Bujukan Suami

“Astaga! Coba ceritain yang jelas dulu. Ada masalah apa sih?” tanya Arfan menanyai istrinya sambil memeluk dan mengelus-elus punggung Luna untuk menenangkan.

Dalam isak yang masih menyesaki dada, Luna masih berusaha menetralisir agar mampu berbicara dengan jelas kepada suaminya.

“Ibu Mas ... Ibu tega banget ngomongin aku yang bukan-bukan ke tetangga, coba!” Akhirnya keluar juga kalimat pengaduannya meski dengan terbata.

“Apa? Ngomongin apa sih, Luna? Kamu yang jelas dong ceritanya. Ayo sini, duduk dulu,” titah Arfan sambil membimbing istrinya untuk duduk di bibir ranjang.

Dia sendiri duduk menghadap sang istri sambil masih meremas kedua jemari Luna dalam usahanya menguatkan.

Karena Luna masih saja sesenggukan, Arfan akhirnya bangkit dan mengambilkan air minum di gelas yang terletak di atas nakas. Istrinya itu memang selalu menyediakan air putih di situ.

Lantas, diulurkannya gelas tersebut meminta istrinya minum. Luna pun menurut. Seteguk demi seteguk air putih telah membasahi tenggorokannya yang mengering akibat terlalu banyak menangis sedari tadi.

Benar bahwa kini Luna merasa sedikit lega dan membaik. Setelah agak tenang, ia pun melanjutkan cerita. Berharap dukungan dan penghiburan dari suaminya.

“Masa’ Ibu tadi bilang ke Bu Mala kalau aku dulu suka godain Mas pakai cara-cara yang nekat. Apanya? Mana pernah aku ngelakuin hal kayak gitu, Mas? Kamu cerita apa aja sih sama Ibu?” tuntut Luna akhirnya. Ia jadi curiga jangan-jangan Bu Tiwi mendapatkan cerita tersebut dari Arfan sendiri.

“Astaga! Masa’ sih Ibu bilang kayak gitu?” Arfan terperangah tak percaya.

“Apa nggak cuma bercanda aja itu? Siapa tahu beliau lagi saling gurau sama Bu Mala?” tukas Arfan mengulang tanya. Ia sungguh tak percaya kalau ibunya bisa menjelek-jelekkan istrinya sampai serupa itu di hadapan orang lain.

“Apanya yang bercanda? Hal kayak gitu bukan buat bercandaan, Mas. Mas nggak denger sih kalimatnya. Pakai sebut-sebut aku ini kasir biasa dan Mas itu manager. Pasti menggiurkan buat digaet, kan? Gitu katanya, coba! Huhuhuuu ....”

Luna tak kuasa menahan tangisnya kembali. Air mata terus bercucuran hingga berlembar-lembar tissue telah berserakan di lantai kamar.

“Pokoknya aku mau pulang sekarang ke rumah ibuku!” ulang Luna sekali lagi.

Luna tak peduli. Ia hanya ingin pulang saat itu juga ke rumah ibunya. Hatinya terluka begitu hebatnya sampai bahkan bujukan Arfan tak akan mempan untuk memaksanya tetap tinggal.

“Tenang dulu, Sayang. Kamu yang sabar, ya? Biar aku bicara ke Ibu sebentar. Siapa tahu maksudnya beda, kan?” Arfan kembali membujuk sang istri.

“Maksudnya beda gimana? Udah jelas maksudnya menghina aku. Biar aku nggak punya muka di depan semua tetangga! Hancur harga diriku, Mas. Wanita macam apa yang dikatai mertuanya sendiri telah menggoda putranya sampai terpaksa dinikahi? Ha? Ibu jahat banget tahu nggak sama aku!” Kembali Luna meraung.

Entah bagaimana Bu Tiwi tak juga mendengar tangisan Luna di dalam kamar. Atau, mungkin memang tak peduli sama sekali. Ah, sungguh, baru kali ini Luna menemui wanita sejahat dan sekejam itu terhadap menantunya sendiri. Fitnah yang keluar dari mulutnya begitu keji.

“Udah dong, Sayang, nangisnya. Kita udah dewasa. Nggak perlu lagi menyelesaikan masalah dengan tangisan. Yang ada malah nggak selesai masalahnya,” nasihat Arfan kemudian. Ia kembali memeluk dan mengusap-usap punggung istrinya.

“Aku malu, Mas. Aku kesal!” raung Luna lagi.

“Iya, iya, Mas ngerti. Mas wakilin Ibu untuk minta maaf ke kamu atas kesalahpahaman ini ya?”

“Kesalah-pahaman apa? Ini bukan soal salah paham, ya, Mas! Sama sekali bukan, loh! Ini udah fitnah kejam dan aku nggak terima pokoknya!” Luna kembali berkeras. Amarahnya semakin memuncak karena sepertinya Arfan lebih percaya kepada Bu Tiwi dan tak peduli pada pengaduannya barusan. Apa-apaan!

“Ya udah, kamu diam dulu. Tenangin diri. Biar Mas sekarang mandi dan ganti baju sebentar, lalu akan Mas temui Ibu,” tukas Arfan akhirnya mengalah.

Luna memberengut kesal. Ia masih membiarkan kopernya siap diangkat di sebelah kakinya. Siapa tahu Bu Tiwi akan membantah tuduhan, maka ia tetap akan hengkang. Ya, buat apa berada di rumah di mana hati dan pikiran selalu terajam? Rasanya bisa-bisa ia akan mati muda saking selalu stres dan di bawah tekanannya hidup di situ.

Usai mandi dan berganti pakaian, Arfan pergi ke luar kamar untuk menemui sang ibu. Biasanya jam segitu Luna akan bersiap di dapur untuk memasak makan malam. Namun, kali itu jangankan untuk memasak, tangisnya saja masih bolak-balik tumpah tak tertahankan.

“Bu,” sapa Arfan dengan nada tak enak.

Tak biasanya ia datang untuk mengkonfrontir ibunya. Biasanya mereka selalu bicara tentang hal yang baik-baik saja. Kali ini sungguh berdebar terasa dalam dada Arfan.

Bu Tiwi tampak beringsut dari duduknya. Wanita separuh baya yang sedang asyik menonton sinetron melalui TV di ruang tengah itu menoleh ke arah sang putra.

“Eh, kamu, Fan. Sini duduk. Tumben pulang kerja nggak di dalam kamar terus sama istri kamu itu,” komentar Bu Tiwi yang sudah menyenggol Luna dengan sengaja itu.

“Ehm, anu, Bu. Arfan mau tanya sesuatu ....”

“Apa? Soal Luna lagi? Kamu mau bela dia lagi? Padahal tadi dia malah udah lancang marahin Ibu di depan ibu-ibu sekompleks. Puas dia udah mempermalukan Ibu, ya? Sekarang mau menghasut kamu juga? Iya?” Tuduhan beruntun itu dilontarkan dengan nada yang begitu meyakinkan hingga Arfan kini meneguk ludahnya kelimpungan.

Pria itu jadi ragu lagi, mana yang benar antara pengaduan sang istri ataukah keluhan ibunya yang sama-sama meyakinkan itu?

“Bu, Arfan jadi bingung. Kata Luna Ibu yang bilang nggak-nggak soal dia di hadapan tetangga? Kok sekarang Ibu malah bilang Luna yang ngomelin Ibu sih? Yang benar yang mana?” Arfan bertanya curiga. Matanya menyipit menyelidik ke arah Bu Tiwi. Hal mana semakin membuat Bu Tiwi emosi.

“Nah, kan! Ibu udah yakin istri kamu itu akan ngadu yang bukan-bukan ke kamu! Coba aja tanya ke saksinya, ibu-ibu tetangga itu, siapa yang udah lancang ngatain mertuanya di depan umum kayak tadi, hm?” Bu Tiwi berkeras bahwa yang salah adalah Luna yang berani mengomelinya dengan suara keras tadi di hadapan Bu Mala.

“Dasar menantu kurang ajar dia itu! Istri nggak tahu diri!” celoteh Bu Tiwi mentang-mentang Luna tak mendengar semuanya. Ia tak mau putranya termakan pengaduan istrinya yang tidak sopan dan lancang itu.

“Bu! Jangan seperti itu lah sama menantu sendiri. Kenapa kalian itu tidak bisa berdamai aja, sih? Kan serumah harus rukun, Bu?” pinta Arfan akhirnya meski belum jelas siapa yang bersalah dalam hal itu.

“Enak aja! Istri kamu tuh, ajarin dulu dia hormat dan sopan sama mertua. Baru Ibu bisa rukun sama dia!”

***

Terpopuler

Comments

Sifa Azahra

Sifa Azahra

gemess sma mertua ny...
kl aku punya mertua kaya gtuu pastii udh aku ajakiin gulet

2023-04-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!