Mama Untuk Mikhaela
“Udah dua minggu, tapi namanya masih nampang di mana-mana.” Ucap seorang karyawan perempuan yang matanya fokus menatap layar televisi di dinding kantin perusahaan. Di sana, tampak sosok pemimpin perusahaan mereka yang baru, Segara Adhitama, tengah menghadiri acara peresmian gedung pemerintah kota yang pembangunannya di-handle oleh perusahaan mereka, Future Plan.
Future Plan merupakan salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta yang sering berkolaborasi dengan pemerintah dalam berbagai proyek pembangunan. Perusahaan yang telah berdiri selama 13 tahun itu mukanya dipimpin oleh Damian Adhitama. Namun, semenjak beberapa bulan yang lalu, kondisi kesehatan Damian menurun drastis sehingga Segara sebagai anak semata wayang akhirnya ditunjuk untuk menggantikan posisinya sementara waktu—sampai kondisinya membaik.
Paras Segara yang tampan serta keterampilannya dalam mengatasi berbagai permasalahan di perusahaan membuat namanya nampang di berbagai media. Banyak orang yang membicarakan tentang dirinya. Merasa kagum karena di usianya yang masih terbilang muda—27 tahun—Segara telah mampu memimpin perusahaan besar yang mempekerjakan ratusan karyawan. Apalagi, diketahui bahwa sebelumnya Segara belum pernah ikut campur dalam urusan perusahaan. Selama ini, yang publik tahu hanya sebatas Damian memiliki seorang putra yang tidak ingin dipublikasikan.
Berkat namanya yang nampang di mana-mana, orang-orang juga mulai penasaran dengan kehidupan pribadinya. Mereka sibuk mencari tahu, mulai dari background pendidikan sampai ke hal-hal yang lebih personal seperti apakah lelaki itu sudah memiliki kekasih—atau bahkan sudah menikah.
Tapi, seperti sudah terbiasa untuk tidak menunjukkan kehidupan pribadinya kepada khalayak umum, tidak ada satu informasi pun yang akhirnya berhasil diungkap ke publik. Segara benar-benar menjaga agar privasinya tetap aman. Hal itu kemudian membuatnya mendapatkan julukan baru; si pemimpin perusahaan yang tampan dan misterius.
“Segara Adhitama, si pemimpin perusahaan yang tampan dan misterius. Cih! Ada-ada aja orang berita.” Prawira, seorang karyawan lain ikut buka suara.
“Tapi Pak Segara emang misterius banget nggak, sih? Masa iya, nggak ada satupun informasi soal dia yang bisa diungkap ke publik?” Anesti karyawan perempuan yang tadi pertama kali membuka obrolan, kembali bersuara. Ditatapnya satu persatu rekan kerja satu divisi yang ikut bergabung di meja tempatnya makan.
Meja bundar itu berisi 5 orang, 3 perempuan dan 2 laki-laki. Pandangan Anesti kemudian berhenti pada seorang karyawan perempuan yang terlihat paling tidak peduli dengan obrolan mereka, sibuk menyantap makanan sambjl memainkan ponsel.
“Menurut gue, kita nggak berhak tahu juga sih soal kehidupan pribadinya Pak Segara. Kita kan di sini cuma kerja, dan Pak Segara konteksnya juga kerja, bukan mau show off tentang kehidupan pribadinya.” Komentar seorang karyawan pria yang duduk di sebelah Prawira. Doni, namanya.
“Tapi kalau terlalu tertutup juga aneh nggak, sih? Kayak ada yang sengaja ditutup-tutupin. Gimana kalau ternyata dia itu aslinya adalah psikopat gila yang suka bunuh-bunuh orang, terus bagian tubuh tertentu dari orang-orang itu dia simpan sebagai suvenir?” komentar karyawan perempuan lain bernama Selly. Ia tampak bergidik ngeri, mengusap lengannya yang terbalut blus lengan panjang dengan gaya yang dramatis.
“Lo kebanyakan nonton drama!” Prawira mencerca, lantas menggeleng tak habis pikir dengan pemikiran aneh rekan kerjanya itu.
“Ya, kan, siapa tahu!” Selly sewot sendiri. Jelas saja dia tidak terima kalau opininya ditampik begitu saja oleh Prawira.
“Kalau menurut lo, gimana, Mel?” Anesti tiba-tiba melemparkan pertanyaan itu kepada satu-satunya orang yang tidak berkomentar apapun sejak tadi.
Yang ditanya mendongakkan kepala, menatap Anesti sebentar kemudian kembali menunduk menatap ponselnya. “Mau dia psikopat atau bukan, nggak ada urusannya sama kita. Lagian, bener apa kata Doni. Kita di sini kerja cari duit, bukan buat urusin kehidupan pribadi orang lain.” Jawabnya acuh tak acuh.
Anesti menghela napas. Bukan ini jawaban yang dia harapkan. Tapi mengingat sifat tertutup Pamela yang tidak jauh berbeda dengan Segara yang sedang mereka gunjingkan saat ini, Anesti berusaha untuk maklum.
“Udah deh, mendingan buruan habisin makanan kalian. Sepuluh menit lagi jam makan siang kita habis.” Doni menyeletuk, memutuskan untuk menjadi penengah agar perdebatan tentang seperti apa sosok Segara yang sebenarnya tidak melebar ke mana-mana.
“Gue duluan.”
Pamela tahu-tahu sudah berdiri, membuatnya dihadiahi tatapan heran dari keempat rekan kerjanya. Makanannya belum habis, tapi dia sudah tidak tahan berada di situasi semacam ini. Bukan karena Pamela tidak suka mendengar rekan kerjanya yang lain bergosip, hanya saja objek yang sedang mereka bicarakan sekarang ini memiliki tempat tersendiri di hatinya, dan mendengar rekannya bergunjing tentang lelaki itu membuatnya tidak nyaman.
Selepas pergi meninggalkan kantin, Pamela tidak langsung kembali ke ruang kerjanya. Dia malah melangkahkan kaki menuju tangga darurat untuk naik rooftop. Langkahnya terhenti di depan pintu keluar menuju rooftop. Pintu berwarna hijau tua itu sedikit terbuka, mengindikasikan bahwa seseorang sudah lebih dulu keluar dari sana.
“Ck! Keduluan.” Pamela berdecak sebal. Bertanya-tanya siapa gerangan yang datang ke rooftop tengah hari begini. Padahal biasanya tidak akan ada yang mau mendatangi tempat ini selain dirinya. Selain panas, di sini juga tidak ada pemandangan apapun yang bisa dinikmati. Nongkrong di ruang santai lantai 5 jelas lebih menyenangkan ketimbang di sini.
Tidak mau ambil pusing tentang siapa yang ada di luar sana, Pamela tetap melanjutkan langkah. Namun keherannya justru semakin bertambah kala matanya menemukan sosok yang tak terduga berdiri membelakanginya. Laki-laki yang sedari tadi menjadi bahan gosip rekan kerjanya itu ada di sana.
Segara berdiri sambil menopangkan sebelah lengan ke beton pembatas yang setinggi perut orang dewasa, sedangkan satu lengannya lagi berdiam di samping tubuh. Ada sebatang rokok yang belum dinyalakan di sela-sela jemari panjang lelaki itu.
“Ngapain di sini?” tanya Pamela dari jarak tiga langkah di belakang Segara.
Laki-laki itu menoleh, sama sekali tidak terlihat terkejut akan kehadiran Pamela yang diam-diam mengendap seperti maling. “Kamu sendiri ngapain di sini?” laki-laki itu balik bertanya. Diam-diam, dia juga sibuk meneliti setiap inci wajah lelah Pamela. Seakan sedang berusaha mencari sesuatu di sana—sebuah pengakuan.
“Mau ngerokok.” Pamela melanjutkan langkah, menghabiskan jarak yang semula terbentang hingga kini dia berdiri tepat di samping Segara. Lalu, dia mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam rok sepan pendek di bawah lutut, menarik sebatang kemudian segera memantik dan mengisap lintingan tembakau itu kuat-kuat.
Lama sekali asap yang Pamela hirup tak kunjung diembuskan, membuat Segara menatap perempuan itu keheranan. Apakah tidak terasa sesak? Atau ... perempuan itu memang sengaja ingin menelan semua asap itu sampai habis tak bersisa? Tapi untuk apa? Kenapa harus menimbun asap-asap itu di dalam dada, kalau dengan mengeluarkannya bisa sekaligus membantu mengurai beban berat yang selama ini ditanggung?
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Zenun
dan aku teringat Sera kalo ada sikopet
2023-04-08
1
neng ade
aku mampir thor.. ternyata bnyk karya mu yg blm pernah kubacs..
2023-04-03
0
Shin Himawari
Pamela ini kaya karakter mba mba SCBD yang kuat gitu Yaa
sukaaa 🌻
2023-03-28
2