanja. Sampai tiba suatu hari Ilyas berkata akan bekerja di luar negeri, hidup Azalia semakin hampa.
***
Hidup setiap manusia berbeda, jika di satu sisi sedang menangis meratapi takdir, akan berbanding terbalik dengan sisi sebelahnya yang sedang merasakan kebahagiaan dan tertawa tanpa beban.
Bagaskara perlahan menepi di ufuk barat, pertanda dewi malam akan bertandang. Kicauan burung menambah indah suasana sore ini.
Sebuah mobil telah terparkir cantik di garasi sebuah rumah yang terlihat cukup mewah. Tampak seorang pemuda keluar dari mobil hitam tersebut dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.
"Selamat sore, Pak Rahmat," sapanya pada petugas keamanan di rumah itu.
"Sore juga, Mas Rafka," balas Pak Rahmat.
Rafka bersiul seraya masuk ke rumah. "Yuhuuu! Spadaaa! Anak paling gantengnya Bunda Raya dan Ayah Azka pulaaang. Tolong disambut, dong," teriak Rafka membuat ayahnya yang baru tiba di belakangnya langsung menjewer telinganya.
"Aduh, aduh. Woy, lepasin sakit tahu!" decak Rafka.
"Kelakuan siapa, sih, ini...." Nyali Rafka langsung menciut saat tahu siapa pelakunya. Suaranya kian mengecil di akhir.
Sang Ayah langsung menatap tajam. "Apa? Nggak terima telinganya dijewer? Kamu masuk ke rumah bukannya ucap salam malah main teriak-teriak kayak orang utan," kesal Ayah Azka.
"Jewer lagi aja, Yah. Kalau perlu dilepas telinganya," ledek Rangga yang baru saja dari dapur—adik Rafka—seraya tertawa
"Diam lo bocil!" ketus Rafka.
"Dih, bocil teriak bocil. Kalau nggak bocil, nggak mungkin jomblo sampe dunia sekarang, Kak," ejek Rangga seraya berlari dan tertawa terbahak-bahak.
Sementara yang diejek terlihat sangat kesal sekali, seandainya tidak ada ayah mereka mungkin saja ia telah berteriak.
"Ada apa ini? Kenapa malah berdiri di sini, sih?" tanya Bunda Raya.
"Anak kamu itu, Bun. Sudah seperti orang utan, masuk rumah teriak-teriak," kesal Ayah Azka, lalu melangkah menuju kamar.
"Hahaha, Kakak orang utan kata Ayah. Orang utan mukanya kayak gimana, ya, Bunda?" Cahya, adik bungsunya yang masih sekolah dasar ikut mengejek Rafka.
Cahya yang melihat sang kakak semakin kesal langsung berlari seraya menjulurkan lidahnya ke arah Rafka.
"Bun, aku di-bully sama mereka. Nggak ada niat membela gitu?" adu Rafka dengan wajah sesedih mungkin.
"Nggak! Bunda heran juga sama kamu. Di rumah ada aja ulah kamu bikin Ayah kesal. Sikap manjanya kadang nggak ketulungan. Bunda penasaran gimana kalau kamu punya pacar. Oh, atau jangan-jangan kamu jomblo karena sikap tengil kamu, ya? Makanya cewek satu pun nggak dapat," ujar Bunda Raya dalam satu tarikan napas.
'Ini benar bundaku bukan, sih? Bisa-bisanya anaknya yang ganteng ini dibilang tengil. Mana ditambah kata jomblo pula, walaupun benar, sih. Eh, tapi bentar lagi nggak bakal jomblo," batin Rafka.
"Ka ...."
"Bun, aku capek mau istirahat bentar, ya. Ngomelnya dilanjut malam atau nggak besok pagi saja." Rafka langsung memotong perkataan bundanya dan pergi ke kamar miliknya di lantai dua.
'Mas Azka bilangnya anak aku. Tapi, saat diomelin sifatnya kayak dia. Emang ada, ya, orang marah-marah disuruh berhenti dan dilanjut lagi sebentar. Haish! Pusing aku lama-lama.' Bunda Raya menggeleng melihat tingkah keluarga kecilnya. Namun, walaupun begitu mereka tetap bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Mbak....
nyimak yaaa
2023-07-13
0