"Ok, I'll ask her now." Lalu Segara menelepon Pamela.
Panggilan pertama tidak terjawab. Mungkin Pamela masih tidur mengingat ini adalah weekend dan sekarang baru jam 8 lewat 10. Kalau kebiasaan perempuan itu belum berubah, maka Segara bisa menebak Pamela telah bergadang sampai subuh dan baru akan bangun tengah hari nanti.
Namun Segara tetap mencoba menelepon sekali lagi. Ia benar-benar butuh bantuan Pamela sekarang.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Tujuh detik.
Butuh waktu tujuh detik sampai teleponnya diangkat, menyuguhkan suara serak Pamela yang menyapa indera pendengarannya dan menghasilkan reaksi aneh di sekujur tubuhnya. Ia merasa merinding. Entah karena suara Pamela yang terdengar lain dari biasanya, atau karena hal lain. Segara tidak tahu.
Segara berdeham, berusaha melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa tercekat.
"Halo? Kenapa telepon pagi-pagi begini?" tanya Pamela lagi, terdengar tidak sabaran.
"Mau minta tolong." Jelas sekali Segara sedang berusaha agar tidak terdengar gugup.
"Minta tolong apa?"
"Bisa tolong jagain Mikha sebentar? Aku harus ke rumah sakit ketemu dokter yang rawat Papa."
Hening. Tidak ada jawaban dari seberang. Segara sampai harus menjauhkan ponsel dari telinga hanya untuk memeriksa apakah teleponnya masih tersambung atau tidak. Dan telepon masih tersambung sehingga Segara kembali menempelkan ponsel ke telinga.
"Mel?" panggilnya pelan. Takut-takut kalau Pamela justru kembali tidur. Masalahnya di seberang sana sangat hening. Tidak ada suara gemerisik apapun. Bahkan, suara nafas Pamela pun tidak terdengar sama sekali.
"Ok. Aku siap-siap sekarang!"
Dan telepon terputus. Segara menatap ponselnya bingung. Kenapa masih sepagi ini tapi dia sudah diputuskan secara sepihak oleh dua orang?
"Daddy, gimana?" tanya Mikha penasaran. Raut wajah ayahnya terlalu sukar untuk dia baca. Mikha benar-benar tidak tahu apakah Pamela menerima permintaan tolong ayahnya atau justru menolaknya.
"She said yes."
...----------------...
"Bisa tolong jagain Mikha sebentar? Aku harus ke rumah sakit ketemu dokter yang rawat Papa."
Pamela hampir menampar wajahnya sendiri saat mendengar Segara berkata demikian. Masalahnya, dia tahu betul seperti apa Segara. Laki-laki itu tidak pernah mau meminta tolong padanya. Lebih dari dua puluh tahun berteman, seringnya malah Pamela yang meminta tolong pada Segara.
Bermenit-menit Pamela habiskan hanya dengan diam. Ia sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah mimpi.
"Mel?"
Saat Segara memanggil namanya lagi, barulah ia yakin bahwa ini adalah kenyataan. Pamela tidak sedang bermimpi!
"Ok. Aku siap-siap sekarang!" serunya dengan semangat 45.
Semena-mena ia menutup telepon, membuang ponselnya asal lalu segera melompat turun dari ranjang. Ia berlarian tunggang-langgang memasuki kamar mandi, seolah perang dunia ketiga akan segera terjadi dan dia harus mempersiapkan diri.
"Aaaaaaa!!!! Segara minta tolong gue buat jagain Mikha!!!!" serunya dari dalam kamar mandi. Tanpa dia ketahui, Astanu Wijaya, ayahnya yang baru saja masuk ke dalam kamarnya menggelengkan kepala mendengar teriakan sang putri semata wayang yang heboh bak baru saja memenangkan lotre ratusan juta.
...****************...
"Ada beberapa zat berbahaya yang masuk ke tubuh papa kamu. Zat-zat itu sepertinya masuk sedikit demi sedikit sehingga akhirnya terakumulasi dan baru menimbulkan dampak buruk pada tubuh papa kamu sekarang." Dokter Adam, dokter yang menangani Papa menyampaikan hal itu kepada Segara dengan raut serius. Di tangannya ada beberapa lembar dokumen hasil laboratorium milik Papa.
Segara terdiam sejenak. Pikirannya terlalu ribut sekarang. Dari awal dia memang sudah curiga dengan memburuknya kondisi kesehatan Papa yang terjadi secara tiba-tiba. Pasalnya Segara tahu betul Papa rajin melakukan medical check up dalam beberapa bulan sekali. Asupan makanan yang Papa konsumsi juga terjaga sebab Mama sendiri yang menyiapkan semuanya. Papa juga rutin berolahraga dan mengonsumsi berbagai suplemen vitamin demi menjaga kesehatan tubuhnya.
Dan kecurigaannya sekarang terbukti benar, kan? Ada seseorang yang sengaja ingin mencelakai Papa. Seseorang yang kemungkinan besar sama dengan orang yang telah menyebabkan kecelakan Karenina.
"Hasil lab nya baru keluar, atau Dokter Adam sengaja baru kasih tahu saya?" tanya Segara, menatap mata Dokter Adam yang tersembunyi di balik kaca mata.
Dokter Adam menghela napas. Ia tahu keputusannya untuk merahasiakan tentang fakta ini tentu akan membuat Segara naik pitam. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua ini ia lakukan atas permintaan Margaretha yang tidak ingin fokus anaknya dalam mengurus perusahaan terganggu.
Melihat reaksi Dokter Adam yang demikian, Segara sudah tahu jawabannya. Ia kesal, tentu saja. Mengapa orang-orang di sekitarnya gemar sekali menyembunyikan hal-hal penting semacam ini dari dirinya? Apa ia tidak cukup bisa dipercaya untuk mengatasi semuanya sampai mereka harus bersikap begini?
"Jangan salah paham, Segara. Mama kamu cuma nggak mau buat pikiran kamu semakin kacau." Dokter Adam berusaha menenangkannya.
"Kami sudah berusaha yang terbaik untuk mengeluarkan zat-zat berbahaya itu dari dalam tubuh Papa kamu. Kondisi Papa kamu sudah stabil sekarang, nggak perlu khawatir." Lanjut pria paruh baya dengan potongan rambut cepak yang tertata rapi itu.
"Saya bersyukur kondisi Papa membaik, terima kasih sudah sigap menangani Papa. Tapi," Segara menggantungkan kalimatnya, sejenak memilah susunan kata yang tepat untuk dia ucapkan. "Kalau saja Dokter kasih tahu saya dari awal, saya mungkin bisa lebih cepat cari tahu siapa pelakunya." Lanjutnya.
Benar. Kalau saja Segara tahu mengenai hal ini lebih awal, dia akan bisa bergerak lebih cepat untuk mencari tahu dalang di balik kejadian ini. Apakah itu seseorang yang ada di kantor, atau justru yang paling dekat dengan Papa di rumah. Dalam kondisi seperti ini, Segara hampir tidak memercayai siapapun. Setelah kematian Karenina yang janggal, rasanya cukup sulit baginya untuk menaruh percaya pada orang lain.
"Saya paham maksud kamu. Saya juga mengambil keputusan untuk merahasiakan ini dari kamu bukan tanpa pertimbangan." Kata Dokter Adam lagi, berusaha menarik atensi Segara yang sudah mulai bergerak gelisah di kursinya. Dari otot-otot leher yang samar-samar mulai terlihat, Dokter Adam tauhu Segara sedang berusaha menahan amarahnya. "Saya sudah suruh orang untuk selidiki orang-orang di kantor kamu yang terlibat langsung dengan Damian."
Mendengar Dokter Adam menyebut nama papanya, Segara paham bahwa saat ini pria itu sedang memosisikan diri sebagai seorang teman, sudah bukan lagi dokter kepada pasien.
"Cepat atau lambat, kita akan tangkap pelakunya, Segara. Percaya sama saya."
Itu jadi kalimat terakhir yang Segara dengar dari Dokter Adam sebelum pintu ruangan yang serba putih itu diketuk beberapa kali, menampakkan seorang suster berseragam biru muda yang datang untuk memberi tahu Dokter Adam bahwa sudah tiba jadwal kunjungannya ke bangsal-bangsal pasien rawat inap.
Segara hanya mengangguk sekilas saat Dokter Adam pamit untuk meninggalkan ruangan. Meninggalkan ia sendirian di dalam ruangan dengan atmosfer yang mendadak berubah drastis setelah kepergian pria paruh baya itu. Barangkali, karena sekarang amarah yang sedari tadi berusaha dia tahan sudah mulai keluar sedikit demi sedikit.
Tangan Segara terkepal kuat, dalam hati memaki siapapun orang yang sudah menjadi dalang dibalik jatuh sakitnya Papa. Sungguh kali ini Segara bersumpah, ia akan menemukan orang itu dan menghajarnya habis-habisan sebelum mengirimnya ke neraka.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Zenun
curiga Ama Margaretha
2023-04-13
1
Zenun
keknya ada yang meracuni perlahan-lahan
2023-04-13
1
Zenun
harusnya empat detik ini
2023-04-13
1