Aku menoleh ke asal suara. Perempuan berbaju hitam dengan jilbab merah ini berdiri di sampingku seraya membawa beberapa buku dalam genggamannya.
"Bukan apa-apa kok, Bu."
"Tapi kok wajah Ibu merah gitu, sih? Kayak lagi ketahuan selingkuh," ucapnya dengan tertawa lepas.
"Bu Afifah bisa aja, sih. Lagian, kalau saya selingkuh masa' bilang-bilang Ibu?" timpalku dengan membalas candaan. Sebenarnya jantungku berpacu cepat.
Bu Afifah duduk di seberang meja, ia terlihat begitu semangat bercerita soal anak-anak yang tengah membuat masalah.
"Heran ya, Bu. Anak zaman sekarang beda sama kita dulu."
"Namanya tahunnya juga berbeda, Bu. Era sekarang ini 'kan kaum milenial. Kita dulu masih milenium."
"Ya, di kelas saya Bagus itu suka buat keributan. Ada aja tingkahnya, saya marahin justru jadi bahan ledekan."
"Tuh lah tugas kita, Bu. Harus siap dengan segala kenalakan mereka."
Ponselku mendering dalam panggilan seseorang, aku melirik ke layar. Tama, ia tidak henti-hentinya menganggu. Aku pamit keluar sebentar, lalu menyapu layar.
"Ada apa, Tama? Bukankah sudah jelas pesan saya tadi?"
"Ananta, aku cuma pengen ketemu kamu lagi. Sore nanti aku pulang kerja ketemu di tempat biasa kita dulu, ya."
"Please, Tama. Tolong!"
"Hei, Ananta. Aku nggak akan berbuat macem-macem sama kamu. Lagian, ketemu di tempat rame. Pengen traktir kamu makan."
Aku menarik napas dalam, sebenarnya malas. Tapi ini harus diakhiri sebelum semakin jauh Tama bertindak.
"Ketemu jam tiga, ya. Bye."
Panggilan diakhiri tanpa memberi jawaban. Satria pulang kerja setelah jam tujuh malam. Kadang ia mengambil lembur.
Aku masuk dengan mengelus kening, bingung harus bagaimana.
"Ibu sakit?" Bu Afifah bereaksi setelah aku duduk di hadapannya.
"Sedikit pusing, Bu."
"Jangan-jangan, ngidam?" Aku menyatukan kedua alis, jadwal haid masih normal dan belum lewat masanya.
"Ah, enggak Bu. Cuma ada migrain, biasa."
Bel sudah berbunyi, kami kembali melanjutkan mengajar. Kali ini masuk di kelas yang dibicarakan Bu Afifah tadi. Ruangannya berada di lantai dua.
Masih melangkah menaiki tangga, Bagus menyenggol bahuku. Buku-buku yang kubawa berserakan. Namun, anak lelaki berkulit putih ini tidak menoleh. Berjalan terus, berbeda memang dengan situasi pada saat kami sekolah dulu.
Dulu, kalau ada guru yang lewat kami selalu menghormatinya. Tidak seperti sekarang, anak-anak kehilangan moral dan sopan santun. Jika dipukul atau dibentak, orangtua justru ikut andil merusak azas kesopanan.
Guru menjadi terdakwa bukannya korban yang seharusnya dilindungi. Kadang suka bingung dengan negara hukum yang sedang kita jalani di Indonesia ini. Sejak zaman bahelak, hukum selalu tumpul ke atas. Namun, tajam ke bawah.
Pria berahang tegas berjongkok di depanku. Ia membantu mengutip buku-buku milikku.
"Saya bisa sendiri, Pak."
Kami berdiri bersama setelah selesai dengan adegan memungut. Beberapa buku ada padanya, ia menyodorkannya padaku.
"Nggak apa-apa, Bu. Saya juga sekalian lewat."
"Pak Arbi nggak perlu repot begitu."
"Sebagai rekan kerja dan sesama makhluk hidup harus saling menolong 'kan, Bu? Itu namanya simbiolismutualisme."
"Ya, saya paham Bapak yang mengajar biologi," jawabku sekenanya ia terkekeh sembari menggaruk kepalanya.
Memang, tujuan kami sama. Hanya berbataskan tembok penyekat. Pak Arbi mengajar di kelas sebelah.
"Ayo, Bu. Kita sudah ditunggu anak-anak."
"Ya, Pak."
Aku masuk ke dalam kelas dan mulai mengajar. Materi yang sama dengan yang aku ajarkan tadi. Setelah menjelaskan dan memberi tugas, aku melakukan aktivitas yang sama saat mengajar.
Pak Arbi, pria yang cukup menarik perhatian siswi di sini. Apalagi statusnya yang masih bujangan, berperawakan tinggi menjadi nilai plus di dirinya. Belum lagi, anak-anak sekarang yang mengidolakan boyband asal negeri ginseng. Mungkin di mata mereka, Pak Arbi ini Choi Siwon.
Bel sudah berbunyi, menandakan sekolah sudah usai. Ya, sudah lewat tengah hari. Tepatnya pukul 13.15 WIB. Aku melangkah keluar lebih dahulu, masih di ambang pintu. Gadis-gadis remaja ini sudah berkerumun berdampingan dengan Pak Arbi.
Pak Arbi tersenyum, mengangguk pelan menyapaku lalu melangkah turun. Indah tidak terkecuali, ia menatap sinis ke arahku. Mungkin tidak suka jika guru idola mereka menyapa rekan seprofesi.
"Jangan-jangan Bu Ananta tadi lagi chat sama Pak Arbi lagi, Ndah," bisik Sheila sembari menggerakkan kipas di depan lehernya. Aku hanya menggeleng lemah dan berlalu meninggalkan mereka bertiga.
Aku yang mengenakan sling bag langsung berjalan menuju gerbang sekolah. Menanti angkutan umum atau ojek online. Gawaiku kembali berdering. Aku memutar bola mata malas melihat nama yang tertera.
Mengabaikannya, jelas. Malas untuk menjawab. Tidak ada lagi yang perlu kukatakan padanya. Masa lalu, bukankah sebaiknya berlalu?
Lagi, Tama seperti meneror. Mungkin lebih baik aku temui saja untuk kali terakhir. Berperang cukup pelik dengan pikiran, takut dengan status yang kusandang.
Aku memesan ojek online untuk menemui Tama. Sesuai tempat yang disebutkan sebelumnya dan itu salah satu objek saat kami berkencan dulu. Restoran dengan tempat lesehan.
Tama sudah terlihat duduk bersila di sana. Aku menarik napas panjang lalu mendekat ke arahnya.
"Tama."
Mata Tama berseri, lengkungan senyum lebar terlukis di wajahnya. Aku memandangnya datar.
"Duduk, Ta."
Aku merasa ragu-ragu untuk mendaratkan bokong di sana. Tama bangkit dan langsung memelukku, aku terdiam mematung.
"Tama, lepasin!" ucapku penuh penekanan.
"Enggak, Ta. Aku udah lama kangen kamu."
"Kamu nggak waras!" ucapku yang mendorong tubuhnya untuk menjauh. Lalu pergi dari sana. Tanganku ditahan oleh Tama, aku menoleh menatapnya.
Secepat kilat ia menarik tubuhku, dan mengecup bibirku. Sontak aku melotot melihat aksinya. Bagaimana mungkin ia melakukan ini di tempat umum, belum lagi aku yang seorang pendidik.
Aku melepaskan kasar ciumannya dan langsung menggambar kelima jari di pipinya. Tama melongo tidak percaya. Berpacaran dengannya dulu, aku tidak sekasar itu. Menepuknya pelan saja sudah ditegur olehnya.
"Aku bukan pelacur yang bisa kau cicip di mana saja!"
Aku mengambil langkah seribu, meninggalkan Tama. Aku menitikkan air mata akibat sikap kurang ajarnya. Salahku yang mendatanginya. Harusnya aku sadar diri, bahwa aku sudah menikah.
Aku naik taksi yang melintas, di dalam kendaraan berwarna biru ini aku menumpahkan tangis. Menutup rapat mulut hingga tak bersuara. Kejadian tadi begitu tiba-tiba.
Rasa yang dulu pernah ada tidak lagi sama. Setengah hati merindunya dan menyimpan rapi namanya. Namun, setengah lagi berbalik tidak ingin dia hadir mengusik jiwa.
Apalagi, situasi kami saat ini sudah berbeda. Harusnya kami saling menjaga dengan tidak berkomunikasi lagi. Ikatan pernikahan bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diputuskan atau dikhianati begitu saja. Tama sepertinya menjadikanku pelampiasan rasa bosan dan kesepian.
Handphone tak henti-henti berdering. Setelah ini, aku ingin hidup tenang dan tidak ingin berhubungan apapun dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments