Luka Luna

Luka Luna

Seatap Dengan Mertua

Setelah menikah, Luna diboyong suaminya—Arfan—untuk tinggal di rumah ibunya. Hal itu dikarenakan ibunya tinggal hanya seorang diri sebab ayah Arfan telah meninggal.

Sebagai istri yang baik, tentu Luna yang polos itu menyanggupi dengan senang hati. Dalam pikirannya, sudah kewajiban istri untuk mengikuti ke mana pun suaminya pergi.

Akan tetapi, semakin hari ia berada seatap dengan Bu Tiwi, Luna semakin merasa bahwa sang ibu mertua tak menyukai keberadaannya. Apa saja yang dilakukan Luna selalu salah di matanya.

“Sudah jam berapa ini? Apa istrimu itu mau di kamar terus seharian, Arfan?”

Terdengar teriakan Bu Tiwi terhadap putranya ketika Arfan sedang memakai sepatu hendak pergi ke kantor.

“Maafin Luna, Bu. Dia sedang PMS, perutnya kaku dan kesakitan. Nanti setelah mendingan dia akan keluar, kok.” Arfan mencoba memberikan pengertian kepada Bu Tiwi.

“Hih! Manja aja itu istri kamu. Semua wanita juga mengalami PMS tapi nggak gitu amat! Dasarnya aja emang pemalas!”sergah Bu Tiwi tanpa perasaan.

Arfan telah siap berangkat hingga ia mengabaikan omelan sang ibu. Usai meraih punggung tangan kanan Bu Tiwi untuk dicium, ia pergi ke mobilnya dan melaju cepat ke luar halaman demi mengejar waktu.

Hari itu Arfan sedikit terlambat berangkat ke kantor karena tidak ada Luna yang biasa mempersiapkan semua kebutuhannya. Istrinya itu sedang mengalami nyeri perut tak tertahankan akibat PMS. Hal itu menyebabkan ia terpaksa bergelung di kamar menahan sakit tanpa bisa mengerjakan pekerjaan rumah apa pun.

Biasanya ia akan bangun Subuh, lalu setelah salat ia akan belanja di tukang sayur dekat rumah dan mulai memasak untuk sarapan serta bekal makan siang suaminya.

“Luna! Bangun sekarang juga! Dasar menantu nggak berguna! Suami berangkat kerja nggak diurusin, mertua mau minum obat juga nggak ada makanan! Kerjanya males-malesan terus!” teriak Bu Tiwi dari luar pintu kamar sang menantu.

DEG! Pasti suaminya telah berangkat, Luna brpikir dan menebak-nebak. Kalau masih ada Arfan di rumah, Bu Tiwi tak akan pernah meneriakinya sampai sekeras dan sekasar itu. Ibu mertuanya sungguh pandai bersikap di depan Arfan.

Akan tetapi, sepeninggal sang suami, sikap itu langsung berubah total. Kalimatnya selalu pedas dan menyakiti. Pun tingkahnya kasar dan menyiratkan ketidaksukaan. Sepertinya terniat sekali untuk membuat Luna tak nyaman.

Mau tak mau, Luna bangkit dari ranjang yang masih berantakan karena ia sedari tadi menggeliat-geliat menahan sakit meskipun sudah meminum obat anti nyeri yang dibelikan suaminya tadi. Sambil mengernyit dan meringis kesakitan, Luna membuka pintu.

“Iya, Bu? Maaf. Luna masih kram perut. Nanti sebentar lagi Luna masakin, ya, Bu.” Ia menjawab dengan menunjukkan wajahnya yang kusut, berharap sang mertua mau mengerti dan memaklumi kalau untuk pagi itu saja ia mau istirahat sebentar di kamar.

Nyatanya, Bu Tiwi sama sekali tak berempati. Dengan sinis, ia malah menunjuk ke arah kamar Luna yang memang sangat berantakan belum tertata.

“Ya ampun! Itu kamar wanita kok seperti itu? Amburadul sekali, sih! Hidup sama mertua nggak ada rapi-rapinya! Nggak segan apa?” tegurnya dengan mata melebar maksimal.

Luna menghela napas panjang. Memang begitulah sikap sang ibu mertua terhadapnya. Segala sesuatu yang dilakukan Luna selalu saja salah di mata beliau. Bahkan saat ia benar pun, tak pernah ada kata pujian. Bu Tiwi terus saja mencari-cari celah kesalahan Luna untuk diungkit dan dikeluhkan. Sungguh, tinggal seatap dengan mertua memang gratis tanpa bayar uang sewa. Tetapi menjadi begitu mahal sebab harus ditebus dengan tekanan batin dan mental!

“Nanti kalau sudah baikan, Luna beresin, Bu.” Kembali Luna membela diri meski ia tahu itu sama sekali tidak berguna di mata mertuanya.

“Beresin sekarang! Kamu itu jangan manja lah! Kayak ibu nggak pernah PMS aja! Ibu juga pernah menstruasi kayak kamu tapi nggak pernah gitu!” tuding Bu Tiwi masih seolah tak terima kalau Luna beristirahat saja pagi itu.

“Sana pergi dulu belanja. Uang belanja kan udah Ibu kasih. Itu amanah loh, tanggung jawab dong kamu!” Kembali Bu Tiwi memerintah meskipun membereskan kamar saja belum dimulai.

Usai berkata begitu, wanita separuh baya dengan rambut disanggul ke atas dan ditusuk konde rapi itu melipir pergi ke kamarnya sendiri. Ia mau mengambil dompet dan pergi membeli sarapan di luar saja daripada menunggu Luna beres belanja dan masak untuknya.

Sepanjang perjalanan ke warung ujung jalan, bu Tiwi berpapasan dengan ibu-ibu tetangganya yang lalu lalang dari atau pergi ke ujung jalan untuk berbelanja sayur.

“Wah, Bu Tiwi! Mau ke mana, Bu?” sapa Bu Mala yang terbiasa julid itu.

“Ini mau ke warung beli nasi pecel,” jawab Bu Tiwi sambil memasang senyum ramah. Senyum yang senantiasa ia pertontonkan kepada semua orang kecuali menantunya!

“Loh? Kok tumben? Luna nggak masak, Bu? Kan biasanya dia udah selesai masak sejak pagi sekali.” Bu Mala mengorek info karena insting julidnya langsung terpantik.

“Biasa dia itu lagi malas. Nggak keluar kamar dari tadi pagi. Suaminya juga nggak diurusin!” Keluhan Bu Tiwi spontan menerbitkan kerut di kening tetangganya itu.

“Padahal biasanya dia rajin sekali, kan, Bu?”

“Halah, kalau nggak diperintah dulu dia itu mana mau! Ini mau minum obat vertigo aja saya harus ke warung dulu karena di rumah belum ada apa-apa.” Bu Tiwi semakin menambah keluhannya.

Semenjak Luna pindah ke rumahnya, Bu Tiwi langsung menyerahi menantunya itu segala tugas rumah, dari mulai belanja, memasak dan beberes rumah sehingga para tetangga memang jarang melihat wanita itu keluar rumah karena semua telah dikerjakan oleh Luna. Karena itulah saat pagi itu Bu Tiwi keluar ke warung, para tetangga yang berpapasan jadi bertanya kenapa.

Luna sendiri sudah pergi ke dapur saat itu untuk mengambil air hangat dan meminumnya seteguk demi seteguk. Sekedar agar kramnya mungkin bisa sedikit berkurang. Teringat setiap kali siklus PMS-nya datang, kalau di rumahnya sendiri, ibunya pasti segera tanggap untuk membuatkannya jamu dan juga air hangat untuk dikompres ke perut Luna.

“Ah, jadi kangen rumah,” rengeknya seorang diri sambil mulai menakar beras dan mencucinya. Di rumah itu boro-boro Bu Tiwi mau membuatkannya jamu, menanyainya sakit apa atau membiarkannya istirahat sebentar saja tak sudi. Sungguh tersiksa sekali Luna menjadi menantu di rumah Bu Tiwi.

Luna mulai menanak nasi menggunakan magic com dan memasak air panas demi membuat minuman hangat untuk Bu Tiwi meskipun sedikit terlambat. Kalau tak disediakannya, nanti malah kena omel lagi, bisa gawat, pikirnya dalam diam.

Lantas, ia memaksa diri bersiap belanja untuk keperluannya memasak sarapan hari itu.

Diambilnya dompet yang berisi sejumlah uang belanja jatah dari Bu Tiwi. Ya, uang gaji suaminya memang dikontrol oleh Bu Tiwi. Arfan akan memberikan gajinya kepada sang ibu untuk kemudian diberikan kepada Luna secukupnya buat belanja kebutuhan dapur.

Sedikit aneh memang, tetapi demi kedamaian, Luna hanya bisa mengalah dan pasrah tanpa protes karena ia sudah melihat sendiri bagaimana sang ibu mertuanya itu tak pernah sudi menerima protes apa pun dari siapa pun.

“Luna! Belanjanya sedikit aja! Tadi kan kita nggak sarapan, jadi nanti kasih ke Ibu uang kembaliannya, ya!” Titah dari sang penguasa rumah membuat Luna semakin nyeri, bukan saja di perut tetapi sekaligus juga di ulu hatinya.

***

Terpopuler

Comments

ᴏᴋᴋʏʀᴀ ᴅʜɪᴛᴏᴍᴀ

ᴏᴋᴋʏʀᴀ ᴅʜɪᴛᴏᴍᴀ

baguss bangettt karyamu, Thor.. penulisannya keren dehhhhh😻😻

2023-05-07

1

BillyBabe lover's

BillyBabe lover's

keren bgt.. sabar ya Luna... hidup emg penuh tantangan..

2023-04-11

1

Not Found

Not Found

jadi takut nikahh :'

2023-03-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!