Jual Tanah

"Namanya siapa, Mas?!"

"Aih apa?!"

"Namanya! Siapa namanya!!?"

"Oh! Nama, kah?!"

"Iyo!!"

Saya nampak terdiam sejenak, ragu untuk menjawab pertanyaan sang pengawal bis. Namun, mengingat nama adalah hal yang penting, jadi ayo jawab aja lah.

"Oh! Nama saya Rizky, Mas!"

"Hah?! Bhahahah! Pake Billar nggak, Mas!?"

"Aih, ndak ada itu pake Billar-Billar! Rizky tanpa Billar pokoknya Mas!"

"Woahahahahaha! Siap, Mas! Tanpa KDRT juga ya, mas?! Hahaha!"

"Hahaha, ayo, hati-hati, Mas!"

"Iyo! Mari, Mas!"

Saya yang sudah menghampiri barang dan oleh-oleh dari bagasi bis, akhirnya mengeluarkan senjata saya.

Benar, Ponsel Kencana saya.

...***...

Tinunit!

"Lho?! Abang!?"

"Mana kamu?! Sudah sampe aku nah!"

"Aduh, aku belum mandi!"

"Astaga, memang anak ini! Bentar kamu dirumah ya! Awas memang kamu! Minta disepak memang!!"

"Hiyyy!! Buset, serem!"

Klop!

Adik saya sepertinya ketakutan, dengan panik mematikan teleponnya. Mau tidak mau saya menunggu lebih setengah jam hanya untuk menunggu dia datang menjemput saya yang sudah terkapar di pinggiran jalan raya.

Pas dia sampai, langsung saya tampar belakang helm-nya.

PAK!

"Aduh!"

"Gonggong! Dibilangin dari jam dua mandi memang sudah!"

"Aih! Aku loh tadi sibuk bantuin Mamak itu nah!"

"Alah! Klasik memang alasanmu!"

...***...

Ckieet!

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalaam. Kayak mana tadi, di jalan?"

"Aman, Mak. Ini aja nah, anakmu yang paling muda ini nah pake kelolotan HP di kamar gak mandi-mandi."

"Mana ada! Tadi lho Aban-"

"Kamu ndak dengar kah? Tadi aku sudah telepon kamu mandi memang sudah jam du-"

"Aku loh tadi bantu Mamaaak!-"

"Aih sudah! Mamak mau beli obat nyamuk awas memang Nenek Dumbren di sebelah kamu orang gangguin lagi! Ndak usah ribut!"

"Abang nah jahat betul."

"Yoga! Diam nah coba!"

Mamak lagi-lagi mengomeli kami. Namun bukannya sedih, justru senyum manis mendarat kembali di wajah saya. Sudah lama saya tidak dimarah-marahi mamak seperti ini.

Kembali ke masa kecil, masa dimana saya tumbuh. Perasaan nostalgia memanglah sungguh menggugah selera muda. Namun, kadang perasaan itu membuat kita lupa, bahwa diri kita selalu berubah. Baik secara fisik ataupun mental. Lupa diri bukanlah hal yang baik.

...***...

Gradak!

Dua jam kemudian, Yoga sudah memakai baju yang rapi. Ia pun mengambil kunci motor, dan melemparnya ke wajah saya. Untung saya sigap menangkap, kalau tidak mungkin saya sudah benjol dibuatnya.

"Makin hari kamu makin kurang ajar ya," ujar saya kesal, sembari mengantongi kunci motor yang barusan ia lempar.

"Emangnya Abang mau minang siapa?! Cewek mana?"

"Ada, orang sekitaran Regensi kayaknya."

"Oh, udah ada harga belum?"

"Abang mau coba ketemu sama orang tuanya dulu. Minta izin juga. Urusan harga belakangan aja."

"Lha? Bukannya betinanya dulu yang dicek?!"

"Kalau belum Abang cek, mana mungkin Abang langsung main lamar begini. Fungsi otak makanya dipakai dong sedikit," jawab saya mulai kesal seraya memasang helm dengan ketat di kepala saya.

"Aih seterah, Bang. Seterah!"

Kami pun segera menaiki motor, dengan Yoga duduk di belakang saya. Motor saya nyalakan, dan pergilah kami ke salah satu Perumahan Terbesar di Balikpapan.

...***...

Krieeet.... Ctang!

Ndak usah lama-lama di jalan, kami pun segera sampai di rumah Anastasia. Aku dan Yoga turun dari motor, dan mencoba berdiskusi mengenai rencana lamaranku tiga menit lagi.

Yoga mulai memberiku beragam saran.

"Nah, nanti Yoga tunggu Abang disini, nanti Abang ke dalam jangan lupa ketemu sama betinanya dulu. Jangan langsung orang tuanya."

"Kenapa begitu?"

"Ndak sopan dong Bang! Ketemu sama sasaranmu aja belum, masa mau langsung aja labrak orang tuanya?! Kek mana sih?! Ndak jelas betul loh manusia satu ini!"

"Hm, kayaknya betul. Yasudah pale, kamu tunggu di sini, do'akan aja Abangmu ini yang betul-betul."

"Iya, sana sudah."

"Oke, Bismillah."

Srak!

Saya sigap memperbaiki baju. Setelah dirasa rapi, segera saya datangi rumah Anastasia dan masuk dengan percaya diri.

Yoga di luar nampak sedikit gelisah. Ia menatap rumah Anastasia dengan penuh keraguan. Keringat perlahan menuruni dahinya, dan ia pun bergumam,

"Tapi, Abang yakin yang diincar gak terlalu tinggi, nih? Rumah ceweknya ini gede banget loh. Gedenya mungkin bisa saingan sama Istana Hokwart."

...***...

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum!"

Saya mencoba mengetuk gerbang rumah Anastasia yang begitu besar. Tiba-tiba, ada seorang wajah satpam muncul di layar aneh yang tertempel di samping kiri pagar.

Tiit!

"Waalaikumsalaam, ada perlu apa ya, Mas?"

"Ah, apa benar ini rumah Anastasia Siamala Rosalia Aning?"

"Napa nyebut namanya lengkap banget? A-ah iya Mas. Mau jual tanah kah?"

"A-ah iya Mas? Bu-bukan, saya bukan mau jual-"

"Oke Mas, sudah boleh masuk. Saya bukain pintu nya ya."

"Lh-lha?!"

...***...

JEGREEEEEEEEEEK!

Gerbang besar itu akhirnya terbuka. Pelan-pelan, saya melangkahkan kaki dengan percaya diri. Saya memasuki halaman rumah tersebut yang sangat besar, diiringi sang satpam.

"Mari Mas, saya antar ke ruang kerja Nyonya."

"Ah, iya Mas. Makasih."

"Waah, Mas-nya untung banget loh, pas banget Nyonya lagi di rumah! Biasanya mah, setiap orang dateng mau jual tanah, pasti Nyonya gak di rumah. Pasti pergi kerja mulu!"

"Wah, masa? Setahuku Anastasia nggak bekerja sama sekali, Mas."

"Lah kok iso? Orang kaya begini masa anak juragannya gak kerja?"

"Hmm, masuk akal juga ya."

...***...

Tidak mungkin. Anastasia berbohong?

Setahuku, dirinya selalu berkata bahwa ia tidak bekerja. Ia selalu bilang bahwa selama ini hidup bersama keluarganya dan merawat adik-adiknya.

Kenapa ia malah berbohong? Apa ia malu karena harus bekerja membantu keluarganya yang mungkin kesusahan ekonomi?

Menarik.

Tak lama kemudian, kami pun sampai di depan ruang kerja Anastasia. Terpana dengan daun pintu yang megah serta mewah, membuatku sedikit menyolotkan mata tak mengira Anastasia adalah seorang wanita yang bekerja.

"Wah, ini ruang kerjanya? Mewah ya, Mas."

"Woiya, penjernih pemandangan, Mas. Apalagi yang punya, hahaha!"

"Beh-beh-beh. Ada-ada aja dirimu, Mas."

"Hahahah! Oke deh, saya tinggal dulu ya, Mas. Kalau ada keperluan panggil saya aja ya, Mas."

"Wah, manggilnya make apa tu-"

"Mari, Mas!!"

"Minimal dengerin dulu kek kalau ditanya woy," jawab saya sembari memekik heran menatap sang satpam yang kembali pergi seenaknya. Sedangkan saya yang masih berada di depan pintu istana ini, mencoba membersihkan kedua tangan dengan sebersih mungkin.

Hand Sanitizer pun saya keluarkan dari dalam tas, dan saya semprotkan dua kali. Kedua tangan diusap-usap, dan akhirnya saya memberanikan diri untuk mengetok pintu tersebut.

...***...

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum."

"........."

Tidak ada suara sama sekali dalam sekitaran tiga setengah detik. Suara hening memenuhi ruangan, sampai akhirnya tiba suara seorang wanita menjawab salam dari dalam ruangan.

"Waalaikumsalaam, masuklah."

"..........., lamanya pang."

Jegreeeeeeeek!

Saya pun membuka pintu, dan menemukan seorang wanita berambut hitam panjang lurus duduk di kursi kerja Anastasia dengan berwajah judes. Ia menatap saya tajam, dan mulai mempersilahkan duduk.

"Silahkan duduk."

"Iya."

Sreeet!

Saya duduk sembari menyamankan diri. Saya menatap wanita bermata judes ini dengan wajah bingung. Tanpa banyak basa-basi, saya mulai menanyakan keberadaan Anastasia dan orang tuanya.

"Anastasianya dimana ya, Mba? Sama orang tuanya sekalian."

"A-apa?"

"Ah, saya mau tanya pemilik rumah ini ada di mana. Saya ada keperluan pribadi."

Setelah mendengar ujar niatan saya, wanita ini hanya berwajah heran serta jijik. Ia menatap wajah saya dengan ekspresi seburuk-buruknya, dan mulai mempertanyakan gelagat saya.

"Sepertinya saya kurang yakin kalau Mas punya keperluan pribadi dengan keluarga pemilik villa ini. Bisa dibicarakan dulu dengan saya?"

"Ah, Mba ini sekretarisnya ya?"

"A-apa?!"

"Oh, bukan ya?"

"????"

Wanita ini semakin berekspresi masam. Kali ini, nampak ia mulai tersenyum emosi, menatap wajah saya penuh benci.

"Haah.., iya, anggap saja saya sekretarisnya. Ada keperluan pribadi apa?"

"Ah, saya mau melamar, Mba."

"Apa? Melamar? Melamar kerja?"

"Ah buka-"

"Laki-laki nggak sopan kayak Mas mau melamar kerja di sini?"

"Lho?! Bu-bukan, Mba. Saya bukan mau melamar kerj-"

"Sudah nggak sopan, bicaranya sembarangan."

"I-iya?"

"Sepertinya Mas urungkan aja deh, niatnya. Melamar kerja disini cuma mau buang-buang waktu aja. Toh juga nggak bakalan saya terima."

"L-lho? Kok Mba yang seenaknya sih? Katanya cuma sekretaris?"

"A-APA!?"

"Aduh Mba. Mendingan langsung hubungin saya ke Anastasia-nya langsung aja, Mba. Biar urusan saya makin lancar. Kayaknya kalau sama Mba nggak bakalan beres-beres."

BRAK!

Wanita ini tiba-tiba menggebrak meja kerja Anastasia dengan tangannya. Ia semakin emosi, sampai kedua pipinya yang tembem berubah merah. Cukup imut dipandang.

"Mas! Mas jangan kurang ajar ya!"

"Lho?! Saya memangnya ngapai-"

TEEEET!!!-

Tiba-tiba saja, wanita ini memencet bel yang berada di samping kirinya. Tak lama kemudian, sang satpam datang kembali kemari, dan menghadap wanita ini.

"A-ada apa, Non?!"

"Asep! Seret orang ini keluar! Nggak sopan!"

"Loh!? Jual tanahnya nggak jadi?!"

"A-apa?! Jual tanah?! Orang ini sebenarnya mau jual tanah?!"

"I-iya, Non! Tadi sudah saya tanya kok!"

"............"

Wanita judes, emosian, tapi berwajah bak selebriti ini menarik nafasnya dalam-dalam. Ia menghembuskannya dengan sigap, dan mengikat rambut hitam panjangnya yang lurus itu. Ia pun bangkit dari meja kerja Anastasia, dan berjalan menjauhinya.

Sret!

Wanita ini sigap melangkah mendekatiku yang masih duduk di sofa tamu. Ia pun duduk di sofa tamu yang menghadapku, dan menatap mataku sabar.

"Mas-nya mau jual tanah?"

"Hah? Si-siapa yang mau jua-"

"Kalau Mas sebenarnya mau jual tanah, nggak perlu sampai manggil orang tua saya, Mas."

"A-apa?!"

"Langsung datangi saya aja nggak papa kok, Mas. Atau minta langsung surat formulir sama satpam saya kalau saya lagi nggak di tempat. Nggak perlu manggil orang tua saya begini. Kesannya nggak sopan!"

"A-ah, begitu ya."

"Saya paham Mas-nya kurang pendidikan, tapi kalau mau menjual tanah, nggak perlu pakai surat melamar kerja. Sampai sini paham?"

"............"

Saya yang mulai jengkel, segera memahami situasi. Saya pun melepaskan tas, lalu mulai mengeluarkan senjataku dari dalamnya.

Kunyalakan HP-ku yang usang itu, dan mencari nomor Watsap Anastasia yang tempo hari saya hubungi. Saya membuka foto profilnya, dan meletakkan HP ke meja, lalu menghadapkannya tepat ke wajah wanita ini.

"!!!!!!!!"

Sontak, wanita itu berwajah terkejut, lalu sigap menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang mungil itu.

"Lho!? Lho kok!?"

"Kaget ya, Mba?"

"Ja-jangan-jangan!? Ma-masa beneran-?!?"

Saya yang sudah memahami situasi, segera tersenyum licik. Saya menatap matanya yang masih melotot, dengan ekspresi sedikit kesal.

"..., kenapa kau menipuku, Anastasia...?"

^^^Bersambung...^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!