Simpan Kebodohanmu

Setelah kejadian itu. Aku selalu mangkir dan menghindar dari Tama. Dalam segala hal, entah itu via pesan atau terkadang Tama datang ke lingkungan sekolah sekadar menungguku.

Seperti hari ini, begitu aku turun dari mobil ia langsung menghampiri. Aku celingukan melihat sekeliling, takut Satria belum terlalu jauh pergi atau ada beberapa guru yang memergoki. Kami bukan pasangan selingkuh, tapi siapa yang akan percaya dengan ucapanku.

Jika sekarang, Tama justru tengah memegang pergelangan tanganku. Jelas aku membuang kasar tangannya. Tiga hari sudah, sejak kejadian di restoran.

"Ananta, please! Aku tahu aku salah. Tolong, buka blok di whatsapp. Jangan kayak gini, Ta."

"Tama, kamu tahu aku dulu ninggalin kamu kenapa?" dia terdiam, sikapnya yang semula membungkuk memohon menjadi berdiri tegak menatap lurus ke dalam bola mataku.

"Kamu dulu menggebu di awal, lalu menghindar tanpa kabar."

Dia membeku, aku berlalu pergi. Banyak hal yang harus aku kerjakan sekarang. Para murid tengah bersiap untuk ujian bulanan pekan depan. Bagiku, Tama tidak penting untuk menguras seluruh energi dan pikiranku.

Terdengar langkahnya mengejar, lalu meraih tanganku. Aku berhenti tanpa memandangnya.

"Ta, itu dulu sebelum aku dewasa. Sekarang, setelah bertambahnya usia, aku bodoh membuatmu begitu."

"Simpanlah kebodohanmu itu. Aku sudah cukup tahu dan muak dengan sikapmu. Entah itu dulu atau sekarang."

Aku menarik tanganku, meninggalkan Tama. Suaranya terus memanggil namaku. Tidak perlu kembali mengulang kesalahan dulu. Cukup kaca spion yang memperbolehkan kita menatap ke belakang, itu pun hanya untuk mengingatkan, bukan untuk kembali.

Handphone dalam tas berdering. "Halo, Bu."

"Ibu di rumah kamu, kuncinya kalian bawa dua-dua, ya?"

"Ya, Bu. Sebentar aku pulang, ya."

"Enggak usah, Ibu cuma mau kasih obat herbal untuk kalian. Itu kata temen Ibu bagus untuk kesuburan suami istri. Kamu coba, ya. Ibu titip satpam, ya."

"Ya, Bu."

Aku merasa tidak enak hati atas sikap ibu mertua yang begitu peduli, bukan menyalahkanku atas cucu yang tak kunjung aku beri padanya.

Bukan tidak ingin untuk melakukan segala hal yang berhubungan dengan obgyn, tapi Satria selalu ogah-ogahan jika berbicara mengenai anak.

Kala malam, sering aku menggodanya saat tengah masa ovulasi. Namun, Satria seperti tidak ada hasrat untuk melakukannya.

Wajahku tidak bisa dibilang jelek atau buruk rupa, nyatanya Tama masih terus mengejarku meski sudah memiliki istri. Bahkan, aku sendiri melihat foto istrinya di layar ponsel. Jika dibandingkan dengannya, aku dua tingkat lebih cantik darinya.

Aku melangkah gontai setelah mengakhiri panggilan dari ibu mertuaku. Pria jangkung ikut berjalan di sampingku seraya membawa tas selempang, terlihat dari bayangan di tanah.

"Pagi, Bu Ananta."

"Ah? Pagi, Pak Arbi."

"Anda baik-baik saja, Bu Ananta?"

"He uh?" aku menoleh ke arahnya sebentar, mencoba menerka kalimatnya, "baik," sambungku yang berlalu meninggalkannya.

Tidak ingin satu orang pun tahu mengenai urusan pribadiku seperti apa. Cukup mereka mengenal Ananta yang ceria dan tegas dalam mengajar.

Berjalan melewati koridor yang sudah nampak ramai oleh para siswa yang sibuk mengejar jam masuk. Ya, sekolah ini terlalu ketat jika menyangkut kedisiplinan.

Pak Arbi mendekat lalu memberikan secarik kertas padaku. Aku celingukan, takut ada yang melihat. Bukan tidak mungkin akan terjadi fitnah, mengingat statusku yang sudah menikah.

"Saya tahu apa yang terjadi tadi, Bu."

Aku meletakkan asal tas yang kubawa sedikit berlari mengejar Pak Arbi yang tengah berjalan dengan santai, sebelah tangannya diselipkan di saku celana.

"Pak Arbi," panggilku membuat guru-guru lain sontak melihatku.

Pak Arbi menghentikan langkah sejenak, lalu berbalik.

"Ya, Bu Ananta," jawabnya yang mengulas senyum penuh arti. Dia memang tampak gagah, meski hanya mengenakan celana keper warna abu dan kemeja yang digulung hingga siku.

"Materi kemarin yang saya tanyakan, sudah ada jawabannya belum?" kilahku karena sudah mengundang pusat perhatian para guru yang mendengar.

"Oh, yang kemarin, ya? Nanti saat jam istirahat saya kasih ke Ibu, ya."

"Ah, ya. Ma ... kasih, Pak." Ia menyunggingkan senyum, entah apa dibalik lengkungan yang terlukis di wajahnya itu. Aku mengangguk ragu dan tersenyum datar. Pak Arbi melanjutkan langkahnya.

Setelah melaksanakan baris berbaris, kami menuju kelas masing-masing. Bersiap untuk mengajar. Lagi, Indah dan teman-temannya sengaja berjalan mepet ke arah Pak Arbi yang berbeda satu anak tangga dariku.

Indah begitu genitnya dengan guru ganteng di sekolah ini. Aku juga maklum dengan cinta monyetnya. Begitu cepat jatuh cinta saat masa remaja begini, tidak pernah berpikir jauh ke depan.

Aku juga dulu begitu, melakukan hal yang sama. Jika ada guru pria yang menarik perhatian, aku juga suka salah tingkah. Padahal, itu tidak mungkin terjadi. Siswa berpacaran dengan guru, hanya ada di novel atau drama yang tengah hangat di kalangan remaja.

Aku yang jengah melihat sikap Indah, berusaha melewatkan mereka. Juga, tidak ingin membuat anak didik yang lain menunggu terlalu lama. Aku menghentakkan sepatu high heels di anak tangga.

Saat hampir sampai di ujung tangga, Indah menyenggol tubuhku. Sontak aku kehilangan keseimbangan, tubuhku limbung dan hampir saja mendarat di lantai ubin sekolah.

Pak Arbi yang sigap langsung menahan tubuhku dengan punggungnya. Aku seperti bayi koala yang tengah digendong induknya. Ya, bergelayut di tubuh Pak Arbi.

Indah tampak senyum kegirangan sebelum melihat posisiku sekarang. "Ndah," sapa temannya Nisa yang mencolek bahu Indah.

Indah meradang dan bersungut sebal menuju kelas. Aku juga tidak ingin lama-lama berada di atas punggung Pak Arbi, yang memang cukup nyaman. Ah, Ananta kamu gila. Ingat status! Batinku meracau.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Bu."

Proses belajar mengajar pun berlangsung. Aku menjalankan rutinitas seperti biasa. Indah terus saja menatap tidak suka ke arahku.

Aku yang menjelaskan mata pelajaran tidak ingin duduk diam di meja guru. Aku berjalan pelan sambil menyusuri lorong yang diampit meja juga kursi. Sampailah kakiku di tempat duduk Indah.

Ia tengah menopang dagunya, lalu terlihat mencoret-coret kertas dengan pulpen tinta hitam. Masih dengan mulut yang menjelaskan, aku menuliskan sesuatu di atas kertasnya.

"Saya tidak tertarik dengan Pak Arbi. Saya juga sudah punya suami yang tampan juga mapan." Indah terbengong, mendongak ke arahku. Aku berlalu meninggalkannya.

Aku berjalan ke arah papan tulis. Lalu menerangkan apa yang ada di buku. Tanganku dengan segera mengambil spidol dan mulai menulis.

"Diketahui dua buah persamaan sebagai berikut, 2x + 3y \= 13 dan x - 2y \= -4. Berapakah nilai dari x dan y?

Jawabannya,

2x + 3y \= 13  |x2

x   -  2y \= -4  |x3

Pada persamaan pertama semuanya dikali dengan 2 pada persamaan ketiga semuanya dikali dengan 3.

2x.2 + 3y.2 \= 13.2

x.3   -  2y.3 \= -4.3

4x + 6y \= 26

3x - 6y  \= -12

Sekarang, kita mau menghilangkan 6y. 6y pada persamaan di atas tandanya positif, sedangkan 6y pada persamaan di bawah tandanya negatif. Agar hilang, maka keduanya harus dijumlahkan. Kalau dikurangkan 6y tidak mau hilang, malah menjadi 12 y.

→ 6y - (-6y) \= 6y + 6y \= 12y.

Koefisien y tidak akan hilang jika y dikurangkan.

Jadi, kedua persamaan harus dijumlahkan.

4x + 6y \= 26

3x - 6y  \= -12  +

7x         \= 14

Jumlahkan 4x dengan 3x, jumlahkan 6y dengan (-6y) jumlahkan 26 dan -12

7x \= 14

Bagi kedua ruas dengan 7 untuk mendapatkan nilai x

7x \= 14

 7      7  

x \= 2.

Nah, ketemu nilai x dari persamaan ini adalah 2.

Mencari nilai y

Untuk mendapatkan nilai y, maka variabel x haruslah dihilangkan. Samakan dulu koefisien dari kedua persamaan.

2x + 3y \= 13

x   -  2y \= -4

Koefisien x dari persamaan pertama adalah 2 dan koefisien x dari persamaan kedua adalah 1. KPK dari 2 dan 1 adalah 2. Jadi persamaan pertama dikali dengan 1 dan persamaan kedua dikali dengan 2.

2x + 3y \= 13  |x1

x   -  2y \= -4  |x2

2x.1 + 3y.1 \= 13.1

x.2   - 2y.2 \= -4.2

2x + 3y \= 13

2x   - 4y \= -8

2x pada persamaan pertama bertanda positif dan persamaan kedua juga positif untuk menghilangkannya, maka harus dikurangkan persamaan ini. Kalau dijumlahkan hasilnya malah bertambah, jadi kedua ruas harus dikurangkan.

2x + 3y \= 13

2x   - 4y \= -8 _

       7y   \= 21

→ 2x - 2x \= 0

→ 3y - (-4y) \= 3y + 4y \= 7y

→ 13 - (-8) \= 13 + 8 \= 21

7y \= 21

Bagi kedua ruas dengan 7

7y \= 21

 7      7

y \= 3.

Nah, nilai x dan y dari kedua persamaan tersebut adalah 2 dan 3."

"Sampai di sini, paham?" tanyaku mengakhiri penjelasan yang panjang kali lebar.

"Paham, Bu."

"Sekarang, kerjakan soal yang di bawahnya, ya."

"Baik, Bu."

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!