NovelToon NovelToon

Temukan Aku 1000 Tahun Lagi

Ulang Tahun

"Aku pulang," ucap Ken ketika masuk ke dalam panti asuhan.

Walaupun telah larut, ia melihat lampu masih menyala dari luar tapi tak ada satu orang pun di dalamnya. Ia dan Yumi, teman baiknya, baru pulang bekerja. Mereka saling pandang.

"Apa ada yang nakal lagi dan anak-anak dikumpulkan di bangsal kamar tidur?"

Yumi mengangkat bahu. Mereka kemudian naik ke lantai atas dengan menaiki tangga. Di kamar pertama yang dibuka, tidak ada seorang pun di sana. Kemudian juga di kamar berikutnya. Ketika Yumi hendak membuka kamar ketiga, Ken melarangnya.

"Kenapa?"

"Itu, kamar di ujung sana itu kok mati lampu?" Ken menunjuk ke arah ujung koridor. Benar saja, searah telunjuk pemuda itu, di kamar paling ujung di koridor, lampunya dimatikan. Ada apa di sana? Kenapa lampunya justru dimatikan atau memang mati lampu?

Keduanya yang penasaran, melangkahkan kaki mendatangi tempat itu dengan perasaan ingin tahu. Ken membuka pintu itu perlahan. Gelap di dalam dan sunyi. Ketika ia mencoba menghidupkan lampu, ternyata seseorang berusaha menghidupkannya terlebih dulu.

Pop!

Serpihan kertas kecil yang berwarna warni beterbangan di udara. Anak-anak panti asuhan satu-satu keluar dari tempat persembunyian menyanyikan lagu 'happy birthday to you' mendatangi.

Ken benar-benar terkejut dan senang. Ia menoleh ke arah Yumi yang tersenyum lebar padanya. "Kamu sudah tahu rencana ini ya, dan pura-pura tidak tahu?"

Masih dengan senyum lebar gadis itu mengangguk.

Kepala panti membawa cake coklat di tangan. Anak-anak kecil mendatangi Ken ingin memeluknya.

"Kak Ken!"

"Kak Ken!"

Mereka berebut bersalaman dan malah ada yang minta digendong. Siapa lagi kalau bukan si kecil Mimi.

"Oh, sini Mimi, Sayang." Ken menggendongnya. Gadis kecil itu tertawa sambil berpegangan pada kerah baju pemuda itu ketika Ken menggendongnya. Ia selalu jadi adik kesayangan Ken karena anak paling kecil di panti asuhan itu.

Anak-anak panti yang sudah besar mendatangi Ken kemudian. Mereka berumur antara umur 10 sampai 15 tahun. Para pengurus panti juga ikut hadir di situ sehingga ruangan itu terasa sesak, padahal ruangan itu berisi delapan buah tempat tidur dan itu pun masih cukup luas.

"Selamat ulang tahun ya?" Kepala Panti menyodori kue ulang tahun dengan lilin angka dua puluh yang telah dinyalakan. Ken meniupnya.

"Ye ...." sorak anak-anak.

"Sekarang usiamu sudah 20 tahun Ken Tachibana, kau sudah dewasa."

"Terima kasih, Pak," ucap pemuda itu pada Kepala Panti.

"Sekarang kita coba kuenya ya, siapa yang mau?"

"Saya!"

"Saya! "

"Saya!"

Anak-anak berebut ingin makan. Seperti biasa, mereka semua dapat irisan tipis cake-nya atau satu potong kecil untuk makan berdua, dan seperti biasa pula bila ada yang berulang tahun, Ken tak pernah minta bagian. Demikian pula orang-orang dewasa lainnya agar anak-anak itu semua mendapat bagiannya.

Setelah membagi-bagikan kue, Kepala Panti menatap ke arah Ken yang sedang menyuapi Mimi dan mengobrol dengan Yumi dan anak-anak lainnya.

Ia bimbang, tapi ia sudah membulatkan tekad untuk memberitahukan rahasia ini pada Ken. Rahasia yang sudah lama dijaganya karena ia tahu waktunya telah tiba. Seperti kata ramalan itu, semuanya dimulai tepat ketika usia pemuda itu menginjak usia 20 tahun.

Karena sudah mulai larut malam dan perayaan usai, satu persatu anak-anak keluar dari ruangan itu. Tinggal yang tersisa adalah penghuni kamar itu.

"Ken, bisa kita bicara di kantor sebentar," pinta Pak Kepala Panti melangkah mendahului.

"Mmh? Eh, ya." Ken tahu, bila Pak Kepala Panti meminta bertemu di ruang kantornya yang kecil itu, berarti ada hal penting yang pria itu ingin sampaikan. Pemuda itu akhirnya mengikuti tanpa banyak bicara.

Mereka kemudian memasuki sebuah ruang kecil yang telah menjadi kantor Panti itu di lantai satu. Keduanya duduk berhadapan di kursi sofa yang terlihat sedikit lusuh itu.

"Kamu sebenarnya punya orang tua, Ken," kalimat awal Pak Kepala Panti mengejutkan pemuda itu.

Ken mencondongkan tubuhnya ke depan. "A-aku punya orang tua?" gagapnya. Lama ia berpikir tapi tak menemukan jawabannya. "A-apa aku dibuang? Apa aku pembawa sial?" tanyanya yang membuat wajahnya terlihat kecewa.

"Justru sebaliknya. Ada takdir yang harus kau jalani, hingga kau perlu disembunyikan."

Pemuda itu makin melongo. "Aku?" Ia menunjuk dirinya.

"Iya."

"Ke-kenapa?" Pemuda itu tak habis pikir. Ia hanya pemuda biasa yang ia tahu adalah anak yatim piatu sepanjang hidupnya, dan kini setelah tahu ia punya orang tua, ia harus bagaimana? Kecewa? Bahagia? Mengingat ia tak pernah mengenal mereka dan alasan kedua orang tuanya meninggalkan dirinya.

Kalau bukan karena pembawa sial, lalu apa? Apa ada alasan yang masuk akal sebagai orang tua meninggalkan seorang anak, kalau bukan karena pembawa bencana? Apa karena mereka sudah gila, atau tak punya uang hingga menelantarkannya di panti asuhan?

"Aku ayahmu, Ken."

"Apa?" Lagi-lagi kenyataan ini membingungkan pemuda itu. Diperhatikannya pria yang ada di hadapan. Pria itu belum terlalu tua, sekitar 45 tahun dengan rambut semuanya masih hitam, tapi setahu Ken, pria di depannya bukanlah orang Jepang asli. Ia keturunan Jepang Amerika, sedang dirinya terlihat sangat asia.

Memang gen tidak selalu membuat keturunan menjadi terlihat sama, tergantung gen yang kuat dalam diri tiap orang yang memiliki darah keturunan, tapi Ken masih menyangsikan ucapan Pak Kepala Panti.

Namun kalau diperhatikan lebih dalam, garis-garis wajah mereka memang terlihat sama walau Pak Kepala Panti lebih terlihat Eropa dibanding Ken.

"Bapak a-yah-ku?" Ken mengeja memastikan.

"Iya, aku ayahmu."

Namun kenapa selama ini ia berpura-pura menjadi orang lain? Untuk apa? Ken menyipitkan matanya. "Lalu kenapa selama ini ...."

"Ayah 'kan sudah bilang, ada takdir yang harus kamu jalani." Pria itu tersenyum. Wajahnya memang awet muda karena terlihat seperti umur 35 tahun, sedangkan Ken terlihat seperti anak SMA.

"Lalu ibuku? Apa ia masih hidup?" Pemuda itu masih dalam posisi kebingungan.

"Itu yang aku ingin katakan padamu. Ini mungkin terdengar sulit untukmu."

"Maksudnya?" tanya pemuda itu cepat.

"Ibumu adalah seorang dewi."

"Apa?" Kali ini Ken sulit mempercayai indra pendengarannya.

"Ya, dia seorang dewi."

"Maksud Bapak, aku keturunan Dewi Matahari, begitu?" Ken masih merasa aneh memanggil Pak Kepala Panti dengan sebutan 'ayah'.

Di Jepang, dewi matahari adalah dewi yang sangat dipuja karena menurut mitos, dewi itulah pembuat asal usul pulau-pulau di Jepang. Raja dan ratu Jepang yang kini bertahta adalah anak keturunan dari dewi matahari tersebut.

"Bukan, dia dewi dari Indonesia. Namanya Sri. Aku bertemu dengannya saat berlibur ke Bali."

"Bali ada di Indonesia?" Ken terkejut mendengar pernyataan ini.

Ya, Bali sangat terkenal di seluruh dunia tapi tak banyak yang tahu kalau pulau itu adalah bagian dari Indonesia.

"Jadi ibuku seorang dewi?"

"Iya."

"Dari Bali?"

"Iya."

"Dan bapakku seorang manusia?"

"Iya."

"Seorang blasteran Jepang-Amerika?"

"Mmh, iya."

"Dan adikku seorang serigala?"

Kepala Panti mengerut kening. "Serigala?"

Seketika Ken tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya karena sakit perut menahan geli.

____________________________________________

Pergi

Kepala Panti awalnya tak mengerti kenapa pemuda itu menganggap lucu apa yang dikatakan, hingga ia sadar pemuda itu tidak percaya dengan apa yang ia ceritakan.

Ia kemudian beranjak berdiri dari sofa dan mendatangi meja. Pria itu membuka laci meja itu. "Apa kau ingat nasehatku sejak kecil padamu?"

"Mmh?" Pemuda itu menoleh dan menghentikan tawanya. Ia mengerut kening. "Yang mana?"

"Bahwa badanmu lemah dan tak bisa melakukan pekerjaan berat."

"Oh, ya ...." Pikiran pemuda itu kembali dipenuhi tanya.

"Itu semata-mata agar kamu tidak membocorkan jati dirimu yang asli."

"Apa? Maksud Bapak aku punya kekuatan?" Ken kembali menunjuk dirinya dan mulai kembali tertawa. "Kenapa Bapak bikin lelucon ini sih? Apa karena aku ulang tahun? Oh ok, terima kasih, Bapak telah memberiku semangat untuk mengarungi hidup ini yang penuh dengan masalah tapi ini sudah berlebihan, Pak. Ini sud—"

Ia terperanjat melihat Pak Kepala Panti mengeluarkan sebilah pisau belati dari dalam laci. "Bapak mau apa dengan pisau itu, Pak?" Ia terkejut dan berdiri dari duduknya. "Bapak Ryu Brightman ...."

Pak Kepala Panti mendekati Ken dan menarik tangan pemuda itu ke atas. "Untuk membuktikan padamu ceritaku." Seketika itu juga ia menyabet belati ke lengan baju pemuda itu hingga robek. Mengucur darah segar dari sela robekan lengan baju itu.

"Ahhh!"

Luka itu sedikit dalam, sehingga Ken sendiri takut melihatnya. "Pak!" Ia menahan sakit.

Sebenarnya Pak Kepala Panti juga takut hingga menjatuhkan pisau itu karena panik, tapi berdasarkan apa yang dilihatnya waktu Ken kecil, ia yakin kemampuan anaknya itu tidak akan berubah.

Diraihnya tangan Ken yang lain. Ia meletakkan telapak tangan pemuda itu pada luka menganga yang baru saja pemuda itu dapatkan.

"Pak ...." Ken mengiba pada ayahnya karena merasakan perih dan juga sakit.

"Percaya padaku Ken, genggam lenganmu erat-erat! Satukan kulit yang terluka itu!"

Karena tak punya pilihan, pemuda itu mengikuti petunjuk pria itu walau tak yakin akan ucapannya. Sambil menahan rasa sakit, ia menyatukan kulit yang terbelah itu pelan-pelan dalam genggaman telapak tangannya. Pelan tapi pasti, rasa sakit itu mulai menghilang.

Ia juga merasa aneh. Yang tadinya ia menutup mata karena tak berani melihat luka tangannya, kini perlahan membuka mata itu dan melihat bagaimana darahnya berhenti mengucur dan Pak Kepala Panti mulai memutar telapak tangannya agar menyentuh sisi lain lengan yang masih terluka ... dan ajaib. Rasa nyeri dan sakit itu menghilang.

Pria itu melepas genggaman tangan pemuda itu. Ken melongo. Tak ada sedikit pun luka goresan terlihat di sana. Kulitnya kembali mulus seperti sedia kala. Yang ada hanya lengan bajunya yang robek akibat belati dan juga noda darah pada baju dan lantai. Pemuda itu masih kebingungan.

"Aku selalu menyuruhmu untuk tidak berlari-lari, memakai pakaian tertutup, dan tidak ikut olahraga raga berat karena itu. Aku tidak ingin ada orang tahu, kau bisa menyembuhkan lukamu sendiri dalam hitungan detik. Aku juga tidak ingin kau tahu kemampuanmu karena belum waktunya, jadi aku menjagamu agar tidak terluka."

"Pantas, waktu itu aku pernah luka di kaki akibat jatuh dari pagar, dan esoknya sembuh tak berbekas." Ken mengingat-ingat.

Pada waktu itu, di malam hari saat Ken tertidur lelap, Pak Kepala Panti menyembuhkan luka anaknya lewat tangan pemuda itu sendiri dan Ken tidak mengetahuinya.

"Ah, tapi tak mungkin," gumam Ken menoleh pada Pak Kepala Panti. "Bapak sedang belajar sulap di mana sih? Aku benar-benar tertipu ini!"

Pak Kepala Panti menepuk dahinya, kehabisan kata-kata. "Ken, bagaimana lagi Ayah harus mengatakan padamu?"

"Trikmu sangat bagus, Ayah." Ken kembali tergelak. Ia kemudian memeluk Pak Kepala Panti. "Tapi aku senang, ada yang mengakuiku sebagai anaknya. Terima kasih, Ayah." Ia menepuk lengan Pak Kepala Panti dan melangkah keluar ruangan.

"Ken, masih ada lagi yang harus kau dengar ...."

Ken kembali tertawa. "Iya, iya. Besok saja ya, Yah, ini sudah larut malam," ujarnya menghindar. Ia hanya geleng-geleng kepala saat menutup pintu dan tersenyum lebar.

Pemuda itu tertegun melihat Yumi yang baru saja keluar dari dapur, menatapnya aneh. "Eh ...." Baru saja ia menaikkan tangan ingin memanggil, gadis itu bergegas ke arah tangga dan menaikinya. Aneh? Ada apa dengannya?

Ken berusaha tidak memusingkannya dan mulai melangkah ke arah tangga, mengikuti gadis itu.

------------+++----------

Ken bergegas. Bahkan setengah berlari ia melewati jalan yang tidak besar itu dan sesekali masuk ke sebuah gang untuk mencari jalan pintas.

Ia yang sudah pergi ke kantor terpaksa balik kembali pulang dengan naik kereta seperti saat ia pergi ke kantor tadi dan kini terpaksa ia berlari dengan kecepatan penuh agar tidak terlambat.

Ini untuk terakhir kalinya dan mereka mungkin tidak akan bertemu lagi. Pikiran itu sangat mengusiknya hingga kakinya gemetar tiap kali mengingat hal itu.

Akhirnya Ken sampai juga di depan halaman panti dengan membungkukkan tubuh mengatur napas. Ini untuk pertama kalinya ia berlari dengan sekuat tenaga dan ingat kembali kata-kata Pak Kepala Panti bahwa tubuhnya tak selemah itu. Ia antara percaya dan tidak tapi entah kenapa ingin mencoba membuktikannya.

Ia menengok ke samping. Sebuah mobil sedang terparkir di sana dan terlihat mewah. Ia berada antara lega tapi tak rela tapi bukan ia yang menentukan. Ini demi masa depan anak itu.

Pemuda itu menegakkan tubuhnya. Setelah mengatur napas ia membuka pintu depan dengan jantung yang sedikit berdetak kencang. Ia kemudian melangkah masuk ke kantor Pak Kepala Panti.

Dilihatnya sepasang suami-istri yang masih muda dan berpakaian mahal memandang ke arahnya. Bersama mereka ada Pak Kepala Panti yang sedang memangku Mimi. Mimi ... Mimiku. Apa kau akan pergi?

"Kak Ken ...." Mimi menangis mengangkat tangan ke arah Ken ketika melihat kedatangan pemuda itu.

Pemuda itu tak tega dan segera menggendongnya. Ia memeluk Mimi erat, adik kesayangan yang selalu ia rindukan saat pulang. "Jangan menangis Mimi." Matanya pun mulai berkaca-kaca.

Ini untuk kebaikan Mimi agar ia punya orang tua dan punya masa depan. Tidak seperti dirinya yang sudah selama ini tinggal di panti tapi tak ada seorang pun yang mau mengadopsinya. Suatu keberuntungan untuk seorang anak panti bila ada yang mengambil dan mengangkatnya menjadi anak karena tidak banyak orang yang mau melakukan dan Mimi sangatlah beruntung.

"Itu ada Papa Mama yang baik sama kamu Mimi, yang akan membelikanmu baju bagus dan boneka cantik, juga mainan yang sangat banyak atau kue yang enak. Pergilah dengan mereka Mimi, kamu akan senang bersama mereka." Ken berusaha menahan air matanya tetapi bulir-bulir air mata itu tetap tak sanggup ia bendung. Air mata itu akhirnya mengalir tanpa diminta, membuat ia terpaksa cepat-cepat mengusapnya agar Mimi tak melihatnya.

"Kak Ken ...." Mimi masih terisak memeluk leher pemuda itu.

___________________________________________

Mimi

Ken mengusap pipinya yang kembali basah. "Mimi. Nanti kalau kau rindu, kau bisa kembali menengok kami di sini. Kau tinggal bilang pada mereka dan mereka akan mengantarmu ke sini."

"Iya?" Gadis kecil itu mengangkat kepala dan memiringkannya menatap Ken. Rambutnya yang sebahu menutup sebagian pipi tembam yang basah karena air mata.

Ken mengangguki kebohongannya. "Mmh."

Gadis itu berhenti menangis, tapi sebagai gantinya ia memeluk lengan pemuda itu dan menyadarkan kepalanya pada bahu Ken.

"Tapi Mimi sendirian. Kak Ken ikut, ya?"

Pemuda itu tersenyum dan mengusap punggung Mimi. "Coba Mimi lihat dulu di sana ya? Masih ada gak kamar buat Kakak?"

Gadis kecil itu menoleh pada pasangan suami istri itu. "Ada kamar gak buat Kak Ken?"

Ken langsung mendahului. "Mimi ... Mimi tolong lihat ke sana ya, kamarnya bagus gak buat Kakak, kalau bagus baru Kakak ke sana."

Gadis kecil itu mengangguk. Ia kini mengarahkan kedua tangannya pada suami istri itu agar menggendongnya.

Wanita itu dengan senang meraih bocah kecil itu. "Terima kasih, Dek."

Setelah berbasa basi mereka segera pamit. Anak-anak panti memenuhi tangga mengantar kepergian Mimi. Dari wajahnya terlihat jelas gadis kecil itu tak rela tapi ia berusaha tegar.

Ketika Ken sampai di pintu depan bersama Pak Kepala Panti, anak-anak yang lain bersama Pengurus Panti memenuhi pintu untuk melihat Mimi terakhir kalinya.

Ya, Mimi adalah anak kesayangan anak-anak di panti juga, karena selain paling kecil, juga paling lucu dan manis di antara anak-anak di panti. Mungkin karena inilah ia terpilih sebagai anak angkat suami istri itu.

Ken teringat sesuatu. Ia ingat kalung yang ia pakai dan segera melepasnya. Ia berlari mendatangi wanita itu dengan membawa kalung itu. "Boleh aku memasangkan padanya?"

"Oh, boleh. Silahkan."

Ken mengalungkan pada gadis kecil itu yang terlihat kepanjangan dipakai olehnya. "Kalau rindu ingat ini. Kakak selalu bersamamu."

Gadis kecil itu menatap kalung yang berbandul uang koin yang bolong di tengah itu. Ketiganya kemudian masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil itu meninggalkan halaman Panti Asuhan.

Wajah-wajah sedih sudah tampak. Bisa melambaikan tangan saja sudah bersyukur karena selebihnya ada yang menangis meratapi kepergian Mimi.

Perlahan-lahan mereka masuk kembali ke dalam panti. Saat Ken masuk dan menutup pintu, kembali Pak Kepala Panti memanggilnya ke kantor.

"Suka atau tidak suka kamu harus mendengar ini, Ken, sebelum kamu pergi. Ini penting."

"Maaf, Pak, aku sedang tidak mood untuk mendengarkan apapun, aku harus ke kantor lagi," jawab Ken sambil tertunduk.

"Ken, waktumu tidak banyak. Ayah harus katakan ini," Pak kepala panti meraih tangan Ken tapi pemuda itu menepisnya.

"Maaf, Pak, dengan hormat. Aku tidak sedang ingin bercanda," pinta pemuda itu menjauh. Ia segera melangkah ke pintu.

Pak Ryu tetap menghalang-halanginya keluar.

"Pak! Maaf, aku ingin ke kantor!" bentak pemuda itu kesal.

"Apa kamu punya pacar?"

"Apa?"

"Seseorang sedang mengincar pacarmu."

Ken mengerut kening. Pertanyaan apa ini? "Apa bapak pernah lihat aku pacaran?"

"Ken, aku serius. Jangan sembunyikan dia dariku. Kita harus menyelamatkannya."

"Menyelamatkan apa? Bapak 'kan tahu sendiri aku tidak punya pacar."

"Tapi ramalan itu gak mungkin salah. Seseorang akan menculik pacarmu."

Ramalan gila! "Aku gak punya pacar, Pak, masa aku bohong sih! Sudah, aku mau pergi kerja."

Pak Ryu tetap menghalangi. "Atau seorang gadis yang kau suka?"

Ken tersenyum lebar. "Aku menyayangi Mimi," ledeknya. "Puas?" Ia berhasil melewati Pak Kepala Panti.

"Nama aslimu Kenzie Brightman dan aku memang benar-benar ayahmu Ken!" teriak Pak Kepala Panti dengan harapan Ken mau mendengarkan.

Namun Ken hanya berhenti sebentar karena kemudian ia melangkah ke pintu dan pergi keluar tanpa bicara apa-apa.

------------+++-----------

Ken sedang membantu memfotokopi berkas-berkas milik pegawai ketika HP di kantong celananya berbunyi. Ia mengeceknya.

Panti? Ada apalagi ini? Apa soal omong kosong itu lagi? Ah, kenapa Pak Ryu bersikeras membicarakan masalah ramalan itu sih? Apa tidak ada percakapan lain yang lebih menarik dari pada sebuah ramalan? Bukankah ramalan itu lebih cocok untuk anak perempuan? Anak laki-laki seperti aku ini sudah jelas masa depannya. Kosong. Ken tertawa dalam hati.

Ah, tapi menyenangkan juga kalau benar dia Ayahku terlepas dari kenapa dan masalah ramalan itu. Aku sendiri sering menduga-duga seperti apa wajah orang tuaku. Ibuku pasti wanita yang sangat lembut dan mereka meninggal karena kecelakaan. Saat itu, Ken menggeleng-gelengkan kepala. Ah, kenapa aku berpikiran buruk lagi.

Dering telepon pun berhenti. Tak lama terdengar pesan masuk. Ken segera membukanya. Betapa terkejutnya Ken membaca pesan itu dan membuat lututnya lemas seketika. Dia jatuh terduduk di samping mesin fotokopi yang masih berbunyi karena masih mengkopi beberapa berkas di dalamnya.

Air matanya menganak sungai di sudut mata. Mengapa penderitaannya hari ini tak kunjung usai? Mengapa?

Pundaknya mulai bergetar hebat saat ia tak lagi bisa menahan isak tangis yang mulai mengurungnya dalam penyesalan. Penyesalan yang selalu datang di akhir.

Beberapa menit kemudian, Ken sudah berada di dalam kantor atasannya. Setelah menyerahkan berkas yang sudah ia fotokopi, ia meminta izin pulang.

Atasannya sangat murka. Ia memarahi Ken di depan pegawai yang lain karena seenaknya saja minta izin pulang padahal tadi pagi sudah datang terlambat.

Ken sudah menjelaskan alasannya tapi atasannya itu tidak percaya dan mengancam akan memberhentikan pemuda itu kalau ia tetap nekat pulang. Karena kalut, Ken tak peduli.

Di saat atasannya belum selesai memarahi, ia segera minta maaf dan pergi. Atasannya sangat kesal tapi tak bisa berbuat apa-apa karena pemuda itu telah berlari keluar.

Bergegas setelah turun dari lift, Ken pergi ke stasiun kereta api yang biasa ia naiki, karena ia harus kembali pulang. Gembong kereta api yang masih kosong membuat ia kali ini bisa mendapat tempat duduk seperti tadi pagi. Hanya saja kali ini seperti juga tadi pagi, ia tidak bahagia. Kalau tadi pagi, ia berada dalam kesedihan yang mendalam, tapi kini ia hancur. Hancur sehancur-hancurnya.

Ia duduk di sudut gerbong itu saat air matanya mulai jatuh. Ia mengangkat kakinya naik ke atas kursi dan memeluknya erat. Sesekali gigilnya karena isak tangis tak bisa mengubah apa-apa, karena ... hanya itu yang ia bisa lakukan, hanya itu. Ia hanyalah manusia yang tak berdaya.

Setelah turun dari kereta api ia bergegas keluar. Sebagian dirinya merasa hampa. Ia antara bingung, ingin segera sampai atau memperlambat jalannya sebab hasilnya akan tetap sama karena ia sangat takut mendengar kenyataan di sana. Ia merasa bersalah. Dengan jalan gontai ia menuju panti.

Tak dapat ditolak, ia akhirnya sampai. Suasana duka menyelimuti panti. Ada polisi di sana sedang berbicara dengan Pak Kepala Panti. Saat pria itu melihat Ken sudah datang, ia segera memanggilnya. Ken terpaksa mendatangi mereka dengan berusaha tegar.

__________________________________________

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!