Notifikasi pesan masuk di gawaiku. Segera aku merogoh saku baju dinas berwarna cokelat yang sudah melekat di tubuhku.
Kubuka aplikasi biru, Tama yang mengirimnya. Tidak banyak kata-kata yang ia tulis di sana, hanya mengucapkan selamat pagi diiringi dengan stiker bentuk hati.
Aku mengabaikan pesan itu, meski sebenarnya dalam hati aku memang menyukainya. Itu bentuk perhatian kecil bahkan bisa dibilang sepele, tapi hal yang begitu tidak pernah kudapat dari Satria.
Seperti biasa, pagi tadi aku menyiapkan segala keperluannya sebelum berangkat bekerja. Satu setel seragam telah kusetrika rapi dan meletakannya di kasur saat ia baru bangkit menuju kamar mandi. Bahkan, kaos kaki dan ****** ***** sudah tertata di sana.
Keluar dari kamar mandi, teh manis, beserta bekal dan sarapan, semua sudah siap di meja makan. Sebelum akhirnya aku bersiap-siap untuk pergi bersama dengannya. Sepatu dinasnya juga sudah aku benahi, ia tinggal memakai saja.
Begitu rutinitasku setiap pagi. Dulu, sebelum menikah berjanji pada diri sendiri untuk berbakti pada suami dan melakukan yang terbaik. Berharap, perjalanan pernikahan yang indah hingga tua. Siapa yang tidak ingin seperti itu? Namun, ketika kenyataan tidak sesuai dengan yang dibayangkan, ada rasa kecewa yang terpatri di hatiku.
"Pagi, Bu," sapa muridku yang melintas, kubalas senyum hangat sapaannya saat berjalan menuju gerbang. Kini, aku sudah berada di ruang guru. Menyiapkan materi pelajaran hari ini.
Lagi, pesan dari Tama masuk memberi semangat. Kali ini, aku membalasnya. "Terima kasih, selamat bekerja."
Bel sudah berbunyi, sepatu high heels hitam formal aku hentakkan di koridor sekolah swasta cukup besar di kota ini. Melangkah dengan pasti memulai pelajaran.
"Oke, sekarang kita lanjut pelajaran semalam. Saya akan menjelaskan contohnya."
"Baik, Bu."
"Jika untuk membuat 6 potong kue dibutuhkan 18 ons gula halus, maka untuk membuat 9 potong kue diperlukan berapa ons gula halus?
Jawaban:
p1 \= 6 potong
q1 \= 18 ons
p2 \= 9 potong
q2 \= .....ons
Maka:
p1/q1 \= p2/q2
6/18 \= 9/q2
6q2 \= 18 x 9
q2 \= 162/6 \= 27 ons." Aku memberi jeda setelah menjelaskan, melihat respon para murid. Ya, seperti pada kelas sekolah menengah lainnya, hanya murid dibaris ketiga dari depan yang mendengarkan, setelah baris itu acuh.
"Sampai di sini ada yang mau ditanya?"
"Enggak, Bu." Mereka kompak menjawab.
"Silakan kerjakan soal di bawahnya, ya."
"Baik, Bu."
Aku mendaratkan bokong di meja guru berwarna coklat muda sembari menarikan pena mengisi absen murid-muridku. Melirik mereka sekilas, ada yang tengah bermain dengan teman sebangku. Ada yang tengah fokus, ada juga yang sibuk dengan gawai.
Aku melangkah setelah siap dengan catatan milikku yang harus kulaporkan kepada kepala sekolah. Berjalan di setiap meja mereka dengan tangan di belakang pinggang.
Tertangkap netra gadis dengan pita merah mengetik ponsel di dalam laci seraya mencuri-curi pandang ke arahku. Aku berpura tidak melihatnya, karena masih sekali ia membalas. Bisa saja itu pesan penting dari orangtuanya.
Lagi, gadis itu merogoh laci dan menarik benda pipih miliknya. Setelah jemarinya menari di sana, ia terlihat tersenyum gembira.
"Indah, silakan kamu selesaikan soal nomor dua di papan tulis, ya."
Dia terlonjak kaget, menoleh ke arahku sebentar lalu bangkit dengan wajah bingung. Gadis ini tidak mendengarkan apa pun yang aku sampaikan tadi. Sibuk dengan ponselnya.
Dia sudah berdiri di depan papan tulis putih, mengambil spidol. Tangannya bergerak menulis angka di sana. Jarum jam terus bergerak, detik sudah berganti jadi menit. Namun, Indah masih setia berdiri tanpa menyelesaikan soal.
Dia tidak menulis jawabannya, hanya menyalin yang ada di buku. Aku berjalan melewatinya, ia menatapku penuh harap. Aku kembali duduk di meja guru. Indah terlihat menutup kembali spidolnya.
"Maaf, Bu. Saya nggak bisa?"
"Oke, kembali ke tempat duduk kamu. Ponsel kamu kasih ke saya."
Wajahnya bersungut, Indah meletakkan spidol dan kembali ke mejanya. Setelahnya membawa ponsel keluaran terbaru kepadaku. Ia tampak ragu-ragu memberinya. Aku menodongkan tangan padanya.
"Sini, Indah."
"Tapi, Bu?"
"Saya sudah toleransi kasih kamu kesempatan untuk menjawab soal itu, tapi kamu nggak bisa. Jangan salahin saya."
Ia sedikit membanting ponselnya ke tanganku. Lalu berbalik dengan sedikit mengibaskan rambutnya yang ikat satu. Terlihat dari kulit juga pakaian yang ia kenakan, dia dari keluarga lumayan berada. Buktinya, telepon genggam yang ada padaku sekarang seharga lebih dari tiga juta.
Jam pelajaranku telah usai, Indah menghampiriku yang masih diambang pintu bersama beberapa orang siswi lainnya.
"Bu," ucapnya merengek, "jangan sita HP saya, Bu."
"Indah, saya harus bersikap adil pada siapapun. Jam istirahat nanti temui saya."
"Baik, Bu," ucapnya bersungut.
Jadwalku mengajar sudah usai, aku tengah menanti makan siang. Namun, aku masih setia berada di sekolah untuk mengerjakan materi besok. Suara bel istirahat berbunyi, benar saja Indah datang untuk memenuhi permintaanku tadi.
Ia mengetuk pintu, aku meliriknya lalu mempersilakan untuk masuk. Indah berdiri di sisi kiriku, aku masih saja menulis materi untuk besok.
"Bu, boleh saya minta ponsel saya."
"Duduk dulu, Indah. Saya sebentar lagi selesai."
"Tapi, Bu. Waktu istirahat cuma lima belas menit."
"Saya akan selesai dalam lima menit," ucapku meliriknya yang kini sudah berhadapan denganku. Gelisah, itu yang terlihat dari sikap Indah. Kedua temannya tampak menyikut lengan Indah.
"Ndah, cepetan. Aku laper, nih."
Aku mengeluarkan roti dari dalam tas tanpa menghentikan aktivitasku.
"Makan, saya sebentar lagi siap."
"Enggak usah, Bu."
"Oke."
Dering ponselku terdengar, aku mengambil benda pipih itu melihat nama yang tertera. Jelas, Tama. Satria tidak akan pernah menelepon jika tidak penting atau sudah menunggu di depan.
Aku mengabaikannya. Pesan teks dikirim Tama.
"Mau makan siang?"
"Aku sudah sembuh, jadi jangan pernah menyapaku lagi. Meski hanya sekadar komunikasi, aku sudah tidak ingin lagi. Dan segala tentang kemarin, anggap saja semua itu tidak pernah terjadi. Dan berbahagialah dengan orang pilihanmu," balasku panjang lebar.
Ketiga gadis di hadapanku ini saling pandang. Mereka seperti tengah mendikteku. Padahal, aku tidak bersuara. Hanya mengirim pesan. Entah kalau salah satu dari mereka sempat melirik ke layar ponsel.
Jelas memang, nama kontak Tama itu aku tulis 'Mantan', aku merogoh saku sebelah kiri lalu menyerahkan ponsel Indah.
Mereka bertiga keluar dengan berbisik-bisik, sesekali menoleh ke belakang. Melihat ke arahku.
Aku mengembuskan napas kasar. Tidak enak rasanya dicurigai oleh siswi sendiri. Mulutku menggembung, meniup ke arah poni.
"Aku nggak berbuat dosa, kok!" lirihku membatin pada diri sendiri.
"Hayo, Bu. Dosa sama siapa loh?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments