...----------------...
Jalanan sore New Bond St, London itu selalu ramai seperti biasanya, orang-orang berlalu-lalang menuju arah tujunnya. Entah itu untuk pulang atau baru akan pergi. Hembusan angin musim semi tidak membuat mereka menyia-nyiakan pemandangan cukup indah untuk mencuci mata, walau sepertinya orang-orang lokal sudah bosan. Berbeda dengan Jiani, perempuan kelahiran China-Indonesia ini selalu menyukai suasana negara ini. Dia akan selalu mengagumi setiap sudut kota yang diinjakan di Benua ini.
Kalau bisa, bahkan dia ingin sekali rasanya tinggal disana. Mempunyai rumah di pinggiran kota, menikmati kopi dan roti dengan pemandangan menyegarkan. Dia terlalu terbuai oleh negara asing ini, sehingga membuatnya jatuh cinta lupa untuk pulang.
Jiani keluar dari store Dior dengan bebetapa menenteng paper bag berlogo brand terkenal itu. Telinganya tersumpal Airpods mengisi dengan lagu **** You dari Lily Allen. Dia selalu menyukai vibes ceria dari lagu itu walau isi lyricsnya berbanding balik, namun tidak apa-apa baginya, dia memang tidak menyulai segelintir manusia. Dia hanya menyukai hidupnya saja dan dia terlalu mencintai dirinya sendiri. The definition self love.
Dia menggumamkan lyrics lagu itu sanbil melangkah dengan ceria, senyumnya tak luntur bahkan memberikan senyuman pada siapa pun yang meliriknya. Lihat betapa orang mencintainya, Jiani meyakini itu. Karna mereka membalas senyuman yang Jiani berikan.
Ketika berada disini akhirnya Jiani bisa berjalan-jalan dengan bebas tanpa stalker walau pun terkadang ada satu atau dua orang fansnya menyapanya. Fansnya ternyata sampai keluar mancanegara dan Jiani sangat membanggkan itu.
Jiani Wu adalah artis sejak kecil, dia mempunyai bakat dalam bidang berperan dalam teater sejak kecil, lalu dia sering mengikuti menjadi peran anak kecil sampai-sampai dia terkenal merangkap selalu mengambil peran utama dalam film layar lebar. Jiani tidak pernah mengambil projek untuk tampil dalam Televisi, dia selalu mengambil projek besar seperti film layar lebar saja. Karirnya sejak dia menginjak usia remaja melonjak hebat, orang-orang terfokus pada kecantikannya, tubuhmya yang sangat menjadi cita-cita para wanita, juga senyumannya yang manis membuat orang yang melihatnya terkena virus tersenyum balik.
Namun, terkadang dia kesal. Orang-orang tidak pernah fokus pada kehebatan aktingnya. Mereka hanya memuji visualnya tanpa melihat kemampuannya, jarang orang yang peka terhadap itu. Seperti biasa, orang-orang akan membicarakannya dengan santai seperti ini; ya dia kan cantik, pantas saja makin terkenal. Yang diinginkan Jiani adalah; Ya, kemampuan aktingnya kan hebat, pantas saja dia makin sukses.
Tapi ya sudahlah, dia tidak terlalu peduli sekarang. Yang dia pedulikan adalah hanya uang, tidak ada uang, ya tidak bisa hidup. Bagaimana pun caranya yang penting uangnya mengalir. Jiani tidak memperdulikan ocehan para netizen saat itu juga, yang penting dia sudah bekerja dengan kemampuannya.
Lagunya berganti dengan nada dering telpon.
Jia berdecak pelan, kesal karna terganggu namun tetap dia angkat karna itu adalah adiknya yang menelpon, "Ya? To the point, please." Jia masih melanjutkan langkahnya sambil mendengar suara lelaki di sebrang negara sana.
"Sombong banget! Sok sibuk banget, you." Katanya dengan ikutan kesal.
"Yaudah, Hallo adiknya Cici paling ganteng, apakabar? Kenapa nelpon?"
"Halah madesu. I punya berita nih, Ci. You buruan pulang, gawat nih." Katanya membuat Jia dilanda penasaran.
"Apa sih? Yang bener you kalo ngemeng. Jangan bikin Cici penasaran. Jelasin coba." Pintanya sambil menghentikan langkahnya karna sudah berada di pinggir jalan penyebrangan lampu merah.
"Ini soal warisan Mamih, Ci."
"Warisan mana? Bukannya warisannya udah dibicarain sama Pak Hatman semua?"
Pak Hatman adalah pengacara pribadi keluarganya mereka sejak lama. Yang selalu mengurus, menangani segala perhukuman ketika keluarga membutuhkan.
"Ada warisan yang belum dibacain dan ini buat you, Ci. Ini soal peninggalan Mamih yang disembunyiin terus dititipin ke sodara tirinya mamih."
"Ya terus kenapa? Yaudah kalau dititipin, tandanya tuh aman-aman aja kan?"
"Sayangnya kagak, Ci! Ini situasinya gawat ternyata. I abis cross check kesana. Moso ancur semua."
"Ancur gimana? Why are talking non sense?" Jiani semakin kesal karna adiknya belibet dalam menjelaskan.
"I gak bisa ngejelasin banyak, pokoknya you harus balik buruan, Ci."
"I lagi liburan woi! Yang bener aja disuruh balik!"
"Tapi you liburan udah sebulanan disana!" Itu pernyataan dengan nyolot.
"Ya ini masih kurang, udah lah you jelasin yang jelas coba. Biar i ngerti dan jelas kalau harus balik."
"Intinya ini menyangkut soal mamih, you harus buruan balik, Ci. Mamih pasti sedih kalau lihat keadaanya kaya begini."
"You jangan manipulatif beginilah, Kai! Bikin i jadi ikutan cemas aja," Kali ini Jiani berdiam diri di lobby sambil mendengarkan adiknya berbicara.
"Serius, Ci. Kali ini i serius, bukan suruhan papih biar you pulang."
Memang papihnya selalu meminta Jiani pulang ke Surabaya namun padatnya jadwal Jiani tidak bisa memenuhi permintaanya itu apalagi terkadang kesalnya papihnya selalu mencoba menjodohkannya dengan anak temannya. Sekarang dia jadi tiba-tiba kangen papihnya.
Apalagi melihat di depannya ada interaksi seorang pria bersama anak kecil perempuan disana. Mereka tertawa dengan renyah sambil memakan es krim. Jiani jadi ingin es krim.
Tiba-tiba air matanya merembes pada mukanya, mengalir secara tiba-tiba. Dia jadi merindukan kedua orang tuanya.
Dia mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata itu ditambah si anak peka melihat ke arah Jia. "Mas Asa, liat Mbak itu nanis," Katanya dengan nada masih belum jelas.
Pria yang sedang bermain sedang anak itu menoleh, melihat ke arah Jiani. Jiani langsung malu seketika. Dia pura-pura berdeham lalu membalikan tubuhnya yang penting tidak melihat ke arah mereka.
"Ci, you okay?"
"Ya? Okay kok, okay. Yaudah nanti i balik."
"Yaudah. Nanti kabarin i ya, kalau you balik. Biar i jemput you di bandara."
"Iya, dah matiin sama you, Kai. Thanks ya, infonya."
"Iya, Ci. Love you, bye!" Lalu sambungan telpom itu terputus.
Seorang anak kecil menarik-narik ujung dress biru hitamnya itu. Itu adalah anak kecil tadi yang sedang dia lihat sampai menangis. Anak kecil itu tersenyum dengan pipi chubbynya.
"Hello, do you want ice krim?" Tawarnya menyodorkan es krim bekasnya.
Jiani terkekeuh dengan melihat itu, "Hi, gils. No? I can buy ice krim if i want."
"Ah... Aduh Jela nda tau, bahasa inggrisnya lagi." Katanya dengan wajah polos membuat Jiani tergelitik.
"Memangnya kamu mau ngomong apa?" Tanya Jiani.
"Wah, mbak bica nomong indonesia?" Tanyanya dengan takjub.
"Bisa dong!"
Bukannya menjawab pertanyaan Jiani, anak kecil itu malah bertepuk tangan masih dengan keterkejutannya mengetahui bahwa tante-tante di depannya ini ternyata orang bisa bahasa Indonesia.
Tepukan tangannya terhenti karna ada seseorang memanggilnya, "Jel! Ayok kita pulang! Ibu cari kamu." Itu pria tadi yang bermain dengan anak ini.
Jela langsung menghampiri pria itu tanpa berpamitan. Jiani memperhatikannya dengan fokus, lelaki itu meliriknya sekilas sampai mata mereka bersitatap lalu senyuman pria itu menyapanya dengan hangat, berbanding balik dengan cuaca London yang dingin dengan hembusan angin yang kencang.
...----------------...
"Ilyas, Mbak mau ngomong sesuatu." Perempuan berhijab itu memanggil adiknya yang sedang menidurkan keponakannya, keponakan yang sudah seperti seperti anak baginya karna saking nyaman anak itu pada Ilyas.
"Kenapa?" Lelaki berdarah melayu itu menoleh pada Mbaknya yang terlalu kental dengan budaya Jawanya karna selama ini tinggal di Surabaya bersama dengan keluarga Ibu, Sedangkan Ilyas, sejak SMP dia dibawa oleh Ayahnya ke negeri sebrang, Malaysia, tempat kelahiran Ayahnya. Ibu dan Ayahnya bercerai ketika Ilyas baru saja menginjak SMP.
Ibunya sudah menikah kembali saat kelas 2 SMA. Dia menikah dengan pria yang berstatus sama cerainya, namun berbeda kasus. Suami Ibu yang sekarang dulu cerai meninggal, istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya laki-lakinya. Dan Ayahnya sampai detik ini masih sendiri, hanya mengurus bisnisnya yang berkembang pesat.
Ilyas bangkit dari tidurannya lalu mendekat ke arah Mbaknya yang sedang duduk di sofa dekat jendela hotel itu, dia sedang merajut cardigan untuk anak perempuannya. Rajutannya sudah mulai terlihat rapih dengan bola berwarna merah muda itu.
"Mbak, mau ngomongin sesuatu. Tapi tolong kamu jangan kaget, yo?"
"Ngomong aja, Mbak. Jangan berbelit."
Perempuan berhijab putih itu meletakan rajutannya di meja samping, dia mulai menatap mata adiknya dengan penuh keraguan. "Nadya hamil, Yas."
"Hah?"
"Nadya, Nadya pacarmu."
"Tunggu dulu. Mbak, kenapa iso? Aku bahkan belum pernah nyentuh dia sama sekali." Katanya dengan penuh raut kebingungan.
"Ayahnya, ayahnya kakakmu."
"Kakakku siapa? Kakakku cuman Mbak."
"Radit, Yas. Radit itu kakakmu juga."
Ilyasa terdiam, mencerna semua perkataan yang keluar dari mulut Mbaknya. Ini terlalu mendadak, bahkan sudah ada lima bulan Ilyas tidak bertemu dengan kekasihnya itu karna pekerjaanya yang selalu membuatnya bulak-balik negara lain.
"Mbak bercanda kan?"
"Mbak serius... Mereka akan mengadakan pernikahannya sebentar lagi. Semuanya udah dipersiapkan tanpa sepengetahuan kamu, tapi Mbak..." Perempuan itu mulai menitikan air matanya, "Mbak gak bisa menyembunyikan ini terlalu lama dari Adik kandung Mbak sendiri. Maafin Mbak, Yas..." Katanya dengan sesegukan.
Mbaknya memberikan ponselnya disana berisi, foto test pack, serta persiapan pernikahan untuk Nadya dan Radit. Ilayas menatap foto test pack itu yang dikirim oleh Nadya pada whatsapp kakaknya, dia mengirim voice note menangis dan meminta maaf. Suaranya sangat lemah.
"Yas, mereka udah ngejalin hubungan 2 bulan. Mbak baru tau ketika Nadya hamil saja." Dia mulai memeluk Ilyas dengan air matanya, sedangkan Ilyas masih meresapi semua ini.
Ilyas kira, kakanya mengunjunginya ke London hanya karna rindu, ternyata dia membawa berita yang menyesakkan. Ilyas mulai mengelus bahu Mbaknya, untuk menenangkan Mbaknya yang sedang menangis itu.
"Udah, Mbak. Jangan nangis. Aku gapapa."
"Mbak, tahu kamu pasti bilang gitu tapi aslinya kamu pasti sedih kan, Yas? Ditambah hubunganmu dengan Nadya sudah terbilang lama sekali. Maafin Mbak gak bisa cegah semua ini, padahal kamu menitipkan Nadya sama Mbak, tapi Mbak malah kelolosan."
Ilyas melepaskan pelukannya untuk bisa melihat wajah Mbaknya, "Mbak, denger Ilyas, ya? Ini semua bukan salah Mbak. Mbak udah tenang aja, semuanya bukan salah Mbak."
"Kamu akan pulang ke Indonesia, Yas? Tapi tolong kamu relakan saja Nadya, kamu bisa mencari pengganti yang lebih baik dari pada perempuan itu."
Mencari pengganti tidaklah mudah, bahkan hatinya sudah terkunci sejak lama pada Nadya Narasma. Perempuan lulusan pesantren terbaik di Indonesia itu membuatnya jatuh cinta ketika mereka pertama kali bertemu. Dia tidak pernah membayangkan hubungannya akan berjalan selama dua tahun setengah sampai mana pada titik kehancurannya, disini.
Perjanjian mereka yang akan menikah telah hancur, dia menghancurkannya tanpa memikirkan perasaan Ilyas.
"Ilyas, Mbak tau kamu lelaki kuat. Kamu boleh nangis sekarang. Kamu akan pulang kan? Menghadiri pernikahannya? Kamu harus menghadirinya setelah itu kamu boleh pergi kemana pun semau kamu. Tolong jangan rebut Nadya dari Radit, ya? Bukan Mbak berbicara buruk, tapi Mbak tahu kamu sangat mencintainya dan Nadya tidak pantas disandingkan dengan kamu, kamu pantas dapat pengganti lebih baik. Kalau kamu mau, nanti Mbak cari kan yang lebih shole-"
"Mbak... udahlah, aku gapapa. Aku keluar dulu ya? Aku mau cari angin dulu." Katanya pergi meninggalkan Mbaknya yang masih tersisa dengan tangisnya.
...----------------...
Ilyas berjalan menyusuri setiap langkah kakinya melangkah, entah kemana. Kakinya hanya mengikuti arah angin dan semaunya saja.
Dia berhenti ketika melihat sekumpulan para burung merpati mendekat ke arah gadis berambut merah menyala itu, dia menaburkan pangan burung ke arah para burung yang semakin banyak mendekat ke arah gadis itu.
"Para burung, ayok mam yang banyak, ya! I tau dunia ini memang sangat brengsek dan berat. Terkadang, ketika kita sedang baik-baik saja, ada saja cobaanya. Kalau you pada pasti cobaanya gak bisa makan ya? Nah sekarang peri yang berbaik hati ini memberi kalian makanan. Jangan lupa bersyukur, ya."
Kata-katanya seakan itu berlaku untuk Ilyas juga. Ilyas memperhatikan gadis yang pendek itu yang dia perkirakan tingginya 160.
"You tahu gak? Setiap cobaan ada jalannya, kalau gak ada ya berarti mungkin jalannya kalian belum cor aja. Nah itu sih yaudah derita you sih itu. Tapi seriusnya, pasti ada jalan keluar, kalau buntu yaudah puter balik aja cari belokan lain. Aduh, ngomong apa sih i ini jadi gila gini, gara-gara Kai sialan! Bikin overthinking aja." Katanya dengan gerutuannya. Padahal para merpati di bawah sana tidak peduli padanya, tapi gadis itu masih setia menyebarkan ceramahnya.
"Doain i ya, besok i mau pulang ke Indonesia. Eh, you pada bisa bahasa Indonesia gak? Hah, jangankan bahasa Indonesia. Bahasa manusia saja you pasti tidak tahu kan? Yasudah kapan-kapan i buka les, ya! Tapi tidak deh, i sibuk gini-gini i artis terkenal di negara yang agak freak itu." Katanya membuat Ilyas terkekeuh ketika memperhatikannya.
Tidak mendapat angin segar, namun malah mendapat hiburan segar. Ya, setidaknya dia terobati sedikit.
"I sebenarnya males balik. Tapi i kangen Papih sama Mamih, i mau ngurusin wasiat yang disembunyiin itu sekalian i nanti mampir ke makam mamih. You pada doain Mamih i juga ya semoga tenang di alam sana."
"Aamiin." Ilyas jadi ikutan mendoakan dia tanpa disuruh pun, mungkin dia merasa jadi merpati sekarang.
Gadis itu menoleh ke belakang karna mendengar gumaman dari seseorang di belakangnya. Terkejut bukan main, rasa malu mulai terasa. Mata sipit itu mulai membesar karna terkejut.
Wajahnya tidak asing, ternyata itu adalah gadis yang dia temukan di Lobby hotel. Yang tadi menangis di Lobby.
Gadis itu gugup langsung kabur menumpahkan seluruh makanan burung itu yang berhamburan ke tanah. Seluruh merpati yang disana seakan sedang merasakan pesta makanan.
...----------------...
Bandara Juanda-Internasional sore itu ramai dengan orang-orang berjalan dengan cepat atau pun santai. Entah mereka akan pergi atau pulang. Yang jelas, Ilyas telah menginjakan kakinya kembali ke Indonesia setelah beberapa bulan tidak pulang karna sibuk bolak-balik mengurus bisnis ayahnya di luar negri. Apalagi di Qatar, bisnis perminyakan ayahnya itu berkembang dengan baik. Namun, itu malah membuat kepalanya pusing tujuh keliling harus mengurusnya seorang diri walau dibantu oleh asistennya.
Ilyas berjalan dengan tenang dan gugup karna akan menghadapi sesuatu yang membuatnya sakit.
Keponakannya merecok dari tadi, merengek meminta bonekanya yang tersimpan di koper Ilyas. Ibunya dari tadi membujuk untuk meminta anak itu sabar sebentar.
"Nanti, Jel. Pas udah nyampe aja, ya? Susah kalau buka koper disini." Ibunya menenangkan anak kecil gembul itu.
Bukannya terdiam, anak itu malah semakin merengek sampai menarik-narik kerudung Ibunya.
Ilyas jadi kasihan melihatnya. "Gapapalah, Mbak. Bentar ya, Mas buka dulu kopernya."
Ilyas meletakkan koper itu di lantai bandara, membuka resleting kopernya. Dan tebak apa isinya? Isinya membuat yang melihatnya istighfar dengan keterkejutan luar biasa.
"Astagfirullah!" Sebut kedua orang itu ketika melihat isi koper yang dari tadi Ilyas seret.
Sejak kapan isi kopernya pakaian dalam wanita? Atau jangan-jangan ini bukan kopernya.
Ilyas langsung menutup koper itu takut terlihat oleh orang-orang yang melewatinya.
"Kok isi kopermu aneh, Yas. Itu kopermu kan?"
"Ya, Mbak. Ilyas juga gak paham. Apa jangan-jangan tertukar ya?"
"Walah, gimana dong? Coba lihat lagi. Siapa tau, ada nama pemiliknya." Suruh perempuan yang berdiri di sampingnya itu.
"Mbak nyuruh Ilyas buat bongkar-bongkar di dalem koper ini?" Tanyanya dengan heran.
Mbaknya kebingungan, "Oh, iya. Mbak lupa. Kalau gitu biar Mbak yang cari. Awas dulu kamunya. Jangan lihat-lihat." Katanya mengusir Ilyas.
Ilyas langsung berdiri menggantikan Mbaknya yang tadi berdiri di samping anak kecil itu.
Mbaknya membuka setengah sambil mengorek-orek mencari pemilik koper itu. Sampai akhirnya menemukan foto berukuran kecil.
Mbaknya langsung menutup kembali koper itu, "Yas, ada foto." Mbaknya memberikan foto itu pada Ilyas.
Ilyas menerimanya, langsung melihat foto itu. Kebetulan macam apa ini? Dia melihat foto gadis berambut merah sedang membuat gaya love dengan jarinya. Foto berukuran kecil itu menggambarkan selfie seorang wanita yang kemarin Ilyas temui di London. Apa kopernya ada di tangannya juga?
Sesegera mungkin dia harus menemukan gadis itu untuk menukar koper mereka.
"Mbak, tunggu di parkiran aja, ya? Aku mau cari dulu yang punya kopernya, sekalian aku cari koperku." Pamitnya.
"Memangnya bisa? Kamu tau harus cari dimana?"
Dia sebenarnya tidak tahu, tapi apa salahnya mencari kan?
"Tau. Dah, ya, Mbak. Ilyas nyari dulu."
"Iya, hati-hati! Jangan lama ya, Yas!" Mbaknya sedikit teriak karna Ilyas sudah berlari cukup jauh.
...----------------...
Langkah kaki yang terbalut sepatu boots itu berjalan dengan santai menuju seorang lelaki muda yang menunggunya. Tingginya melebihi orang yang seorang berjalan ke arahnya. Lelaki itu tersenyum dengan cengirannya, menyambut kedatangan Cici tercintanya.
"Woi wibu!" Sapa Cicinya ketika mereka telah mendekat.
"Waba wibu, waba wibu. Enak aja! I bukan wibu yeu!" Protes lelaki tampan bermata sipit mirip dengan gadis di depannya.
"Makin ganteng aja you, Kai. Ck, pasti makin banyak yang ngedeketin, i gak rela kalo harus berbagi kegantengan adik i sama cewek lain."
Lelaki itu mendengus, "Mulai deh dramanya. Jangan kebiasaan karna you artis itu hidup you drama mulu deh." Protesnya kembali.
Jiani tergelak mendengar itu. "Hahaha. Sorry."
"Mana oleh-oleh i?" Tagihnya seperti debt collector.
"Yeu gak ada, you kan sering juga ke London. Ngapain minta oleh-oleh ke i? Beli aja sono sendiri."
"Kan biar beda sensasinya. Itu koper tiga isinya apa aja kalau bukan oleh-oleh?"
"Baju i semualah, terus peralatan make up, skincare, dan lain-lain."
"Dasar woman! Udah ayok balik keburu macet nih," Ajaknya akan berbalik.
"Eitss! Eits! Tunggu dulu." Cegahnya, "Karna i sekarang udah di Indonesia. You harus jelasin, ada masalah apa soal warisan mamih yang kata you kemarin itu."
"Disini?"
"Ya."
"Sekarang juga?"
Jiani semakin menyipitkan matanya kesal, "Iya, Kai! Ayok cepetan."
Kaili menghembuskan nafasnya seperti berat saja akan menjelaskannya, padahal dia hanya tinggal bicara saja. Soal yang melakukannya kan Jia.
"Mamih ada warisan Panti Asuhan yang harusnya jadi atas nama you."
"Terus?" Potongnya tidak sabaran.
"Ya, sabar napa! Nih i lagi jelasin."
"Yaudah, terus-terus gimana??? Apa masalahnya? Tinggal balik nama doang kan?" Jiani semakin tidak sabaran.
"Bukan tinggal balik nama doang. Masalahnya, mamih nyantumin persyaratan soal panti itu kalau mau jadi atas nama you."
"Persyaratannya apa?" Kembali memotong.
"You bisa sabar gak sih?"
"Emosian banget." Cibir Jiani pada adiknya.
"Persyaratannya harus nikah. Dan nikahnya dengan cowok baik-baik paham agama yang bisa membingbing you ke jalan yang benar, gitu katanya."
Jiani mendengar itu dengan eskpresi cengonya. Tidak menyangka mamihnya akan menulis persyatan seperti itu.
"Yaudahlah gak usah jadi milik i gapapa. Dari pada i harus kawin." Katanya dengan santai.
Kaili yang mendengar itu menjadi gregetan ingin menghantam kepala kakanya ini. "Masalahnya itu panti malah disalah gunain sama yang sekarang ngurus, Ci. Donatur yang selalu ngasih ternyata dia korupsi itu uang."
"Hah? Masa sih?"
"Iya! Maka itu i nyuruh you balik buat ngurusin ini. Mamih pasti sedih di alam sana tau soal ini. You harus bertindak, Ci."
"Yaudah kita rebut aja sih langsung?" Katanya gregetan entah memang lemot.
"Ya gak bisa, Ci! Kan i dah bilang. Jalan satu-satunya bisa panti itu ada di tangan you, ya you harus nikah dulu." Jelasnya dengan gregetan.
Muka Jiani semakin cengo, prustasi. Dia mengacak-acakan rambutnya perlahan kesal. "Serius gak ada cara lain?" Tanyanya mencari setitik harapan lain.
"Gak ada."
Jiani mulai mempasrahkan hidupnya, dia mulai menimbang-nimbang langkahnya yang akan menuju kemanan. Akankah dia memilih menikah? Benarkah ini hanya jalan satu-satunya, kalau iya, menikah dengan siapa masalahnya? Semenjak putus dengan Alkan dia hanya menjalin hubungan palsu demi kerja sama kontrak saja dengan beberapa artis. Dan sudah dipastikan statusnya sekarang adalah jomblo. Catat itu, jomblo. Jadi si jomblo ini akan menikah dengan siapa?
"Masalahnya, Kai. I harus nikah sama siapa?" Tanyanya dengan nads prustasi.
"Saya!" Suara seseorang di belakang mereka.
Wajah itu, walau pun Jiani tipikal orang yang pikunan, jelas dia ingat siapa lelaki itu. Lelaki yang kemarin mengamini doanya sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Apa maksudnya dengan sautannya, mana katanya 'saya!' maksudnya apa coba?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!