Temukan Aku 1000 Tahun Lagi
"Aku pulang," ucap Ken ketika masuk ke dalam panti asuhan.
Walaupun telah larut, ia melihat lampu masih menyala dari luar tapi tak ada satu orang pun di dalamnya. Ia dan Yumi, teman baiknya, baru pulang bekerja. Mereka saling pandang.
"Apa ada yang nakal lagi dan anak-anak dikumpulkan di bangsal kamar tidur?"
Yumi mengangkat bahu. Mereka kemudian naik ke lantai atas dengan menaiki tangga. Di kamar pertama yang dibuka, tidak ada seorang pun di sana. Kemudian juga di kamar berikutnya. Ketika Yumi hendak membuka kamar ketiga, Ken melarangnya.
"Kenapa?"
"Itu, kamar di ujung sana itu kok mati lampu?" Ken menunjuk ke arah ujung koridor. Benar saja, searah telunjuk pemuda itu, di kamar paling ujung di koridor, lampunya dimatikan. Ada apa di sana? Kenapa lampunya justru dimatikan atau memang mati lampu?
Keduanya yang penasaran, melangkahkan kaki mendatangi tempat itu dengan perasaan ingin tahu. Ken membuka pintu itu perlahan. Gelap di dalam dan sunyi. Ketika ia mencoba menghidupkan lampu, ternyata seseorang berusaha menghidupkannya terlebih dulu.
Pop!
Serpihan kertas kecil yang berwarna warni beterbangan di udara. Anak-anak panti asuhan satu-satu keluar dari tempat persembunyian menyanyikan lagu 'happy birthday to you' mendatangi.
Ken benar-benar terkejut dan senang. Ia menoleh ke arah Yumi yang tersenyum lebar padanya. "Kamu sudah tahu rencana ini ya, dan pura-pura tidak tahu?"
Masih dengan senyum lebar gadis itu mengangguk.
Kepala panti membawa cake coklat di tangan. Anak-anak kecil mendatangi Ken ingin memeluknya.
"Kak Ken!"
"Kak Ken!"
Mereka berebut bersalaman dan malah ada yang minta digendong. Siapa lagi kalau bukan si kecil Mimi.
"Oh, sini Mimi, Sayang." Ken menggendongnya. Gadis kecil itu tertawa sambil berpegangan pada kerah baju pemuda itu ketika Ken menggendongnya. Ia selalu jadi adik kesayangan Ken karena anak paling kecil di panti asuhan itu.
Anak-anak panti yang sudah besar mendatangi Ken kemudian. Mereka berumur antara umur 10 sampai 15 tahun. Para pengurus panti juga ikut hadir di situ sehingga ruangan itu terasa sesak, padahal ruangan itu berisi delapan buah tempat tidur dan itu pun masih cukup luas.
"Selamat ulang tahun ya?" Kepala Panti menyodori kue ulang tahun dengan lilin angka dua puluh yang telah dinyalakan. Ken meniupnya.
"Ye ...." sorak anak-anak.
"Sekarang usiamu sudah 20 tahun Ken Tachibana, kau sudah dewasa."
"Terima kasih, Pak," ucap pemuda itu pada Kepala Panti.
"Sekarang kita coba kuenya ya, siapa yang mau?"
"Saya!"
"Saya! "
"Saya!"
Anak-anak berebut ingin makan. Seperti biasa, mereka semua dapat irisan tipis cake-nya atau satu potong kecil untuk makan berdua, dan seperti biasa pula bila ada yang berulang tahun, Ken tak pernah minta bagian. Demikian pula orang-orang dewasa lainnya agar anak-anak itu semua mendapat bagiannya.
Setelah membagi-bagikan kue, Kepala Panti menatap ke arah Ken yang sedang menyuapi Mimi dan mengobrol dengan Yumi dan anak-anak lainnya.
Ia bimbang, tapi ia sudah membulatkan tekad untuk memberitahukan rahasia ini pada Ken. Rahasia yang sudah lama dijaganya karena ia tahu waktunya telah tiba. Seperti kata ramalan itu, semuanya dimulai tepat ketika usia pemuda itu menginjak usia 20 tahun.
Karena sudah mulai larut malam dan perayaan usai, satu persatu anak-anak keluar dari ruangan itu. Tinggal yang tersisa adalah penghuni kamar itu.
"Ken, bisa kita bicara di kantor sebentar," pinta Pak Kepala Panti melangkah mendahului.
"Mmh? Eh, ya." Ken tahu, bila Pak Kepala Panti meminta bertemu di ruang kantornya yang kecil itu, berarti ada hal penting yang pria itu ingin sampaikan. Pemuda itu akhirnya mengikuti tanpa banyak bicara.
Mereka kemudian memasuki sebuah ruang kecil yang telah menjadi kantor Panti itu di lantai satu. Keduanya duduk berhadapan di kursi sofa yang terlihat sedikit lusuh itu.
"Kamu sebenarnya punya orang tua, Ken," kalimat awal Pak Kepala Panti mengejutkan pemuda itu.
Ken mencondongkan tubuhnya ke depan. "A-aku punya orang tua?" gagapnya. Lama ia berpikir tapi tak menemukan jawabannya. "A-apa aku dibuang? Apa aku pembawa sial?" tanyanya yang membuat wajahnya terlihat kecewa.
"Justru sebaliknya. Ada takdir yang harus kau jalani, hingga kau perlu disembunyikan."
Pemuda itu makin melongo. "Aku?" Ia menunjuk dirinya.
"Iya."
"Ke-kenapa?" Pemuda itu tak habis pikir. Ia hanya pemuda biasa yang ia tahu adalah anak yatim piatu sepanjang hidupnya, dan kini setelah tahu ia punya orang tua, ia harus bagaimana? Kecewa? Bahagia? Mengingat ia tak pernah mengenal mereka dan alasan kedua orang tuanya meninggalkan dirinya.
Kalau bukan karena pembawa sial, lalu apa? Apa ada alasan yang masuk akal sebagai orang tua meninggalkan seorang anak, kalau bukan karena pembawa bencana? Apa karena mereka sudah gila, atau tak punya uang hingga menelantarkannya di panti asuhan?
"Aku ayahmu, Ken."
"Apa?" Lagi-lagi kenyataan ini membingungkan pemuda itu. Diperhatikannya pria yang ada di hadapan. Pria itu belum terlalu tua, sekitar 45 tahun dengan rambut semuanya masih hitam, tapi setahu Ken, pria di depannya bukanlah orang Jepang asli. Ia keturunan Jepang Amerika, sedang dirinya terlihat sangat asia.
Memang gen tidak selalu membuat keturunan menjadi terlihat sama, tergantung gen yang kuat dalam diri tiap orang yang memiliki darah keturunan, tapi Ken masih menyangsikan ucapan Pak Kepala Panti.
Namun kalau diperhatikan lebih dalam, garis-garis wajah mereka memang terlihat sama walau Pak Kepala Panti lebih terlihat Eropa dibanding Ken.
"Bapak a-yah-ku?" Ken mengeja memastikan.
"Iya, aku ayahmu."
Namun kenapa selama ini ia berpura-pura menjadi orang lain? Untuk apa? Ken menyipitkan matanya. "Lalu kenapa selama ini ...."
"Ayah 'kan sudah bilang, ada takdir yang harus kamu jalani." Pria itu tersenyum. Wajahnya memang awet muda karena terlihat seperti umur 35 tahun, sedangkan Ken terlihat seperti anak SMA.
"Lalu ibuku? Apa ia masih hidup?" Pemuda itu masih dalam posisi kebingungan.
"Itu yang aku ingin katakan padamu. Ini mungkin terdengar sulit untukmu."
"Maksudnya?" tanya pemuda itu cepat.
"Ibumu adalah seorang dewi."
"Apa?" Kali ini Ken sulit mempercayai indra pendengarannya.
"Ya, dia seorang dewi."
"Maksud Bapak, aku keturunan Dewi Matahari, begitu?" Ken masih merasa aneh memanggil Pak Kepala Panti dengan sebutan 'ayah'.
Di Jepang, dewi matahari adalah dewi yang sangat dipuja karena menurut mitos, dewi itulah pembuat asal usul pulau-pulau di Jepang. Raja dan ratu Jepang yang kini bertahta adalah anak keturunan dari dewi matahari tersebut.
"Bukan, dia dewi dari Indonesia. Namanya Sri. Aku bertemu dengannya saat berlibur ke Bali."
"Bali ada di Indonesia?" Ken terkejut mendengar pernyataan ini.
Ya, Bali sangat terkenal di seluruh dunia tapi tak banyak yang tahu kalau pulau itu adalah bagian dari Indonesia.
"Jadi ibuku seorang dewi?"
"Iya."
"Dari Bali?"
"Iya."
"Dan bapakku seorang manusia?"
"Iya."
"Seorang blasteran Jepang-Amerika?"
"Mmh, iya."
"Dan adikku seorang serigala?"
Kepala Panti mengerut kening. "Serigala?"
Seketika Ken tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya karena sakit perut menahan geli.
____________________________________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
Seven
Hadir bawa iklan
2023-06-15
1
Nia sumania
hi kak, aku mampir 😍😍😍
2023-06-03
1
Seuntai Kata
bagus semangat kak.🙂
2023-06-03
1