Tertipu

"........... Ri-Rizky...?!"

"Dari reaksimu sepertinya memang ndak mau percaya saya bakalan datang."

"Ka-kamu benera-"

"Hmm, menarik. Sepertinya prioritas utamamu bukanlah diriku, melainkan pekerjaan."

"Su-sudah kubilang kamu nggak perlu datang! Aku bel-"

"Belum siap apa memang tidak mau? Toh hubungan kita hanya sebatas pacar di internet, begitu?"

"Bukan! Aku sebenarnya-!"

"Sepertinya aku sudah ngerti kenapa foto profilmu tidak pernah diganti bertahun-tahun. Karena emang bentuk wajah aslimu nggak seperti itu, ya kan? Jadi aku bisa berpikir bahwa gadis yang kucintai selama ini-"

"B-bukan begitu! Aku cuma nggak mau wajah asliku ketahuan! A-aku belum siap! A-aku masih-"

"Sudahlah. Dari raut wajahmu sepertinya memang tidak ada niatan mau serius buat jalani ini lebih dari sebelumnya."

"Rizky!! Seenggaknya dengerin aku dulu! Please!"

...***...

Wajah Anastasia semakin panik. Ia menatapku dengan penuh keraguan akan hubungan kami yang kini sepertinya sudah berada di jalan buntu. Tak heran ia sulit menemukan keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri. Terlebih lagi kini dirinya tak bisa kupercaya.

"Aku hanya belum siap, Rizky. Bukan berarti aku nggak mau! Kamu ngerti, kan?!"

"Kalau begitu ndak ada lagi gunanya aku ada di sini. Lebih baik aku pulang, daripada gangguin waktumu lagi. Wassalamualaikum."

"Loh? A-aku belum selesai ngomong!"

Saya pun berbalik badan, mengemasi tas dan menghampiri Asep. Saya meletakkan tangannya ke pundak saya, dan ia pun mulai bertanya.

"Lho-lho?! Kenapa Mas?!"

"Asep, seret saya keluar."

"Hah?!"

Anastasia di sisi lain, kembali berdiri dan berusaha menghentikan saya pergi.

"Ri-Rizky! Tu-tunggu dulu!"

"Asep! Cepat!"

"A-aduh, i-iya Mas!"

"Ri-Rizky! Dengerin aku dulu!"

...***...

Yoga yang berada di luar gerbang, masih bermain dengan HP-nya. Nampak ia tersenyum, sembari mengisap seputung rokok yang ia selipkan ke sela-sela jemari tangan kirinya.

"Buseet, terlalu izi nih gamenya.."

BRAK!

"Buset! Kaget!!"

Yoga menoleh ke arah gerbang, dan melihat saya yang sedang berjalan cepat menjauhi rumah Anastasia. Tak lama kemudian, Anastasia muncul mengikutiku dari belakang, berusaha menahanku.

"Lh-lho?! Abang?!?"

...***...

"RIZKY! TUNGGU DULU!!"

Saya yang kesal berusaha menjauh dari Anastasia. Berusaha tidak mengganggunya lagi. Namun apa daya, sepertinya dirinya masih saja mencoba menipu diriku.

"Apa lagi? Kamu masih mau bohongin aku?"

"DENGARIN AKU DULU!!"

"BUSET! INI CALON ISTRIMU BANG!?"

"!!!!!!!!"

Sigap Anastasia dan Yoga menoleh ke arah satu sama lain. Anastasia pun terdiam, bingung kenapa ada anak laki-laki berwajah kriminal tiba-tiba nongol di depan pagar rumahnya.

"Si-siapa?!"

"Gila! Cantik banget! Yakin seleramu nggak ketinggian, Bang!? Biasanya yang begini pasti sudah ada yang punya, Bang!"

"Kamu ndak usah langsung main nyambung-nyambung begitu ya. Anastasia, sebaiknya kita jangan bicara di sin-"

"I-ini Yoga?! Adikmu?!" Anastasia yang sigap tahu langsung menunjuk ke arah wajah Yoga dengan wajah penasaran.

"Wah salken ya, Mba! Saya Yoga!"

"A-ah.., i-iya-"

GREP!

"ADUH!"

"Anastasia, kita jangan bicara di sini."

...***...

Saya menarik tangan Anastasia menjauh dari Yoga. Anastasia nampak terkejut, saya pun membawanya ke samping taman dekat gerbang rumahnya.

"Ri-Rizky!"

"Oke, bicara. Apalagi maumu, hah?"

"Kamu salah paham! Aku nggak bermaksud menolak lamaranmu! Aku juga tidak pernah bermaksud untuk menipumu!"

"Terus? Kenapa kau berbohong selama ini? Kau juga mengaku tidak bekerja, ternyata punya bisnis dan usaha seperti ini? Kau juga mengaku bahwa keluargamu hidup dalam keadaan sederhana. Tapi apa? Rumah mewah dengan gerbang serta taman yang sangat luas? Usaha dan bisnis bercabang? Entah apalagi kebohonganmu yang belum kuketahui."

"A-aku benar-benar serius ingin melanjutkan hubungan ini. Bukan hanya sekedar lewat internet! A-aku bisa jelasin semuanya! Kenapa aku berbohong, kenapa aku membual, kenapa aku belum siap.. A-aku bisa jelasin!"

"......, yaudah, jelasin sekarang. Mumpung darah saya masih di tengah-tengah badan."

"A-aku melakukan semua ini, karena aku tahu bahwa perbedaan keluarga kita akan membawa banyak masalah. Aku juga sebenarnya ingin bertemu, dan melanjutkan hubungan kita secara offline, tapi.., kalau soal menikah.., sepertinya aku belum siap."

"......, baiklah. Ayo kita anggap kau benar-benar serius ingin lanjut. Tapi soal identitasmu saja aku belum begitu yakin, apa yang kamu bilang di internet itu benar semua apa bohong."

"Ma-makanya, gimana kalau kita mulai dari awal lagi!?"

"Hm? Mulai dari awal?"

"I-iya! Aku juga ingin ngenalin kamu dulu ke adek aku sama orang tuaku. Dan mulai rencanain semuanya matang-matang."

"Haaah."

"Ma-maafin aku, ya?"

Perlahan, mata Anastasia berkaca-kaca. Ia terus merunduk, tak berani menatap mataku lagi. Saya yang mulai termakan godaan parasnya mulai berusaha menahan diri.

"Baiklah. Karena aku sudah tahu kamu sibuk, sebaiknya kita ketemuan jangan terlalu sering. Aku paham orang kaya sepertimu pasti tidak punya banyak waktu untuk rakyat jelata sepertiku."

"Ma-maafin aku."

"Oke, fine. Aku maafin. Sekarang tenanglah."

...***...

Pluk!

Saya menepuk kepalanya sekali. Ia yang merunduk sigap mendongak, dan wajahnya kembali memerah. Apa ini? Sistem godaan baru?

"Aku pergi dulu. Mulai sekarang aku harus cari kerja disini. Supaya uang tabungan bisa terkumpul. Termasuk untuk tabungan melamarmu. kayaknya seratus juta aja ndak bakalan cukup."

"A-apa?! Kamu bahkan sudah nyiapin ua-"

"Kalau kamu belum siap, kemungkinan uangnya akan kupakai buat sekolahnya Yoga. Jadi aku harus mencari lagi. Aku tak mau gadis yang akan kupinang khawatir soal kebutuhan hidupnya."

"... Rizky..."

"Makasih waktunya, saya pulang. Assal-"

"A-alamat! Minta alamatmu! Aku akan datang kapan-kapan!"

"..., ndak usah macam-macam. Kamu sibuk."

"Aku bakal ngeluangin waktu! Beneran!"

"Pala bapak kau. Nanti bakalan kukasih tahu kalau kamu sudah kenal aku baik-baik. Wassalamualaikum."

"A-Ah, waalaikumsalaam.."

"Aku pulang. Jaga diri baik-baik."

"I-iya.."

Saya perlahan berjalan menjauh, hendak pulang. Anastasia yang masih merasa bersalah, hanya menatap diriku yang nampaknya berjalan menjauh, dengan raut wajah penuh dengan kekecewaan. Ia tidak bisa berkata apa-apa, dan hanya diam merenungkan hasil perbuatannya.

...***...

Yoga nampak masih menungguku di motornya, namun kali ini, ia tidak memainkan HP-nya, hanya rokoknya saja yang ia isap kini semakin memendek.

Ia melihatku dari jauh, berjalan mendekati dirinya. Ia pun sigap berdiri, dan menghampiriku yang kini berjalan sendiri ke arahnya.

"A-Abang!!"

"Alamak, Yoga. Merokok lagi kamu?!"

"Baru sadar? Tadi Mba-nya kemana?!"

"Jangan repot-repot pikirin dia. Dia itu urusanku."

"Yaelah tau aku pang! Yoga tanya aja itu nah! Orang ndak lama dia juga bakalan jadi kakak iparnya Yoga."

"Haah.., belum itu, masih lama. Kamu ndak usah banyak ikut campur juga. Ayo, kita pulang."

Sembari menegakkan motor, Yoga pelan-pelan naik di belakangku. Ia menatap punggungku yang nampak sedikit kecewa, dan hendak ingin bertanya. Namun, karena sepertinya ia tidak ingin mengganggu, ia hanya membungkam mulutnya.

"........."

...***...

TREKETEKETEKETEK!!

Di perjalanan pulang, nampak motor kami pelankan sembari mencari tempat untuk bersinggah. Kebetulan kami berada di dekat Dome, saya pun berinisiatif singgah ke Taman Tiga Generasi.

Di sana, saya cari seorang penjual Cendol yang dulu sering kukunjungi setiap pulang sekolah. Namun nampak, penjual Cendol itu tak lagi muncul di sekitaran jalan ini, jadi kami hanya sekedar melihat-lihat kawasan taman, dan singgah mencari jajanan.

"Hm? Katanya pulang, Bang?"

"Ndak papa, singgah aja dulu. Kutraktir untuk hari ini."

"Beh, disogok kah aku ceritanya ini?"

"Begitulah."

Saya merogoh dompet dari dalam tas, dan meraih selembar uang seratus ribu dari dalam. Kutepokkan uang itu ke dahi Yoga, dan ia yang masih memainkan HP-nya pun kaget.

"Aduh! Apa sih, Bang?!"

Ia segera mengambil uang itu dari dahinya, dan sigap tersenyum melihatku yang tumben bersikap baik padanya hari ini.

"Buset! Buatku kah ini?!"

"Iya. Beli sudah sana. Sekalian belikan Abang Salome lima ribu."

"Wah, makasih banyak, Bang!"

"Iya. Abang tunggu di motor."

"Oke, Bang!"

Yoga pun segera berhenti menatap HP-nya, dan segera berlari ke arah penjual-penjual jajanan di sekitaran taman. Sedangkan saya yang kini kembali galau, hanya bisa merenungkan semua hal yang Anastasia jelaskan, seraya melihat banyak lansia berolahraga di tengah-tengah taman.

"Haah, kenapa malah jauh dari harapan? Sialan."

...***...

Aneh.

Semenjak saya kembali, hati ini selalu merasa tertekan setiap saat. Membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tua Anastasia, atau membayangkan wajah Anastasia-nya sendiri disaat saya datang melamarnya.

Namun, setelah kejadian hari ini, perasaan dan hati kian melega. Terlepas bahwa semua hal yang saya tahu hanyalah sekedar ilusi internet, segala hal tentang Anastasia kembali menjadi buku tulis yang kosong.

Sungguh tipuan yang indah, namun menusuk.

"Apa aku akan baik-baik saja?"

Pastinya urusan percintaan bukanlah urusan yang mudah, sangat rumit malahan. Saya pun bukannya memikirkan rencana selanjutnya, tapi malah sibuk makan Salome di atas motor bersama Yoga yang asik melihat para lansia melakukan Yoga di taman.

"Yoga melihat para lansia melakukan Yoga. Kok agak mengakak ya."

"Haha, Abang bisa Yoga ndak?"

"Bisa."

"Buset, ajarin Yoga dong, Bang!"

"Mau bisa Yoga itu punya satu syarat aja. Penasaran ndak?"

"Apa syaratnya tuh?"

"Tulang harus banyak yang encok dulu. Biar gerakannya bisa pelan kayak mereka itu."

"Aih, harus encok dulu? Berarti yang muda-muda ndak bisa dong, olahraga Yoga?"

"Bisa aja, cuman jadinya bukan Yoga."

"Aih, kalau bukan Yoga jadinya apa pale?"

"Jadinya bakal Breakdance."

"Loh!? Kok-!?"

"Wah, banyak tanya betul kau ya. Udah dijawab masih aja nanya."

"YAELAH YOGA LOH TANYANYA SERIUS BANG! ABANG JAWABNYA NGACOK MULU!"

SPAK!

Mulai kesal dengan pertanyaan Adik sendiri, lagi-lagi kupukul belakang kepalanya dengan keras. Memberinya aba-aba untuk diam, memberi ruang untuk saya berpikir.

"Aduh!"

"Kamu ini. Ada-ada aja betul pertanyaan ya."

Tak lama, senyuman manis perlahan merekah di wajah saya. Saya rangkul Yoga yang masih mengunyah Salome-nya hangat-hangat. Kami pun kembali menatap lansia-lansia tersebut dari jauh.

"Beh, Bang. Coba liat. Sudah usia tua masih romantis banget ya. Jadi ingat Kai' sama Nenek."

"Hm, iya juga ya."

Hingga sampailah kedua mata saya menuju pasangan lansia yang Yoga bicarakan. Menatap pasangan tersebut saling bersandar dan berbagi cerita satu sama lain, membuat saya penasaran.

Apa saya dan Anastasia bisa berakhir menjadi pasangan seperti mereka? Mungkin ini hanyalah angan-angan, tetapi apa salahnya mencoba?

^^^Bersambung...^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!