Kepala Panti awalnya tak mengerti kenapa pemuda itu menganggap lucu apa yang dikatakan, hingga ia sadar pemuda itu tidak percaya dengan apa yang ia ceritakan.
Ia kemudian beranjak berdiri dari sofa dan mendatangi meja. Pria itu membuka laci meja itu. "Apa kau ingat nasehatku sejak kecil padamu?"
"Mmh?" Pemuda itu menoleh dan menghentikan tawanya. Ia mengerut kening. "Yang mana?"
"Bahwa badanmu lemah dan tak bisa melakukan pekerjaan berat."
"Oh, ya ...." Pikiran pemuda itu kembali dipenuhi tanya.
"Itu semata-mata agar kamu tidak membocorkan jati dirimu yang asli."
"Apa? Maksud Bapak aku punya kekuatan?" Ken kembali menunjuk dirinya dan mulai kembali tertawa. "Kenapa Bapak bikin lelucon ini sih? Apa karena aku ulang tahun? Oh ok, terima kasih, Bapak telah memberiku semangat untuk mengarungi hidup ini yang penuh dengan masalah tapi ini sudah berlebihan, Pak. Ini sud—"
Ia terperanjat melihat Pak Kepala Panti mengeluarkan sebilah pisau belati dari dalam laci. "Bapak mau apa dengan pisau itu, Pak?" Ia terkejut dan berdiri dari duduknya. "Bapak Ryu Brightman ...."
Pak Kepala Panti mendekati Ken dan menarik tangan pemuda itu ke atas. "Untuk membuktikan padamu ceritaku." Seketika itu juga ia menyabet belati ke lengan baju pemuda itu hingga robek. Mengucur darah segar dari sela robekan lengan baju itu.
"Ahhh!"
Luka itu sedikit dalam, sehingga Ken sendiri takut melihatnya. "Pak!" Ia menahan sakit.
Sebenarnya Pak Kepala Panti juga takut hingga menjatuhkan pisau itu karena panik, tapi berdasarkan apa yang dilihatnya waktu Ken kecil, ia yakin kemampuan anaknya itu tidak akan berubah.
Diraihnya tangan Ken yang lain. Ia meletakkan telapak tangan pemuda itu pada luka menganga yang baru saja pemuda itu dapatkan.
"Pak ...." Ken mengiba pada ayahnya karena merasakan perih dan juga sakit.
"Percaya padaku Ken, genggam lenganmu erat-erat! Satukan kulit yang terluka itu!"
Karena tak punya pilihan, pemuda itu mengikuti petunjuk pria itu walau tak yakin akan ucapannya. Sambil menahan rasa sakit, ia menyatukan kulit yang terbelah itu pelan-pelan dalam genggaman telapak tangannya. Pelan tapi pasti, rasa sakit itu mulai menghilang.
Ia juga merasa aneh. Yang tadinya ia menutup mata karena tak berani melihat luka tangannya, kini perlahan membuka mata itu dan melihat bagaimana darahnya berhenti mengucur dan Pak Kepala Panti mulai memutar telapak tangannya agar menyentuh sisi lain lengan yang masih terluka ... dan ajaib. Rasa nyeri dan sakit itu menghilang.
Pria itu melepas genggaman tangan pemuda itu. Ken melongo. Tak ada sedikit pun luka goresan terlihat di sana. Kulitnya kembali mulus seperti sedia kala. Yang ada hanya lengan bajunya yang robek akibat belati dan juga noda darah pada baju dan lantai. Pemuda itu masih kebingungan.
"Aku selalu menyuruhmu untuk tidak berlari-lari, memakai pakaian tertutup, dan tidak ikut olahraga raga berat karena itu. Aku tidak ingin ada orang tahu, kau bisa menyembuhkan lukamu sendiri dalam hitungan detik. Aku juga tidak ingin kau tahu kemampuanmu karena belum waktunya, jadi aku menjagamu agar tidak terluka."
"Pantas, waktu itu aku pernah luka di kaki akibat jatuh dari pagar, dan esoknya sembuh tak berbekas." Ken mengingat-ingat.
Pada waktu itu, di malam hari saat Ken tertidur lelap, Pak Kepala Panti menyembuhkan luka anaknya lewat tangan pemuda itu sendiri dan Ken tidak mengetahuinya.
"Ah, tapi tak mungkin," gumam Ken menoleh pada Pak Kepala Panti. "Bapak sedang belajar sulap di mana sih? Aku benar-benar tertipu ini!"
Pak Kepala Panti menepuk dahinya, kehabisan kata-kata. "Ken, bagaimana lagi Ayah harus mengatakan padamu?"
"Trikmu sangat bagus, Ayah." Ken kembali tergelak. Ia kemudian memeluk Pak Kepala Panti. "Tapi aku senang, ada yang mengakuiku sebagai anaknya. Terima kasih, Ayah." Ia menepuk lengan Pak Kepala Panti dan melangkah keluar ruangan.
"Ken, masih ada lagi yang harus kau dengar ...."
Ken kembali tertawa. "Iya, iya. Besok saja ya, Yah, ini sudah larut malam," ujarnya menghindar. Ia hanya geleng-geleng kepala saat menutup pintu dan tersenyum lebar.
Pemuda itu tertegun melihat Yumi yang baru saja keluar dari dapur, menatapnya aneh. "Eh ...." Baru saja ia menaikkan tangan ingin memanggil, gadis itu bergegas ke arah tangga dan menaikinya. Aneh? Ada apa dengannya?
Ken berusaha tidak memusingkannya dan mulai melangkah ke arah tangga, mengikuti gadis itu.
------------+++----------
Ken bergegas. Bahkan setengah berlari ia melewati jalan yang tidak besar itu dan sesekali masuk ke sebuah gang untuk mencari jalan pintas.
Ia yang sudah pergi ke kantor terpaksa balik kembali pulang dengan naik kereta seperti saat ia pergi ke kantor tadi dan kini terpaksa ia berlari dengan kecepatan penuh agar tidak terlambat.
Ini untuk terakhir kalinya dan mereka mungkin tidak akan bertemu lagi. Pikiran itu sangat mengusiknya hingga kakinya gemetar tiap kali mengingat hal itu.
Akhirnya Ken sampai juga di depan halaman panti dengan membungkukkan tubuh mengatur napas. Ini untuk pertama kalinya ia berlari dengan sekuat tenaga dan ingat kembali kata-kata Pak Kepala Panti bahwa tubuhnya tak selemah itu. Ia antara percaya dan tidak tapi entah kenapa ingin mencoba membuktikannya.
Ia menengok ke samping. Sebuah mobil sedang terparkir di sana dan terlihat mewah. Ia berada antara lega tapi tak rela tapi bukan ia yang menentukan. Ini demi masa depan anak itu.
Pemuda itu menegakkan tubuhnya. Setelah mengatur napas ia membuka pintu depan dengan jantung yang sedikit berdetak kencang. Ia kemudian melangkah masuk ke kantor Pak Kepala Panti.
Dilihatnya sepasang suami-istri yang masih muda dan berpakaian mahal memandang ke arahnya. Bersama mereka ada Pak Kepala Panti yang sedang memangku Mimi. Mimi ... Mimiku. Apa kau akan pergi?
"Kak Ken ...." Mimi menangis mengangkat tangan ke arah Ken ketika melihat kedatangan pemuda itu.
Pemuda itu tak tega dan segera menggendongnya. Ia memeluk Mimi erat, adik kesayangan yang selalu ia rindukan saat pulang. "Jangan menangis Mimi." Matanya pun mulai berkaca-kaca.
Ini untuk kebaikan Mimi agar ia punya orang tua dan punya masa depan. Tidak seperti dirinya yang sudah selama ini tinggal di panti tapi tak ada seorang pun yang mau mengadopsinya. Suatu keberuntungan untuk seorang anak panti bila ada yang mengambil dan mengangkatnya menjadi anak karena tidak banyak orang yang mau melakukan dan Mimi sangatlah beruntung.
"Itu ada Papa Mama yang baik sama kamu Mimi, yang akan membelikanmu baju bagus dan boneka cantik, juga mainan yang sangat banyak atau kue yang enak. Pergilah dengan mereka Mimi, kamu akan senang bersama mereka." Ken berusaha menahan air matanya tetapi bulir-bulir air mata itu tetap tak sanggup ia bendung. Air mata itu akhirnya mengalir tanpa diminta, membuat ia terpaksa cepat-cepat mengusapnya agar Mimi tak melihatnya.
"Kak Ken ...." Mimi masih terisak memeluk leher pemuda itu.
___________________________________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments
Mom Yara
akunlanjut kak, maaih penasaran
2023-06-04
1
Lena Laiha
aduh ngeri
2023-06-03
1
AGDHA LY
foto terakhir itu fotonya ken? ganteng banget 😭
2023-05-18
1