"Ken." Pak Ryu memberikan kalung berbandul koin yang bolong di tengah pada pemuda itu dan mulai bercerita. "Sebuah bus pariwisata menabrak mobil yang dinaiki Mimi bersama orang tua angkatnya hingga kedua kendaraan itu terguling masuk jurang dan terbakar. Di sana mayatnya banyak yang tidak dikenali karena hangus. Hanya benda ini saja yang selamat."
Ken menggenggam kalung itu erat dan kembali meneteskan air mata. Mimi ... maafkan kakak ya?
"Di dalam bus pariwisata itu juga terdapat beberapa mayat anak kecil yang hangus terbakar jadi masih akan diidentifikasi."
"Tunggu dulu!" Ken menghapus air matanya dan meneliti kalung itu. Ada keanehan yang ia lihat di tangannya. "Di mana kalung ini ditemukan?" Ia bertanya pada polisi di sampingnya.
"Sekitar satu meter dari mobil itu."
Ken meneliti kembali kalung itu. Tali kalung itu dibuat dari besi biasa. Juga koinnya, tapi tak ada tanda-tanda kerusakan pada kalung dan juga koinnya. Padahal kalau jatuh ke jurang, walau tidak dalam, tapi pastinya terlempar dan terbentur dalam mobil. Namun kalung itu rantainya masih terlihat utuh, juga koinnya. Tak ada kerusakan apapun. Ken tahu karena kalung itu miliknya. "Berapa jam yang lalu kecelakaan itu terjadi?"
"Sekitar 3 jam yang lalu."
"Apa sedingin ini waktu kalung ini ditemukan?"
"Itulah anehnya. Padahal hawa mobil terbakar itu cukup panas. Setidaknya barang-barang di sekitarnya juga ikut panas tapi kalung ini tidak." Polisi juga mencurigai hal yang sama.
"Mudah-mudahan saja, tapi kemungkinannya sangat kecil," gumam pemuda itu.
"Apa Ken?" tanya Pak Ryu.
"Eh, tidak."
Tak lama polisi pun undur diri. Pak Kepala Panti mengantarnya sampai ke depan pintu. Ketika ia menutup pintu, ia menemukan Ken berdiri di belakangnya. "Ada apa Ken?"
"Boleh aku bertanya soal ramalan itu?"
Kini Pak Ryu mengenyit dahi. Kenapa Ken tiba-tiba tertarik soal ramalan itu? Bukankah ia sudah berkali-kali ingin cerita tapi pemuda itu tak mau mendengarkan. Namun kini ... apa yang membuat Ken berubah pikiran? "Eh, baiklah. Ayo kita ke kantor."
Mereka kemudian duduk berseberangan di kursi sofa yang dipisah oleh sebuah meja pendek. Pak Ryu menatap pemuda itu sejenak dan kemudian menarik diri dan bersandar. Ia tersenyum.
"Apanya yang lucu?"
"Aku juga dulu berpikir sepertimu tak percaya dengan apa yang istriku katakan hingga dia membawaku ke tempat para dewa. Di situlah aku takjub dan percaya. Malah ada insiden aku tak sengaja menjatuhkanmu ke kolam cinta."
"Sudah yang itu lewati saja. Langsung ke intinya soal ramalan. Eh, apa tadi? Kolam cinta?" Ken yang serius tiba-tiba tertarik dengan cerita barusan.
"Iya. Biasanya para dewa yang ingin membuat pasangan jatuh cinta, mereka memanah pasangan itu dengan panah yang sudah dicelupkan ke dalam kolam cinta sehingga mereka akan jatuh cinta, tapi karena kamu jatuh ke dalam kolam cinta, maka kamu terkena kutukan. Begitu katanya."
"Kutukan apa?"
"Orang yang pernah tenggelam di dalam kolam cinta akan selalu menemukan orang yang jatuh cinta padanya ke manapun ia pergi."
"Oh, apa itu sebuah kutukan?"
"Berbahaya bila kamu punya pacar dan kamu harus siap-siap karena akan sering mematahkan hati banyak wanita."
Ia kembali teringat, sedari kecil ada saja gadis yang datang padanya dan menyatakan cinta. Ia harus dengan hati-hati menolak karena ia sebenarnya tidak tega melihat seseorang bersedih karena dirinya.
Padahal wajahnya biasa saja untuk standar orang Jepang bahkan ia pernah dihajar teman sekelasnya juga karena perkara cinta. Karena itu Ken sangat hati-hati saat berbicara dengan lawan jenis sebab sering kali ia terlibat masalah dikarenakan perkara asmara ini.
"Ah, sudah lupakan itu. Itu tidak penting. Aku lebih tertarik dengan ramalan yang Bapak sebutkan tadi pagi," pinta Ken tergesa-gesa.
Pak Ryu tersenyum menahan tawa melihat tingkah Ken.
Pemuda itu keheranan. "Kenapa lagi?"
"Kenapa kini kamu malah tertarik?"
"Pak ... jangan bikin aku mati penasaran dong Pak ...." Ken memohon.
"Malah Ayah meragukan kamu bisa mati."
"Apa? Pak ...." Pemuda itu mulai merengek.
Pak Ryu tertawa. "Katanya percaya. Kok panggil Ayah masih 'Pak'?" ucapan menyentil telinga dari pria itu membuat Ken berusaha meluluskan permintaannya.
"Iya, Ayah. Tolong," jawab Ken sesopan mungkin.
"Kau tak ingin bertemu ibumu?"
"Ayah ...," keluh pemuda itu makin kesal.
Pak Ryu kembali tertawa. Tiba-tiba ....
Brag!
Apa itu? Keduanya berdiri memandang ke arah pintu.
Pak Ryu membuka pintu dan mendapati Yumi masuk dari pintu depan dalam keadaan mabuk.
"Yumi ...." Ken yang lebih dulu keluar dari ruang kantor Pak Kepala Panti, segera mendatangi Yumi yang ternyata datang tidak sendirian.
Gadis itu datang bersama Reo dan Tano.
"Yumi ...."
"Hich(cegukan), Kak Ken apa aku bermimpi?" Yumi masih memegang botol minum seraya menghampiri Ken. Pipinya bersemu merah di wajah putihnya. Ia berjalan sempoyongan dengan mata setengah terbuka.
"Yumi, apa maksudmu?"
Yumi mencapai Ken dengan berpegang pada bahunya. Ia kembali menegak minuman dari botol itu. "Aku ... aku dengar Mimi pergi ... tapi mereka meralatnya. Mimi, Mimi pergi untuk selamanya ...." Ia terdiam dengan sudut mata yang tergenang. "Mengapa ... mengapa mereka membohongiku. Membohongi orang mabuk sepertiku. Mengapa! MENGAPA!!!" Air matanya luruh.
Ken pun tak sanggup menjawab kesedihan Yumi. Ia sendiri ragu, apa ia harus ikut bersedih atau tidak tapi ia berharap dugaannya benar. Namun ... itu tinggal harap. Kenyataan mungkin berbeda, mungkin ... tidak serumit yang ia kira. "Yumi. Kau dari mana saja? Kenapa sedari tadi kamu susah dihubungi, kata Junko." Junko adalah salah seorang pegawai di panti itu.
Yumi mendorong Ken dengan kasar. "Aku tidak tahu!" Air matanya masih mengalir dengan wajah mati rasa. "A-a-aku ...." Ia terdiam sejenak. Kemudian ia berbalik dan segera pergi. Reo dan Tano mengikutinya.
"Yumi ...!" Ken melihat Reo memapah Yumi agar bisa berjalan lurus. Ia tak rela. Saat ia mencoba mengejar, Pak Ryu mencegahnya.
"Pembicaraan kita belum selesai."
"Tapi aku tidak bisa membiarkan Yumi bersama Reo dan Tano, Pak, mereka adalah anak-anak brandalan yang sering berkeliaran di pemukiman kumuh! Apa Bapak akan membiarkan saja sesuatu terjadi pada Yumi?" Air mata Ken jatuh karena segala sesuatu yang terjadi hari itu benar-benar telah merusak otak dan jiwanya. Ia tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.
"Apa? Benarkah itu ... mereka pemuda-pemuda berandalan?!!" Pak Ryu berusaha memastikan dengan wajah nanar.
"Pak, tolong ...."
Pak Ryu akhirnya segera melepas Ken, ketika sadar dirinya masih menahan pemuda itu.
Ken berlari keluar tapi ia sudah tak menemukan Yumi lagi. Yumi, kau ke mana? Yumi .... Ah! Ken kebingungan. Ia memikirkan tempat yang biasa dikunjungi Yumi seraya berjalan mencari dalam gegas. Ia memikirkan kedai-kedai rumah makan, tempat biasa yang sering mereka lalui bersama, atau ... tempat nongkrong anak-anak berandalan itu!
__________________________________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
AGDHA LY
lho, beberapa? bukan mimi aja yg diadopsi?
2023-06-01
1
AGDHA LY
ya ampun tragis parah, baru juga ngadopsi anak, dan anak baru dapet orangtua malah dipanggil 😭
2023-06-01
1
Erarefo Alfin Artharizki
up gan
2023-04-30
1