NovelToon NovelToon

Rindu Terhalang

Pertemuan Pertama

"Perbuatan kita ini salah, Tama." Aku bangkit dan sibuk mencari pakaian yang sudah berserakan di lantai kamar hotel.

Tama mendekat, tangannya menyapu bahuku yang tidak mengenakan sehelai benang pun. Aku menoleh ke arahnya yang hanya mengenakan ****** ***** model boxer.

"Ta, aku juga tahu ini salah. Tapi, bukannya rindu itu yang selama ini bersarang di hati kita?"

Aku melengos tidak ingin menjawab. Langsung bangkit dari posisiku tadi. Berdiri dengan sempurna, Tama memelukku dari belakang. Satu kesalahan kecil ini cukup bagiku.

"Sayang, ya. Aku dulu tidak mendapatkan perawanmu. Hanya selaput darah saja yang kurobek," bisiknya yang membuat tubuhku meremang dan mengingat kebodohan yang kubuat bersamanya saat remaja dulu.

Dua bulan lalu

Di kursi penumpang ojek online aku termenung memandang ke arah luar jendela. Hiruk pikuk kendaraan yang tengah berhenti berjejer menantikan lampu jalan berwarna hijau.

Sebuah sepeda motor berhenti tepat di depan mataku memandang. Helm LTD hijau bertengger di kepalanya. Mataku terbelalak, saat kulihat pria yang selama dua belas tahun ini sangat ingin kutemui.

Aku menekan tombol, menurunkan kaca pintu berwarna gelap ini. Aku melongok menatapnya tanpa berkedip. Detakan jantung bergemuruh lebih cepat dari biasanya.

Ingin sekali memberitahunya bahwa aku baik-baik saja, juga ingin mulutku menyebut namanya. Melambaikan tangan padanya, sekadar menyapa. Namun, ia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Fokus pada lampu lalu lintas.

Ia mulai menjalankan motornya meski hanya beberapa langkah ke depan. Tidak ingin melewatkan kesempatan yang entah kapan lagi akan terwujud. Keberanian tiba-tiba muncul dalam diri ini.

"Tam-Tama," jeritku berharap ia mendengarnya. Tidak mendapat jawaban, aku menunduk lesu dan mulai menekan tombol untuk menutupi wajah dari rasa malu.

"Mbak panggil pria yang di depan itu?" tanya pengemudi yang melirikku dari kaca persegi panjang di depannya.

"Niatnya sih begitu, Pak. Tapi ...." aku membuang napas lemah, "ya udah. Nggak jadi, Pak."

Suara ketukan di kaca membuatku menatap pria dengan dagu lancip dan hidung runcing ini. Pengemudi yang mengerti situasi ini pun langsung menurunkan kaca tanpa diminta.

"Ananta?"

"He uh?" Mataku tak berkedip melihatnya. Dalam hati sudah bersorak kegirangan.

"Bisa kita bicara sebentar?"

"Em ... tunggu di seberang sana, ya." Ia mengikuti arah jari telunjukku, lalu mengangguk.

Tidak butuh waktu lama untuk lampu hijau, aku minta pengemudi berhenti dan turun dari ojek onilne yang kupesan tadi. Setelah membayar, aku menghampiri Tama yang sudah menunggu.

"Kita cari tempat makan, ya. Biar enak ngobrolnya."

"Oke."

Aku duduk di sepeda motornya. Canggung rasanya, setelah berpuluh tahun yang lalu saat aku masih belia. Kala itu kami tengah berjalan-jalan, menghabiskan malam yang panjang bagi pemain cinta.

Malam yang selalu ditunggu kaum muda-mudi. Kami bercerita apa saja, terkadang tangannya mengusap lututku yang tengah memeluk erat dirinya dari belakang.

Ah, manisnya. Entah mengapa, hal yang begitu bisa menjadi sangat romantis saat sudah kehilangan. Satu tahun menjalin cinta dengannya tanpa perdebatan atau pertengkaran hebat. Hingga akhirnya putus meninggalkan penyesalan di hatiku.

"Hai, apa kabar?" tanyanya memulai percakapan saat kami sudah duduk di sebuah warung mie aceh terkenal di kota Medan ini. Bahkan beberapa selebriti datang ke sini sekadar untuk mencicipinya.

"Alhamdulillah, baik." Wajahnya berseri, senyum terlukis di wajah orientalnya. Matanya menghilang saat dia tertawa. Debaran di dada tidak bisa dikontrol.

"Udah berapa lama ya kita nggak ketemu?"

Aku mengendikkan bahu sambil memutar cincin yang melingkar di jari manis. Entah waktu yang salah atau keadaan yang memang mempertemukan kami seperti takdir.

Pandangannya tertuju ke arah jemariku. Lalu tersenyum simpul. "Kamu udah nikah, ya?"

Tidak banyak kata yang keluar dari mulutku, bahkan ia tidak memberi kesempatan untukku bertanya banyak tentangnya. Hanya fokus memandangnya, melepas rindu. Bibir tipis itu yang dulu sering menyebut namaku dan mencium lembut pipi ini.

Bulir bening sudah mengumpul di pelupuk mata. Aku tidak ingin menangis di hadapannya. Seumur menjalin kasih, ia tidak pernah membuatku menjatuhkan air mata.

Itu nilai plus di dirinya yang membuatku sulit untuk membenci atau melupakannya.

"Hei, kamu melamun?"

"Ah, nggak. Kamu menikah sama Satria itu, ya?"

Aku mengangguk, ya dia tahu siapa Satria. Sebab, karenanya Tama memutuskan jalinan asmara kami. Bukan karena salah paham, lebih tepatnya itu perselingkuhan.

"Oh, yalah. Aku juga sudah menikah, justru udah punya anak," jelasnya yang membuatku berkecil hati. Selama tiga tahun pernikahan, aku belum juga diberi kepercayaan untuk memiliki momongan.

Berat badanku ideal, Satria juga bukan perokok dan minum-minuman keras. Kami hidup sehat dengan menjauh dari hal-hal yang begitu.

"Oh."

"Sekarang tinggal di mana?"

"Nggak jauh dari rumah Ibu. Sekitar sepuluh menit dari sana."

"Oh, ya. Rumah sendiri atau ngontrak?"

Aku bangkit ingin meninggalkannya. Pertemuan ini sama sekali tidak bermanfaat. Aku hanya mengobati rasa rindu tanpa bertanya apa pun padanya.

Bagiku, merindukan dia diam-diam sudah membuatku hidup tenang di samping Satria. Juga, ada rasa menyesal karena menemuinya sekarang.

"Tunggu, Ananta. Beri aku nomor ponselmu." Ia menyodorkan benda pipihnya padaku. Aku menatapnya dan ponsel itu bergantian.

"Untuk sekadar memberi kabar. Nggak lebih." Aku pun menyambutnya. Menggoyangkan jemari untuk menulisnya, lalu pamit dengan hati yang gusar.

"Aku udah chat kamu, ya. Itu nomorku, disimpan. Jangan cuma dilihatin aja," timpalnya saat aku merogoh tas mengambil handphone.

Ponselku berdering, Satria menelepon. Aku berpaling dari Tama.

"Di mana?"

"Aku di dekat kerjaan kamu."

"Ngapain?"

"Jumpa temen tadi."

"Aku mau pulang, mau ikut sekalian nggak?"

"Em, ya. Di warung mie aceh."

"Tunggu di situ."

Satria mengakhiri panggilannya, saat berbalik Tama sudah berada di atas motornya.

"Aku nanti telepon kamu, ya."

Sekian menit Tama pergi, Satria memarkir mobil di seberang jalan dari tempatku berdiri. Aku yang hafal plat nomornya langsung bergegas menghampiri.

Pria berkulit sawo matang ini, akan ribut jika aku terlalu lama menghampirinya. Kebiasaannya memang seperti itu, sejak sebelas tahun lalu mengenalnya.

Dia pria yang misterius, tidak terbuka. Bahkan aku saja tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran juga hatinya. Terlalu menyimpan semuanya sendirian.

Kadang aku berspekulasi, benarkah dia mencintaiku? Atau menikah denganku hanya untuk memenangkan pertarungannya dengan Tama. Setiap pulang kerja, ia tidak langsung masuk ke rumah.

Bercerita terlebih dahulu dengan para tetangga. Hampir tengah malam, baru masuk ke rumah. Aku yang selalu bangun pagi menyiapkan segala sesuatunya merasa kosong dan hampa.

"Dek, siapkan air panas. Aku mau mandi," perintahnya berulang kala di luar hujan saat akan pulang bekerja.

'Mantan'

Notifikasi pesan masuk di gawaiku. Segera aku merogoh saku baju dinas berwarna cokelat yang sudah melekat di tubuhku.

Kubuka aplikasi biru, Tama yang mengirimnya. Tidak banyak kata-kata yang ia tulis di sana, hanya mengucapkan selamat pagi diiringi dengan stiker bentuk hati.

Aku mengabaikan pesan itu, meski sebenarnya dalam hati aku memang menyukainya. Itu bentuk perhatian kecil bahkan bisa dibilang sepele, tapi hal yang begitu tidak pernah kudapat dari Satria.

Seperti biasa, pagi tadi aku menyiapkan segala keperluannya sebelum berangkat bekerja. Satu setel seragam telah kusetrika rapi dan meletakannya di kasur saat ia baru bangkit menuju kamar mandi. Bahkan, kaos kaki dan ****** ***** sudah tertata di sana.

Keluar dari kamar mandi, teh manis, beserta bekal dan sarapan, semua sudah siap di meja makan. Sebelum akhirnya aku bersiap-siap untuk pergi bersama dengannya. Sepatu dinasnya juga sudah aku benahi, ia tinggal memakai saja.

Begitu rutinitasku setiap pagi. Dulu, sebelum menikah berjanji pada diri sendiri untuk berbakti pada suami dan melakukan yang terbaik. Berharap, perjalanan pernikahan yang indah hingga tua. Siapa yang tidak ingin seperti itu? Namun, ketika kenyataan tidak sesuai dengan yang dibayangkan, ada rasa kecewa yang terpatri di hatiku.

"Pagi, Bu," sapa muridku yang melintas, kubalas senyum hangat sapaannya saat berjalan menuju gerbang. Kini, aku sudah berada di ruang guru. Menyiapkan materi pelajaran hari ini.

Lagi, pesan dari Tama masuk memberi semangat. Kali ini, aku membalasnya. "Terima kasih, selamat bekerja."

Bel sudah berbunyi, sepatu high heels hitam formal aku hentakkan di koridor sekolah swasta cukup besar di kota ini. Melangkah dengan pasti memulai pelajaran.

"Oke, sekarang kita lanjut pelajaran semalam. Saya akan menjelaskan contohnya."

"Baik, Bu."

"Jika untuk membuat 6 potong kue dibutuhkan 18 ons gula halus, maka untuk membuat 9 potong kue diperlukan berapa ons gula halus?

Jawaban:

p1 \= 6 potong

q1 \= 18 ons

p2 \= 9 potong

q2 \= .....ons

Maka:

p1/q1 \= p2/q2

6/18 \= 9/q2

6q2 \= 18 x 9

q2 \= 162/6 \= 27 ons." Aku memberi jeda setelah menjelaskan, melihat respon para murid. Ya, seperti pada kelas sekolah menengah lainnya, hanya murid dibaris ketiga dari depan yang mendengarkan, setelah baris itu acuh.

"Sampai di sini ada yang mau ditanya?"

"Enggak, Bu." Mereka kompak menjawab.

"Silakan kerjakan soal di bawahnya, ya."

"Baik, Bu."

Aku mendaratkan bokong di meja guru berwarna coklat muda sembari menarikan pena mengisi absen murid-muridku. Melirik mereka sekilas, ada yang tengah bermain dengan teman sebangku. Ada yang tengah fokus, ada juga yang sibuk dengan gawai.

Aku melangkah setelah siap dengan catatan milikku yang harus kulaporkan kepada kepala sekolah. Berjalan di setiap meja mereka dengan tangan di belakang pinggang.

Tertangkap netra gadis dengan pita merah mengetik ponsel di dalam laci seraya mencuri-curi pandang ke arahku. Aku berpura tidak melihatnya, karena masih sekali ia membalas. Bisa saja itu pesan penting dari orangtuanya.

Lagi, gadis itu merogoh laci dan menarik benda pipih miliknya. Setelah jemarinya menari di sana, ia terlihat tersenyum gembira.

"Indah, silakan kamu selesaikan soal nomor dua di papan tulis, ya."

Dia terlonjak kaget, menoleh ke arahku sebentar lalu bangkit dengan wajah bingung. Gadis ini tidak mendengarkan apa pun yang aku sampaikan tadi. Sibuk dengan ponselnya.

Dia sudah berdiri di depan papan tulis putih, mengambil spidol. Tangannya bergerak menulis angka di sana. Jarum jam terus bergerak, detik sudah berganti jadi menit. Namun, Indah masih setia berdiri tanpa menyelesaikan soal.

Dia tidak menulis jawabannya, hanya menyalin yang ada di buku. Aku berjalan melewatinya, ia menatapku penuh harap. Aku kembali duduk di meja guru. Indah terlihat menutup kembali spidolnya.

"Maaf, Bu. Saya nggak bisa?"

"Oke, kembali ke tempat duduk kamu. Ponsel kamu kasih ke saya."

Wajahnya bersungut, Indah meletakkan spidol dan kembali ke mejanya. Setelahnya membawa ponsel keluaran terbaru kepadaku. Ia tampak ragu-ragu memberinya. Aku menodongkan tangan padanya.

"Sini, Indah."

"Tapi, Bu?"

"Saya sudah toleransi kasih kamu kesempatan untuk menjawab soal itu, tapi kamu nggak bisa. Jangan salahin saya."

Ia sedikit membanting ponselnya ke tanganku. Lalu berbalik dengan sedikit mengibaskan rambutnya yang ikat satu. Terlihat dari kulit juga pakaian yang ia kenakan, dia dari keluarga lumayan berada. Buktinya, telepon genggam yang ada padaku sekarang seharga lebih dari tiga juta.

Jam pelajaranku telah usai, Indah menghampiriku yang masih diambang pintu bersama beberapa orang siswi lainnya.

"Bu," ucapnya merengek, "jangan sita HP saya, Bu."

"Indah, saya harus bersikap adil pada siapapun. Jam istirahat nanti temui saya."

"Baik, Bu," ucapnya bersungut.

Jadwalku mengajar sudah usai, aku tengah menanti makan siang. Namun, aku masih setia berada di sekolah untuk mengerjakan materi besok. Suara bel istirahat berbunyi, benar saja Indah datang untuk memenuhi permintaanku tadi.

Ia mengetuk pintu, aku meliriknya lalu mempersilakan untuk masuk. Indah berdiri di sisi kiriku, aku masih saja menulis materi untuk besok.

"Bu, boleh saya minta ponsel saya."

"Duduk dulu, Indah. Saya sebentar lagi selesai."

"Tapi, Bu. Waktu istirahat cuma lima belas menit."

"Saya akan selesai dalam lima menit," ucapku meliriknya yang kini sudah berhadapan denganku. Gelisah, itu yang terlihat dari sikap Indah. Kedua temannya tampak menyikut lengan Indah.

"Ndah, cepetan. Aku laper, nih."

Aku mengeluarkan roti dari dalam tas tanpa menghentikan aktivitasku.

"Makan, saya sebentar lagi siap."

"Enggak usah, Bu."

"Oke."

Dering ponselku terdengar, aku mengambil benda pipih itu melihat nama yang tertera. Jelas, Tama. Satria tidak akan pernah menelepon jika tidak penting atau sudah menunggu di depan.

Aku mengabaikannya. Pesan teks dikirim Tama.

"Mau makan siang?"

"Aku sudah sembuh, jadi jangan pernah menyapaku lagi. Meski hanya sekadar komunikasi, aku sudah tidak ingin lagi. Dan segala tentang kemarin, anggap saja semua itu tidak pernah terjadi. Dan berbahagialah dengan orang pilihanmu," balasku panjang lebar.

Ketiga gadis di hadapanku ini saling pandang. Mereka seperti tengah mendikteku. Padahal, aku tidak bersuara. Hanya mengirim pesan. Entah kalau salah satu dari mereka sempat melirik ke layar ponsel.

Jelas memang, nama kontak Tama itu aku tulis 'Mantan', aku merogoh saku sebelah kiri lalu menyerahkan ponsel Indah.

Mereka bertiga keluar dengan berbisik-bisik, sesekali menoleh ke belakang. Melihat ke arahku.

Aku mengembuskan napas kasar. Tidak enak rasanya dicurigai oleh siswi sendiri. Mulutku menggembung, meniup ke arah poni.

"Aku nggak berbuat dosa, kok!" lirihku membatin pada diri sendiri.

"Hayo, Bu. Dosa sama siapa loh?"

Kurang Ajar!

Aku menoleh ke asal suara. Perempuan berbaju hitam dengan jilbab merah ini berdiri di sampingku seraya membawa beberapa buku dalam genggamannya.

"Bukan apa-apa kok, Bu."

"Tapi kok wajah Ibu merah gitu, sih? Kayak lagi ketahuan selingkuh," ucapnya dengan tertawa lepas.

"Bu Afifah bisa aja, sih. Lagian, kalau saya selingkuh masa' bilang-bilang Ibu?" timpalku dengan membalas candaan. Sebenarnya jantungku berpacu cepat.

Bu Afifah duduk di seberang meja, ia terlihat begitu semangat bercerita soal anak-anak yang tengah membuat masalah.

"Heran ya, Bu. Anak zaman sekarang beda sama kita dulu."

"Namanya tahunnya juga berbeda, Bu. Era sekarang ini 'kan kaum milenial. Kita dulu masih milenium."

"Ya, di kelas saya Bagus itu suka buat keributan. Ada aja tingkahnya, saya marahin justru jadi bahan ledekan."

"Tuh lah tugas kita, Bu. Harus siap dengan segala kenalakan mereka."

Ponselku mendering dalam panggilan seseorang, aku melirik ke layar. Tama, ia tidak henti-hentinya menganggu. Aku pamit keluar sebentar, lalu menyapu layar.

"Ada apa, Tama? Bukankah sudah jelas pesan saya tadi?"

"Ananta, aku cuma pengen ketemu kamu lagi. Sore nanti aku pulang kerja ketemu di tempat biasa kita dulu, ya."

"Please, Tama. Tolong!"

"Hei, Ananta. Aku nggak akan berbuat macem-macem sama kamu. Lagian, ketemu di tempat rame. Pengen traktir kamu makan."

Aku menarik napas dalam, sebenarnya malas. Tapi ini harus diakhiri sebelum semakin jauh Tama bertindak.

"Ketemu jam tiga, ya. Bye."

Panggilan diakhiri tanpa memberi jawaban. Satria pulang kerja setelah jam tujuh malam. Kadang ia mengambil lembur.

Aku masuk dengan mengelus kening, bingung harus bagaimana.

"Ibu sakit?" Bu Afifah bereaksi setelah aku duduk di hadapannya.

"Sedikit pusing, Bu."

"Jangan-jangan, ngidam?" Aku menyatukan kedua alis, jadwal haid masih normal dan belum lewat masanya.

"Ah, enggak Bu. Cuma ada migrain, biasa."

Bel sudah berbunyi, kami kembali melanjutkan mengajar. Kali ini masuk di kelas yang dibicarakan Bu Afifah tadi. Ruangannya berada di lantai dua.

Masih melangkah menaiki tangga, Bagus menyenggol bahuku. Buku-buku yang kubawa berserakan. Namun, anak lelaki berkulit putih ini tidak menoleh. Berjalan terus, berbeda memang dengan situasi pada saat kami sekolah dulu.

Dulu, kalau ada guru yang lewat kami selalu menghormatinya. Tidak seperti sekarang, anak-anak kehilangan moral dan sopan santun. Jika dipukul atau dibentak, orangtua justru ikut andil merusak azas kesopanan.

Guru menjadi terdakwa bukannya korban yang seharusnya dilindungi. Kadang suka bingung dengan negara hukum yang sedang kita jalani di Indonesia ini. Sejak zaman bahelak, hukum selalu tumpul ke atas. Namun, tajam ke bawah.

Pria berahang tegas berjongkok di depanku. Ia membantu mengutip buku-buku milikku.

"Saya bisa sendiri, Pak."

Kami berdiri bersama setelah selesai dengan adegan memungut. Beberapa buku ada padanya, ia menyodorkannya padaku.

"Nggak apa-apa, Bu. Saya juga sekalian lewat."

"Pak Arbi nggak perlu repot begitu."

"Sebagai rekan kerja dan sesama makhluk hidup harus saling menolong 'kan, Bu? Itu namanya simbiolismutualisme."

"Ya, saya paham Bapak yang mengajar biologi," jawabku sekenanya ia terkekeh sembari menggaruk kepalanya.

Memang, tujuan kami sama. Hanya berbataskan tembok penyekat. Pak Arbi mengajar di kelas sebelah.

"Ayo, Bu. Kita sudah ditunggu anak-anak."

"Ya, Pak."

Aku masuk ke dalam kelas dan mulai mengajar. Materi yang sama dengan yang aku ajarkan tadi. Setelah menjelaskan dan memberi tugas, aku melakukan aktivitas yang sama saat mengajar.

Pak Arbi, pria yang cukup menarik perhatian siswi di sini. Apalagi statusnya yang masih bujangan, berperawakan tinggi menjadi nilai plus di dirinya. Belum lagi, anak-anak sekarang yang mengidolakan boyband asal negeri ginseng. Mungkin di mata mereka, Pak Arbi ini Choi Siwon.

Bel sudah berbunyi, menandakan sekolah sudah usai. Ya, sudah lewat tengah hari. Tepatnya pukul 13.15 WIB. Aku melangkah keluar lebih dahulu, masih di ambang pintu. Gadis-gadis remaja ini sudah berkerumun berdampingan dengan Pak Arbi.

Pak Arbi tersenyum, mengangguk pelan menyapaku lalu melangkah turun. Indah tidak terkecuali, ia menatap sinis ke arahku. Mungkin tidak suka jika guru idola mereka menyapa rekan seprofesi.

"Jangan-jangan Bu Ananta tadi lagi chat sama Pak Arbi lagi, Ndah," bisik Sheila sembari menggerakkan kipas di depan lehernya. Aku hanya menggeleng lemah dan berlalu meninggalkan mereka bertiga.

Aku yang mengenakan sling bag langsung berjalan menuju gerbang sekolah. Menanti angkutan umum atau ojek online. Gawaiku kembali berdering. Aku memutar bola mata malas melihat nama yang tertera.

Mengabaikannya, jelas. Malas untuk menjawab. Tidak ada lagi yang perlu kukatakan padanya. Masa lalu, bukankah sebaiknya berlalu?

Lagi, Tama seperti meneror. Mungkin lebih baik aku temui saja untuk kali terakhir. Berperang cukup pelik dengan pikiran, takut dengan status yang kusandang.

Aku memesan ojek online untuk menemui Tama. Sesuai tempat yang disebutkan sebelumnya dan itu salah satu objek saat kami berkencan dulu. Restoran dengan tempat lesehan.

Tama sudah terlihat duduk bersila di sana. Aku menarik napas panjang lalu mendekat ke arahnya.

"Tama."

Mata Tama berseri, lengkungan senyum lebar terlukis di wajahnya. Aku memandangnya datar.

"Duduk, Ta."

Aku merasa ragu-ragu untuk mendaratkan bokong di sana. Tama bangkit dan langsung memelukku, aku terdiam mematung.

"Tama, lepasin!" ucapku penuh penekanan.

"Enggak, Ta. Aku udah lama kangen kamu."

"Kamu nggak waras!" ucapku yang mendorong tubuhnya untuk menjauh. Lalu pergi dari sana. Tanganku ditahan oleh Tama, aku menoleh menatapnya.

Secepat kilat ia menarik tubuhku, dan mengecup bibirku. Sontak aku melotot melihat aksinya. Bagaimana mungkin ia melakukan ini di tempat umum, belum lagi aku yang seorang pendidik.

Aku melepaskan kasar ciumannya dan langsung menggambar kelima jari di pipinya. Tama melongo tidak percaya. Berpacaran dengannya dulu, aku tidak sekasar itu. Menepuknya pelan saja sudah ditegur olehnya.

"Aku bukan pelacur yang bisa kau cicip di mana saja!"

Aku mengambil langkah seribu, meninggalkan Tama. Aku menitikkan air mata akibat sikap kurang ajarnya. Salahku yang mendatanginya. Harusnya aku sadar diri, bahwa aku sudah menikah.

Aku naik taksi yang melintas, di dalam kendaraan berwarna biru ini aku menumpahkan tangis. Menutup rapat mulut hingga tak bersuara. Kejadian tadi begitu tiba-tiba.

Rasa yang dulu pernah ada tidak lagi sama. Setengah hati merindunya dan menyimpan rapi namanya. Namun, setengah lagi berbalik tidak ingin dia hadir mengusik jiwa.

Apalagi, situasi kami saat ini sudah berbeda. Harusnya kami saling menjaga dengan tidak berkomunikasi lagi. Ikatan pernikahan bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diputuskan atau dikhianati begitu saja. Tama sepertinya menjadikanku pelampiasan rasa bosan dan kesepian.

Handphone tak henti-henti berdering. Setelah ini, aku ingin hidup tenang dan tidak ingin berhubungan apapun dengannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!