Pembelaan Suami

“Luna selama ini kurang sopan apa sih sama Ibu? Kalau Arfan lihat dia udah sopan banget, kok?”

Arfan tak begitu saja terima bahwa istrinya dipersalahkan oleh Bu Tiwi.

“Kamu itu tadi nggak lihat gimana kejadiannya, Fan! Kamu tanya aja sana ke Bu Mala!” tukas Bu Tii sambil tangannya menuding ke sebelah, di mana arah rumah Bu Mala berada.

“Ya masa’ Arfan tanya ke tetangga sih urusan pribadi keluarga kita, Bu?” Arfan memprotes jalan pikiran ibunya yang menurutnya mulai nyeleneh itu.

“Lha gimana? Orang kamu udah nggak percaya lagi sama ibu kamu sendiri? Kamu lebih percaya hasutan istri kamu itu! Jelas-jelas dia yang slaah, kok!” Bu Tiwi tetap berkeras tak mau dipersalahkan.

“Tapi asalnya kenapa Luna sampai marah ke Ibu di hadapan tetangga. Bu? Itu pasti ada sebabnya lah. Dia nggak mungkin ngomel tanpa sebab, Arfan kenal istri Arfan sendiri, Bu!” Arfan kembali mengorek keterangan yang sebenarnya dari ibunya.

“Bagaimanapun juga, Fan. Ibu ini kan ibu kamu! Orang tua yang membesarkan kamu. Kalau nggak ada ibu mana adakamu? Mana bisa dia punya suami mapan kayak kamu?”

“Tapi kata Luna Ibu ngatain dia godain Arfan di tempat kerja sampai Arfan terpaksa nikahin dia. Mana ada seperti itu, Bu! Kami kenalan baik-baik. Arfan yang nyatain duluan ke Luna, bahkan Luna sempat menolak karena minder dengan jabatan Arfan.” Arfan akhirnya menceritakan asal muasal hubungannya dengan sang istri terjalin.

Ya, dulu memang Luna begitu menjaga diri. Dia terus menolak ketika didekati oleh Arfan karena merasa tak pantas dirinya hanya seorang kasir. Tapi, karena saking cintanya Arfan, dia terus membujuk Luna untuk tak perlu peduli soal jabatan.

Lagipula kalau mereka menikah, Luna juga akan langsung dimintanya berhenti bekerja. Gajinya sudah sampai cukup untuk membiayai keluarga mereka. Jadi menurutnya tak perlu minder menerima pinangan dari Arfan.

“Halah! Itu bisa-bisanya kamu aja belain dia, Fan! Ibu ngerti dia itu pasti pakai cara-carakotor untuk menggaet kamu—“

“Ibu! Arfan berani sumpah kejadiannya nggak seperti dugaan Ibu itu,” potong Arfan tak sabar lagi. Kini ia tahu bagaimana perlakuan ibunya terhadap sang istri.

Tapi bagaimana lagi, keadaan harus memaksa mereka tinggal bersama Bu Tiwi. Sebagai anak tunggal, tentu ia tak bisa meninggalkan ibunya tinggal seorang diri. Tapi perlakuan sang ibu terhadap Luna membuatnya mempertimbangkan hal lain kini.

Bu Tiwi terperangah mendengar perkataan bernada keras dari Arfan tersebut.

“Nah! Lihat itu hasilnya! Kamu yang dulu selalu patuh sama ibu, sekarang gara-gara belain istri kamu sampai sudah berani membentak ibu kamu sendiri. Kamu keterlaluan, Fan ....”

Dada Bu Tiwi naik turun saking emosinya. Ia kini menutup mulut menahan tangisnya agar tak keluar. Hatinya begitu sakit mendapati sikap kasar anaknya sendiri.

Arfan yang tak pernah melihat ibunya hampir menangis seperti itu pun tampak tak enak hati. Tentu ia merasa bersalah kalau sudah menyakiti hati ibu yang melahirkannya itu. Segera dihampirinya Bu Tiwi.

“Maafin Arfan, Bu. Arfan nggak bermaksud membuat ibu marah dan sakit hati. Arfan cuma—“

“Cuma apa? Cuma lebih sayang sama istri kamu sekarang daripada sama ibu, begitu?” sela Bu Tiwi dengan suara yang sudah bercampur isak tangis.

Semakin parah lah rasa bersalah Arfan hingga ia tak mampu berkata-kata lagi untuk melawan ibunya itu.

“Maaf, ya, Bu. Bukan maksud Arfan seperti itu. Arfan sama-sama sayang Ibu dan Luna, Bu. Dan Arfan harap kita bisa hidup rukun sama-sama,” jawab Arfan sambil meremas jemari ibunya, meminta dimaafkan.

Bu Tiwi yang terisak mengusap ingus di hidungnya dengan tissue yang terletak di atas meja. Ia ingin minum tapi enggan untuk beranjak dari duduknya. Kalau biasanya ia bisa berteriak menyeru Luna untuk diambilkan minum, kini ia juga tak sudi memanggil menantunya itu.

“Ambilin Ibu minum sana. Ibu ini udah tua. Tega sekali kalian yang muda itu menyakiti hati Ibu. Membuat Ibu sedih seperti ini,” keluh Bu Tiwi dengan nada memelas.

Arfan bergegas ke dapur untuk mengambilkan ibunya segelas air putih dan menungguinya menenggak habis air itu. Lantas, dikembalikannya gelas sambil menawari ibunya mungkin ingin dibuatkan teh atau apa.

“Tidak perlu! Ibu nggak perlu apa-apa dari kamu, Arfan. Yang Ibu mau itu kamu jangan pernah kasar sama Ibu. Kamu jangan sampai lupa siapa yang membesarkanmu sampai jadi seperti ini, ya! Jangan gara-gara hasutan istri kamu jadi kamu melawan sama Ibu. Mau jadi anak durhaka apa?”

Arfan menggeleng pasrah. Ia harus mengalah dulu sekarang. Ibunya sedang dalam posisi dipenuhi emosi. Tak baik tetap melawannya karena pasti akan lebih memancing keributan lagi. Untuk sementara ia harus menuruti kemauan sang ibu, demi kedamaian mereka bersama.

Usai membujuk ibunya yang tak begitu berhasil itu, Arfan kembali ke kamarnya. Di sana ia melihat Luna telah siap dengan tas cangklong dan koper yang siap dijinjing juga.

“Sayang? Kamu jadi minta pulang? Kan Mas udah minta maaf sama kamu?” pekik Arfan di tengah keterkejutan. Diambilnya koper dan diletakkannya kembali ke pojok lemari agar tak terjangkau lagi oleh sang istri.

“Mas! Bukan maaf kamu yang aku butuhin, ya! Aku udah nggak tahan sama Ibu, Mas1 Kalau seperti ini terus aku bisa mati berdiri di sini!” sergah Luna sambil merangsek ingin mengambil kembali kopernya.

Tapi Arfan lebih sigap dan menarik lengan snag istri untuk masuk ke dalam dekapannya. Direngkuhnya erat tubuh istrinya itu sambil membelai rambut panjang Luna serta membisikkan bujukan yang sama untuk tetap tinggal dan bersabar dahulu menghadapi Bu Tiwi.

“Aku udah marahin Ibu, kok, barusan. Ibu udah janji nggak akan mengulanginya lagi, Lun,” katanya berbohong. Hanya untuk membuat Luna melembut.

“Apa iya? Kayaknya aku nggak yakin Ibu bisa segampang itu mengalah sama kamu, Mas?” selidik Luna sambil matanya kini meatap lekat mata Arfan.

“Iya, Ibu janji nggak akan lagi bicara yang bukan-bukan soal kamu. Ibu minta maaf sama kamu,” lanjut Arfan menambah kebohongan. Semua demi kebaikan, pikirnya membela diri. Demi menjaga keutuhan keluarganya yang sedang di ujung tanduk itu.

“Tapi kenapa minta maafnya nggak langsung ke aku, coba?”

"Ya harap mengerti lah, Luna. Ibu itu kan orang tua. Udah sepatutnya kita yang muda yang harus banyak pemakluman, ya? Please, Luna. Maafin Ibu, ya?"

"Kita akan perbaiki semuanya sama-sama. Aku udah cerita semuanya soal perkenalan kita sama Ibu. Jadi ke depannya Ibu nggak akan salah paham lagi. Oke?"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!