Rindu Terhalang
"Perbuatan kita ini salah, Tama." Aku bangkit dan sibuk mencari pakaian yang sudah berserakan di lantai kamar hotel.
Tama mendekat, tangannya menyapu bahuku yang tidak mengenakan sehelai benang pun. Aku menoleh ke arahnya yang hanya mengenakan ****** ***** model boxer.
"Ta, aku juga tahu ini salah. Tapi, bukannya rindu itu yang selama ini bersarang di hati kita?"
Aku melengos tidak ingin menjawab. Langsung bangkit dari posisiku tadi. Berdiri dengan sempurna, Tama memelukku dari belakang. Satu kesalahan kecil ini cukup bagiku.
"Sayang, ya. Aku dulu tidak mendapatkan perawanmu. Hanya selaput darah saja yang kurobek," bisiknya yang membuat tubuhku meremang dan mengingat kebodohan yang kubuat bersamanya saat remaja dulu.
Dua bulan lalu
Di kursi penumpang ojek online aku termenung memandang ke arah luar jendela. Hiruk pikuk kendaraan yang tengah berhenti berjejer menantikan lampu jalan berwarna hijau.
Sebuah sepeda motor berhenti tepat di depan mataku memandang. Helm LTD hijau bertengger di kepalanya. Mataku terbelalak, saat kulihat pria yang selama dua belas tahun ini sangat ingin kutemui.
Aku menekan tombol, menurunkan kaca pintu berwarna gelap ini. Aku melongok menatapnya tanpa berkedip. Detakan jantung bergemuruh lebih cepat dari biasanya.
Ingin sekali memberitahunya bahwa aku baik-baik saja, juga ingin mulutku menyebut namanya. Melambaikan tangan padanya, sekadar menyapa. Namun, ia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Fokus pada lampu lalu lintas.
Ia mulai menjalankan motornya meski hanya beberapa langkah ke depan. Tidak ingin melewatkan kesempatan yang entah kapan lagi akan terwujud. Keberanian tiba-tiba muncul dalam diri ini.
"Tam-Tama," jeritku berharap ia mendengarnya. Tidak mendapat jawaban, aku menunduk lesu dan mulai menekan tombol untuk menutupi wajah dari rasa malu.
"Mbak panggil pria yang di depan itu?" tanya pengemudi yang melirikku dari kaca persegi panjang di depannya.
"Niatnya sih begitu, Pak. Tapi ...." aku membuang napas lemah, "ya udah. Nggak jadi, Pak."
Suara ketukan di kaca membuatku menatap pria dengan dagu lancip dan hidung runcing ini. Pengemudi yang mengerti situasi ini pun langsung menurunkan kaca tanpa diminta.
"Ananta?"
"He uh?" Mataku tak berkedip melihatnya. Dalam hati sudah bersorak kegirangan.
"Bisa kita bicara sebentar?"
"Em ... tunggu di seberang sana, ya." Ia mengikuti arah jari telunjukku, lalu mengangguk.
Tidak butuh waktu lama untuk lampu hijau, aku minta pengemudi berhenti dan turun dari ojek onilne yang kupesan tadi. Setelah membayar, aku menghampiri Tama yang sudah menunggu.
"Kita cari tempat makan, ya. Biar enak ngobrolnya."
"Oke."
Aku duduk di sepeda motornya. Canggung rasanya, setelah berpuluh tahun yang lalu saat aku masih belia. Kala itu kami tengah berjalan-jalan, menghabiskan malam yang panjang bagi pemain cinta.
Malam yang selalu ditunggu kaum muda-mudi. Kami bercerita apa saja, terkadang tangannya mengusap lututku yang tengah memeluk erat dirinya dari belakang.
Ah, manisnya. Entah mengapa, hal yang begitu bisa menjadi sangat romantis saat sudah kehilangan. Satu tahun menjalin cinta dengannya tanpa perdebatan atau pertengkaran hebat. Hingga akhirnya putus meninggalkan penyesalan di hatiku.
"Hai, apa kabar?" tanyanya memulai percakapan saat kami sudah duduk di sebuah warung mie aceh terkenal di kota Medan ini. Bahkan beberapa selebriti datang ke sini sekadar untuk mencicipinya.
"Alhamdulillah, baik." Wajahnya berseri, senyum terlukis di wajah orientalnya. Matanya menghilang saat dia tertawa. Debaran di dada tidak bisa dikontrol.
"Udah berapa lama ya kita nggak ketemu?"
Aku mengendikkan bahu sambil memutar cincin yang melingkar di jari manis. Entah waktu yang salah atau keadaan yang memang mempertemukan kami seperti takdir.
Pandangannya tertuju ke arah jemariku. Lalu tersenyum simpul. "Kamu udah nikah, ya?"
Tidak banyak kata yang keluar dari mulutku, bahkan ia tidak memberi kesempatan untukku bertanya banyak tentangnya. Hanya fokus memandangnya, melepas rindu. Bibir tipis itu yang dulu sering menyebut namaku dan mencium lembut pipi ini.
Bulir bening sudah mengumpul di pelupuk mata. Aku tidak ingin menangis di hadapannya. Seumur menjalin kasih, ia tidak pernah membuatku menjatuhkan air mata.
Itu nilai plus di dirinya yang membuatku sulit untuk membenci atau melupakannya.
"Hei, kamu melamun?"
"Ah, nggak. Kamu menikah sama Satria itu, ya?"
Aku mengangguk, ya dia tahu siapa Satria. Sebab, karenanya Tama memutuskan jalinan asmara kami. Bukan karena salah paham, lebih tepatnya itu perselingkuhan.
"Oh, yalah. Aku juga sudah menikah, justru udah punya anak," jelasnya yang membuatku berkecil hati. Selama tiga tahun pernikahan, aku belum juga diberi kepercayaan untuk memiliki momongan.
Berat badanku ideal, Satria juga bukan perokok dan minum-minuman keras. Kami hidup sehat dengan menjauh dari hal-hal yang begitu.
"Oh."
"Sekarang tinggal di mana?"
"Nggak jauh dari rumah Ibu. Sekitar sepuluh menit dari sana."
"Oh, ya. Rumah sendiri atau ngontrak?"
Aku bangkit ingin meninggalkannya. Pertemuan ini sama sekali tidak bermanfaat. Aku hanya mengobati rasa rindu tanpa bertanya apa pun padanya.
Bagiku, merindukan dia diam-diam sudah membuatku hidup tenang di samping Satria. Juga, ada rasa menyesal karena menemuinya sekarang.
"Tunggu, Ananta. Beri aku nomor ponselmu." Ia menyodorkan benda pipihnya padaku. Aku menatapnya dan ponsel itu bergantian.
"Untuk sekadar memberi kabar. Nggak lebih." Aku pun menyambutnya. Menggoyangkan jemari untuk menulisnya, lalu pamit dengan hati yang gusar.
"Aku udah chat kamu, ya. Itu nomorku, disimpan. Jangan cuma dilihatin aja," timpalnya saat aku merogoh tas mengambil handphone.
Ponselku berdering, Satria menelepon. Aku berpaling dari Tama.
"Di mana?"
"Aku di dekat kerjaan kamu."
"Ngapain?"
"Jumpa temen tadi."
"Aku mau pulang, mau ikut sekalian nggak?"
"Em, ya. Di warung mie aceh."
"Tunggu di situ."
Satria mengakhiri panggilannya, saat berbalik Tama sudah berada di atas motornya.
"Aku nanti telepon kamu, ya."
Sekian menit Tama pergi, Satria memarkir mobil di seberang jalan dari tempatku berdiri. Aku yang hafal plat nomornya langsung bergegas menghampiri.
Pria berkulit sawo matang ini, akan ribut jika aku terlalu lama menghampirinya. Kebiasaannya memang seperti itu, sejak sebelas tahun lalu mengenalnya.
Dia pria yang misterius, tidak terbuka. Bahkan aku saja tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran juga hatinya. Terlalu menyimpan semuanya sendirian.
Kadang aku berspekulasi, benarkah dia mencintaiku? Atau menikah denganku hanya untuk memenangkan pertarungannya dengan Tama. Setiap pulang kerja, ia tidak langsung masuk ke rumah.
Bercerita terlebih dahulu dengan para tetangga. Hampir tengah malam, baru masuk ke rumah. Aku yang selalu bangun pagi menyiapkan segala sesuatunya merasa kosong dan hampa.
"Dek, siapkan air panas. Aku mau mandi," perintahnya berulang kala di luar hujan saat akan pulang bekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Rianti
mie Aceh Titi bobrok ini
2023-09-07
0