Segara memutuskan untuk tidak bertanya soal asap-asap yang ternyata betulan Pamela telan. Ia beralih menanyakan hal lain. “Ada smooking room di setiap ruang kerja masing-masing divisi, kenapa repot-repot datang ke sini?”
Tidak seperti Pamela yang sudah mengisap rokoknya berkali-kali, Segara masih enggan menyalakan miliknya. Benda berwarna putih itu hanya dia mainkan di sela-sela jari diputar-putar, sesekali disentil lalu kembali dia biarkan terdiam seperti semula.
“Kamu sendiri ngapain di sini? Di ruangan kamu yang private itu, kamu malah bisa leluasa mau ngapain aja.” Pamela melirik Segara sekilas. Nampak olehnya ekspresi datar di wajah Segara yang tidak berubah sama sekali.
“Pengap. Aku pusing lihat berkas-berkas di atas meja.” Segara terkekeh.
Pamela hanya mengangguk. Berusaha memaklumi keadaan Segara yang sekarang. Laki-laki itu awalnya hanya menghabiskan waktu untuk mengurus putri semata wayangnya, Mikhaela. Dan sekarang, tiba-tiba saja dia diberi amanah untuk mengurus perusahaan sebesar ini. Wajar jika lelaki itu merasa sedikit tertekan.
“Mikha apa kabar?” tanya Pamela lagi. Tiba-tiba dia teringat pada putri semata wayang Segara yang baru berusia 4 tahun itu. Sudah lama sekali rasanya dia tidak bertemu dengan bocah menggemaskan itu. Terakhir kali mungkin 2 bulan yang lalu, saat dia dan ayahnya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Damian.
“She’s good. Nggak pernah rewel walaupun aku sering pulang telat akhir-akhir ini.”
“Kamu butuh pengasuh buat Mikha, nggak?” tawar Pamela tiba-tiba, membuat Segara yang semula menatap lurus ke depan, pada jajaran gedung pencakar langit di seberang mereka, menoleh.
“Aku masih bisa handle.”
Jawaban itu lantas membuat Pamela tergelak. Bodoh memang dia menawarkan bantuan kepada Segara. Dia lupa, bahwa ada satu prinsip hidup yang selalu lelaki itu pegang teguh sedari dulu; selagi bisa dikerjakan sendiri, jangan menyusahkan orang lain.
“Tapi, Mel,”
“Kenapa?”
Hening beberapa saat. Pamela dan Segara saling pandang, sibuk menerka maksud dari tatapan masing-masing. Kontak mata mereka baru terputus saat Segara tiba-tiba mengalihkan pandangannya setelah menghela napas.
Dahi Pamela berkerut, heran sebab tidak biasanya Segara bersikap seperti ini. Segara yang dia kenal selalu mampu mengatakan apapun yang ada di kepalanya secara tegas, tanpa ragu. Tapi kali ini, laki-laki itu terlihat banyak berpikir.
“Heh! Kenapa?” tagih Pamela sambil memukul pelan bahu Segara.
“Nothing “ Segara masih menatap lurus ke depan.
“Nggak jelas banget, deh.” Pamela mendumal. Diliriknya jam di pergelangan tangan kirinya, kemudian gantian dia yang menghela napas. Sudah jam 1 kurang 2 menit. Kenapa waktu terasa cepat sekali berlalu saat dirinya sedang bersama dengan Segara? Seolah semesta memang tidak mengijinkannya untuk berlama-lama menikmati momen berdua dengan laki-laki yang sudah mengisi hatinya sejak bertahun-tahun lamanya itu.
“Aku harus balik kerja. See you, salam buat Mikha.” Pamela mematikan rokoknya yang sisa setengah, membiarkan puntungnya di atas beton pembatas lalu menepuk punggung Segara pelan sebelum berjalan menjauhi laki-laki itu.
Belum sampai kakinya di depan pintu, Segara tiba-tiba memanggil namanya, membuatnya membalikkan badan cepat.
“Jangan keseringan ngerokok, nggak sehat.” Kata laki-laki itu.
Pamela hanya tersenyum sekilas. Ketika ia berbalik untuk melanjutkan langkah, senyumnya seketika pudar. Ada pedih yang merayapi dadanya, membuatnya sesak seakan asap rokok yang dia hisap bermenit-menit lalu baru berefek terhadap paru-parunya sekarang.
Seharusnya dia senang Segara memperingatinya tentang bahaya merokok. Tapi mengingat fakta bahwa lelaki itu peduli padanya hanya sebatas karena mereka berteman, membuat hatinya terasa ngilu. Cinta tak terbalasnya benar-benar menyiksa, dan Pamela masih tidak memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya.
Bodoh! Pamela mengutuk dirinya sendiri—untuk apapun yang sudah dan belum sempat dia lakukan. Langkahnya semakin lebar, menuruni tangga secara terburu-buru sambil berusaha mengusir segala hal yang mengganggu pikirannya.
...****************...
Pukul setengah sembilan malam. Segara masih sibuk dengan berkas-berkas di atas meja. Beberapa menit yang lalu, asisten rumah tangga yang dia titipi untuk menjaga Mikha menelepon, mengabarkan bahwa bocah itu baru saja tertidur. Ada perasaan tidak enak saat Segara lagi-lagi harus membiarkan putri semata wayangnya itu tidur tanpa dirinya. Padahal selama 4 tahun, Segara tidak pernah absen dalam memantau setiap tumbuh kembang sang putri.
Setelah membubuhkan tanda tangan di berkas kontrak terakhir, Segara menutup map berwarna hitam itu dan mulai merapikan satu persatu berkas yang berserakan di atas meja. Gerakan tangannya kemudian terhenti sewaktu matanya tidak sengaja melihat selembar foto yang terselip di antara berkas-berkas yang sedang dia bereskan.
Itu adalah foto mendiang istrinya—Karenina Seruni Halim—yang telah tewas dalam sebuah kecelakaan beruntun 4 tahun lalu, ketika usia Mikha baru menginjak 2 bulan.
Kehilangan seseorang yang disayang untuk selamanya memang selalu meninggalkan bekas luka yang sulit untuk disembuhkan. Begitu juga dengan Segara. Kehilangan Karenina membuatnya seperti kehilangan separuh jiwa. Ia mungkin sudah bertindak nekat dengan menyusul sang istri tercinta kalau saja pikiran warasnya tidak membawanya kembali untuk mengingat nasib Mikha.
“Mikha masih terlalu kecil untuk menjadi yatim piatu. Kamu boleh jadi kehilangan seorang istri, tapi Mikha telah kehilangan seorang ibu yang bahkan wajahnya belum sempat diabadikan dalam memori. Jangan menambah luka baru untuk Mikha.”
Itu adalah kalimat yang Segara ucapkan kepada dirinya sendiri saat sedang terpuruk. Kalimat yang pertama kali ia ucapkan saat hampir saja menghabisi nyawanya sendiri dengan melompat dari jembatan penyeberangan yang sepi.
Waktu itu jam 2 dini hari. Ia menyelinap keluar dari rumah dengan dalih ingin joging dan menitipkan Mikha kepada ibunya, Margaretha. Namun entah bagaimana, dia malah berakhir di atas jembatan penyeberangan dengan isi kepala yang ribut menyuruhnya untuk segera melompat.
Nasib baik pikiran warasnya masih bekerja. Kalau tidak, entah bagaimana nasib Mikha sekarang.
“Kamu bahagia di sana, Sayang?” tanyanya pada sosok Karenina yang tampak tersenyum manis di dalam foto. Mata kecilnya tampak ikut tersenyum saat sudut-sudut bibirnya terangkat ke atas. Cantik. Entah apa ada padanan kata yang lebih tepar untuk menggambarkan sosok Karenina selain kata cantik.
“Mikha tumbuh jadi anak yang cantik dan cerdas. Minggu lalu, dua mulai merengek untuk dibelikan sepeda, tapi aku nggak kasih karena khawatir dia akan jatuh sewaktu main tanpa pengawasan aku.” Ia terkekeh. Mengingat wajah lucu Mikha yang ngambek seharian karena dia menolak membelikan bocah itu sepeda roda 4.
“Dia anteng, tapi kalau udah ngambek, ampun deh ... Sebelas duabelas banget sama kamu, susah dibujuknya.” Adunya sambil terkekeh pelan. Segara selalu berusaha bersikap tegar saat mengajak Karenina mengobrol. Tapi pada akhirnya, senyum palsu itu tetap luntur juga. Ia tidak bisa berbohong bahwa luka atas kepergian Karenina masih begitu basah—dan dia butuh lebih banyak waktu untuk merawatnya.
“Maafin aku, Ren. Maaf karena aku gagal lindungin kamu.” Ia melirih, memegangi dadanya yang kembali terasa sesak.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Zenun
Ada duda anak satu nih
2023-04-11
1
Dewi Payang
Mmm, rupanya Pamela punya rasa terpendam😊
2023-03-02
5
Dewi Payang
ternyata si bos udah punya putri.
2023-03-02
1