Ken mengusap pipinya yang kembali basah. "Mimi. Nanti kalau kau rindu, kau bisa kembali menengok kami di sini. Kau tinggal bilang pada mereka dan mereka akan mengantarmu ke sini."
"Iya?" Gadis kecil itu mengangkat kepala dan memiringkannya menatap Ken. Rambutnya yang sebahu menutup sebagian pipi tembam yang basah karena air mata.
Ken mengangguki kebohongannya. "Mmh."
Gadis itu berhenti menangis, tapi sebagai gantinya ia memeluk lengan pemuda itu dan menyadarkan kepalanya pada bahu Ken.
"Tapi Mimi sendirian. Kak Ken ikut, ya?"
Pemuda itu tersenyum dan mengusap punggung Mimi. "Coba Mimi lihat dulu di sana ya? Masih ada gak kamar buat Kakak?"
Gadis kecil itu menoleh pada pasangan suami istri itu. "Ada kamar gak buat Kak Ken?"
Ken langsung mendahului. "Mimi ... Mimi tolong lihat ke sana ya, kamarnya bagus gak buat Kakak, kalau bagus baru Kakak ke sana."
Gadis kecil itu mengangguk. Ia kini mengarahkan kedua tangannya pada suami istri itu agar menggendongnya.
Wanita itu dengan senang meraih bocah kecil itu. "Terima kasih, Dek."
Setelah berbasa basi mereka segera pamit. Anak-anak panti memenuhi tangga mengantar kepergian Mimi. Dari wajahnya terlihat jelas gadis kecil itu tak rela tapi ia berusaha tegar.
Ketika Ken sampai di pintu depan bersama Pak Kepala Panti, anak-anak yang lain bersama Pengurus Panti memenuhi pintu untuk melihat Mimi terakhir kalinya.
Ya, Mimi adalah anak kesayangan anak-anak di panti juga, karena selain paling kecil, juga paling lucu dan manis di antara anak-anak di panti. Mungkin karena inilah ia terpilih sebagai anak angkat suami istri itu.
Ken teringat sesuatu. Ia ingat kalung yang ia pakai dan segera melepasnya. Ia berlari mendatangi wanita itu dengan membawa kalung itu. "Boleh aku memasangkan padanya?"
"Oh, boleh. Silahkan."
Ken mengalungkan pada gadis kecil itu yang terlihat kepanjangan dipakai olehnya. "Kalau rindu ingat ini. Kakak selalu bersamamu."
Gadis kecil itu menatap kalung yang berbandul uang koin yang bolong di tengah itu. Ketiganya kemudian masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil itu meninggalkan halaman Panti Asuhan.
Wajah-wajah sedih sudah tampak. Bisa melambaikan tangan saja sudah bersyukur karena selebihnya ada yang menangis meratapi kepergian Mimi.
Perlahan-lahan mereka masuk kembali ke dalam panti. Saat Ken masuk dan menutup pintu, kembali Pak Kepala Panti memanggilnya ke kantor.
"Suka atau tidak suka kamu harus mendengar ini, Ken, sebelum kamu pergi. Ini penting."
"Maaf, Pak, aku sedang tidak mood untuk mendengarkan apapun, aku harus ke kantor lagi," jawab Ken sambil tertunduk.
"Ken, waktumu tidak banyak. Ayah harus katakan ini," Pak kepala panti meraih tangan Ken tapi pemuda itu menepisnya.
"Maaf, Pak, dengan hormat. Aku tidak sedang ingin bercanda," pinta pemuda itu menjauh. Ia segera melangkah ke pintu.
Pak Ryu tetap menghalang-halanginya keluar.
"Pak! Maaf, aku ingin ke kantor!" bentak pemuda itu kesal.
"Apa kamu punya pacar?"
"Apa?"
"Seseorang sedang mengincar pacarmu."
Ken mengerut kening. Pertanyaan apa ini? "Apa bapak pernah lihat aku pacaran?"
"Ken, aku serius. Jangan sembunyikan dia dariku. Kita harus menyelamatkannya."
"Menyelamatkan apa? Bapak 'kan tahu sendiri aku tidak punya pacar."
"Tapi ramalan itu gak mungkin salah. Seseorang akan menculik pacarmu."
Ramalan gila! "Aku gak punya pacar, Pak, masa aku bohong sih! Sudah, aku mau pergi kerja."
Pak Ryu tetap menghalangi. "Atau seorang gadis yang kau suka?"
Ken tersenyum lebar. "Aku menyayangi Mimi," ledeknya. "Puas?" Ia berhasil melewati Pak Kepala Panti.
"Nama aslimu Kenzie Brightman dan aku memang benar-benar ayahmu Ken!" teriak Pak Kepala Panti dengan harapan Ken mau mendengarkan.
Namun Ken hanya berhenti sebentar karena kemudian ia melangkah ke pintu dan pergi keluar tanpa bicara apa-apa.
------------+++-----------
Ken sedang membantu memfotokopi berkas-berkas milik pegawai ketika HP di kantong celananya berbunyi. Ia mengeceknya.
Panti? Ada apalagi ini? Apa soal omong kosong itu lagi? Ah, kenapa Pak Ryu bersikeras membicarakan masalah ramalan itu sih? Apa tidak ada percakapan lain yang lebih menarik dari pada sebuah ramalan? Bukankah ramalan itu lebih cocok untuk anak perempuan? Anak laki-laki seperti aku ini sudah jelas masa depannya. Kosong. Ken tertawa dalam hati.
Ah, tapi menyenangkan juga kalau benar dia Ayahku terlepas dari kenapa dan masalah ramalan itu. Aku sendiri sering menduga-duga seperti apa wajah orang tuaku. Ibuku pasti wanita yang sangat lembut dan mereka meninggal karena kecelakaan. Saat itu, Ken menggeleng-gelengkan kepala. Ah, kenapa aku berpikiran buruk lagi.
Dering telepon pun berhenti. Tak lama terdengar pesan masuk. Ken segera membukanya. Betapa terkejutnya Ken membaca pesan itu dan membuat lututnya lemas seketika. Dia jatuh terduduk di samping mesin fotokopi yang masih berbunyi karena masih mengkopi beberapa berkas di dalamnya.
Air matanya menganak sungai di sudut mata. Mengapa penderitaannya hari ini tak kunjung usai? Mengapa?
Pundaknya mulai bergetar hebat saat ia tak lagi bisa menahan isak tangis yang mulai mengurungnya dalam penyesalan. Penyesalan yang selalu datang di akhir.
Beberapa menit kemudian, Ken sudah berada di dalam kantor atasannya. Setelah menyerahkan berkas yang sudah ia fotokopi, ia meminta izin pulang.
Atasannya sangat murka. Ia memarahi Ken di depan pegawai yang lain karena seenaknya saja minta izin pulang padahal tadi pagi sudah datang terlambat.
Ken sudah menjelaskan alasannya tapi atasannya itu tidak percaya dan mengancam akan memberhentikan pemuda itu kalau ia tetap nekat pulang. Karena kalut, Ken tak peduli.
Di saat atasannya belum selesai memarahi, ia segera minta maaf dan pergi. Atasannya sangat kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa karena pemuda itu telah berlari keluar.
Bergegas setelah turun dari lift, Ken pergi ke stasiun kereta api yang biasa ia naiki, karena ia harus kembali pulang. Gembong kereta api yang masih kosong membuat ia kali ini bisa mendapat tempat duduk seperti tadi pagi. Hanya saja kali ini seperti juga tadi pagi, ia tidak bahagia. Kalau tadi pagi, ia berada dalam kesedihan yang mendalam, tapi kini ia hancur. Hancur sehancur-hancurnya.
Ia duduk di sudut gerbong itu saat air matanya mulai jatuh. Ia mengangkat kakinya naik ke atas kursi dan memeluknya erat. Sesekali gigilnya karena isak tangis tak bisa mengubah apa-apa, karena ... hanya itu yang ia bisa lakukan, hanya itu. Ia hanyalah manusia yang tak berdaya.
Setelah turun dari kereta api ia bergegas keluar. Sebagian dirinya merasa hampa. Ia antara bingung, ingin segera sampai atau memperlambat jalannya sebab hasilnya akan tetap sama karena ia sangat takut mendengar kenyataan di sana. Ia merasa bersalah. Dengan jalan gontai ia menuju panti.
Tak dapat ditolak, ia akhirnya sampai. Suasana duka menyelimuti panti. Ada polisi di sana sedang berbicara dengan Pak Kepala Panti. Saat pria itu melihat Ken sudah datang, ia segera memanggilnya. Ken terpaksa mendatangi mereka dengan berusaha tegar.
__________________________________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
AGDHA LY
btw aku mampir lg, sori agak lama ehe (`・ω・´)
2023-05-31
1
AGDHA LY
wah kenapa nih, ada polisi. aku udah sempet ngira dia diputusin, atau bapaknya ternyata tewas. tapi kayaknya ini soal mimi yah?
2023-05-31
1
AGDHA LY
ken yg di bilang bapakmu itu bukan candaan 🥲
2023-05-31
1