Menentukan.

...Her hair...

...----------------...

Ilyas hampir menyerah mencari keberadaan kopernya, sampai dimana dia berdiam diri terlebih lalu menoleh ke belakang mendengar perseturuan seseorang. Mendengar kata menikah menjadi sensitif bagi Ilyas.

Dia ingat mengapa ibunya terus memaksa dirinya agar menikah dengan Nadya, apa karna Ilyas membantah jadinya Ibunya menyuruh anak lelakinya yang lain untuk menikahi Nadya? Pikiran dongkol mulai merayapi otaknya.

Umurnya sudah memasuki 29 tahun. Mungkin, untuk ukuran keluarganya saat di Indonesia itu adalah umur yang pas untuk segera menuju jenjang pernikahan. Maka dari itu semua orang terkadang memaksanya menikah, memangnya jika menikah itu adalah akhir dari kehidupan? Kalau jika memang iya. Ilyas mau menikah, dia sudah menemukannya. Menemukan pasangan yang bisa dinikahkannya, tanpa harus mencintainya.

Mendengar pertanyaan itu Ilyas reflek berucap 'saya'. Membuat kedua orang itu menoleh, membuat semburat ekspresi kebingungan antara keduanya. Entah kenapa dia malah bertindak bodoh.

"Ada apa, ya?" Saut lelaki yang dari tadi di panggil Kai.

Otaknya langsung memutar mencari alibi, "Sorry, maksud saya. Koper saya ketuker sama kamu." Ilyas kini sudah berhadapan dengan mereka.

Gadis sipit itu langsung terkejut menemukan kesamaan koper mereka. Jantungnya berdegup bukan main, itu kan koper isinya pakaian dalamnya semua dan pria ini menyadari bahwa kopernya tertukar, jelas dong berarti kopernya dia buka dan dia melihat pakaian dalam Jiani.

Wajah gadis itu langsung memerah malu, mengapa pertemuannya dengan lelaki ini selalu ada rasa malu? Rasanya sial sekali.

"Sorry..." Cicitnya lalu menyerahkan kopernya.

Ilyas hanya mengangguk lalu mereka saling bertukar koper itu.

"Lain kali hati-hati. Untung saya masih bisa nemuin kamu." Katanya.

Memang menemukan gadis ini sebenarnya tidak sulit-sulit amat karna gadis ini ada ciri khas mencoloknya.

"Gimana sih, Ci. Ceroboh banget. Maafin Cici saya, ya, Mas." Kaili jadi ikutan malu.

"Gapapa." Ilyas menampilkan senyuman hangatnya.

Jiani memperhatikan itu, ketika senyumannya tahi lalatnya berada di pinggir atas bibirnya, ketika tersenyum otomatis itu akan terangkat. Dan itu sangat manis. Jiani langsung mengerjapkan matanya untuk menjernihkan pikirannya.

"Yaudah, kalau itu kami duluan ya, terima kasih dan maaf sekali lagi." Pamit Kai yang langsung menggandeng Jiani.

"Tunggu dulu." Cegahnya membuat Jiani membalik kembali. "Kita udah tiga kali ketemu tapi belum kenalan. Saya Ilyasa Aldrizayn." Tambahnya dengan uluran tangan mengajak bersalaman.

Jiani langsung mengambil uluran tangan itu, "Jiani Wu." Katanya dengan senyuman tipis lalu melepaskan genggaman mereka. "Saya pergi? Terima kasih." Katanya lalu kembali berbalik untuk pergi.

Sejujurnya dia tidak suka berkenalan dengan random orang asing. Dia selalu berjaga-jaga takut yang dia temui adalah orang jahat, kita gak akan pernah tau dan tak akan pernah bisa membedakan. Mana orang jahat dan orang baik karna kalau pun dia baik, dia bisa berubah menjadi jahat kapan pun yang dia mau. Maka dari itu Jia selalu memproteksi dirinya agar selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya.

"I kaya tau Aldrizayn, Ci." Kai membuka topik sambil membuka pintu mobilnya.

"Aldrizayn? Nama belakang cowok tadi?" Katanya lalu duduk di bangku sebelah Kai yang akan menyetir.

"Iya, temen i ada yang kerja di Qatar sama perusahaan Aldrizayn Group sama bukannya di Bogor ada pabrik semen juga ya, kalau gak salah salah satu yang nanam sahan terbesarnya dari Aldrizayn Group."

"Masa? Emang perusahaan apa itu?"

"Perminyakan disana. Terkenal banget tuh, sempet turun nilainya pas tahun 2012 an tapi naik lagi gak lama dari sana. Keren sih." Jelasnya lalu memulai menyalakan mobil untuk maju.

"Hm... Kebetulan aja kali emang namanya Aldrizayn."

"Tapi lumayan tau, Ci. Mukanya Islami banget."

"Islami, Islami. You kata muka dia ada logo halalnya apa?" Sungutnya karna mendengar celotehan aneh dari adiknya.

Kaili tertawa mendengar celetukan dari Kakaknya itu, "You mah kagak bisa diajak serius. Kalau dia beneran dari keluarga Adrizayn, wah makin makmur hidup you, Ci." Celotehnya kembali namun tidak digubris oleh Jiani.

Karna sesungguhnya Jiani tidak minat pada apa pun sekarang. Dia hanya sedang memikirkan bagaimana caranya merebur warisan itu tanpa harus dia menikah atau pun kalau benar jalan satu-satunya harus menikah, menikah dengan siapa? Alkan? Bahkan lelaki itu sebentar lagi akan menikah. Masa dia harus jadi pelako (perebut laki orang.)

...----------------...

Ilyas berjalan dengan santai menghampiri Mbaknya dan anak gembulnya itu.

"Bear jela ada, Mas?" Tanya anak gembul itu.

"Ada, Jel. Nih." Dia menyerahkan boneka teddy bear pada anak kecil itu yang langsung disambut dengan senyuman mengembang.

"Alhamdulillah ketemu. Kamu kenal orangnya, Yas?" Tanya Mbaknya.

"Ngga, Mbak." Cuman pernah ketemu aja. "Ayok pergi. Ini kan taksi onlinenya?" Tanyanya sambil menujuk mobil berwarna merah itu.

"Iya, lets go, Jel." Menyuruh anak kecil itu untuk masuk terlebih dahulu.

Ketika mereka sudah memasuki mobil, Ilyas berkecamuk dengan pikirannya kembali. Surabaya tidak ada bedanya dengan yang terakhir Ilyas injakan kakinya disana.

Sekarang dia gugup dan cemas akan menghadapi rumah Ibu. Dulu dia akan biasa saja karna tidak ada kejadian yang membuatnya sakit seperti ini, tapi kali ini. Di rumahnya ada seorang pengkhianat, apa bisa dia bersikap baik-baik saja disana nanti?

"Mbak,"

"Iya, Yas?"

"Aku nginep di hotel aja, yo?" Tanyanya tiba-tiba berubah pikiran, "Mas bisa nganterin dulu ke sesuai alamat terus cari hotel di dekat sana bisa?" Tanya Ilyas pada supir mobil ini.

"Bisa, Mas."

"Memangnya kenapa, Yas? Tiba-tiba mau di hotel."

"Aku gak bisa liat muka Radit aja. Takut kelepasan ribut nanti, yang ada malah bikin Ibu sedih." Jelasnya yang jelas membuat hati mbaknya juga nyeri.

Mbaknya bisa merasakan rasa sakit yang dialami oleh adiknya itu. Dia tahu kalau Ilyas dari kemarin menahan emosionalnya, adiknya itu cukup baik dalam mengatur emosionalnya sendiri namun terkadang itu yang malah membuatnya takut sendiri. Takut karna Ilyas terbiasa memendam, tanpa memuntahkan isi emosinya sendiri.

"Yaudah gapapa kalau itu mau kamu. Nanti kalau perlu apa-apa telpon Mbak aja, ya?" Tawarnya.

"Iya, Mbak. Makasih."

Prediksi pernikahan Nadya dan Radit 3 hari lagi. Ilyas harus segera mencari pendamping yang bisa dia bawa. Bukan untuk menunjukan kalau dia juga bisa berkhianat, hanya saja. Itu akan dijadikan agar dia bisa berpikir dua kali sebelum membuat onar. Jika ada orang lain, pasti akan menahannya. Maka dari itu dia akan mengirimkan proposal pada Jiani besok.

Ilyas merapalkan doanya, semoga proposal itu di terima dan dibaca olehnya. Karna ini adalah hal ternekat yang pernah dia lalui dalam hidupnya.

"Mbak," Panggil Ilyas kembali.

"Iya, Yas?"

"Aku mau nikah juga."

"Hah? Sama siapa? Mbak gak salah denger kan?" Tanyanya dengan raut kebingungan karna terlalu mendadak.

"Nggak. Nanti Ilyas bawa saat pernikahannya Radit."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!