Lidah Tak Bertulang

“Ajak aja Ibu periksa dulu. Lalu, kalau hasilnya ternyata nggak apa-apa, baru kita pergi. Dengan begitu aku bisa yakin kalau Ibu emang gak lagi pura-pura aja biar kita batal pergi.” Luna berkata mengusulkan.

Arfan meneguk ludahnya sambil berpikir. Ia setuju dengan pemikiran Luna. Lagipula dirinya juga sedang butuh refreshing ke luar agar tidak jenuh hanya berkutat dengan pekerjaan di kantor dan juga di rumah yang itu-itu saja.

“Ya udah. Kamu doain Ibu baik aja, ya. Biar kita jadi pergi. Bentar, kutinggal antar Ibu dulu.”

Akhirnya Arfan menuruti permintaan istrinya dan membujuk Bu Tiwi untuk mau ke klinik memeriksakan diri.

“Ngapain ke klinik, Arfan? Ibu nggak mau, ah!” Bu Tiwi ternyata menolak keras ajakan anaknya itu.

“Loh, kok ngapain sih, Bu? Kan Ibu tadi mengeluh pusing. Biar tahu dan segera diobati pusingnya, Bu.” Arfan tetap memaksa karena juga jadi merasa aneh dnegan sikap ibunya.

“Nggak perlu! Ibu cuma butuh istirahat aja, kok.” Bu Tiwi tetap menolak dan tak mau dibantah lagi.

“Duh, Bu. Kalau gitu Arfan tinggal pergi sama Luna dulu, ya? Ibu istirahat aja. Kalu ada apa-apa bisa telepon, ya?” Akhirnya Arfan memutuskan. Ia tak tega juga kalau harus terus menerus membatalkan acara dengan Luna demi Bu Tiwi.

Mendengarnya, Bu Tiwi langsung murka. Ia bangkit dengan dada naik turun saking emosinya.

“Oh, begitu ya kamu sekarang, Fan! Lebih mentingin istri kamu ketimbang Ibu kamu sendiri? Iya?”

Arfan terkejut melihat kemarahan ibunya. Tak disangka Bu Tiwi bisa semarah itu hanya gara-gara masalah sepele.

“Kok Ibu jadi melantur gitu, sih? Mana ada Arfan beda-bedain, Bu. Ibu sama Luna itu sama-sama tanggung jawab Arfan.” Pria itu menegaskan tapi dengan nada tak mau dibantah. Sesekali ia harus menuruti Luna agar istrinya itu tak terus-menerus murung selama di rumah itu.

Akhirnya Luna bernapas lega kali itu ia berhasil menang melawan Bu Tiwi. Mereka jadi pergi meskipun dengan dicemberutin oleh Bu Tiwi. Bahkan, beliau tak menjawab ketika Arfan berpamitan berangkat.

Ish, peduli amat! Luna mencoba cuek karena sebelumya ia terlalu sering mengalah kepada wanita menyebalkan itu. Ia bisa ditindas kalau terus mengalah. Weekend itu akhirnya Luna bisa menikmati sehari penuh hanya bersama suaminya. Bagi suami istri, terlebih masih terhitung pengantin baru seperti mereka, hal itu mutlak perlu untuk menjaga kualitas hubungan.

Akan tetapi kebahagiaan Luna harus dibayar mahal keesokan harinya. Bu Tiwi yang memendam kekesalan sebab merasa disisihkan oleh menantunya itu membuat ulah dengan sengaja memperdengarkan ghibahannya terhadap Luna kepada para tetangga.

“Iya, dia itu kan sebenarnya cuma kasir di minimarket cabang tempat Arfan jadi manager itu,” sebut Bu Tiwi saat ia tahu betul Luna sedang saatnya menyirami bunga di pot-pot sekitar rumah. Jelas di saat itu menantunya akan turut pula mendengar apa yang ia bicarakan di sisi pagar rendah kawasan perumahan itu.

“Lho, oooh jadi cinta lokasi, ya?” sahut Bu Mala mengorek info lebih lanjut.

“Ih, ya kalau bukan karena dia kegenitan godain Arfan sih mana mungkin. Huh, biasa lah, gadis-gadis yang pengen cepet menggaet laki-laki tampan dan mapan kan banyak akalnya. Nekat ngelakuin apa aja.” Bu Tiwi sengaja mengeras-ngeraskan suaranya.

Spontan Luna menjatuhkan alat penyiram tanaman yang ia pegang saking terkejutnya dengan tuduhan kejam yang dilayangkan oleh sang ibu mertua. Ia tak menyangka kalau anggapan Bu Tiwi selama ini terhadapnya begitu buruk.

Segera ia berbalik keluar dari pintu taman samping menuju ke tempat Bu Tiwi sedang asyik berghibah dengan Bu Mala.

“Ibu! Jangan seenaknya nuduh aku kayak gitu, ya! Ibu salah besar! Aku emang cuma kasir di sana. Tapi aku nggak pernah godain Arfan sama sekali! Tarik ucapan Ibu sebelum aku beneran marah, ya, Bu! Itu penghinaan banget buatku, Bu!” Tanpa dapat mengontrol emosinya, Luna melabrak habis-habisan ibu mertuanya tepat di depan Bu Mala.

Ia sungguh tak peduli kalau setelah ini ia akan jauh lebih bermasalah dengan Bu Tiwi. Baginya sudah cukup dijadikan babu di rumah itu, bukannya menantu. Dan kini dia malah dituduh sebagai wanita rendahan yang udah rela ngelakuin apa pun cuma untuk godain putranya! Benar-benar tidak bisa ditolerir lagi!

Bu Tiwi hanya tersenyum tanpa meminta maaf atau tampak menyesal sedikit pun. Sepertinya hal itu memang telah disengajanya untuk menyakiti hati Luna dengan sesakit-sakitnya.

Sementara Luna semakin kesal kala melihat tampang Bu Mala juga tampak sekali saat itu sedang memandang rendah dirinya. Tak kuasa menahan tangis, Luna berlari ke dalam rumah dan masuk ke kamarnya tanpa lupa membanting pintu keras-keras.

“Sial! Mertua brengsek tukang fitnah!” pekiknya di dalam dekapan bantal. Ya, ia menumpahkan seluruh amarah ke bantal dan guling di ranjang yang terus dipukulinya habis-habisan hingga lelah sendiri tangannya mengepal.

“Nah, lihat kan, bu Mala? Betapa tidak sopannya menantuku itu? Gak berpendidikan! Khas orang dari kasta rendahan!” Bu Tiwi masih melanjutkan ghibahan tanpa peduli betapa fitnahan kejinya tadi telah membuat hati sang menantu remuk redam tak berbentuk lagi.

“Astaga! Kayak gitu amat ya, Bu. Untung anakku nggak kayak gitu.” Bu Mala malah melebih-lebihkan anaknya sendiri yang mendapatkan suami pekerja kantoran juga tetapi memang mereka posisinya sama di kantor.

Hingga saat Arfan pulang kantor sore itu, Luna masih mengunci diri di dalam kamar. Matanya sembab dan memerah saking banyaknya air mata yang keluar. Ia juga sudah mengepak banyak bajunya ke dalam koper di tengah luapan amarahnya tadi. Apa pun yang terjadi, malam itu juga ia mau minta diantar pulang ke rumah orang tuanya.

“Sayang? Kok dikunci pintunya?” Arfan bertanya sambil jemarinya tak henti mengetuk pintu kamar.

Mendengar suara sang suami, gegas Luna bangkit dari ranjang dan langsung menubruknya sambil kembali tersedu di dada pria itu.

“Loh? Ada apa, Luna?” Arfan tentu saja terkejut sekali mendapati tangisan meraung sang istri.

Luna masih mencoba meredakan sesak di dada sampai belum bisa berkata-kata. Sungguh, baru kali ini hatinya merasakan sakit yang begitu rupa.

"Kamu kenapa? Kok mendadak nangis kejer gini?"

Ia tak tahu apa yang telah terjadi kepada istrinya itu. Tadi saat melewati Bu Tiwi di ruang tamu pun, ibunya juga sedang duduk sambil membaca majalah seperti tak terjadi apa-apa.

“Pulangkan aku, Mas. Aku mau pulang ke rumah orangtuaku aja!” kata Luna di sela sedu sedan. Kedua tangannya mencekal leher baju suaminya untuk menegaskan keinginan.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!