Tolerate It.

Tolerate It.

Jiani Wu.

...----------------...

Jalanan sore New Bond St, London itu selalu ramai seperti biasanya, orang-orang berlalu-lalang menuju arah tujunnya. Entah itu untuk pulang atau baru akan pergi. Hembusan angin musim semi tidak membuat mereka menyia-nyiakan pemandangan cukup indah untuk mencuci mata, walau sepertinya orang-orang lokal sudah bosan. Berbeda dengan Jiani, perempuan kelahiran China-Indonesia ini selalu menyukai suasana negara ini. Dia akan selalu mengagumi setiap sudut kota yang diinjakan di Benua ini.

Kalau bisa, bahkan dia ingin sekali rasanya tinggal disana. Mempunyai rumah di pinggiran kota, menikmati kopi dan roti dengan pemandangan menyegarkan. Dia terlalu terbuai oleh negara asing ini, sehingga membuatnya jatuh cinta lupa untuk pulang.

Jiani keluar dari store Dior dengan bebetapa menenteng paper bag berlogo brand terkenal itu. Telinganya tersumpal Airpods mengisi dengan lagu **** You dari Lily Allen. Dia selalu menyukai vibes ceria dari lagu itu walau isi lyricsnya berbanding balik, namun tidak apa-apa baginya, dia memang tidak menyulai segelintir manusia. Dia hanya menyukai hidupnya saja dan dia terlalu mencintai dirinya sendiri. The definition self love.

Dia menggumamkan lyrics lagu itu sanbil melangkah dengan ceria, senyumnya tak luntur bahkan memberikan senyuman pada siapa pun yang meliriknya. Lihat betapa orang mencintainya, Jiani meyakini itu. Karna mereka membalas senyuman yang Jiani berikan.

Ketika berada disini akhirnya Jiani bisa berjalan-jalan dengan bebas tanpa stalker walau pun terkadang ada satu atau dua orang fansnya menyapanya. Fansnya ternyata sampai keluar mancanegara dan Jiani sangat membanggkan itu.

Jiani Wu adalah artis sejak kecil, dia mempunyai bakat dalam bidang berperan dalam teater sejak kecil, lalu dia sering mengikuti menjadi peran anak kecil sampai-sampai dia terkenal merangkap selalu mengambil peran utama dalam film layar lebar. Jiani tidak pernah mengambil projek untuk tampil dalam Televisi, dia selalu mengambil projek besar seperti film layar lebar saja. Karirnya sejak dia menginjak usia remaja melonjak hebat, orang-orang terfokus pada kecantikannya, tubuhmya yang sangat menjadi cita-cita para wanita, juga senyumannya yang manis membuat orang yang melihatnya terkena virus tersenyum balik.

Namun, terkadang dia kesal. Orang-orang tidak pernah fokus pada kehebatan aktingnya. Mereka hanya memuji visualnya tanpa melihat kemampuannya, jarang orang yang peka terhadap itu. Seperti biasa, orang-orang akan membicarakannya dengan santai seperti ini; ya dia kan cantik, pantas saja makin terkenal. Yang diinginkan Jiani adalah; Ya, kemampuan aktingnya kan hebat, pantas saja dia makin sukses.

Tapi ya sudahlah, dia tidak terlalu peduli sekarang. Yang dia pedulikan adalah hanya uang, tidak ada uang, ya tidak bisa hidup. Bagaimana pun caranya yang penting uangnya mengalir. Jiani tidak memperdulikan ocehan para netizen saat itu juga, yang penting dia sudah bekerja dengan kemampuannya.

Lagunya berganti dengan nada dering telpon.

Jia berdecak pelan, kesal karna terganggu namun tetap dia angkat karna itu adalah adiknya yang menelpon, "Ya? To the point, please." Jia masih melanjutkan langkahnya sambil mendengar suara lelaki di sebrang negara sana.

"Sombong banget! Sok sibuk banget, you." Katanya dengan ikutan kesal.

"Yaudah, Hallo adiknya Cici paling ganteng, apakabar? Kenapa nelpon?"

"Halah madesu. I punya berita nih, Ci. You buruan pulang, gawat nih." Katanya membuat Jia dilanda penasaran.

"Apa sih? Yang bener you kalo ngemeng. Jangan bikin Cici penasaran. Jelasin coba." Pintanya sambil menghentikan langkahnya karna sudah berada di pinggir jalan penyebrangan lampu merah.

"Ini soal warisan Mamih, Ci."

"Warisan mana? Bukannya warisannya udah dibicarain sama Pak Hatman semua?"

Pak Hatman adalah pengacara pribadi keluarganya mereka sejak lama. Yang selalu mengurus, menangani segala perhukuman ketika keluarga membutuhkan.

"Ada warisan yang belum dibacain dan ini buat you, Ci. Ini soal peninggalan Mamih yang disembunyiin terus dititipin ke sodara tirinya mamih."

"Ya terus kenapa? Yaudah kalau dititipin, tandanya tuh aman-aman aja kan?"

"Sayangnya kagak, Ci! Ini situasinya gawat ternyata. I abis cross check kesana. Moso ancur semua."

"Ancur gimana? Why are talking non sense?" Jiani semakin kesal karna adiknya belibet dalam menjelaskan.

"I gak bisa ngejelasin banyak, pokoknya you harus balik buruan, Ci."

"I lagi liburan woi! Yang bener aja disuruh balik!"

"Tapi you liburan udah sebulanan disana!" Itu pernyataan dengan nyolot.

"Ya ini masih kurang, udah lah you jelasin yang jelas coba. Biar i ngerti dan jelas kalau harus balik."

"Intinya ini menyangkut soal mamih, you harus buruan balik, Ci. Mamih pasti sedih kalau lihat keadaanya kaya begini."

"You jangan manipulatif beginilah, Kai! Bikin i jadi ikutan cemas aja," Kali ini Jiani berdiam diri di lobby sambil mendengarkan adiknya berbicara.

"Serius, Ci. Kali ini i serius, bukan suruhan papih biar you pulang."

Memang papihnya selalu meminta Jiani pulang ke Surabaya namun padatnya jadwal Jiani tidak bisa memenuhi permintaanya itu apalagi terkadang kesalnya papihnya selalu mencoba menjodohkannya dengan anak temannya. Sekarang dia jadi tiba-tiba kangen papihnya.

Apalagi melihat di depannya ada interaksi seorang pria bersama anak kecil perempuan disana. Mereka tertawa dengan renyah sambil memakan es krim. Jiani jadi ingin es krim.

Tiba-tiba air matanya merembes pada mukanya, mengalir secara tiba-tiba. Dia jadi merindukan kedua orang tuanya.

Dia mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata itu ditambah si anak peka melihat ke arah Jia. "Mas Asa, liat Mbak itu nanis," Katanya dengan nada masih belum jelas.

Pria yang sedang bermain sedang anak itu menoleh, melihat ke arah Jiani. Jiani langsung malu seketika. Dia pura-pura berdeham lalu membalikan tubuhnya yang penting tidak melihat ke arah mereka.

"Ci, you okay?"

"Ya? Okay kok, okay. Yaudah nanti i balik."

"Yaudah. Nanti kabarin i ya, kalau you balik. Biar i jemput you di bandara."

"Iya, dah matiin sama you, Kai. Thanks ya, infonya."

"Iya, Ci. Love you, bye!" Lalu sambungan telpom itu terputus.

Seorang anak kecil menarik-narik ujung dress biru hitamnya itu. Itu adalah anak kecil tadi yang sedang dia lihat sampai menangis. Anak kecil itu tersenyum dengan pipi chubbynya.

"Hello, do you want ice krim?" Tawarnya menyodorkan es krim bekasnya.

Jiani terkekeuh dengan melihat itu, "Hi, gils. No? I can buy ice krim if i want."

"Ah... Aduh Jela nda tau, bahasa inggrisnya lagi." Katanya dengan wajah polos membuat Jiani tergelitik.

"Memangnya kamu mau ngomong apa?" Tanya Jiani.

"Wah, mbak bica nomong indonesia?" Tanyanya dengan takjub.

"Bisa dong!"

Bukannya menjawab pertanyaan Jiani, anak kecil itu malah bertepuk tangan masih dengan keterkejutannya mengetahui bahwa tante-tante di depannya ini ternyata orang bisa bahasa Indonesia.

Tepukan tangannya terhenti karna ada seseorang memanggilnya, "Jel! Ayok kita pulang! Ibu cari kamu." Itu pria tadi yang bermain dengan anak ini.

Jela langsung menghampiri pria itu tanpa berpamitan. Jiani memperhatikannya dengan fokus, lelaki itu meliriknya sekilas sampai mata mereka bersitatap lalu senyuman pria itu menyapanya dengan hangat, berbanding balik dengan cuaca London yang dingin dengan hembusan angin yang kencang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!