Segara sampai di rumah pukul 10 lebih 15. Setelah membersihkan diri, ia bergegas menuju kamar Mikha yang ada di sebelah kamarnya lewat connecting door yang menghubungkan kamarnya dengan kamar sang putri.
Hati Segara yang semula dipenuhi gemuruh perlahan menghangat kala melihat putrinya tengah tertidur nyenyak sambil memeluk bonek beruang kesayangan.
Wajah polos Mikha saat tidur mengingatkan Segara kepada sosok Karenina berkali-kali lipat lebih banyak ketimbang sebelumnya. Alis rapi, hidung kecil dan juga bulu mata lentik bocah itu benar-benar mirip dengan sang ibu. Seolah Tuhan sengaja menghadirkan sosok Karenina dalam bentuk lain, karena Dia telah menuliskan takdir bagi perempuan itu untuk pergi lebih cepat dari hidupnya.
Segara berjalan mendekat, lalu duduk di tepi ranjang kecil milik Mikha kemudian membelai lembut pipi gembil sang anak. Beberapa bulan ini, dia terlalu sibuk mengurus perusahaan sampai-sampai tidak sadar bahwa rambut lurus Mikha sudah semakin panjang. Padahal dulu, dia sendiri yang merawat rambut halus bocah itu. Mulai dari mengeramasi, mengeringkan, menyisir bahkan kadang-kadang merapikan ujung-ujungnya dengan tangannya sendiri.
Tidak pernah sekalipun dia meminta bantuan kepada orang lain untuk mengurus Mikha. Ia rela bergadang setiap malam demi memastikan Mikha tidur dengan nyenyak dan tidak rewel. Tapi dengan keadaan yang sekarang, dia mau tak mau harus mempercayakan Mikha pada asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengannya sejak awal dia dan Karenina menikah.
Asisten rumah tangga itu dia pekerjakan hanya dari hari Senin sampai Jumat, dari jam 9 pagi sampai malam ketika dia belum pulang dari kantor. Tidak menginap, karena Segara masih belum bisa membiarkan siapapun tinggal di atas yang sama dengan dirinya sejak kepergian Karenina.
“Mikha, Daddy kangen sama kamu.” Segara membawa tangan kecil Mikha ke depan wajahnya, mengecupnya sekilas lalu menggenggamnya erat.
“Doain Opa biar cepat sembuh, ya. Biar Daddy bisa punya banyak waktu sama kamu kayak dulu lagi.”
Setelah mengatakannya, Segara membaringkan tubuh di sebelah Mikha. Walaupun kasur milik putrinya berukuran lebih kecil dari ukuran tubuhnya sehingga membuatnya harus meringkuk, Segara sama sekali tidak keberatan. Dia hanya ingin tidur sambil memeluk Mikha, mendekapnya erat karena ia masih tidak tahu, peristiwa apa lagi yang mungkin akan membuatnya semakin kehilangan waktu bersama dengan putrinya itu.
“I love you, Dear. Daddy sayang kamu.”
...----------------...
Dering nyaring dari ponsel yang teronggok tak berdaya di lantai membuat Segara mengerjapkan matanya pelan. Sebelum kesadarannya terkumpul, tangannya terulur meraih ponsel miliknya kemudian langsung menempelkannya ke telinga.
“Halo, Segara. Udah bangun belum?” sebuah suara menyapa dari seberang.
Mendengar suara lembut mamanya yang khas, Segara sontak membuka matanya lebar. Ia langsung mendudukkan dirinya. Keningnya berkerut samar saat melihat Mikha sudah tidak ada di ranjangnya. Entah ke mana perginya bocah itu, karena biasanya Mikha akan sangat ribut membangunkan dirinya jika bocah itu bangun lebih dulu.
“Baru bangun, Ma. Gimana?” tanyanya. Ia bergerak turun dari ranjang kecil Mikha, melewati connecting door masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Saat itulah dia menemukan Mikha tengah duduk di sofa dekat ranjang, menonton televisi dengan sekaleng biskuit pangkuan. Senyum Segara terbit kala ia berjalan pelan menghampiri Mikha sembari menunggu Mama menjawab pertanyaannya.
“Kamu bisa ke rumah sakit nggak hari ini? Ada yang dokter mau sampaikan.”
Tangan Segara yang awalnya terangkat untuk membelai rambut Mikha otomatis terhenti di udara. Sebelah alisnya terangkat, mencoba memahami apa yang barusan ibunya sampaikan.
“Papa oke, kan? Terkahir kali dokter kasih laporan, kondisi Papa berangsur membaik, kok.” Kata segara. Cepat-cepat menampik pikiran buruk yang hinggap di kepala.
“Papa oke. Cuma ada beberapa hal yang mau dokter sampaikan terkait penyebab menurunnya kesehatan Papa.”
“Jangan bilang....” Segara menggantungkan kalimatnya. Kalau dugaannya benar, maka dia memang harus segera mengambil tindakan. Kebenaran di balik kasus kecelakaan Karenina saja belum terungkap sampai sekarang. Jadi, kalau ternyata sakitnya Papa berasal dari seseorang yang sama, maka Segara harus segera menemukan orang itu dan mengirimnya ke neraka.
“Pokoknya kamu datang aja.” Final Mama bahkan sebelum Segara tersadar dari lamunannya.
Telepon ditutup secara sepihak. Segara menghela napas panjang. Saat dia menoleh ke arah Mikha, hatinya mencelos melihat bocah itu tengah menatapnya dengan tatapan yang seolah berkata”Daddy, are you okay?”
Perkara rumah sakit memang bukan hal besar. Toh, ini hari Sabtu dan dia tidak harus pergi ke kantor. Masalahnya adalah dia tidak mungkin membawa serta Mikha. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk anak-anak seperti Mikha karena mereka lebih rentan tertular berbagai macam penyakit. Sedangkan untuk memanggil asisten rumah tangganya juga tidak mungkin karena perempuan itu pasti juga sibuk mengurusi suami dan anaknya.
Lama Segara terdiam. Berpikir solusi apa yang paling baik untuk dia ambil saat ini. Sampai akhirnya satu nama muncul di kepala. Sejenak dia ragu. Haruskan dia benar-benar minta tolong padanya?
“Daddy, why?” Mikha mengguncang lengannya pelan, membuatnya menoleh.
“Oh, Daddy fine. Cuma ... Daddy harus pergi ke rumah sakit untuk jenguk Opa.” Kesedihan tersirat jelas dari nada suara Segara. Bagaimana tidak? Dia sudah membayangkan akan menghabiskan weekend dengan Mikha. Menemani bocah itu bermain di halaman belakang, menonton serial kartun favorit anak itu lalu berjalan-jalan santai di taman kompleks perumahan mereka supaya bocah itu tetap bisa bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Tapi lagi-lagi, angannya pupus karena harus mengurus persoalan Papa.
Bukannya Segara keberatan harus mengurus soal Papa. Dia hanya ... bagaimana menjelaskannya? Dia hanya merasa waktunya terlalu banyak terkuras untuk hal lain sehingga tidak banyak yang tersisa untuk dihabiskan dengan Mikha. Bukankah wajar jika dia merasa sedih?
“Mikha ikut.”
“No, Baby. Hospital isn’t a good place for kids.” Segara berusaha memberikan pengertian.
“Terus, Mikha di rumah sama siapa?” bibir bocah itu manyun, membuat Segara gemas.
“Wait a minute. Lemme think about this.”
Mikha cuma bisa diam menunggu ayahnya selesai berpikir. Lalu saat dia melihat ayahnya melirik ke arahnya, Mikha tahu ayahnya sudah berhasil menemukan solusi dari permasalahan mereka.
“Mikha, kamu keberatan nggak kalau Daddy minta tolong sama Aunty Pamela buat jaga kamu sebentar selama Daddy di rumah sakit?”
tanya Segara. Tahu betul kalau Mikha sangat selektif dalam hal memilih orang-orang yang boleh dekat dengannya. Pamela bukannya tidak dekat dengan Mikha. Hanya saja mereka berdua juga tidak terlalu akrab. Kalau bertemu juga hanya sebatas saling menyapa saja. Seolah ada dinding pembatas di antara keduanya yang tak kasat mata.
Segara melihat bagaimana Mikha mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya yang mungil di dagu. Matanya memandang ke atas, terlihat berpikir keras. Ia hampir saja tergelak melihat gaya Mikha yang seperti orang dewasa. Namun ia tahan karena perlu mendengar jawaban dari bocah itu lebih dulu.
"It's ok. Aunty Pamela bukan orang jahat." kata Mikha pada akhirnya.
Segara tersenyum. Entah apa yang menjadi standar bagi bocah itu untuk menentukan apakah seseorang itu baik atau jahat. Yang jelas, Segara memilih untuk percaya pada naluri bocah itu. Bahwa Pamela bukan orang jahat.
"Ok, I'll ask her now."
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Kartika Maharani
gak yakin kalo pamela baik
2023-04-20
1
Zenun
coba kita lihat, Pamela jahat apa nggak
2023-04-11
2
Dewi Payang
Semoga Pamela beneran baik😊👍
2023-03-10
4