NovelToon NovelToon

Perempuan Di Ujung Senja

Pengakuan

Note : bacanya jangan setengah-setengah, ya. Ikuti terus cerita ini sampai tamat.

...Happy reading 😘...

..."Bisakah aku menganggap dirinya sebagai matahari dan pelangi yang akan membawakan kecerahan di hari-hari suramku?"...

...-Azalia Atmadja-...

Rintihan seorang gadis harus menjadi pembuka pagi ini. Tetesan air mata tak ada artinya bagi mereka yang membenci. Entah alasan apa. Azalia tak tahu.

"Kamu semakin hari dikasihani malah makin menjadi, ya! Dasar anak tidak tahu terima kasih!" Emosi Lana kian tak terkendali, tangan kanannya menjambak rambut Azalia yang dikuncir kuda.

"Ampun, Ma. Sakit," rintih Azalia yang tak dipedulikan oleh mamanya.

"Dia makin ngelunjak, Ma. Kemarin aku sampai di keluarin dari kelas hanya karena ini orang nggak ngerjain tugas aku. Malu banget, Ma. Mana ada Rafka lagi," adu Sesil dengan raut wajah yang kesal.

"Nggak, Ma. Sesil kemarin nggak memberikan tugasnya sama aku di kampus-aaa!" Tarikan yang kuat di rambutnya membuat Azalia memekik seraya menutup mata, mencoba menahan rasa sakit.

"Halah, alasan, lo! Harusnya lo sendiri bisa langsung ambil ke gue, bukan harus nunggu gue yang ngasih. Siksa aja, Ma."

"Dasar anak nggak tahu terima kasih! Mulai sekarang, motor kamu Mama sita dan kamu nggak akan ada uang saku selama sebulan!" Lana menghempaskan Azalia hingga gadis itu tersungkur dan punggungnya mengenai kursi makan. Sakit tak hanya batin, tetapi juga fisik. Namun, semua sudah bukan hal lumrah baginya. Sejak kecil pun, ia sudah mendapatkan hal serupa.

"Ayo, Sayang. Nanti kamu telat ke kampus." Ibu dan anak itu pergi meninggalkan Azalia yang menangis sendirian di ruang makan.

"Apa salahku? Kenapa aku sangat dibenci di keluarga ini? Tak adakah rasa cinta mereka untukku sedikit saja?" tanya Azalia, entah pada siapa dengan deraian air mata.

Sandi, sang papa saat ini sedang berada di luar kota menghadiri pertemuan bisnis. Rasanya percuma juga jika papanya berada di rumah. Semua sama saja. Dia diperlakukan selayaknya pembantu.

Sekuat tenaga gadis berkulit putih itu berusaha berdiri, menghapus air mata dan mencoba menguatkan hati.

Hari ini dia harus segera sampai di kampus. Setengah jam lagi kelas akan dimulai dan itu jadwal Pak Alham, dosen yang terkenal dengan kedisiplinannya.

***

"Permisi, Pak," ucap Azalia dengan perasaan tak menentu. Gugup kian membungkus raganya yang rapuh.

"Jangan mengganggu kelas saya!" Suara tegas dan dingin itu mampu membuat nyali Azalia semakin menciut.

"Minggir dari pintu itu, kamu menghalangi udara yang masuk!" imbuh Pak Alham tanpa menatap objek yang dituju.

"Pak ...."

"Kamu tidak punya telinga? Jangan membuat saya mengulang kalimat yang sama, Azalia!" Tatapan tajam Alham layangkan pada Azalia yang menahan tangis.

Para mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas menatap gadis yang menunduk itu dengan perasaan yang berbeda-beda.

Dari kursi paling kanan dekat jendela, Sesil menatap Azalia dengan tatapan merendahkan dan senyum yang mengejek. 'Bagus. Gue berharap lo nggak dikasih ampun sama Pak Alham,' batin Sesil.

Sementara Rafka, ia tak sengaja melihat ada tanda memar di lengan kanan Azalia saat gadis itu menggerakkan tangannya. 'Ada apa dengannya?' tanya Rafka dalam hati.

"Kerjakan tugas kalian!"

Dengan langkah gontai Azalia mundur perlahan dari pintu kelas dan melangkah menuju gudang kampus tempat ia menyendiri dan tak seorang pun yang tahu.

Mentari bersinar dengan cerah. Kehangatannya terasa saat menerpa indra peraba. Namun, tak mampu menghangatkan hati dan juga hari-hari gadis berkulit putih tersebut.

***

Hari menjelang siang, pemuda jangkung berhidung mancung berdiri menatap sekitar sambil mengatur napas. 'Kamu di mana, Lia? Harus ke mana aku mencari kamu lagi? Bahkan nomormu juga tidak bisa dihubungi,' batin Rafka.

"Rafka!" panggil Sesil setengah berlari menuju ke arah Rafka.

"Ada apa?" tanya pemuda berkemeja hitam itu.

"Makan siang, yuk! Kebetulan ada kafe yang baru buka dekat Masjid Agung," ajak Sesil.

"Maaf, aku sibuk."

Rafka berlalu begitu saja tanpa memedulikan teriakan Sesil.

"Sialan! Apa, sih kurangnya gue, cantik iya, badan bagus juga iya. Tapi, kenapa Rafka selalu nolak gue? Ini pasti gara-gara Azalia. Awas aja lo sampai rumah. Gue pastikan lo akan menderita lebih dari ini," ucap Sesil penuh emosi.

***

Gudang adalah tempat paling dihindari oleh orang-orang. Selain tempatnya yang kotor dan banyak tumpukan barang tak terpakai, hewan-hewan kecil menjadi penghuni di tempat tersebut. Akan tetapi, berbeda dengan Azalia, gadis itu sudah terbiasa dengan ruangan bernama gudang.

Kruuk! Kruuk!

Rasa lapar mendera Azalia yang meringkuk di atas kardus bekas. Ia pun bangun, melihat angka yang ditampilkan pada benda yang melingkar di tangan kirinya. Jam satu siang, selama itukah ia tertidur, pikirnya.

Kembali, suara dari perutnya yang keroncongan terdengar. Azalia membuka tasnya, melihat apakah ada sisa uang dan ternyata tidak ada. Ponselnya lobet sebab semalam ia tak mengisi daya.

"Sebaiknya aku pulang sekarang, takut jika Mama marah lagi kepadaku," lirihnya.

***

Rafka yang masih kelimpungan mencari Azalia tak menyerah begitu saja. Dia harus tahu apa yang terjadi pada Azalia, pemilik hatinya. Ya, Rafka memang telah jatuh cinta pada sosok gadis baik hati itu sejak pertama kali ia melihatnya.

Rasa bahagia akhirnya kembali hadir setelah sebelumnya redup karena gadis cantik bermata bulat itu hilang dari pelupuk mata Rafka. Tuhan mempertemukan mereka pada kelas yang sama saat ia pindah kampus.

"Permisi, Pak. Apa Bapak sudah melihat mahasiswi ini melewati pos di sini?" tanya Rafka pada petugas jaga di pos kampus Universitas Gaharu seraya memperlihatkan foto Azalia yang sedang duduk di taman kampus.

"Bapak tidak ingat. Mahasiswa di sini, kan banyak. Jadi, Bapak kurang yakin kalau sudah melihat apa belum," ujar Pak Rapno petugas jaga.

"Oh, begitu. Terima kasih, Pak."

"Sama-sama."

***

Suasana taman kampus tidak terlalu ramai, Rafka duduk di salah satu bangku yang disediakan. Lama Rafka berada di sana dan saat Rafka hendak melangkah, netranya menatap objek yang sejak tadi ia cari. Wajahnya yang bulat terpapar sinar matahari, menambah kesan cantik pada Azalia. Tapi, sorot mata itu tak lagi teduh saat pertama kali dilihat Rafka. Melainkan menyimpan sejuta kesedihan dan Rafka bisa melihat itu. Langsung saja pemuda itu menghampiri Azalia.

"Lia, kamu dari mana saja?" Tampak guratan khawatir di wajah tampan Rafka.

Tangannya terulur memegang lengan Azalia, membuat gadis itu meringis.

"Tangan kamu kenapa, Lia?"

Azalia langsung melepaskan tangan Rafka. "Aku nggak apa-apa. Permisi," ucapnya hendak melangkah pergi.

"Aku antar kamu pulang, ya?" tawar Rafka penuh kelembutan.

Saat akan menjawab, Azalia tak sengaja melihat Sesil dan dua temannya menatap mereka dengan penuh kebencian. 'Apalagi ini, Ya Allah?' batinnya menangis. Paham apa yang akan terjadi selanjutnya, ia pun bersikap sangat dingin dengan wajah datarnya.

"Hei, kenapa diam? Aku antar, ya. Aku lihat di parkiran nggak ada motor kamu. Kamu nggak bawa motor, 'kan?" Rafka masih berusaha membujuk.

"Tidak! Terima kasih atas tawarannya, aku bisa pulang sendiri. Kuharap ini menjadi interaksi kita yang terakhir dan jangan ganggu aku!" tegas Azalia.

Sakit karena lapar berusaha ia tahan karena harus meladeni Rafka. Baru saja berbalik dan akan melangkah, Rafka kembali berucap, "Aku akan antar kamu dan kita bisa sekalian mengerjakan tugas yang baru Pak Alham berikan. Kumohon, kali ini saja terima tawaranku. Kamu selalu menolakku, Azalia." Ada nada putus asa pada kalimat terakhirnya.

Ada rasa sedih mendengar kalimat terakhir Rafka. Namun, sebisa mungkin ia harus tetap pada pendiriannya. Menghindar dari Rafka.

"Tugas Pak Alham biar nanti menjadi urusanku. Kau tak perlu ikut campur. Jika kau memohon, aku pun akan memohon padamu, jangan ganggu aku. Sekali lagi jangan ganggu aku!" tegas Azalia tanpa menoleh ke belakang tempat Rafka berdiri.

"Jadi, selama ini kamu menganggapku sebagai pengganggu? Tak adakah kamu merasa sesuatu selain diganggu? Kalaupun aku pengganggu, kenapa saat kerja kelompok kamu tampak nyaman berbicara denganku?" Pertanyaan beruntun Rafka tak mampu dijawab oleh Azalia.

"Kamu pikir aku tidak tahu apa yang sering dilakukan oleh saudaramu? Kamu sering disiksa dengan kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahanmu. Apa itu benar?"

Azalia berbalik menatap tajam kedua manik hitam milik Rafka. Seolah ingin membunuh pemuda itu kewat tatapannya. "Kau tak perlu ikut campur, Rafka! Kuucapkan terima kasih atas semua perhatianmu yang selalu aku tolak selama ini. Mengertilah, posisiku jika kau tahu apa yang selama ini terjadi padaku." Azalia menimpali perkataan Rafka dengan wajah tanpa ekspresi.

Sejak tadi ia ingin segera beranjak dari tempat itu. Seandainya saja bisa menghilang, sudah sejak tadi ia lakukan. Gadis itu tak nyaman dengan tatapan membunuh milik Sesil yang tak jauh dari mereka. Asam lambungnya sudah sejak tadi mendera.

"Azalia pahami sedikit sikapku padamu, tak bisakah kau peka sedikit saja? Aku mencintaimu, Azalia. Aku mencintaimu, mengapa kau tak paham akan hal itu?" tanya Rafka penuh keputusan asaan. Netranya berkaca-kaca menatap Azalia.

Ungkapan Rafka membuat suasana menjadi tenang. Suaranya yang lantang membuat orang-orang sekitar diam dan menatap pada objek yang sama, yaitu Azalia. Banyak yang menatap tak suka pada Azalia. Bagaimana tidak, Rafka adalah salah satu mahasiswa populer sejak ia mulai kuliah di kampus itu.

Sementara Sesil, hatinya terbakar api cemburu mendengar bahwa lelaki yang ia cintai lebih memilih mencintai orang lain. Tangannya terkepal erat.

Azalia diam dan menatap dalam kedua manik indah itu. Mencari kebohongan di sana, tetapi tak menemukannya. Ia tak menyangka akan mendapat pernyataan yang tak pernah ia harapkan. Terlebih dari Rafka, ia cukup sadar diri. Dari penampilan saja, sangat tak pantas untuk bersanding dengan pemuda itu.

"Aku cinta kamu sejak pertama aku melihatmu bermain bersama anak-anak di taman kota saat senja mulai menyapa. Sejak hari itu senyummu tak pernah lepas dari ingatanku. Bayanganmu tertawa menghiasi hariku, Azalia. Besoknya aku ke sana berharap dapat melihatmu lagi. Tapi, hingga hari-hari berikutnya dirimu hilang bak ditelan bumi. Semangatku hilang sejak kamu tak ada dalam pandanganku. Konyol memang. Tapi, itulah yang aku rasakan. Kamu menjadi matahari dan awan hitam bagiku di saat bersamaan, tanpa kutahu jati dirimu bahkan namamu pun aku tak tahu."

Hingga hari pertama aku masuk ke kampus ini, hatiku sangat bahagia. Matahari yang sempat tertutup awan hitam telah bersinar kembali. Aku berada dalam kelas yang sama denganmu, Azalia," ungkap Rafka.

Air mata Azalia menetes tanpa diminta. 'Benarkah yang diucapkan oleh Rafka? Bisakah aku menganggap dirinya sebagai matahari dan pelangiku yang akan membawakan kecerahan di hari-hari suramku?' tanyanya dalam hati. Jiwanya menghangat mendengar ungkapan itu. Ia terharu, ternyata masih ada orang yang mengharapkan kehadirannya.

"Rafka ...," lirih Azalia seraya menatap pemuda di depannya. Pusing mulai menghinggapinya dan pandangan mulai mengabur.

"Hari ini kamu mengatakan bahwa aku hanyalah seorang pengganggu. Selama enam bulan aku hanyalah pengganggu buatmu. Tak mengapa, kuterima perkataanmu. Tapi, ketahuilah, Lia. Aku akan tetap mencintaimu dari kemarin, hari ini, besok, dan selamanya. Hanya satu yang kuminta padamu, izinkan aku menyimpan cinta ini hanya untukmu dan biarkan aku berjuang semampuku untuk mendapatkan cintamu, Azalia Atmadja."

Dengan sekuat tenaga gadis itu menahan rasa pusing, baru akan membuka suara, tubuhnya langsung ambruk tak sadarkan diri. Beruntung Rafka sigap menangkapnya.

"Lia! Lia, bangun! Azalia!" panggil Rafka seraya menepuk pelan pipi Azalia. "Badannya panas sekali," gumamnya penuh kekhawatiran.

Tanpa membuang waktu, Rafka langsung menggendong gadis itu untuk di bawa ke klinik kampus yang terletak di samping. Dalam hatinya terus saja mengatakan maaf juga doa agar Azalia tak apa-apa.

Sesil semakin murka melihat pemandangan itu. "Lo harus segera bertindak, Sil," ucap Manda.

"Rafka ganteng banget, sumpah," timpal Caca dan langsung mendapatkan pukulan serta tatapan tajam dari Sesil. Sedangkan yang ditatap menyengir tanpa dosa.

"Lihat saja nanti. Lo berdua harus bantuin gue." Senyum jahat tercetak di wajah cantik Sesil dan kedua temannya mengangguk.

Tak Ingin Berjanji

..."Aku tidak akan berjanji untuk sesuatu yang belum pasti bisa aku buktikan. Aku tidak melarang siapapun memiliki rasa terhadapku pun berjuang demi rasa itu karena semua normal bagi manusia. Tapi, aku juga punya hak untuk memilih dan berprinsip."...

...-Azalia Atmadja-...

Suara lenguhan dari gadis berbaju putih terdengar. Kelopak mata yang semula tertutup rapat kini bergerak seakan berusaha untuk terbuka.

Rafka dengan sabar menunggu gadis itu bangun. "Lia?" panggilnya lembut.

Objek yang dipanggil perlahan membuka matanya. Menetralkan cahaya yang masuk ke dalam retina. "Aku di mana?" tanya Azalia.

"Kamu di klinik kampus, tadi kamu pingsan. Asam lambung kamu naik," ucap Rafka. "Maaf, gara-gara aku asam lambung kamu kambuh," imbuhnya seraya menatap manik cokelat milik Azalia.

"Bukan salah kamu. Terima kasih sudah membawaku kemari. Aku harus pergi sekarang." Azalia harus segera pulang, tak ingin Sesil tambah murka padanya.

"Kamu makan dulu, aku sudah belikan kamu makanan. Tolong jangan menolak, ini demi kebaikan kamu." Dengan penuh kelembutan Rafka membantu Azalia untuk duduk.

Rafka tak membiarkan Azalia makan sendiri, ia menyuapi gadis itu dengan penuh kasih sayang. Azalia menolak dengan keras, tetapi Rafka tetap memaksa. Dengan sangat terpaksa ia membiarkan Rafka dengan keinginannya.

Tiba-tiba saja, jantung Azalia berdetak dengan cepat. 'Kenapa denganku?' batinnya.

Tangannya memegang dada sebelah kiri seraya menunduk, membuat Rafka menatapnya dengan alis hampir bertautan.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mau aku panggilkan Dokter?" tanya Rafka yang dibalas gelengan oleh Azalia.

"Beneran? Serius?"

"Iya, Rafka."

"Ya, sudah kamu makan lagi, ya. Tinggal sedikit. Habis itu kamu aku antar dan tidak ada penolakan, titik!"

Azalia menghembuskan napas kasar. Terpaksa ia menerima. Dipikir-pikir lagi, dia di antar atau tidak pasti tetap akan kena marah.

"Terima kasih," ucap Azalia tulus setelah makanan habis.

"Sama-sama." Tangan Rafka terulur mengusap kepala Azalia.

***

Bagaskara masih bersinar terang di antara arakan awan ke arah timur, padahal waktu telah menunjukkan pukul dua siang.

Azalia membuka kaca mobil, membiarkan angin masuk menerpa wajahnya seraya menatap jalanan ibu kota Jakarta yang tampak lengang serta bangunan-bangunan pencakar langit yang menjulang.

Lima belas menit telah berlalu, mobil yang dikemudikan Rafka akan memasuki kompleks perumahan yang ditempati oleh keluarga Azalia.

Tiba di pertigaan, Azalia meminta untuk berhenti. "Kenapa? Padahal bentar lagi sampai, loh. Tinggal belok kanan aja kan?" tanya Rafka.

"Iya, benar. Tapi, lebih baik kamu segera pulang. Terima kasih atas tumpangannya. Aku akan jalan kaki sampai rumah."

"Yakin nggak apa-apa?" Rafka memastikan lagi dan dibalas anggukan oleh Azalia.

"Baiklah." Rafka menarik napas sebentar mengisi rongga dada dengan oksigen sebanyak-banyaknya. "Lia," panggil Rafka sebelum gadis itu turun.

Azalia menoleh, menatap seolah bertanya ada apa. "Kabari aku apapun yang terjadi sama kamu, ya. Soal aku mencintai kamu, itu benar. Aku mohon, jangan menghindar apalagi menolakku di saat kamu tidak berusaha membuka hati. Aku harap kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa meraih hatimu, Azalia," tutur Rafka seraya menatap dalam manik cokelat itu.

"Aku tidak akan berjanji untuk sesuatu yang belum pasti bisa aku buktikan. Aku tidak melarang siapapun memiliki rasa terhadapku pun berjuang demi rasa itu karena semua normal bagi manusia. Tapi, aku juga punya hak untuk memilih dan berprinsip. Maaf jika suatu hari nanti perasaanmu masih tak terbalaskan. Sekali lagi, terima kasih atas tumpangannya. Permisi." Azalia langsung keluar dan berjalan menuju rumahnya. Rumah yang sudah seperti neraka baginya.

Sementara Rafka, ia terus menatap punggung gadis itu hingga hilang di pertigaan itu.

"Mungkinkah itu sebuah harapan bahwa aku bisa meraihmu? Kuharap begitu, Azalia," lirih Rafka.

Rafka pun melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan kompleks kediaman gadis pujaannya.

***

"Dasar sialan! Perempuan murahan! Gue udah bilang menjauh dari Rafka!" Sesil langsung menjambak rambut Azalia begitu gadis itu tiba di depan rumah.

"Ampun, Sil. Aku sudah berusaha menghindar. Tapi, dia yang terus mendekati aku. Lepas, Sil. Sakit." Azalia berusaha melepaskan tangan Sesil dari rambutnya, tetapi tak bisa. Tenaganya yang masih belum cukup kuat tak mampu melawan.

Sesil langsung mendorong Azalia hingga gadis itu tersungkur. Tak sampai di situ, Sesil langsung menyiram Azalia menggunakan selang air untuk menyiram tanaman.

"Sil, cukup. Tolong, badanku ... sedang ... tidak sehat," ucap Azalia terbata di antara percikan air yang mengenai wajahnya.

"Bodo amat! Hati gue lebih sakit karena lo terlalu caper ke Rafka. Alasan lo klasik sampe pura-pura pingsan segala!"

Azalia yang sudah tak tahan lagi langsung mengepalkan kedua tangannya. Rasanya cukup sudah penderitaannya selama ini. Selalu saja salah dan harus mengalah, bahkan di kampus sering di-bully sehingga gudanglah tempat ia berlindung setelah mata kuliah pertama dan kedua selesai.

"Cukup, Sesil! Iya, gue memang pura-pura pingsan biar Rafka perhatian ke gue. Kenapa, lo cemburu? Hahaha, seorang Sesil Atmadja dengan tampilan modis dan menjadi idola kampus takut kalah saing sama upik abu kek gue. Lucu lo, Sil. Lo bukan saingan gue, Sesil Atmadja!" Entah kekuatan dari mana, Azalia mengucapkan kalimat yang membuat Sesil kian murka. Terlebih mendengar kalimat bukan saingannya.

Plak!

Tamparan keras mengenai pipi mulus Azalia hingga meninggalkan bekas. Bukan Sesil pelakunya melainkan mamanya.

"Apa kamu bilang?" Pertanyaan itu bersamaan dengan tarikan di rambut Azalia membuat sang empu mendongak menatap mamanya.

Gadis itu menggeleng penuh ketakutan, air matanya mengalir tanpa bisa dihentikan. Nyali yang sempat hadir seketika menciut.

"Katakan apa yang kamu bilang barusan!" tegas Mama Lana seraya menguatkan jambakannya.

"Berani kamu sama anak saya itu berarti kamu berani melawan saya! Saya bisa membunuh kamu jika kamu berani melawan di rumah ini!" Kalimat tegas dan penuh penekanan itu membuat Azalia semakin takut.

"Ampun, Ma. Aku ... aku akan menuruti perkataan Mama. Tapi, tolong ampuni aku," rintih Azalia.

"Bagus, sekarang kamu masak. Saya lapar!"

"Awas lo masih dekat sama Rafka. Gue bisa melakukan yang lebih dari ini!" tegas Sesil penuh penekanan.

Setelah mengatakan itu, Mama Lana dan Sesil melangkah memasuki rumah, meninggalkan Azalia yang terlihat sangat kacau.

"Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini? Kenapa Mama, Sesil, dan Papa seolah membenciku? Kak Ilyas, aku kangen," lirih Azalia.

Ilyas adalah kakaknya dan Sesil yang sekarang sedang bekerja di luar negeri. Hanya Ilyas yang sangat menyayangi Azalia. Tempat ia mengeluh dan bermanja. Sampai tiba suatu hari Ilyas berkata akan bekerja di luar negeri, hidup Azalia semakin hampa.

***

Hidup setiap manusia berbeda, jika di satu sisi sedang menangis meratapi takdir, akan berbanding terbalik dengan sisi sebelahnya yang sedang merasakan kebahagiaan dan tertawa tanpa beban.

Bagaskara perlahan menepi di ufuk barat, pertanda dewi malam akan bertandang. Kicauan burung menambah indah suasana sore ini.

Sebuah mobil telah terparkir cantik di garasi sebuah rumah yang terlihat cukup mewah. Tampak seorang pemuda keluar dari mobil hitam tersebut dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.

"Selamat sore, Pak Rahmat," sapanya pada petugas keamanan di rumah itu.

"Sore juga, Mas Rafka," balas Pak Rahmat.

Rafka bersiul seraya masuk ke rumah. "Yuhuuu! Spadaaa! Anak paling gantengnya Bunda Raya dan Ayah Azka pulaaang. Tolong disambut, dong," teriak Rafka membuat ayahnya yang baru tiba di belakangnya langsung menjewer telinganya.

"Aduh, aduh. Woy, lepasin sakit tahu!" decak Rafka.

"Kelakuan siapa, sih, ini...." Nyali Rafka langsung menciut saat tahu siapa pelakunya. Suaranya kian mengecil di akhir.

Sang Ayah langsung menatap tajam. "Apa? Nggak terima telinganya dijewer? Kamu masuk ke rumah bukannya ucap salam malah main teriak-teriak kayak orang utan," kesal Ayah Azka.

"Jewer lagi aja, Yah. Kalau perlu dilepas telinganya," ledek Rangga yang baru saja dari dapur—adik Rafka—seraya tertawa

"Diam lo bocil!" ketus Rafka.

"Dih, bocil teriak bocil. Kalau nggak bocil, nggak mungkin jomblo sampe dunia sekarang, Kak," ejek Rangga seraya berlari dan tertawa terbahak-bahak.

Sementara yang diejek terlihat sangat kesal sekali, seandainya tidak ada ayah mereka mungkin saja ia telah berteriak.

"Ada apa ini? Kenapa malah berdiri di sini, sih?" tanya Bunda Raya.

"Anak kamu itu, Bun. Sudah seperti orang utan, masuk rumah teriak-teriak," kesal Ayah Azka, lalu melangkah menuju kamar.

"Hahaha, Kakak orang utan kata Ayah. Orang utan mukanya kayak gimana, ya, Bunda?" Cahya, adik bungsunya yang masih sekolah dasar ikut mengejek Rafka.

Cahya yang melihat sang kakak semakin kesal langsung berlari seraya menjulurkan lidahnya ke arah Rafka.

"Bun, aku di-bully sama mereka. Nggak ada niat membela gitu?" adu Rafka dengan wajah sesedih mungkin.

"Nggak! Bunda heran juga sama kamu. Di rumah ada aja ulah kamu bikin Ayah kesal. Sikap manjanya kadang nggak ketulungan. Bunda penasaran gimana kalau kamu punya pacar. Oh, atau jangan-jangan kamu jomblo karena sikap tengil kamu, ya? Makanya cewek satu pun nggak dapat," ujar Bunda Raya dalam satu tarikan napas.

'Ini benar bundaku bukan, sih? Bisa-bisanya anaknya yang ganteng ini dibilang tengil. Mana ditambah kata jomblo pula, walaupun benar, sih. Eh, tapi bentar lagi nggak bakal jomblo," batin Rafka.

"Ka ...."

"Bun, aku capek mau istirahat bentar, ya. Ngomelnya dilanjut malam atau nggak besok pagi saja." Rafka langsung memotong perkataan bundanya dan pergi ke kamar miliknya di lantai dua.

'Mas Azka bilangnya anak aku. Tapi, saat diomelin sifatnya kayak dia. Emang ada, ya, orang marah-marah disuruh berhenti dan dilanjut lagi sebentar. Haish! Pusing aku lama-lama.' Bunda Raya menggeleng melihat tingkah keluarga kecilnya. Namun, walaupun begitu mereka tetap bahagia.

Kemarahan Rafka

*Sebelum membaca, jangan lupa follow akun author, ya. Biar semangat 🥰🤭. Like dan komen juga.😘

...🍁Happy reading🍁...

..."Harapanku adalah melihatmu tersenyum tanpa paksa. Mendengar tawamu tanpa beban. Jadilah batu karang yang selalu tegar."...

...-Rafka Sanjaya-...

Langit malam belum terlalu pekat, hamparan bintang penuhi angkasa. Sang rembulan bersinar terang. Suara jangkrik dari kebun belakang terdengar sampai ke dapur.

Seorang gadis berkuncir kuda tengah menyiapkan makanan. Namun, sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Akibat rasa pusing, Azalia tak mampu menyeimbangkan tubuhnya hingga sebuah mangkuk berisi sup jatuh dari tangannya dan menimbulkan suara gaduh.

"Apa-apaan ini?" hardik Mama Lana. "Kamu ini bisanya apa, hah?!" imbuhnya penuh emosi.

Tanpa menunggu gadis itu membela, Mama Lana langsung menarik rambut Azalia dan membawa gadis malang itu ke gudang.

"Ampun, Ma. Lia ... Lia nggak sengaja," ucap Azalia terbata.

Mama Lana menghiraukan rintihan pilu gadis itu, seolah telinganya telah tuli. Begitu sampai gudang, ia langsung mendorong tubuh rapuh itu dengan kasar.

"Nggak ada jatah makanan untuk kamu malam ini dan kamu tidur di sini!" bentak Mama Lana.

Gadis malang itu pasrah akan apa yang terjadi. Ingin melawan, tetapi tak cukup kekuatan dan tak ada yang bisa menjadi tameng untuknya.

Azalia hanya bisa merenung akan hidupnya yang tak seperti orang lain. Ingin meraung dan menyalahkan takdir. Tapi, tak bisa. Semua sudah menjadi kehendak-Nya. Ia hanya harus kuat dan sabar.

***

'Aku bukan seorang pujangga yang mahir berbahasa cinta. Mengungkap rasa dalam untaian kata. Mengukir kasih lewat indahnya deretan diksi.

Akan tetapi, aku hanyalah seseorang yang menginginkan kebahagiaan tanpa kesedihan.

Duhai gadis ayu ....

Lihatlah, diri ini yang begitu merindu

Berharap pilu 'kan sirna dan berlalu

Layaknya pelangi setelah hujan'

Sebuah buku dengan sampul gambar daun maple telah tertutup rapat setelah sebuah puisi tertoreh di lembar yang kosong.

Rafka tersenyum mengingat mulai besok ia akan memperjuangkan cintanya. Tanpa tahu saat ini gadis pujaan hatinya tengah meringkuk kedinginan serta kelaparan di gudang.

***

Arunika perlahan memancarkan cahayanya, membelah pekat malam penuh kelam bagi seorang gadis bernama Azalia.

Waktu masih menunjukkan pukul 06:30 WIB, tetapi gadis itu telah berjalan sekitar setengah jam. Bulir keringat mengucur di pelipisnya.

Beruntung, gudang yang sudah menjadi kamar keduanya tak dikunci. Membuat gadis itu bisa menyiapkan sarapan ketika waktu Subuh menjelang.

Biarlah ia akan dimarah dan dipukul nanti. Terpenting dirinya harus segera sampai di kampus sebelum waktu belajar tiba.

Sebuah gedung bertuliskan Universitas Gaharu telah menyambut gadis berbaju merah. Senyumnya merekah tanpa beban. 'Alhamdulillah, akhirnya aku sampai. Walaupun agak sedikit pusing. Ya Allah, berilah hamba kekuatan,' lirihnya dalam hati.

Sejuk pepohonan kampus terasa oleh indra peraba Azalia. Ia berusaha untuk cepat sampai di kelas sebelum semakin banyak mahasiswa yang datang dan suhu tubuhnya naik.

***

Bisik-bisik suara mahasiswa yang mulai berdatangan mengusik tidur seorang mahasiswi berada di kursi paling belakang sebelah kiri. Terlebih ada yang menyebutkan namanya.

"Eh, tahu nggak? Kemarin katanya Rafka nembak si Azalia, loh."

"Ha? Serius? Di mana?"

"Di taman kampus. Heran gue sama si Rafka. Cantik nggak, tampilan modis apalagi. Perlu periksa mata kayaknya si Rafka."

Azalia mendengar semuanya, tetapi bersikap tuli mungkin lebih baik. Terlebih badannya serasa meriang. Beruntung dirinya telah sarapan meskipun tak meminum obat.

"Kerjain tugas gue!" perintah Sesil yang langsung melempar bukunya ke kepala Azalia.

Azalia dengan penuh kesabaran mendongak menatap sang pelaku yang berdiri dengan kedua temannya. "Maaf, Sil. Kepalaku pusing kamu menyalin punyaku saja, ya." Azalia tak berbohong. Namun, Sesil seolah tak peduli.

"Siapa lo nyuruh-nyuruh gue, hah?! Pokoknya sebelum Pak Alham masuk, tugas gue sudah selesai!"

"Apa-apaan lo nyuruh dia!" Suara bariton dari seseorang yang berasal dari ambang pintu membuat Sesil dan yang lainnya menoleh ke arah yang sama.

"Punya tangan, 'kan? Punya mata juga, 'kan? Terlebih gue tahu lo punya otak buat berpikir. Jangan selalu semena-mena sama saudara lo sendiri. Lo pikir gue nggak tahu kalian bersaudara? Ambil buku lo dan ingat, ini terakhir kali gue lihat lo memperlakukan Azalia kayak gini. Kalau masih gue lihat lo kayak gini, lo akan berhadapan dengan gue!" cecar Rafka seraya mendekat ke arah Sesil.

Rafka yang di rumah, akan berbanding terbalik dengan Rafka yang di kampus. Seolah memiliki kepribadian ganda, tetapi hal tersebut tak mampu mengubah kadar ketampanannya.

Sesil tak percaya bahwa Rafka telah mengetahui bahwa ia dan Azalia bersaudara. Ia diam dan menatap penuh emosi kepada Rafka. Sementara Azalia, ia pun diam tak melawan.

Seisi kelas menjadi ribut karena mengetahui kabar baru dari sang idola kampus.

"Wah, bakal jadi trending kampus, nih."

"Gila, Azalia dan Sesil bersaudara ternyata."

Banyak bisik-bisik yang membuat Sesil semakin murka. "Diaaam!" murkanya.

"Sesil, Sesil, mudah bagi gue buat mendapatkan informasi kecil seperti itu. Lo pikir dengan mengatakan nama belakang kalian yang sama hanya sebuah kebetulan gue akan percaya?" Rafka masih terus mencecar Sesil tanpa peduli ada gadis itu.

"Rafka stop! Gue bilang stooop!" Sesil merasa dipojokkan oleh Rafka.

Air matanya mengalir deras karena malu. Rahasia yang sengaja ia tutupi harus terbuka pagi ini. Sebelum ia pergi meninggalkan kelas, ditatapnya penuh kebencian Azalia yang hanya diam bak patung di tempat duduk. Menyusul kedua temannya, Manda dan Caca.

"Kamu nggak apa-apa, Lia?" tanya Rafka penuh kelembutan saat pemuda itu berada di samping Azalia.

"Iya," balas Azalia.

"Kamu sudah sarapan? Wajah kamu pucat, Lia. Sarapan dulu, yuk! Aku yang traktir kamu."

"Aku sudah sarapan, terima kasih tawarannya."

"Tapi, kamu beneran nggak apa-apa, 'kan?" tanya Rafka lagi untuk memastikan dan dibalas anggukan oleh Azalia.

"Tugas kamu sudah selesai? Coba aku lihat!" Rafka langsung mengambil buku Azalia di tas gadis itu tanpa disuruh dan langsung memeriksanya. Tak peduli jika mereka menjadi sorotan seisi kelas.

***

Mata kuliah pertama telah selesai dan sekarang tengah berlangsung mata kuliah kedua dari Pak Alham, dosen yang terkenal dengan wajahnya yang tampan juga sikap yang dingin kepada orang lain. Disiplin adalah hal penting baginya.

Saat tengah menerangkan materi, mata Pak Alham tak sengaja menatap salah seorang mahasiswinya menunduk.

"Azalia!" panggilnya.

"Azalia!" Sekali lagi ia mencoba, tetapi gadis itu tak juga bangun.

"Azalia Atmadja!" Suaranya memenuhi seisi kelas hingga sang empunya nama terbangun.

"I–iya, Pak?" lirih Azalia dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Kerjakan soal nomor 2 di papan tulis tanpa melihat buku!" tegas Pak Alham tak terbantahkan.

Dengan langkah gontai Azalia menuju ke depan. Saat akan mengambil spidol, tiba-tiba saja pandangannya gelap dan langsung ambruk begitu saja di lantai.

Semuanya panik, tak terkecuali Pak Alham. Namun, sebisa mungkin ia tutupi dengan ekspresi datarnya.

Rafka begitu panik sehingga ia telah beranjak akan menolong, tetapi urung karena suara Pak Alham. "Kamu diam di situ! Ini menjadi urusan saya," tegasnya menatap Rafka.

"Azalia, bangun! Saya tahu kamu berpura-pura seperti mahasiswa lain hanya untuk mendapatkan perhatian saya!"

Rafka dan lainnya menatap tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut dosennya. Terkecuali, Sesil. Gadis itu kembali masuk saat mata kuliah pertama tadi. "Pak, dia pingsan bukan pura-pura. Punya mata nggak, sih?!" bentak Rafka.

"Trik seperti ini sudah tidak mempan sama sa–"

Bugh!

Rafka langsung memberikan bogem mentah ke arah Pak Alham, tak peduli ia akan mendapat masalah setelah ini. Sementara yang lain kaget akan tindakan Rafka.

"Lo punya mata nggak?! Wajahnya pucat dan lo bilang dia pura-pura! Lo dosen, orang berpendidikan. Tapi, lagaknya kayak orang nggak berpendidikan!" bentak Rafka.

Siapa yang tak akan emosi bila melihat orang yang sakit, tetapi diabaikan. Terlebih yang mengabaikan adalah seorang dosen. Rafka tak lagi memperlihatkan sikap santunnya.

Pak Alham yang mendapat perlakuan seperti itu menjadi tersulut emosi juga. Ia pun membalas memukul Rafka. Tak butuh waktu lama, perkelahian pun tak terhindarkan.

Mahasiswa laki-laki berusaha melerai. Sementara yang perempuan membantu Azalia yang tergeletak di lantai.

"Rafka stop! Pak Alham stop, Pak!" teriak Revan selaku ketua kelas. "Rafka stop! Azalia lagi sakit!" sambungnya.

Rafka yang mendengar nama Azalia pun spontan berhenti dan langsung mendekati gadis pujaan hatinya. Tak peduli darah segar mengalir dari bibirnya dan rasa sakit di beberapa bagian wajahnya.

Begitupun pak Alham yang langsung diam menatap Rafka dan Azalia.

"Urusan kita belum selesai!" tunjuk Rafka pada Pak Alham yang tengah mengusap bibirnya yang berdarah.

Rafka langsung membawa Azalia ke mobilnya dan menuju rumah sakit, meninggalkan kekacauan yang belum terselesaikan.

'Bodohnya aku yang tidak mengecek suhu tubuh kamu tadi pagi. Bodohnya aku yang percaya begitu saja kalau kamu baik-baik saja. Bodoh! Bodoh! Bodoh!' raung Rafka dalam hati seraya memukulkan kepalanya di setir mobil.

Dipandanginya lagi wajah teduh Azalia, ada rasa sedih menyelimuti hatinya kala mengingat apa yang sudah dirasakan oleh gadis itu sejak kecil.

Ia pun langsung tancap gas menuju rumah sakit agar Azalia mendapat pertolongan terbaik.

'Harapanku adalah melihatmu tersenyum tanpa paksa. Mendengar tawamu tanpa beban. Jadilah batu karang yang selalu tegar.' Rafka membatin seraua tangannya menyentuh tangan Azalia yang terasa panas. Seolah memberikan kekuatan pada gadis itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!