Genius Fall In Love
TENOT! TENOT! TENONET!
Bis Kota kembali membunyikan klaksonnya. Di tengah-tengah lampu merah, gas bis bergigi satu diinjak sang supir. Namun, bukannya saya menutup hidung, saya malah sibuk menikmati asap hitam nan pekat tersebut.
"Wah sialan, ini bis kampret kali!"
Saya bersama ojek terhenti tepat di samping bis kota itu. Sang ojek menoleh ke arah saya, dan terkejut melihat saya sedang menikmati asap knalpot bis yang begitu hitam, sehitam mimpi-mimpi saya di masa lalu.
"Lah, asepnya jangan dihirup, Mas!"
"Masih mending ini, daripada saya ngirup lem."
"Lha?!"
REKETEKETEKETEK!
Bunyi motor ojek yang sudah saya pesan kini memajukan moncong ban motornya hingga sampai di depan pintu bis, berdampingan bersama kendaraan lain yang sedang berhenti di tengah lampu merah.
Saya pun mengangkat pantat, segera turun dari motor.
"Oke, saya turun di sini."
"Lh-lho?! Napa turun di sini, Mas?!"
"Ini bis jurusan saya Mas, yang di sebelah tuh, lihat ndak?" ujar saya seraya menujuk ke arah bis yang berada di sebelah, diikuti kedua mata sang ojek. Tak lama, kebingungan pun mulai menyerang fungsi otaknya.
"Loh? B-bis yang di sebelah ini, Mas!?"
"Iya, makasih banyak ya, Mas."
"Lh-lho?! I-ini di lampu merah, Mas!?"
"Oke, sama-sama. Duitnya sudah ya."
"Lho?!"
Saya pun dengan percaya diri berjalan melewati motor-motor yang tengah berhenti di lampu merah. Sebagian pemotor menoleh heran, sebagian lagi melirik acuh, namun kebanyakan pemotor malah menatap saya kasihan.
"Permisi ya, masyarakat yang baik hati dan tidak sombong."
Saya yang sudah sampai di tangga bis mulai bergaya dengan keren menaiki bis lewat pintu samping, segera menghadap sang pengawal bis. Meminta izin beliau untuk masuk.
Jegesss!
"Lho?!"
"Tujuan Balikpapan, ya."
"Ba-baru naik, Mas?"
"Benar."
"I-ini di tengah lampu merah, baru naik?!"
"Sudah jelas masih ditanya?"
"Ti-tiket ada, Mas?"
Srarak!
Saya mengeluarkan tiket bis yang sudah lecek dari kantong celana, lalu mendekatkannya tepat ke dua mata sang Penjoki Bis. Penjoki bis sedikit juling menatap, namun segera mengangguk. Mengizinkan saya masuk bis.
Semua orang yang berhenti di lampu merah sontak menatap ke arah saya dan sang pengawal bis. Tidak luput juga mata orang-orang yang sudah berada di dalam bis.
"Hmm, emang orang kalau beda itu selalu diperhatiin ya, Mas."
"Mas nya sih, kayak gembel. Silahkan duduk di belakang."
"Ehem."
...***...
Slebew.
Percaya atau tidak, selama ini saya sudah menabung. Sampai hari ini, saya sudah siap meminang Anastasia. Gadis gemulai yang saya temukan di internet.
Awalnya saya berjanji akan meminang di pertengahan mei, namun karena kata tetangga meminang wanita di akhir tahun itu lebih terkesan romantis, jadi saya ingin memberi surprise.
Selama ini saya hanya mendengar Anastasia sebatas online, jadi wajar kalau saya juga sedikit ragu. Di usia yang sudah tidak muda ini, terkadang kita membutuhkan resiko sebagai variasi untuk plot pengalaman hidup.
Toh memang wajah Anastasia seperti Sanggar Pisang yang gosong. Bisa dilihat dari foto profilnya di Watsap, namun meski begitu, saya tetap menginginkan cintanya. Karena tiga tahun menjalani hubungan online bukan berarti kami sama sekali tidak mengenal satu sama lain.
Speaker di atas bis nampak mulai berbunyi. Sang pangawal bis memasang lagu, sembari mengusap keringat di dahinya dengan lap kain yang mengitari lehernya. Ia tersenyum manis, dan ikut bernyanyi.
...***...
Bis Kota - Achmad Albar
Kulari mengejar laju bis kota
Berlomba-lomba saling berebutan
'Tuk sekedar mencari tempat yang ada
Kucari dan terus kucari-cari
Namun semua kursi telah terisi
Dan akhirnya aku pun harus berdiri
Bercampur dengan peluh
Semua orang
Yang bermacam aroma
Bikin ku pusing kepala
Serba salah, napas pun terasa sesak
Berhimpitan, berdesakan, bergantungan
Memang susah jadi orang yang tak punya
Ke mana pun naik bis kota...
...***...
Sembari menikmati lagu yang diputar, koran menjadi hal pertama yang saya baca di hari itu.
"Mas! Ini koran dari Balikpapan kah?!"
"Lain, Mas! Yang di bawah!"
"Yang ini, kah?!"
"Nah iya, yang itu!"
"Oke.."
Semua kolom lowongan pekerjaan saya baca, dan hinggap saya mengambil sebuah pena dari tas. Saya melihat beberapa daftar, dan menandainya.
Mas pengawal bis yang tadi, hinggap di kursi saya. Ia menyapa saya dengan lantang,
"Tapi Mas, koran itu sudah lama. Sekitaran dua minggu lalu! Coba dilihat tanggalnya! Mungkin lowongan kerjanya sudah habis semua! Coba cari lewat HP aja Mas!"
"Ah, ndak urus! Saya tandai yang butuh banyak orang! Mungkin sekarang lowongannya masih buka itu!"
"Hm.. Mas ini asli Balikpapan ya?"
"Lho? Tau darimana?"
"Mas nya dari ngomong aja sudah ketahuan!"
"Aih, masa?!"
"Nah! Keliatan banget dari logatnya, Mas!"
Saya menggelengkan kepala heran, dan kembali menatap koran. Hingga akhirnya, dua jam telah berlalu. Dan orang-orang dari tempat lain mulai memasuki bis hingga saya terhimpit di tempat duduk.
Saya segera bersimpun, dan hendak membuka jendela untuk mencari angin, namun tetiba saja saya melihat seorang wanita hamil berdiri di kerumunan orang ditengah bis, bernafas kelelahan.
"Wah."
Grep!
Tangan saya pun menggenggam erat pegangan tas. Saya mulai berpikir keras, bahwa sebagai seorang laki-laki, saya tidak bisa begini. Sudah melihat wanita mengandung sedang kesusahan, harus diberi solusi. Harus dibantu.
Begitupun dengan Anastasia nanti. Sebagai seorang sigma, saya harus bisa bantu dia mengatasi semua masalah yang ia punya. Memang saya tidak sempurna, namun sebagai seorang calon suami, mencari solusi untuk tantangan-tantangan pernikahan kedepannya adalah hal yang harus saya jalani dengan serius.
Benar. Bismillahirahmanirrahiim.
...***...
"Mba, permisi. Pakai kursi saya aja, ya."
"Ih, Mas ini siapa, ya?"
"Aih?"
"Ma-Mas. Saya sudah punya suami. Nggak lihat apa ini perut saya sudah besar?!"
"Sa-saya cuma mau kasih kursi aja, Mba. Saya lihat Mba nya kesusahan, orang perut besar begitu."
"Ih, jangan deket-deket, Mas!-"
Nah ini dia. Permasalahan pertama yang saya pikirkan bukan soal saya yang pasti bakalan capek berdiri seharian, tapi soal ngebujuk wanita ini buat mau duduk di kursi saya.
"Sa-saya cuma mau kasih kursi, Mba."
"Ih! Mas! Saya sudah punya suami!!"
"Bu-bukan begitu, Mba. Mba-nya kan mengandung besar nih, pasti kalau berdiri terus nanti kecapean, butuh duduk di kursi. Gak baik berdiri di tengah-tengah kerumunan orang desak-desakan begini. Ayuk, duduk di ku-"
"Mas. Saya tahu Mas-nya mau PDKT sama saya. Jadi tolong, saya gak butuh laki-laki cadangan! Saya sudah punya suami!"
"Mba, maksud saya bukan begitu!"
"Ih! Jauh-jauh! Saya teriak nih!"
"A-aduh.."
"Ih! Jauh-jauh, nggak!? Saya sudah punya suam-"
"WOY, MBA!"
Glek!
Seorang wanita muda segera menegur wanita yang hamil ini. Ia yang mengenakan hijab segitiga segera bangun dari kursinya, dan segera berdiri, memotong kerumunan. Ia menghampiri saya, dan menatap wanita hamil ini songong. Ia pun menarik maskernya turun dan berkata,
"Mba bukannya bilang makasih, malah suudzon! Dosa loh, Mba!"
"Ih! Mba siapa coba!? Main nyambung aja kaya-"
"Heh! Jelas-jelas Mas ini mau bantu Mba yang kesusahan karena perutnya besar. Bukannya diterima malah disangka PDKT. Ih, kege'eran!"
"A-apa?! Apa kamu bilang!? Saya-"
"Sudah! Daripada Mba mati kecapean disini, mending duduk di kursi saya aja. Biar saya yang duduk di kursi Mas nya! Minggir!"
"Ih! Siapa sih Mba ini?! Nyur-"
"DUDUK!"
"A-ah i-iya iya! Ini saya duduk!"
Saya terdiam. Bukan hanya karena ucapan wanita muda itu benar, namun saya terdiam karena ketakutan. Apa jadinya kalau Anastasia marah dengan cara yang seperti itu? Apa saya harus diam? Apa saya harus memberikan solusi lain?
Toh Anastasia sudah hidup berkecukupan. Pasti apa-apa dirinya sudah tidak kesusahan lagi. Apalagi dirinya tinggal di Balikpapan. Di Balikpapan itu hidup sudah enak. Pasti dirinya sudah tidak butuh marah-marah yang berlebihan lagi.
...***...
Jegress!
Tiga jam lagi sudah saya tempuh. Kini, kami satu Bis Kota dari Samarinda sudah sampai di Terminal Batu Ampar. Kami turun satu persatu, dan saya pun yang baru turun segera membantu seorang bocil yang kesusahan turun dari tangga bis.
"A-aduh!"
"Hap!"
"Hah! Ma-makasih, Bang!"
"Hati-hati, Dek. Kaki makanya dipanjangin."
Ibunya yang sibuk membawa dua kardus mie nampak ikut kesusahan turun. Satu kardus mie jatuh dari pundaknya, saya pun sigap menangkapnya.
"Hup! Hati-hati dong, Bu."
"Ahahaha, aduh, makasih ya, Mas."
"Aman, pelan-pelan aja jalannya, Bu."
...***...
Jeglak!
Sang pengawal bis nampak kembali menaiki bis. Mesin kembali menyala, dan suaranya kembali menghalangi telinga untuk berkomunikasi dengan baik.
"Mas! Makasih ya sudah bantu!"
"Oh iya, Mas! Sama-sama!"
"Namanya siapa, Mas?!"
"APA?!"
"Namanya! Siapa namanya!?"
"Oh! Nama, kah?!"
"Iyo!"
"Oh! Nama saya..."
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments