TENOT! TENOT! TENONET!
Bis Kota kembali membunyikan klaksonnya. Di tengah-tengah lampu merah, gas bis bergigi satu diinjak sang supir. Namun, bukannya saya menutup hidung, saya malah sibuk menikmati asap hitam nan pekat tersebut.
"Wah sialan, ini bis kampret kali!"
Saya bersama ojek terhenti tepat di samping bis kota itu. Sang ojek menoleh ke arah saya, dan terkejut melihat saya sedang menikmati asap knalpot bis yang begitu hitam, sehitam mimpi-mimpi saya di masa lalu.
"Lah, asepnya jangan dihirup, Mas!"
"Masih mending ini, daripada saya ngirup lem."
"Lha?!"
REKETEKETEKETEK!
Bunyi motor ojek yang sudah saya pesan kini memajukan moncong ban motornya hingga sampai di depan pintu bis, berdampingan bersama kendaraan lain yang sedang berhenti di tengah lampu merah.
Saya pun mengangkat pantat, segera turun dari motor.
"Oke, saya turun di sini."
"Lh-lho?! Napa turun di sini, Mas?!"
"Ini bis jurusan saya Mas, yang di sebelah tuh, lihat ndak?" ujar saya seraya menujuk ke arah bis yang berada di sebelah, diikuti kedua mata sang ojek. Tak lama, kebingungan pun mulai menyerang fungsi otaknya.
"Loh? B-bis yang di sebelah ini, Mas!?"
"Iya, makasih banyak ya, Mas."
"Lh-lho?! I-ini di lampu merah, Mas!?"
"Oke, sama-sama. Duitnya sudah ya."
"Lho?!"
Saya pun dengan percaya diri berjalan melewati motor-motor yang tengah berhenti di lampu merah. Sebagian pemotor menoleh heran, sebagian lagi melirik acuh, namun kebanyakan pemotor malah menatap saya kasihan.
"Permisi ya, masyarakat yang baik hati dan tidak sombong."
Saya yang sudah sampai di tangga bis mulai bergaya dengan keren menaiki bis lewat pintu samping, segera menghadap sang pengawal bis. Meminta izin beliau untuk masuk.
Jegesss!
"Lho?!"
"Tujuan Balikpapan, ya."
"Ba-baru naik, Mas?"
"Benar."
"I-ini di tengah lampu merah, baru naik?!"
"Sudah jelas masih ditanya?"
"Ti-tiket ada, Mas?"
Srarak!
Saya mengeluarkan tiket bis yang sudah lecek dari kantong celana, lalu mendekatkannya tepat ke dua mata sang Penjoki Bis. Penjoki bis sedikit juling menatap, namun segera mengangguk. Mengizinkan saya masuk bis.
Semua orang yang berhenti di lampu merah sontak menatap ke arah saya dan sang pengawal bis. Tidak luput juga mata orang-orang yang sudah berada di dalam bis.
"Hmm, emang orang kalau beda itu selalu diperhatiin ya, Mas."
"Mas nya sih, kayak gembel. Silahkan duduk di belakang."
"Ehem."
...***...
Slebew.
Percaya atau tidak, selama ini saya sudah menabung. Sampai hari ini, saya sudah siap meminang Anastasia. Gadis gemulai yang saya temukan di internet.
Awalnya saya berjanji akan meminang di pertengahan mei, namun karena kata tetangga meminang wanita di akhir tahun itu lebih terkesan romantis, jadi saya ingin memberi surprise.
Selama ini saya hanya mendengar Anastasia sebatas online, jadi wajar kalau saya juga sedikit ragu. Di usia yang sudah tidak muda ini, terkadang kita membutuhkan resiko sebagai variasi untuk plot pengalaman hidup.
Toh memang wajah Anastasia seperti Sanggar Pisang yang gosong. Bisa dilihat dari foto profilnya di Watsap, namun meski begitu, saya tetap menginginkan cintanya. Karena tiga tahun menjalani hubungan online bukan berarti kami sama sekali tidak mengenal satu sama lain.
Speaker di atas bis nampak mulai berbunyi. Sang pangawal bis memasang lagu, sembari mengusap keringat di dahinya dengan lap kain yang mengitari lehernya. Ia tersenyum manis, dan ikut bernyanyi.
...***...
Bis Kota - Achmad Albar
Kulari mengejar laju bis kota
Berlomba-lomba saling berebutan
'Tuk sekedar mencari tempat yang ada
Kucari dan terus kucari-cari
Namun semua kursi telah terisi
Dan akhirnya aku pun harus berdiri
Bercampur dengan peluh
Semua orang
Yang bermacam aroma
Bikin ku pusing kepala
Serba salah, napas pun terasa sesak
Berhimpitan, berdesakan, bergantungan
Memang susah jadi orang yang tak punya
Ke mana pun naik bis kota...
...***...
Sembari menikmati lagu yang diputar, koran menjadi hal pertama yang saya baca di hari itu.
"Mas! Ini koran dari Balikpapan kah?!"
"Lain, Mas! Yang di bawah!"
"Yang ini, kah?!"
"Nah iya, yang itu!"
"Oke.."
Semua kolom lowongan pekerjaan saya baca, dan hinggap saya mengambil sebuah pena dari tas. Saya melihat beberapa daftar, dan menandainya.
Mas pengawal bis yang tadi, hinggap di kursi saya. Ia menyapa saya dengan lantang,
"Tapi Mas, koran itu sudah lama. Sekitaran dua minggu lalu! Coba dilihat tanggalnya! Mungkin lowongan kerjanya sudah habis semua! Coba cari lewat HP aja Mas!"
"Ah, ndak urus! Saya tandai yang butuh banyak orang! Mungkin sekarang lowongannya masih buka itu!"
"Hm.. Mas ini asli Balikpapan ya?"
"Lho? Tau darimana?"
"Mas nya dari ngomong aja sudah ketahuan!"
"Aih, masa?!"
"Nah! Keliatan banget dari logatnya, Mas!"
Saya menggelengkan kepala heran, dan kembali menatap koran. Hingga akhirnya, dua jam telah berlalu. Dan orang-orang dari tempat lain mulai memasuki bis hingga saya terhimpit di tempat duduk.
Saya segera bersimpun, dan hendak membuka jendela untuk mencari angin, namun tetiba saja saya melihat seorang wanita hamil berdiri di kerumunan orang ditengah bis, bernafas kelelahan.
"Wah."
Grep!
Tangan saya pun menggenggam erat pegangan tas. Saya mulai berpikir keras, bahwa sebagai seorang laki-laki, saya tidak bisa begini. Sudah melihat wanita mengandung sedang kesusahan, harus diberi solusi. Harus dibantu.
Begitupun dengan Anastasia nanti. Sebagai seorang sigma, saya harus bisa bantu dia mengatasi semua masalah yang ia punya. Memang saya tidak sempurna, namun sebagai seorang calon suami, mencari solusi untuk tantangan-tantangan pernikahan kedepannya adalah hal yang harus saya jalani dengan serius.
Benar. Bismillahirahmanirrahiim.
...***...
"Mba, permisi. Pakai kursi saya aja, ya."
"Ih, Mas ini siapa, ya?"
"Aih?"
"Ma-Mas. Saya sudah punya suami. Nggak lihat apa ini perut saya sudah besar?!"
"Sa-saya cuma mau kasih kursi aja, Mba. Saya lihat Mba nya kesusahan, orang perut besar begitu."
"Ih, jangan deket-deket, Mas!-"
Nah ini dia. Permasalahan pertama yang saya pikirkan bukan soal saya yang pasti bakalan capek berdiri seharian, tapi soal ngebujuk wanita ini buat mau duduk di kursi saya.
"Sa-saya cuma mau kasih kursi, Mba."
"Ih! Mas! Saya sudah punya suami!!"
"Bu-bukan begitu, Mba. Mba-nya kan mengandung besar nih, pasti kalau berdiri terus nanti kecapean, butuh duduk di kursi. Gak baik berdiri di tengah-tengah kerumunan orang desak-desakan begini. Ayuk, duduk di ku-"
"Mas. Saya tahu Mas-nya mau PDKT sama saya. Jadi tolong, saya gak butuh laki-laki cadangan! Saya sudah punya suami!"
"Mba, maksud saya bukan begitu!"
"Ih! Jauh-jauh! Saya teriak nih!"
"A-aduh.."
"Ih! Jauh-jauh, nggak!? Saya sudah punya suam-"
"WOY, MBA!"
Glek!
Seorang wanita muda segera menegur wanita yang hamil ini. Ia yang mengenakan hijab segitiga segera bangun dari kursinya, dan segera berdiri, memotong kerumunan. Ia menghampiri saya, dan menatap wanita hamil ini songong. Ia pun menarik maskernya turun dan berkata,
"Mba bukannya bilang makasih, malah suudzon! Dosa loh, Mba!"
"Ih! Mba siapa coba!? Main nyambung aja kaya-"
"Heh! Jelas-jelas Mas ini mau bantu Mba yang kesusahan karena perutnya besar. Bukannya diterima malah disangka PDKT. Ih, kege'eran!"
"A-apa?! Apa kamu bilang!? Saya-"
"Sudah! Daripada Mba mati kecapean disini, mending duduk di kursi saya aja. Biar saya yang duduk di kursi Mas nya! Minggir!"
"Ih! Siapa sih Mba ini?! Nyur-"
"DUDUK!"
"A-ah i-iya iya! Ini saya duduk!"
Saya terdiam. Bukan hanya karena ucapan wanita muda itu benar, namun saya terdiam karena ketakutan. Apa jadinya kalau Anastasia marah dengan cara yang seperti itu? Apa saya harus diam? Apa saya harus memberikan solusi lain?
Toh Anastasia sudah hidup berkecukupan. Pasti apa-apa dirinya sudah tidak kesusahan lagi. Apalagi dirinya tinggal di Balikpapan. Di Balikpapan itu hidup sudah enak. Pasti dirinya sudah tidak butuh marah-marah yang berlebihan lagi.
...***...
Jegress!
Tiga jam lagi sudah saya tempuh. Kini, kami satu Bis Kota dari Samarinda sudah sampai di Terminal Batu Ampar. Kami turun satu persatu, dan saya pun yang baru turun segera membantu seorang bocil yang kesusahan turun dari tangga bis.
"A-aduh!"
"Hap!"
"Hah! Ma-makasih, Bang!"
"Hati-hati, Dek. Kaki makanya dipanjangin."
Ibunya yang sibuk membawa dua kardus mie nampak ikut kesusahan turun. Satu kardus mie jatuh dari pundaknya, saya pun sigap menangkapnya.
"Hup! Hati-hati dong, Bu."
"Ahahaha, aduh, makasih ya, Mas."
"Aman, pelan-pelan aja jalannya, Bu."
...***...
Jeglak!
Sang pengawal bis nampak kembali menaiki bis. Mesin kembali menyala, dan suaranya kembali menghalangi telinga untuk berkomunikasi dengan baik.
"Mas! Makasih ya sudah bantu!"
"Oh iya, Mas! Sama-sama!"
"Namanya siapa, Mas?!"
"APA?!"
"Namanya! Siapa namanya!?"
"Oh! Nama, kah?!"
"Iyo!"
"Oh! Nama saya..."
^^^Bersambung...^^^
"Namanya siapa, Mas?!"
"Aih apa?!"
"Namanya! Siapa namanya!!?"
"Oh! Nama, kah?!"
"Iyo!!"
Saya nampak terdiam sejenak, ragu untuk menjawab pertanyaan sang pengawal bis. Namun, mengingat nama adalah hal yang penting, jadi ayo jawab aja lah.
"Oh! Nama saya Rizky, Mas!"
"Hah?! Bhahahah! Pake Billar nggak, Mas!?"
"Aih, ndak ada itu pake Billar-Billar! Rizky tanpa Billar pokoknya Mas!"
"Woahahahahaha! Siap, Mas! Tanpa KDRT juga ya, mas?! Hahaha!"
"Hahaha, ayo, hati-hati, Mas!"
"Iyo! Mari, Mas!"
Saya yang sudah menghampiri barang dan oleh-oleh dari bagasi bis, akhirnya mengeluarkan senjata saya.
Benar, Ponsel Kencana saya.
...***...
Tinunit!
"Lho?! Abang!?"
"Mana kamu?! Sudah sampe aku nah!"
"Aduh, aku belum mandi!"
"Astaga, memang anak ini! Bentar kamu dirumah ya! Awas memang kamu! Minta disepak memang!!"
"Hiyyy!! Buset, serem!"
Klop!
Adik saya sepertinya ketakutan, dengan panik mematikan teleponnya. Mau tidak mau saya menunggu lebih setengah jam hanya untuk menunggu dia datang menjemput saya yang sudah terkapar di pinggiran jalan raya.
Pas dia sampai, langsung saya tampar belakang helm-nya.
PAK!
"Aduh!"
"Gonggong! Dibilangin dari jam dua mandi memang sudah!"
"Aih! Aku loh tadi sibuk bantuin Mamak itu nah!"
"Alah! Klasik memang alasanmu!"
...***...
Ckieet!
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalaam. Kayak mana tadi, di jalan?"
"Aman, Mak. Ini aja nah, anakmu yang paling muda ini nah pake kelolotan HP di kamar gak mandi-mandi."
"Mana ada! Tadi lho Aban-"
"Kamu ndak dengar kah? Tadi aku sudah telepon kamu mandi memang sudah jam du-"
"Aku loh tadi bantu Mamaaak!-"
"Aih sudah! Mamak mau beli obat nyamuk awas memang Nenek Dumbren di sebelah kamu orang gangguin lagi! Ndak usah ribut!"
"Abang nah jahat betul."
"Yoga! Diam nah coba!"
Mamak lagi-lagi mengomeli kami. Namun bukannya sedih, justru senyum manis mendarat kembali di wajah saya. Sudah lama saya tidak dimarah-marahi mamak seperti ini.
Kembali ke masa kecil, masa dimana saya tumbuh. Perasaan nostalgia memanglah sungguh menggugah selera muda. Namun, kadang perasaan itu membuat kita lupa, bahwa diri kita selalu berubah. Baik secara fisik ataupun mental. Lupa diri bukanlah hal yang baik.
...***...
Gradak!
Dua jam kemudian, Yoga sudah memakai baju yang rapi. Ia pun mengambil kunci motor, dan melemparnya ke wajah saya. Untung saya sigap menangkap, kalau tidak mungkin saya sudah benjol dibuatnya.
"Makin hari kamu makin kurang ajar ya," ujar saya kesal, sembari mengantongi kunci motor yang barusan ia lempar.
"Emangnya Abang mau minang siapa?! Cewek mana?"
"Ada, orang sekitaran Regensi kayaknya."
"Oh, udah ada harga belum?"
"Abang mau coba ketemu sama orang tuanya dulu. Minta izin juga. Urusan harga belakangan aja."
"Lha? Bukannya betinanya dulu yang dicek?!"
"Kalau belum Abang cek, mana mungkin Abang langsung main lamar begini. Fungsi otak makanya dipakai dong sedikit," jawab saya mulai kesal seraya memasang helm dengan ketat di kepala saya.
"Aih seterah, Bang. Seterah!"
Kami pun segera menaiki motor, dengan Yoga duduk di belakang saya. Motor saya nyalakan, dan pergilah kami ke salah satu Perumahan Terbesar di Balikpapan.
...***...
Krieeet.... Ctang!
Ndak usah lama-lama di jalan, kami pun segera sampai di rumah Anastasia. Aku dan Yoga turun dari motor, dan mencoba berdiskusi mengenai rencana lamaranku tiga menit lagi.
Yoga mulai memberiku beragam saran.
"Nah, nanti Yoga tunggu Abang disini, nanti Abang ke dalam jangan lupa ketemu sama betinanya dulu. Jangan langsung orang tuanya."
"Kenapa begitu?"
"Ndak sopan dong Bang! Ketemu sama sasaranmu aja belum, masa mau langsung aja labrak orang tuanya?! Kek mana sih?! Ndak jelas betul loh manusia satu ini!"
"Hm, kayaknya betul. Yasudah pale, kamu tunggu di sini, do'akan aja Abangmu ini yang betul-betul."
"Iya, sana sudah."
"Oke, Bismillah."
Srak!
Saya sigap memperbaiki baju. Setelah dirasa rapi, segera saya datangi rumah Anastasia dan masuk dengan percaya diri.
Yoga di luar nampak sedikit gelisah. Ia menatap rumah Anastasia dengan penuh keraguan. Keringat perlahan menuruni dahinya, dan ia pun bergumam,
"Tapi, Abang yakin yang diincar gak terlalu tinggi, nih? Rumah ceweknya ini gede banget loh. Gedenya mungkin bisa saingan sama Istana Hokwart."
...***...
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum!"
Saya mencoba mengetuk gerbang rumah Anastasia yang begitu besar. Tiba-tiba, ada seorang wajah satpam muncul di layar aneh yang tertempel di samping kiri pagar.
Tiit!
"Waalaikumsalaam, ada perlu apa ya, Mas?"
"Ah, apa benar ini rumah Anastasia Siamala Rosalia Aning?"
"Napa nyebut namanya lengkap banget? A-ah iya Mas. Mau jual tanah kah?"
"A-ah iya Mas? Bu-bukan, saya bukan mau jual-"
"Oke Mas, sudah boleh masuk. Saya bukain pintu nya ya."
"Lh-lha?!"
...***...
JEGREEEEEEEEEEK!
Gerbang besar itu akhirnya terbuka. Pelan-pelan, saya melangkahkan kaki dengan percaya diri. Saya memasuki halaman rumah tersebut yang sangat besar, diiringi sang satpam.
"Mari Mas, saya antar ke ruang kerja Nyonya."
"Ah, iya Mas. Makasih."
"Waah, Mas-nya untung banget loh, pas banget Nyonya lagi di rumah! Biasanya mah, setiap orang dateng mau jual tanah, pasti Nyonya gak di rumah. Pasti pergi kerja mulu!"
"Wah, masa? Setahuku Anastasia nggak bekerja sama sekali, Mas."
"Lah kok iso? Orang kaya begini masa anak juragannya gak kerja?"
"Hmm, masuk akal juga ya."
...***...
Tidak mungkin. Anastasia berbohong?
Setahuku, dirinya selalu berkata bahwa ia tidak bekerja. Ia selalu bilang bahwa selama ini hidup bersama keluarganya dan merawat adik-adiknya.
Kenapa ia malah berbohong? Apa ia malu karena harus bekerja membantu keluarganya yang mungkin kesusahan ekonomi?
Menarik.
Tak lama kemudian, kami pun sampai di depan ruang kerja Anastasia. Terpana dengan daun pintu yang megah serta mewah, membuatku sedikit menyolotkan mata tak mengira Anastasia adalah seorang wanita yang bekerja.
"Wah, ini ruang kerjanya? Mewah ya, Mas."
"Woiya, penjernih pemandangan, Mas. Apalagi yang punya, hahaha!"
"Beh-beh-beh. Ada-ada aja dirimu, Mas."
"Hahahah! Oke deh, saya tinggal dulu ya, Mas. Kalau ada keperluan panggil saya aja ya, Mas."
"Wah, manggilnya make apa tu-"
"Mari, Mas!!"
"Minimal dengerin dulu kek kalau ditanya woy," jawab saya sembari memekik heran menatap sang satpam yang kembali pergi seenaknya. Sedangkan saya yang masih berada di depan pintu istana ini, mencoba membersihkan kedua tangan dengan sebersih mungkin.
Hand Sanitizer pun saya keluarkan dari dalam tas, dan saya semprotkan dua kali. Kedua tangan diusap-usap, dan akhirnya saya memberanikan diri untuk mengetok pintu tersebut.
...***...
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum."
"........."
Tidak ada suara sama sekali dalam sekitaran tiga setengah detik. Suara hening memenuhi ruangan, sampai akhirnya tiba suara seorang wanita menjawab salam dari dalam ruangan.
"Waalaikumsalaam, masuklah."
"..........., lamanya pang."
Jegreeeeeeeek!
Saya pun membuka pintu, dan menemukan seorang wanita berambut hitam panjang lurus duduk di kursi kerja Anastasia dengan berwajah judes. Ia menatap saya tajam, dan mulai mempersilahkan duduk.
"Silahkan duduk."
"Iya."
Sreeet!
Saya duduk sembari menyamankan diri. Saya menatap wanita bermata judes ini dengan wajah bingung. Tanpa banyak basa-basi, saya mulai menanyakan keberadaan Anastasia dan orang tuanya.
"Anastasianya dimana ya, Mba? Sama orang tuanya sekalian."
"A-apa?"
"Ah, saya mau tanya pemilik rumah ini ada di mana. Saya ada keperluan pribadi."
Setelah mendengar ujar niatan saya, wanita ini hanya berwajah heran serta jijik. Ia menatap wajah saya dengan ekspresi seburuk-buruknya, dan mulai mempertanyakan gelagat saya.
"Sepertinya saya kurang yakin kalau Mas punya keperluan pribadi dengan keluarga pemilik villa ini. Bisa dibicarakan dulu dengan saya?"
"Ah, Mba ini sekretarisnya ya?"
"A-apa?!"
"Oh, bukan ya?"
"????"
Wanita ini semakin berekspresi masam. Kali ini, nampak ia mulai tersenyum emosi, menatap wajah saya penuh benci.
"Haah.., iya, anggap saja saya sekretarisnya. Ada keperluan pribadi apa?"
"Ah, saya mau melamar, Mba."
"Apa? Melamar? Melamar kerja?"
"Ah buka-"
"Laki-laki nggak sopan kayak Mas mau melamar kerja di sini?"
"Lho?! Bu-bukan, Mba. Saya bukan mau melamar kerj-"
"Sudah nggak sopan, bicaranya sembarangan."
"I-iya?"
"Sepertinya Mas urungkan aja deh, niatnya. Melamar kerja disini cuma mau buang-buang waktu aja. Toh juga nggak bakalan saya terima."
"L-lho? Kok Mba yang seenaknya sih? Katanya cuma sekretaris?"
"A-APA!?"
"Aduh Mba. Mendingan langsung hubungin saya ke Anastasia-nya langsung aja, Mba. Biar urusan saya makin lancar. Kayaknya kalau sama Mba nggak bakalan beres-beres."
BRAK!
Wanita ini tiba-tiba menggebrak meja kerja Anastasia dengan tangannya. Ia semakin emosi, sampai kedua pipinya yang tembem berubah merah. Cukup imut dipandang.
"Mas! Mas jangan kurang ajar ya!"
"Lho?! Saya memangnya ngapai-"
TEEEET!!!-
Tiba-tiba saja, wanita ini memencet bel yang berada di samping kirinya. Tak lama kemudian, sang satpam datang kembali kemari, dan menghadap wanita ini.
"A-ada apa, Non?!"
"Asep! Seret orang ini keluar! Nggak sopan!"
"Loh!? Jual tanahnya nggak jadi?!"
"A-apa?! Jual tanah?! Orang ini sebenarnya mau jual tanah?!"
"I-iya, Non! Tadi sudah saya tanya kok!"
"............"
Wanita judes, emosian, tapi berwajah bak selebriti ini menarik nafasnya dalam-dalam. Ia menghembuskannya dengan sigap, dan mengikat rambut hitam panjangnya yang lurus itu. Ia pun bangkit dari meja kerja Anastasia, dan berjalan menjauhinya.
Sret!
Wanita ini sigap melangkah mendekatiku yang masih duduk di sofa tamu. Ia pun duduk di sofa tamu yang menghadapku, dan menatap mataku sabar.
"Mas-nya mau jual tanah?"
"Hah? Si-siapa yang mau jua-"
"Kalau Mas sebenarnya mau jual tanah, nggak perlu sampai manggil orang tua saya, Mas."
"A-apa?!"
"Langsung datangi saya aja nggak papa kok, Mas. Atau minta langsung surat formulir sama satpam saya kalau saya lagi nggak di tempat. Nggak perlu manggil orang tua saya begini. Kesannya nggak sopan!"
"A-ah, begitu ya."
"Saya paham Mas-nya kurang pendidikan, tapi kalau mau menjual tanah, nggak perlu pakai surat melamar kerja. Sampai sini paham?"
"............"
Saya yang mulai jengkel, segera memahami situasi. Saya pun melepaskan tas, lalu mulai mengeluarkan senjataku dari dalamnya.
Kunyalakan HP-ku yang usang itu, dan mencari nomor Watsap Anastasia yang tempo hari saya hubungi. Saya membuka foto profilnya, dan meletakkan HP ke meja, lalu menghadapkannya tepat ke wajah wanita ini.
"!!!!!!!!"
Sontak, wanita itu berwajah terkejut, lalu sigap menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang mungil itu.
"Lho!? Lho kok!?"
"Kaget ya, Mba?"
"Ja-jangan-jangan!? Ma-masa beneran-?!?"
Saya yang sudah memahami situasi, segera tersenyum licik. Saya menatap matanya yang masih melotot, dengan ekspresi sedikit kesal.
"..., kenapa kau menipuku, Anastasia...?"
^^^Bersambung...^^^
"........... Ri-Rizky...?!"
"Dari reaksimu sepertinya memang ndak mau percaya saya bakalan datang."
"Ka-kamu benera-"
"Hmm, menarik. Sepertinya prioritas utamamu bukanlah diriku, melainkan pekerjaan."
"Su-sudah kubilang kamu nggak perlu datang! Aku bel-"
"Belum siap apa memang tidak mau? Toh hubungan kita hanya sebatas pacar di internet, begitu?"
"Bukan! Aku sebenarnya-!"
"Sepertinya aku sudah ngerti kenapa foto profilmu tidak pernah diganti bertahun-tahun. Karena emang bentuk wajah aslimu nggak seperti itu, ya kan? Jadi aku bisa berpikir bahwa gadis yang kucintai selama ini-"
"B-bukan begitu! Aku cuma nggak mau wajah asliku ketahuan! A-aku belum siap! A-aku masih-"
"Sudahlah. Dari raut wajahmu sepertinya memang tidak ada niatan mau serius buat jalani ini lebih dari sebelumnya."
"Rizky!! Seenggaknya dengerin aku dulu! Please!"
...***...
Wajah Anastasia semakin panik. Ia menatapku dengan penuh keraguan akan hubungan kami yang kini sepertinya sudah berada di jalan buntu. Tak heran ia sulit menemukan keputusan yang tepat untuk dirinya sendiri. Terlebih lagi kini dirinya tak bisa kupercaya.
"Aku hanya belum siap, Rizky. Bukan berarti aku nggak mau! Kamu ngerti, kan?!"
"Kalau begitu ndak ada lagi gunanya aku ada di sini. Lebih baik aku pulang, daripada gangguin waktumu lagi. Wassalamualaikum."
"Loh? A-aku belum selesai ngomong!"
Saya pun berbalik badan, mengemasi tas dan menghampiri Asep. Saya meletakkan tangannya ke pundak saya, dan ia pun mulai bertanya.
"Lho-lho?! Kenapa Mas?!"
"Asep, seret saya keluar."
"Hah?!"
Anastasia di sisi lain, kembali berdiri dan berusaha menghentikan saya pergi.
"Ri-Rizky! Tu-tunggu dulu!"
"Asep! Cepat!"
"A-aduh, i-iya Mas!"
"Ri-Rizky! Dengerin aku dulu!"
...***...
Yoga yang berada di luar gerbang, masih bermain dengan HP-nya. Nampak ia tersenyum, sembari mengisap seputung rokok yang ia selipkan ke sela-sela jemari tangan kirinya.
"Buseet, terlalu izi nih gamenya.."
BRAK!
"Buset! Kaget!!"
Yoga menoleh ke arah gerbang, dan melihat saya yang sedang berjalan cepat menjauhi rumah Anastasia. Tak lama kemudian, Anastasia muncul mengikutiku dari belakang, berusaha menahanku.
"Lh-lho?! Abang?!?"
...***...
"RIZKY! TUNGGU DULU!!"
Saya yang kesal berusaha menjauh dari Anastasia. Berusaha tidak mengganggunya lagi. Namun apa daya, sepertinya dirinya masih saja mencoba menipu diriku.
"Apa lagi? Kamu masih mau bohongin aku?"
"DENGARIN AKU DULU!!"
"BUSET! INI CALON ISTRIMU BANG!?"
"!!!!!!!!"
Sigap Anastasia dan Yoga menoleh ke arah satu sama lain. Anastasia pun terdiam, bingung kenapa ada anak laki-laki berwajah kriminal tiba-tiba nongol di depan pagar rumahnya.
"Si-siapa?!"
"Gila! Cantik banget! Yakin seleramu nggak ketinggian, Bang!? Biasanya yang begini pasti sudah ada yang punya, Bang!"
"Kamu ndak usah langsung main nyambung-nyambung begitu ya. Anastasia, sebaiknya kita jangan bicara di sin-"
"I-ini Yoga?! Adikmu?!" Anastasia yang sigap tahu langsung menunjuk ke arah wajah Yoga dengan wajah penasaran.
"Wah salken ya, Mba! Saya Yoga!"
"A-ah.., i-iya-"
GREP!
"ADUH!"
"Anastasia, kita jangan bicara di sini."
...***...
Saya menarik tangan Anastasia menjauh dari Yoga. Anastasia nampak terkejut, saya pun membawanya ke samping taman dekat gerbang rumahnya.
"Ri-Rizky!"
"Oke, bicara. Apalagi maumu, hah?"
"Kamu salah paham! Aku nggak bermaksud menolak lamaranmu! Aku juga tidak pernah bermaksud untuk menipumu!"
"Terus? Kenapa kau berbohong selama ini? Kau juga mengaku tidak bekerja, ternyata punya bisnis dan usaha seperti ini? Kau juga mengaku bahwa keluargamu hidup dalam keadaan sederhana. Tapi apa? Rumah mewah dengan gerbang serta taman yang sangat luas? Usaha dan bisnis bercabang? Entah apalagi kebohonganmu yang belum kuketahui."
"A-aku benar-benar serius ingin melanjutkan hubungan ini. Bukan hanya sekedar lewat internet! A-aku bisa jelasin semuanya! Kenapa aku berbohong, kenapa aku membual, kenapa aku belum siap.. A-aku bisa jelasin!"
"......, yaudah, jelasin sekarang. Mumpung darah saya masih di tengah-tengah badan."
"A-aku melakukan semua ini, karena aku tahu bahwa perbedaan keluarga kita akan membawa banyak masalah. Aku juga sebenarnya ingin bertemu, dan melanjutkan hubungan kita secara offline, tapi.., kalau soal menikah.., sepertinya aku belum siap."
"......, baiklah. Ayo kita anggap kau benar-benar serius ingin lanjut. Tapi soal identitasmu saja aku belum begitu yakin, apa yang kamu bilang di internet itu benar semua apa bohong."
"Ma-makanya, gimana kalau kita mulai dari awal lagi!?"
"Hm? Mulai dari awal?"
"I-iya! Aku juga ingin ngenalin kamu dulu ke adek aku sama orang tuaku. Dan mulai rencanain semuanya matang-matang."
"Haaah."
"Ma-maafin aku, ya?"
Perlahan, mata Anastasia berkaca-kaca. Ia terus merunduk, tak berani menatap mataku lagi. Saya yang mulai termakan godaan parasnya mulai berusaha menahan diri.
"Baiklah. Karena aku sudah tahu kamu sibuk, sebaiknya kita ketemuan jangan terlalu sering. Aku paham orang kaya sepertimu pasti tidak punya banyak waktu untuk rakyat jelata sepertiku."
"Ma-maafin aku."
"Oke, fine. Aku maafin. Sekarang tenanglah."
...***...
Pluk!
Saya menepuk kepalanya sekali. Ia yang merunduk sigap mendongak, dan wajahnya kembali memerah. Apa ini? Sistem godaan baru?
"Aku pergi dulu. Mulai sekarang aku harus cari kerja disini. Supaya uang tabungan bisa terkumpul. Termasuk untuk tabungan melamarmu. kayaknya seratus juta aja ndak bakalan cukup."
"A-apa?! Kamu bahkan sudah nyiapin ua-"
"Kalau kamu belum siap, kemungkinan uangnya akan kupakai buat sekolahnya Yoga. Jadi aku harus mencari lagi. Aku tak mau gadis yang akan kupinang khawatir soal kebutuhan hidupnya."
"... Rizky..."
"Makasih waktunya, saya pulang. Assal-"
"A-alamat! Minta alamatmu! Aku akan datang kapan-kapan!"
"..., ndak usah macam-macam. Kamu sibuk."
"Aku bakal ngeluangin waktu! Beneran!"
"Pala bapak kau. Nanti bakalan kukasih tahu kalau kamu sudah kenal aku baik-baik. Wassalamualaikum."
"A-Ah, waalaikumsalaam.."
"Aku pulang. Jaga diri baik-baik."
"I-iya.."
Saya perlahan berjalan menjauh, hendak pulang. Anastasia yang masih merasa bersalah, hanya menatap diriku yang nampaknya berjalan menjauh, dengan raut wajah penuh dengan kekecewaan. Ia tidak bisa berkata apa-apa, dan hanya diam merenungkan hasil perbuatannya.
...***...
Yoga nampak masih menungguku di motornya, namun kali ini, ia tidak memainkan HP-nya, hanya rokoknya saja yang ia isap kini semakin memendek.
Ia melihatku dari jauh, berjalan mendekati dirinya. Ia pun sigap berdiri, dan menghampiriku yang kini berjalan sendiri ke arahnya.
"A-Abang!!"
"Alamak, Yoga. Merokok lagi kamu?!"
"Baru sadar? Tadi Mba-nya kemana?!"
"Jangan repot-repot pikirin dia. Dia itu urusanku."
"Yaelah tau aku pang! Yoga tanya aja itu nah! Orang ndak lama dia juga bakalan jadi kakak iparnya Yoga."
"Haah.., belum itu, masih lama. Kamu ndak usah banyak ikut campur juga. Ayo, kita pulang."
Sembari menegakkan motor, Yoga pelan-pelan naik di belakangku. Ia menatap punggungku yang nampak sedikit kecewa, dan hendak ingin bertanya. Namun, karena sepertinya ia tidak ingin mengganggu, ia hanya membungkam mulutnya.
"........."
...***...
TREKETEKETEKETEK!!
Di perjalanan pulang, nampak motor kami pelankan sembari mencari tempat untuk bersinggah. Kebetulan kami berada di dekat Dome, saya pun berinisiatif singgah ke Taman Tiga Generasi.
Di sana, saya cari seorang penjual Cendol yang dulu sering kukunjungi setiap pulang sekolah. Namun nampak, penjual Cendol itu tak lagi muncul di sekitaran jalan ini, jadi kami hanya sekedar melihat-lihat kawasan taman, dan singgah mencari jajanan.
"Hm? Katanya pulang, Bang?"
"Ndak papa, singgah aja dulu. Kutraktir untuk hari ini."
"Beh, disogok kah aku ceritanya ini?"
"Begitulah."
Saya merogoh dompet dari dalam tas, dan meraih selembar uang seratus ribu dari dalam. Kutepokkan uang itu ke dahi Yoga, dan ia yang masih memainkan HP-nya pun kaget.
"Aduh! Apa sih, Bang?!"
Ia segera mengambil uang itu dari dahinya, dan sigap tersenyum melihatku yang tumben bersikap baik padanya hari ini.
"Buset! Buatku kah ini?!"
"Iya. Beli sudah sana. Sekalian belikan Abang Salome lima ribu."
"Wah, makasih banyak, Bang!"
"Iya. Abang tunggu di motor."
"Oke, Bang!"
Yoga pun segera berhenti menatap HP-nya, dan segera berlari ke arah penjual-penjual jajanan di sekitaran taman. Sedangkan saya yang kini kembali galau, hanya bisa merenungkan semua hal yang Anastasia jelaskan, seraya melihat banyak lansia berolahraga di tengah-tengah taman.
"Haah, kenapa malah jauh dari harapan? Sialan."
...***...
Aneh.
Semenjak saya kembali, hati ini selalu merasa tertekan setiap saat. Membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tua Anastasia, atau membayangkan wajah Anastasia-nya sendiri disaat saya datang melamarnya.
Namun, setelah kejadian hari ini, perasaan dan hati kian melega. Terlepas bahwa semua hal yang saya tahu hanyalah sekedar ilusi internet, segala hal tentang Anastasia kembali menjadi buku tulis yang kosong.
Sungguh tipuan yang indah, namun menusuk.
"Apa aku akan baik-baik saja?"
Pastinya urusan percintaan bukanlah urusan yang mudah, sangat rumit malahan. Saya pun bukannya memikirkan rencana selanjutnya, tapi malah sibuk makan Salome di atas motor bersama Yoga yang asik melihat para lansia melakukan Yoga di taman.
"Yoga melihat para lansia melakukan Yoga. Kok agak mengakak ya."
"Haha, Abang bisa Yoga ndak?"
"Bisa."
"Buset, ajarin Yoga dong, Bang!"
"Mau bisa Yoga itu punya satu syarat aja. Penasaran ndak?"
"Apa syaratnya tuh?"
"Tulang harus banyak yang encok dulu. Biar gerakannya bisa pelan kayak mereka itu."
"Aih, harus encok dulu? Berarti yang muda-muda ndak bisa dong, olahraga Yoga?"
"Bisa aja, cuman jadinya bukan Yoga."
"Aih, kalau bukan Yoga jadinya apa pale?"
"Jadinya bakal Breakdance."
"Loh!? Kok-!?"
"Wah, banyak tanya betul kau ya. Udah dijawab masih aja nanya."
"YAELAH YOGA LOH TANYANYA SERIUS BANG! ABANG JAWABNYA NGACOK MULU!"
SPAK!
Mulai kesal dengan pertanyaan Adik sendiri, lagi-lagi kupukul belakang kepalanya dengan keras. Memberinya aba-aba untuk diam, memberi ruang untuk saya berpikir.
"Aduh!"
"Kamu ini. Ada-ada aja betul pertanyaan ya."
Tak lama, senyuman manis perlahan merekah di wajah saya. Saya rangkul Yoga yang masih mengunyah Salome-nya hangat-hangat. Kami pun kembali menatap lansia-lansia tersebut dari jauh.
"Beh, Bang. Coba liat. Sudah usia tua masih romantis banget ya. Jadi ingat Kai' sama Nenek."
"Hm, iya juga ya."
Hingga sampailah kedua mata saya menuju pasangan lansia yang Yoga bicarakan. Menatap pasangan tersebut saling bersandar dan berbagi cerita satu sama lain, membuat saya penasaran.
Apa saya dan Anastasia bisa berakhir menjadi pasangan seperti mereka? Mungkin ini hanyalah angan-angan, tetapi apa salahnya mencoba?
^^^Bersambung...^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!