Aku Menantu Bukan Babu

Sambil memasak, Luna terus mencoba melupakan rasa sakit di perutnya hingga lama kelamaan, entah karena telah terbiasa atau memang sakitnya telah mereda, ia sudah merasa baikan.

Segera ia menyelesaikan semua tugas rumah yang sepagian tadi memang belum sempat dikerjakan. Mencuci baju dengan mesin cuci, lantas menyapu halaman dengan resiko banyak tetangga yang berkomentar kenapa kesiangan dan sebagainya. Oh, Luna sebenarnya tak suka menanggapi, tetapi terkadang kejulidan ibu-ibu itu membuatnya makan hati kalau tak diladeni.

“Luna, udah jam berapa ini? Kok baru nyapu jam segini? Padahal belum punya anak bayi,” komentar salah seorang tetangganya yang bahkan Luna belum hafal namanya siapa.

“Iya, Bu. Tadi sibuk di dapur. Nggak apa terlambat daripada nggak dikerjain, kan?” sahutnya seraya melirik halaman rumah si ibu yang berkomentar tersebut yang tampak sekali malah belum tersentuh sapu.

Merasa Luna menyindirnya, si tetangga membalas sinis, “Huh, kalau anakku sih memang sibuk bekerja berangkat pagi-pagi. Aku nggak sempat nyapu karena sibuk mengurus cucuku ini. Iya kan, Sayang?” katanya sambil mengajak bicara bayi kecil dalam gendongannya. Seolah memberikan pembelaan kenapa halamannya sendiri masih kotor begitu.

Lana mendengkus kesal. Lingkungan di rumah ini sungguh toxic untuknya. Bukan hanya mertuanya yang suka menyakiti hati, tapi bahkan para tetangga kawan berghibahnya Bu Tiwi turut pula terus menerus membuat Luna makan hati. Entah sampai kapan ia mampu bertahan tanpa meluapkan emosi.

Pernah sekali waktu Luna mengadukan apa yang dialaminya kepada Arfan. Tapi, suaminya itu malah berpikir bahwa Luna hendak meminta mereka mengontrak rumah saja. Padahal bukan itu fokus masalahnya.

“Kita nggak boleh egois, Luna. Di rumah ini, Ibuku sendirian. Dia sudah nggak muda lagi dan kita sepatutnya menjaga beliau di usia senjanya ini.”

“Huuuuft, iya, Mas.” Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan oleh Luna kepada sang suami.

Percuma, mau mengadukan soal sikap ibunya yang kasar pun, Arfan tak akan percaya karena bila di depan putranya itu, Bu Tiwi selalu bersikap baik-baik saja dan tidak ada masalah dengan Luna. Wanita tua itu selalu pintar bersilat lidah dan berpura-pura sebagai ibu peri yang baik hati. Ish, sial!

Suatu ketika di malam Minggu, yang mana adalah hari di mana Luna bisa seharian bersama suaminya, Bu Tiwi pasti akan merecoki mereka berdua. Rencana piknik berdua yang sudah jauh hari direncanakan pun seringkali harus gagal ketika sang ibu mertua mulai berulah.

“Arfan, kalau bisa nanti kamu di rumah aja, ya? Kepala ibu rasanya pusing banget nih, kayaknya vertigo lagi kambuh.” Bu Tiwi meminta kepada Arfan ketika putranya itu tengah mencuci mobil hendak dipakai piknik ke pantai bersama sang istri ke luar kota.

“Loh? Ibu mau diantar periksa? Yuk, Bu,” ajak Arfan yang langsung tampak cemas mendengar keluhan ibunya barusan.

“Nggak usah periksa. Ibu cuma pengen ditemani di rumah aja. Kan juga kita emang udah lama jarang ngobrol sejak kamu menikah,” jawab Bu Tiwi berkeras.

Hal yang aneh menurut Luna. Kalau alasannya pusing kenapa diajak periksa malah menolak?

“Huh! Pasti mulai berakting lagi deh tuh!” cibir Luna sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Ia yang tadinya hendak menyuguhkan es jus melon yang baru saja dibuatkannya untuk hidangan di teras luar itu tak sengaja mendengar percakapan sang ibu mertua dengan suaminya.

Tampak Arfan berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tadinya Arfan mau ngajak Luna ke luar jalan-jalan, Bu. Kasihan dia di rumah terus.

“Halah, ibu kan juga di rumah terus. Biasa aja tuh. Kalau istri udah menikah itu ya memang udah kewajibannya di rumah terus, Arfan,” sergah Bu Tiwi sinis.

“Tuh, kan!” Karena jengkel, Luna tak jadi membawakan jus melon serta gorengannya ke teras. Lebih baik ditaruhnya saja di meja dapur. Ngapain baik-baikin ibu mertua yang tak pernah baik terhadapnya! Begitu pikirnya.

Luna memilih kembali ke kamarnya dan menanti keputusan dari Arfan. Apakah suaminya itu lagi-lagi akan membatalkan acara me time mereka untuk kesekian kalinya demi alasan aneh Bu Tiwi?

“Awas aja kalau sampai Mas Arfan mengalah lagi! Huh!” ancam Luna berbicara dengan dirinya sendiri. Ia mondar-mandir sambil meredam emosi. Sungguh, tingkah Bu Tiwi selalu membuatnya hampir gila.

Terdengar suara pintu kamarnya terbuka. Detik kemudian, kepala Arfan muncul melongok ke dalam kamar.

“Loh, Sayang. Katanya mau bawain jus dan cemilan? Mana? Ditungguin juga!” tanya Arfan dengan nada ringan.

Namun, ekspresinya langsung berubah begitu melihat sang istri sedang bersedekap dan bibirnya monyong lima centi, khas gaya akan mengomelinya.

“Nggak jadi!” ketus Luna tak peduli.

“Loh, kok gitu jawabnya?” Arfan bertanya tak mengerti kenapa istrinya itu mendadak marah-marah. Padahal tadi dia baik-baik saja sebelum ditinggalnya mencuci mobil.

“Soalnya pikniknya juga nggak jadi, kan?” tuntut Luna masih dengan wajah cemberut maksimal.

Perlahan Arfan sadar apa yang telah membuat mood istrinya langsung berubah.

“Ooh, kamu dengar omonganku dengan Ibu tadi, ya?”

Tak menjawab, Luna beringsut mundur, menghindari Arfan yang memangkas jarak.

“Lain kali aja ya kita perginya? Kasihan Ibu katanya vertigo lagi kambuh,” kata Arfan dengan nada suara diusahakan serendah mungkin.

“Huh! Batal aja terus. Mas inget nggak sih, kapan kita terakhir jalan berduaan aja? Udah nggak pernah, loh!” Luna memprotes keras kini.

“Tapi kan nggak enak sama Ibu, Luna. Dia minta ditemani—“

“Halah, tiap kali mau pergi berdua juga emang gitu kan Ibu kamu! Selalu ada aja alasannya. Kalau emang mengeluh sakit, kenapa diajak periksa malah nggak mau, coba?” potong Luna tak mau mengalah lagi.

Sudah terlalu sering ia diperlakukan seperti itu. Diajak pergi, sudah berencana berhari-hari, tapi di saat waktunya tiba, Bu Tiwi akan menggagalkan semuanya.

“Aku jadi curiga deh. Ibu kamu tuh emang niatnya nggak bolehin kita jalan berdua aja, tau nggak! Padahal kan me time itu penting, Mas! Apalagi buatku yang selalu tertekan terus selama tinggal di sini!” cerocos Luna yang seolah baru mendapat kesempatan menumpahkan segala kesal.

Tampak Arfan menghela napas panjang. Ia tahu kalau Luna sudah kesal, wanita itu akan susah dibujuk. Terkadang, dengan mengajaknya pergi keluar sekedar melepas jenuh dan penat serta rutinitas di rumah saja itu sudah akan mengubah suasana hati istrinya. Tetapi apa mau dikata, ia tak bisa juga mengabaikan permintaan sang ibu.

“Lalu kamu maunya gimana, Luna? Masa’ kamu tertekan sih tinggal di rumah aku? Hidup sama suami dan mertua kamu sendiri?” tanya Arfan akhirnya. Terkadang ia tak mengerti kenapa istrinya itu sering kali mengeluh tak nyaman di rumah itu.

Padahal yang tak diketahuinya adalah bahwa Bu Tiwi bisa berubah jadi mertua kejam dan sering mengiris-iris hati menantunya sendiri!

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!