Setelah menikah, Luna diboyong suaminya—Arfan—untuk tinggal di rumah ibunya. Hal itu dikarenakan ibunya tinggal hanya seorang diri sebab ayah Arfan telah meninggal.
Sebagai istri yang baik, tentu Luna yang polos itu menyanggupi dengan senang hati. Dalam pikirannya, sudah kewajiban istri untuk mengikuti ke mana pun suaminya pergi.
Akan tetapi, semakin hari ia berada seatap dengan Bu Tiwi, Luna semakin merasa bahwa sang ibu mertua tak menyukai keberadaannya. Apa saja yang dilakukan Luna selalu salah di matanya.
“Sudah jam berapa ini? Apa istrimu itu mau di kamar terus seharian, Arfan?”
Terdengar teriakan Bu Tiwi terhadap putranya ketika Arfan sedang memakai sepatu hendak pergi ke kantor.
“Maafin Luna, Bu. Dia sedang PMS, perutnya kaku dan kesakitan. Nanti setelah mendingan dia akan keluar, kok.” Arfan mencoba memberikan pengertian kepada Bu Tiwi.
“Hih! Manja aja itu istri kamu. Semua wanita juga mengalami PMS tapi nggak gitu amat! Dasarnya aja emang pemalas!”sergah Bu Tiwi tanpa perasaan.
Arfan telah siap berangkat hingga ia mengabaikan omelan sang ibu. Usai meraih punggung tangan kanan Bu Tiwi untuk dicium, ia pergi ke mobilnya dan melaju cepat ke luar halaman demi mengejar waktu.
Hari itu Arfan sedikit terlambat berangkat ke kantor karena tidak ada Luna yang biasa mempersiapkan semua kebutuhannya. Istrinya itu sedang mengalami nyeri perut tak tertahankan akibat PMS. Hal itu menyebabkan ia terpaksa bergelung di kamar menahan sakit tanpa bisa mengerjakan pekerjaan rumah apa pun.
Biasanya ia akan bangun Subuh, lalu setelah salat ia akan belanja di tukang sayur dekat rumah dan mulai memasak untuk sarapan serta bekal makan siang suaminya.
“Luna! Bangun sekarang juga! Dasar menantu nggak berguna! Suami berangkat kerja nggak diurusin, mertua mau minum obat juga nggak ada makanan! Kerjanya males-malesan terus!” teriak Bu Tiwi dari luar pintu kamar sang menantu.
DEG! Pasti suaminya telah berangkat, Luna brpikir dan menebak-nebak. Kalau masih ada Arfan di rumah, Bu Tiwi tak akan pernah meneriakinya sampai sekeras dan sekasar itu. Ibu mertuanya sungguh pandai bersikap di depan Arfan.
Akan tetapi, sepeninggal sang suami, sikap itu langsung berubah total. Kalimatnya selalu pedas dan menyakiti. Pun tingkahnya kasar dan menyiratkan ketidaksukaan. Sepertinya terniat sekali untuk membuat Luna tak nyaman.
Mau tak mau, Luna bangkit dari ranjang yang masih berantakan karena ia sedari tadi menggeliat-geliat menahan sakit meskipun sudah meminum obat anti nyeri yang dibelikan suaminya tadi. Sambil mengernyit dan meringis kesakitan, Luna membuka pintu.
“Iya, Bu? Maaf. Luna masih kram perut. Nanti sebentar lagi Luna masakin, ya, Bu.” Ia menjawab dengan menunjukkan wajahnya yang kusut, berharap sang mertua mau mengerti dan memaklumi kalau untuk pagi itu saja ia mau istirahat sebentar di kamar.
Nyatanya, Bu Tiwi sama sekali tak berempati. Dengan sinis, ia malah menunjuk ke arah kamar Luna yang memang sangat berantakan belum tertata.
“Ya ampun! Itu kamar wanita kok seperti itu? Amburadul sekali, sih! Hidup sama mertua nggak ada rapi-rapinya! Nggak segan apa?” tegurnya dengan mata melebar maksimal.
Luna menghela napas panjang. Memang begitulah sikap sang ibu mertua terhadapnya. Segala sesuatu yang dilakukan Luna selalu saja salah di mata beliau. Bahkan saat ia benar pun, tak pernah ada kata pujian. Bu Tiwi terus saja mencari-cari celah kesalahan Luna untuk diungkit dan dikeluhkan. Sungguh, tinggal seatap dengan mertua memang gratis tanpa bayar uang sewa. Tetapi menjadi begitu mahal sebab harus ditebus dengan tekanan batin dan mental!
“Nanti kalau sudah baikan, Luna beresin, Bu.” Kembali Luna membela diri meski ia tahu itu sama sekali tidak berguna di mata mertuanya.
“Beresin sekarang! Kamu itu jangan manja lah! Kayak ibu nggak pernah PMS aja! Ibu juga pernah menstruasi kayak kamu tapi nggak pernah gitu!” tuding Bu Tiwi masih seolah tak terima kalau Luna beristirahat saja pagi itu.
“Sana pergi dulu belanja. Uang belanja kan udah Ibu kasih. Itu amanah loh, tanggung jawab dong kamu!” Kembali Bu Tiwi memerintah meskipun membereskan kamar saja belum dimulai.
Usai berkata begitu, wanita separuh baya dengan rambut disanggul ke atas dan ditusuk konde rapi itu melipir pergi ke kamarnya sendiri. Ia mau mengambil dompet dan pergi membeli sarapan di luar saja daripada menunggu Luna beres belanja dan masak untuknya.
Sepanjang perjalanan ke warung ujung jalan, bu Tiwi berpapasan dengan ibu-ibu tetangganya yang lalu lalang dari atau pergi ke ujung jalan untuk berbelanja sayur.
“Wah, Bu Tiwi! Mau ke mana, Bu?” sapa Bu Mala yang terbiasa julid itu.
“Ini mau ke warung beli nasi pecel,” jawab Bu Tiwi sambil memasang senyum ramah. Senyum yang senantiasa ia pertontonkan kepada semua orang kecuali menantunya!
“Loh? Kok tumben? Luna nggak masak, Bu? Kan biasanya dia udah selesai masak sejak pagi sekali.” Bu Mala mengorek info karena insting julidnya langsung terpantik.
“Biasa dia itu lagi malas. Nggak keluar kamar dari tadi pagi. Suaminya juga nggak diurusin!” Keluhan Bu Tiwi spontan menerbitkan kerut di kening tetangganya itu.
“Padahal biasanya dia rajin sekali, kan, Bu?”
“Halah, kalau nggak diperintah dulu dia itu mana mau! Ini mau minum obat vertigo aja saya harus ke warung dulu karena di rumah belum ada apa-apa.” Bu Tiwi semakin menambah keluhannya.
Semenjak Luna pindah ke rumahnya, Bu Tiwi langsung menyerahi menantunya itu segala tugas rumah, dari mulai belanja, memasak dan beberes rumah sehingga para tetangga memang jarang melihat wanita itu keluar rumah karena semua telah dikerjakan oleh Luna. Karena itulah saat pagi itu Bu Tiwi keluar ke warung, para tetangga yang berpapasan jadi bertanya kenapa.
Luna sendiri sudah pergi ke dapur saat itu untuk mengambil air hangat dan meminumnya seteguk demi seteguk. Sekedar agar kramnya mungkin bisa sedikit berkurang. Teringat setiap kali siklus PMS-nya datang, kalau di rumahnya sendiri, ibunya pasti segera tanggap untuk membuatkannya jamu dan juga air hangat untuk dikompres ke perut Luna.
“Ah, jadi kangen rumah,” rengeknya seorang diri sambil mulai menakar beras dan mencucinya. Di rumah itu boro-boro Bu Tiwi mau membuatkannya jamu, menanyainya sakit apa atau membiarkannya istirahat sebentar saja tak sudi. Sungguh tersiksa sekali Luna menjadi menantu di rumah Bu Tiwi.
Luna mulai menanak nasi menggunakan magic com dan memasak air panas demi membuat minuman hangat untuk Bu Tiwi meskipun sedikit terlambat. Kalau tak disediakannya, nanti malah kena omel lagi, bisa gawat, pikirnya dalam diam.
Lantas, ia memaksa diri bersiap belanja untuk keperluannya memasak sarapan hari itu.
Diambilnya dompet yang berisi sejumlah uang belanja jatah dari Bu Tiwi. Ya, uang gaji suaminya memang dikontrol oleh Bu Tiwi. Arfan akan memberikan gajinya kepada sang ibu untuk kemudian diberikan kepada Luna secukupnya buat belanja kebutuhan dapur.
Sedikit aneh memang, tetapi demi kedamaian, Luna hanya bisa mengalah dan pasrah tanpa protes karena ia sudah melihat sendiri bagaimana sang ibu mertuanya itu tak pernah sudi menerima protes apa pun dari siapa pun.
“Luna! Belanjanya sedikit aja! Tadi kan kita nggak sarapan, jadi nanti kasih ke Ibu uang kembaliannya, ya!” Titah dari sang penguasa rumah membuat Luna semakin nyeri, bukan saja di perut tetapi sekaligus juga di ulu hatinya.
***
Sambil memasak, Luna terus mencoba melupakan rasa sakit di perutnya hingga lama kelamaan, entah karena telah terbiasa atau memang sakitnya telah mereda, ia sudah merasa baikan.
Segera ia menyelesaikan semua tugas rumah yang sepagian tadi memang belum sempat dikerjakan. Mencuci baju dengan mesin cuci, lantas menyapu halaman dengan resiko banyak tetangga yang berkomentar kenapa kesiangan dan sebagainya. Oh, Luna sebenarnya tak suka menanggapi, tetapi terkadang kejulidan ibu-ibu itu membuatnya makan hati kalau tak diladeni.
“Luna, udah jam berapa ini? Kok baru nyapu jam segini? Padahal belum punya anak bayi,” komentar salah seorang tetangganya yang bahkan Luna belum hafal namanya siapa.
“Iya, Bu. Tadi sibuk di dapur. Nggak apa terlambat daripada nggak dikerjain, kan?” sahutnya seraya melirik halaman rumah si ibu yang berkomentar tersebut yang tampak sekali malah belum tersentuh sapu.
Merasa Luna menyindirnya, si tetangga membalas sinis, “Huh, kalau anakku sih memang sibuk bekerja berangkat pagi-pagi. Aku nggak sempat nyapu karena sibuk mengurus cucuku ini. Iya kan, Sayang?” katanya sambil mengajak bicara bayi kecil dalam gendongannya. Seolah memberikan pembelaan kenapa halamannya sendiri masih kotor begitu.
Lana mendengkus kesal. Lingkungan di rumah ini sungguh toxic untuknya. Bukan hanya mertuanya yang suka menyakiti hati, tapi bahkan para tetangga kawan berghibahnya Bu Tiwi turut pula terus menerus membuat Luna makan hati. Entah sampai kapan ia mampu bertahan tanpa meluapkan emosi.
Pernah sekali waktu Luna mengadukan apa yang dialaminya kepada Arfan. Tapi, suaminya itu malah berpikir bahwa Luna hendak meminta mereka mengontrak rumah saja. Padahal bukan itu fokus masalahnya.
“Kita nggak boleh egois, Luna. Di rumah ini, Ibuku sendirian. Dia sudah nggak muda lagi dan kita sepatutnya menjaga beliau di usia senjanya ini.”
“Huuuuft, iya, Mas.” Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan oleh Luna kepada sang suami.
Percuma, mau mengadukan soal sikap ibunya yang kasar pun, Arfan tak akan percaya karena bila di depan putranya itu, Bu Tiwi selalu bersikap baik-baik saja dan tidak ada masalah dengan Luna. Wanita tua itu selalu pintar bersilat lidah dan berpura-pura sebagai ibu peri yang baik hati. Ish, sial!
Suatu ketika di malam Minggu, yang mana adalah hari di mana Luna bisa seharian bersama suaminya, Bu Tiwi pasti akan merecoki mereka berdua. Rencana piknik berdua yang sudah jauh hari direncanakan pun seringkali harus gagal ketika sang ibu mertua mulai berulah.
“Arfan, kalau bisa nanti kamu di rumah aja, ya? Kepala ibu rasanya pusing banget nih, kayaknya vertigo lagi kambuh.” Bu Tiwi meminta kepada Arfan ketika putranya itu tengah mencuci mobil hendak dipakai piknik ke pantai bersama sang istri ke luar kota.
“Loh? Ibu mau diantar periksa? Yuk, Bu,” ajak Arfan yang langsung tampak cemas mendengar keluhan ibunya barusan.
“Nggak usah periksa. Ibu cuma pengen ditemani di rumah aja. Kan juga kita emang udah lama jarang ngobrol sejak kamu menikah,” jawab Bu Tiwi berkeras.
Hal yang aneh menurut Luna. Kalau alasannya pusing kenapa diajak periksa malah menolak?
“Huh! Pasti mulai berakting lagi deh tuh!” cibir Luna sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Ia yang tadinya hendak menyuguhkan es jus melon yang baru saja dibuatkannya untuk hidangan di teras luar itu tak sengaja mendengar percakapan sang ibu mertua dengan suaminya.
Tampak Arfan berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tadinya Arfan mau ngajak Luna ke luar jalan-jalan, Bu. Kasihan dia di rumah terus.
“Halah, ibu kan juga di rumah terus. Biasa aja tuh. Kalau istri udah menikah itu ya memang udah kewajibannya di rumah terus, Arfan,” sergah Bu Tiwi sinis.
“Tuh, kan!” Karena jengkel, Luna tak jadi membawakan jus melon serta gorengannya ke teras. Lebih baik ditaruhnya saja di meja dapur. Ngapain baik-baikin ibu mertua yang tak pernah baik terhadapnya! Begitu pikirnya.
Luna memilih kembali ke kamarnya dan menanti keputusan dari Arfan. Apakah suaminya itu lagi-lagi akan membatalkan acara me time mereka untuk kesekian kalinya demi alasan aneh Bu Tiwi?
“Awas aja kalau sampai Mas Arfan mengalah lagi! Huh!” ancam Luna berbicara dengan dirinya sendiri. Ia mondar-mandir sambil meredam emosi. Sungguh, tingkah Bu Tiwi selalu membuatnya hampir gila.
Terdengar suara pintu kamarnya terbuka. Detik kemudian, kepala Arfan muncul melongok ke dalam kamar.
“Loh, Sayang. Katanya mau bawain jus dan cemilan? Mana? Ditungguin juga!” tanya Arfan dengan nada ringan.
Namun, ekspresinya langsung berubah begitu melihat sang istri sedang bersedekap dan bibirnya monyong lima centi, khas gaya akan mengomelinya.
“Nggak jadi!” ketus Luna tak peduli.
“Loh, kok gitu jawabnya?” Arfan bertanya tak mengerti kenapa istrinya itu mendadak marah-marah. Padahal tadi dia baik-baik saja sebelum ditinggalnya mencuci mobil.
“Soalnya pikniknya juga nggak jadi, kan?” tuntut Luna masih dengan wajah cemberut maksimal.
Perlahan Arfan sadar apa yang telah membuat mood istrinya langsung berubah.
“Ooh, kamu dengar omonganku dengan Ibu tadi, ya?”
Tak menjawab, Luna beringsut mundur, menghindari Arfan yang memangkas jarak.
“Lain kali aja ya kita perginya? Kasihan Ibu katanya vertigo lagi kambuh,” kata Arfan dengan nada suara diusahakan serendah mungkin.
“Huh! Batal aja terus. Mas inget nggak sih, kapan kita terakhir jalan berduaan aja? Udah nggak pernah, loh!” Luna memprotes keras kini.
“Tapi kan nggak enak sama Ibu, Luna. Dia minta ditemani—“
“Halah, tiap kali mau pergi berdua juga emang gitu kan Ibu kamu! Selalu ada aja alasannya. Kalau emang mengeluh sakit, kenapa diajak periksa malah nggak mau, coba?” potong Luna tak mau mengalah lagi.
Sudah terlalu sering ia diperlakukan seperti itu. Diajak pergi, sudah berencana berhari-hari, tapi di saat waktunya tiba, Bu Tiwi akan menggagalkan semuanya.
“Aku jadi curiga deh. Ibu kamu tuh emang niatnya nggak bolehin kita jalan berdua aja, tau nggak! Padahal kan me time itu penting, Mas! Apalagi buatku yang selalu tertekan terus selama tinggal di sini!” cerocos Luna yang seolah baru mendapat kesempatan menumpahkan segala kesal.
Tampak Arfan menghela napas panjang. Ia tahu kalau Luna sudah kesal, wanita itu akan susah dibujuk. Terkadang, dengan mengajaknya pergi keluar sekedar melepas jenuh dan penat serta rutinitas di rumah saja itu sudah akan mengubah suasana hati istrinya. Tetapi apa mau dikata, ia tak bisa juga mengabaikan permintaan sang ibu.
“Lalu kamu maunya gimana, Luna? Masa’ kamu tertekan sih tinggal di rumah aku? Hidup sama suami dan mertua kamu sendiri?” tanya Arfan akhirnya. Terkadang ia tak mengerti kenapa istrinya itu sering kali mengeluh tak nyaman di rumah itu.
Padahal yang tak diketahuinya adalah bahwa Bu Tiwi bisa berubah jadi mertua kejam dan sering mengiris-iris hati menantunya sendiri!
***
“Ajak aja Ibu periksa dulu. Lalu, kalau hasilnya ternyata nggak apa-apa, baru kita pergi. Dengan begitu aku bisa yakin kalau Ibu emang gak lagi pura-pura aja biar kita batal pergi.” Luna berkata mengusulkan.
Arfan meneguk ludahnya sambil berpikir. Ia setuju dengan pemikiran Luna. Lagipula dirinya juga sedang butuh refreshing ke luar agar tidak jenuh hanya berkutat dengan pekerjaan di kantor dan juga di rumah yang itu-itu saja.
“Ya udah. Kamu doain Ibu baik aja, ya. Biar kita jadi pergi. Bentar, kutinggal antar Ibu dulu.”
Akhirnya Arfan menuruti permintaan istrinya dan membujuk Bu Tiwi untuk mau ke klinik memeriksakan diri.
“Ngapain ke klinik, Arfan? Ibu nggak mau, ah!” Bu Tiwi ternyata menolak keras ajakan anaknya itu.
“Loh, kok ngapain sih, Bu? Kan Ibu tadi mengeluh pusing. Biar tahu dan segera diobati pusingnya, Bu.” Arfan tetap memaksa karena juga jadi merasa aneh dnegan sikap ibunya.
“Nggak perlu! Ibu cuma butuh istirahat aja, kok.” Bu Tiwi tetap menolak dan tak mau dibantah lagi.
“Duh, Bu. Kalau gitu Arfan tinggal pergi sama Luna dulu, ya? Ibu istirahat aja. Kalu ada apa-apa bisa telepon, ya?” Akhirnya Arfan memutuskan. Ia tak tega juga kalau harus terus menerus membatalkan acara dengan Luna demi Bu Tiwi.
Mendengarnya, Bu Tiwi langsung murka. Ia bangkit dengan dada naik turun saking emosinya.
“Oh, begitu ya kamu sekarang, Fan! Lebih mentingin istri kamu ketimbang Ibu kamu sendiri? Iya?”
Arfan terkejut melihat kemarahan ibunya. Tak disangka Bu Tiwi bisa semarah itu hanya gara-gara masalah sepele.
“Kok Ibu jadi melantur gitu, sih? Mana ada Arfan beda-bedain, Bu. Ibu sama Luna itu sama-sama tanggung jawab Arfan.” Pria itu menegaskan tapi dengan nada tak mau dibantah. Sesekali ia harus menuruti Luna agar istrinya itu tak terus-menerus murung selama di rumah itu.
Akhirnya Luna bernapas lega kali itu ia berhasil menang melawan Bu Tiwi. Mereka jadi pergi meskipun dengan dicemberutin oleh Bu Tiwi. Bahkan, beliau tak menjawab ketika Arfan berpamitan berangkat.
Ish, peduli amat! Luna mencoba cuek karena sebelumya ia terlalu sering mengalah kepada wanita menyebalkan itu. Ia bisa ditindas kalau terus mengalah. Weekend itu akhirnya Luna bisa menikmati sehari penuh hanya bersama suaminya. Bagi suami istri, terlebih masih terhitung pengantin baru seperti mereka, hal itu mutlak perlu untuk menjaga kualitas hubungan.
Akan tetapi kebahagiaan Luna harus dibayar mahal keesokan harinya. Bu Tiwi yang memendam kekesalan sebab merasa disisihkan oleh menantunya itu membuat ulah dengan sengaja memperdengarkan ghibahannya terhadap Luna kepada para tetangga.
“Iya, dia itu kan sebenarnya cuma kasir di minimarket cabang tempat Arfan jadi manager itu,” sebut Bu Tiwi saat ia tahu betul Luna sedang saatnya menyirami bunga di pot-pot sekitar rumah. Jelas di saat itu menantunya akan turut pula mendengar apa yang ia bicarakan di sisi pagar rendah kawasan perumahan itu.
“Lho, oooh jadi cinta lokasi, ya?” sahut Bu Mala mengorek info lebih lanjut.
“Ih, ya kalau bukan karena dia kegenitan godain Arfan sih mana mungkin. Huh, biasa lah, gadis-gadis yang pengen cepet menggaet laki-laki tampan dan mapan kan banyak akalnya. Nekat ngelakuin apa aja.” Bu Tiwi sengaja mengeras-ngeraskan suaranya.
Spontan Luna menjatuhkan alat penyiram tanaman yang ia pegang saking terkejutnya dengan tuduhan kejam yang dilayangkan oleh sang ibu mertua. Ia tak menyangka kalau anggapan Bu Tiwi selama ini terhadapnya begitu buruk.
Segera ia berbalik keluar dari pintu taman samping menuju ke tempat Bu Tiwi sedang asyik berghibah dengan Bu Mala.
“Ibu! Jangan seenaknya nuduh aku kayak gitu, ya! Ibu salah besar! Aku emang cuma kasir di sana. Tapi aku nggak pernah godain Arfan sama sekali! Tarik ucapan Ibu sebelum aku beneran marah, ya, Bu! Itu penghinaan banget buatku, Bu!” Tanpa dapat mengontrol emosinya, Luna melabrak habis-habisan ibu mertuanya tepat di depan Bu Mala.
Ia sungguh tak peduli kalau setelah ini ia akan jauh lebih bermasalah dengan Bu Tiwi. Baginya sudah cukup dijadikan babu di rumah itu, bukannya menantu. Dan kini dia malah dituduh sebagai wanita rendahan yang udah rela ngelakuin apa pun cuma untuk godain putranya! Benar-benar tidak bisa ditolerir lagi!
Bu Tiwi hanya tersenyum tanpa meminta maaf atau tampak menyesal sedikit pun. Sepertinya hal itu memang telah disengajanya untuk menyakiti hati Luna dengan sesakit-sakitnya.
Sementara Luna semakin kesal kala melihat tampang Bu Mala juga tampak sekali saat itu sedang memandang rendah dirinya. Tak kuasa menahan tangis, Luna berlari ke dalam rumah dan masuk ke kamarnya tanpa lupa membanting pintu keras-keras.
“Sial! Mertua brengsek tukang fitnah!” pekiknya di dalam dekapan bantal. Ya, ia menumpahkan seluruh amarah ke bantal dan guling di ranjang yang terus dipukulinya habis-habisan hingga lelah sendiri tangannya mengepal.
“Nah, lihat kan, bu Mala? Betapa tidak sopannya menantuku itu? Gak berpendidikan! Khas orang dari kasta rendahan!” Bu Tiwi masih melanjutkan ghibahan tanpa peduli betapa fitnahan kejinya tadi telah membuat hati sang menantu remuk redam tak berbentuk lagi.
“Astaga! Kayak gitu amat ya, Bu. Untung anakku nggak kayak gitu.” Bu Mala malah melebih-lebihkan anaknya sendiri yang mendapatkan suami pekerja kantoran juga tetapi memang mereka posisinya sama di kantor.
Hingga saat Arfan pulang kantor sore itu, Luna masih mengunci diri di dalam kamar. Matanya sembab dan memerah saking banyaknya air mata yang keluar. Ia juga sudah mengepak banyak bajunya ke dalam koper di tengah luapan amarahnya tadi. Apa pun yang terjadi, malam itu juga ia mau minta diantar pulang ke rumah orang tuanya.
“Sayang? Kok dikunci pintunya?” Arfan bertanya sambil jemarinya tak henti mengetuk pintu kamar.
Mendengar suara sang suami, gegas Luna bangkit dari ranjang dan langsung menubruknya sambil kembali tersedu di dada pria itu.
“Loh? Ada apa, Luna?” Arfan tentu saja terkejut sekali mendapati tangisan meraung sang istri.
Luna masih mencoba meredakan sesak di dada sampai belum bisa berkata-kata. Sungguh, baru kali ini hatinya merasakan sakit yang begitu rupa.
"Kamu kenapa? Kok mendadak nangis kejer gini?"
Ia tak tahu apa yang telah terjadi kepada istrinya itu. Tadi saat melewati Bu Tiwi di ruang tamu pun, ibunya juga sedang duduk sambil membaca majalah seperti tak terjadi apa-apa.
“Pulangkan aku, Mas. Aku mau pulang ke rumah orangtuaku aja!” kata Luna di sela sedu sedan. Kedua tangannya mencekal leher baju suaminya untuk menegaskan keinginan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!