Bel berbunyi, istirahat pun dimulai. Mata pelajaran yang aku ajarkan juga sudah usai di kelas Indah. Aku merapikan buku yang berserak di meja. Sementara anak-anak keluar barang untuk jajan atau sarapan.
Indah menyodorkan kertas tadi lalu sebuah roti ia hadiahkan di atasnya. Aku melirik adonan tepung itu, lalu beralih ke Indah.
"Maaf, Bu."
"Em ... Oke."
Ponselku mendering dalam panggilan seseorang, aku merogoh tas dan mengangkatnya. Indah aku usir keluar. Dia menundukkan kepalanya lalu pergi.
"Ya, Bang."
"Aku hari ini pulang cepat, mau sekalian nggak?" Aku menjepit benda pipih itu dengan mengangkat bahuku untuk menahannya. Kedua tangan sibuk memasukkan barang-barang.
"Boleh." Aku menatap jam yang melingkar di tanganku, pukul sepuluh.
"Sekitar jam makan siang baru bisa pulang," kataku lagi. Takut, jika ia menunggu terlalu lama pasti akan ribut dan berdebat lagi dan lagi. Biarlah aku yang menunggu dia, entah berapa jam lamanya.
Awal menikah dulu, saat aku minta menunggu, Satria mengomel dan justru terjadi perang besar. Setiap kali ia menunggu, selalu begitu. Terkadang bawa motor dengan kencang, atau sengaja menabrak trotoar pinggir jalan.
Ada lubang besar pun dihantam dengan kecepatan penuh tanpa mengerem. Kadang aku terlonjak dari tempat duduk. Untuk menghindari itu, aku memilih menunggunya meski itu lama.
"Oke, nanti aku jemput di depan gerbang sekolah."
"Ya, Bang."
Pak Arbi turun berbarengan denganku. Kami menyapa sekadar basa-basi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya lagi mengundang tanda tanya besar di benakku.
"Apa saya bisa masuk juga ke dunia Ibu?"
"Apa??"
Pak Arbi hanya mengulas senyum lalu menapaki tangga untuk turun. Pantas saja tadi dia bilang tahu apa yang terjadi. Sepertinya memang dia melihat hal yang harusnya kusembunyikan rapat-rapat.
Benar kata pepatah, sebaik-baiknya menutup bangkai pasti akan tercium juga. Sekarang, ini berlaku padaku.
Jam makan siang tiba, aku pun selesai mengajar. Biasanya hingga pukul tiga baru pulang ke rumah. Berhubung hari ini Satria menjemput, aku persingkat pekerjaan di ruang guru dan membawanya pulang.
Mobil Xpander putih sudah menunggu di sana. Aku jelas hapal sekali dengan plat nomornya. Langsung aku membuka pintu dan masuk.
"Udah lama, Bang?"
"Lumayan," ucapnya singkat dan padat. Kami pun pulang, tanpa ada pembicaraan lagi. Hening.
Kadang rasa kesepian ini yang membuatku menarik ulur soal hati tentang Tama. "Abang udah makan?" tanyaku lagi, pria berkulit hitam manis ini menggeleng.
"Belum."
"Jadi, mau makan di mana?"
"Di rumah aja."
"Oh." Padahal dalam hati aku berharap ia bertanya lagi tentangku soal hal yang sama. Aku juga belum makan pastinya.
Setelah hampir tiba di depan pagar kompleks ia baru bertanya, "Kamu mau makan apa?"
"Nggak ada, makan yang ada di rumah aja."
Aku meminta Satria untuk berhenti sebentar di pos satpam. Pria berbaju safari hitam keluar dari sana. Ia langsung tahu saat aku menurunkan kaca mobil.
"Oh, Bu Ananta."
"Ya, Pak."
"Ini ada titipan buat Ibu."
"Ya, makasih ya, Pak."
"Sama-sama, Bu."
Satria terlihat mengernyit heran. Ya, aku belum cerita apa pun tentang ibunya. Aku bermaksud untuk mengatakannya saat tiba di rumah.
Paper bag berwarna putih berada dalam pangkuanku. Meski sibuk menyetir, Satria melirik ke arahku beberapa kali. Hingga akhirnya kami pun tiba di rumah.
Membuka kunci pagar besi lalu masuk ke rumah. Satria memarkir mobil, sedangkan aku lebih memilih masuk ke kamar mandi.
Sedetik kemudian, aku menyiapkan makan siang untuk kami. Menatanya di meja makan.
"Itu apa?" tanya Satria saat sudah duduk di sampingku. Arah matanya tidak lepas dari paper bag yang kuletakkan di dekat lemari makan.
"Obat herbal dari Ibu."
"Ibu?" tanyanya lagi yang masih membuatnya menyatukan alis.
"Ya, Ibu kamu. Tadi Ibu ke sini terus nitipin itu ke satpam."
"Oh, kok Ibu nggak telepon aku, ya?" Dia bertanya pada dirinya sendiri, aku mengendikkan bahu. "Isinya apa?"
"Obat untuk kesuburan katanya," jawabku malas dan menyendokkan nasi ke mulut. Aku tahu, Satria akan menolak untuk meminumnya. "Kalau nggak mau diminum, kita buang aja."
Aku memandang lurus ke depan. Situasi yang membahas hal ke anak, tidak akan dibahas panjang. Jadi, lebih baik dipatahkan saja sebelum terlanjur kecewa.
Dia diam. Aku sudah selesai makan, mencuci piring kotor milikku tadi. Setelahnya, aku berganti pakaian lalu melanjutkan tugas yang belum kusiapkan tadi.
**
Hari minggu pagi begini, aku menyiram tanaman sepetak yang berada di sudut rumah mungil kami. Satria sibuk dengan mencuci motornya.
Sebuah mobil box terbuka berhenti tepat di seberang rumah kami. Aku dan Satria saling pandang, mungkin sama-sama bertanya.
"Baru pindahan ya, Bang?"
"Kayaknya iya," jawabnya yang kembali melanjutkan aktivitas minggu paginya.
Terlihat seorang wanita umur pertengahan empat puluh dengan kedua putrinya masuk terlebih dahulu, disusul pria seumuran dengannya yang berpakaian modis sembari membawa kotak berisi boneka sang anak.
Mereka menatap ke arah kami, lalu memberi sapaan hangat. Menundukkan kepala sebentar dan tersenyum kemudian berlalu masuk. Benar-benar keluarga yang harmonis menurutku.
Apalagi coba yang diinginkan dari rumah tangga kalau bukan kebahagiaan dengan porsi lengkap. Anak, suami, rumah besar, keuangan baik. Masihkah akan menuntut yang lebih?
Aku terus memperhatikan gerak-gerik mereka. Istrinya tampak menyiapkan makanan untuk suami dan anaknya. Itu jelas terlihat, karena mereka tengah sarapan di halaman. Berbataskan pagar kayu berwarna putih, membuatku begitu leluasa untuk melihat ke sana.
Wanita itu menghampiri kami dengan membawa piring yang berisi roti panggang. Pagar kami buka lebar memang, kala hari minggu begini. Ya, aktivitas Satria akan membanjiri halaman keramik jika tidak dibuka.
"Pagi," sapanya yang membuat Satria langsung berdiri di sampingku.
"Pagi," jawabku pelan dan terus memperhatikan wajahnya yang terlihat begitu kencang. Pakaian yang modis dan bentuk tubuh yang ideal. Jelas aku insecure, aku yang belum memiliki anak saja kalah body goals dengannya.
"Kami tetangga baru di rumah itu," ucapnya menunjuk ke arah seberang sana.
"Oh, ya. Saya Satria, ini istri saya. Ananta." Satria memperkenalkan kami, tangannya sudah melingkar di bahuku.
"Aku, Arini. Itu suami dan kedua anak saya. Zaki, Mia dan Alisha. Salam kenal," katanya lagi sambil menyodorkan piring yang ia bawa.
"Tunggu sebentar," pintaku menahannya yang akan pergi dari rumah kami. "Aku akan kembalikan piring Anda."
"Besok saja, saya yang datang ambil. Sekalian main ke sini."
"Oh, tentu. Kami dengan senang hati menyambut Anda," jawab Satria.
"Sayang," panggil suaminya yang tampak melambaikan tangan ke sini. Arini menyambutnya lalu berhambur bersama mereka, meninggalkan kami berdua.
Satria kembali mengelap motor R15 kesayangannya. Jelas dia mengabaikanku. Padahal, aku ingin sekali dia menghabiskan weekend ini denganku.
Aku kesepian, kadang frustasi sendiri dengan rutinitas yang sama dan itu-itu saja. Jenuh, bosan, ingin marah dan memberontak dengan kehidupan yang datar ini, tapi sekali lagi, aku memilih mengalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments