“Maafin aku, Ren. Maaf karena aku gagal lindungin kamu.”
“Tapi, Ren, aku janji akan cari tahu penyebab sebenarnya dari kecelakaan yang menimpa kamu. Aku tahu ada yang nggak beres, Ren.” Senyum yang redup, kini semakin pudar kala Segara mengingat kembali perihal kecelakaan yang merenggut nyawa Karenina—yang menurutnya janggal.
Polisi sudah menutup kasusnya dan menetapkan sopir mereka yang saat itu berusia akhir 40-an sebagai tersangka. Katanya, lelaki itu terbukti mengemudi dalam keadaan mengantuk sehingga menyebabkan kendaraan mereka oleng dan menabrak beberapa kendaraan lain. Empat orang meninggal dalam tragedi itu, termasuk Karenina dan sang sopir, serta dua orang penumpang mobil yang bertabrakan langsung dengan mobil mereka. Sementara 3 orang pengendara motor mengalami luka-luka berat dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Berhubung tersangka utama yang telah ditetapkan oleh polisi ikut tewas dalam kejadian naas tersebut, kasusnya otomatis ditutup begitu saja.
Tapi Segara tidak lantas percaya begitu saja. Dia yakin kecelakaan itu tidak terjadi semata-mata hanya karena sopir mereka yang mengantuk. Segara curiga ada seseorang yang telah merencanakan semuanya.
Bukan tanpa alasan mengapa Segara berpikir demikian. Sebab beberapa hari sebelum peristiwa naas itu terjadi, ada beberapa kejadian aneh yang juga nyaris merenggut nyawa anggota keluarganya yang lain. Salah satunya adalah peristiwa kebakaran di rumahnya yang hampir membuat Karenina dan asisten rumah tangga mereka tewas terpanggang. Setelah diselidiki, kebakaran itu ternyata disebabkan oleh konsleting listrik.
Beberapa kabel ditemukan mengelupas, padahal sehari sebelumnya mereka baru saja melakuka pemeriksaan terhadap sambungan listrik dan gas. Beruntung pertolongan datang tepat waktu sehingga nyawa Karenina bisa diselamatkan.
Meski sudah tahu ada yang tidak beres, Segara tidak lantas bisa dengan mudah mencari tahu siapa dalang di balik kejadian ini. Dari kejadian kebakaran itu, misalnya. Dia disuguhkan seorang tersangka yang sama sekali tidak masuk di logikanya.
Tukang kebun yang biasa Karenina panggil untuk merawat taman kecil miliknya di halaman belakang, tertangkap kamera CCTV sedang mengutak-atik beberapa kabel di rumah mereka. Kepada polisi, lelaki berusia pertengahan 30-an itu mengaku hanya ingin balas dendam pada Karenina karena sempat bersikap kasar kepadanya.
Padahal, Segara yakin seluruh dunia juga tahu kalau Karenina adalah manusia paling lemah lembut di muka bumi ini. Terlebih lagi Segara sangat mengenal istrinya itu. Bagaimana mungkin dia percaya istrinya bisa berbuat kasar kepada orang lain hingga menimbulkan dendam?
Tapi lagi-lagi Segara harus menyimpan kecurigaan itu seorang diri. Perusahaan yang waktu itu masih dipimpin oleh ayahnya masih dalam keadaan sibuk, jadi dia tidak tega untuk menambah beban pikiran ayahnya dengan berbagai spekulasi yang belum terbukti benar.
Akhirnya, selama 4 tahun, Segara bergerak sendirian untuk mencari tahu tentang kebenaran di balik kematian Karenina juga kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya.
“Siapapun itu yang udah bikin kamu menjadi seperti ini, aku janji akan kirim dia ke neraka, Ren. Aku janji.” Segara merasa dadanya semakin sesak. Seperti ada bongkahan batu besar yang menyumbat saluran pernapasannya sehingga membuat pasokan oksigen tidak dapat mengalir lancar ke paru-parunya.
Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihannya, Segara pun bangkit. Foto Karenina dia masukkan ke dalam laci, kemudian dia menyambar jas yang tersampir di bahu sofa ruang kerjanya lantas bergegas keluar setelah mematikan semua lampu.
Segara melangkah cepat menuju lift, tepat saat lift berhenti di lantainya dan pintunya terbuka. Langkahnya terhenti sebentar saat melihat Pamela ada di dalam lift itu sendirian. Diam-diam, dia bertanya kepada dirinya sendiri. Mengapa perempuan itu masih ada di kantor jam segini? Dan... kenapa dia datang dari lantai atas, padahal ruangan perempuan itu ada di bawah ruang kerjanya?
“Mau masuk, nggak?” suara Pamela membuyarkan lamunannya. Ia segera berlari memasuki lift sebelum pintu besi itu kembali tertutup. Tidak enak juga membiarkan Pamela terlalu lama menunggu sambil menahan agar pintu lift tidak tertutup.
Hanya ada keheningan selama beberapa saat setelah Segara berhasil masuk dan pintu lift kembali tertutup. Baik Segara maupun Pamela tampaknya masih enggan untuk membuka obrolan lebih dulu.
Sampai akhirnya, pintu lift terbuka di lantai 6, siap untuk mengangkut beberapa orang lagi menuju basement. Seorang karyawan perempuan masuk ke dalam lift, berdiri di tengah-tengah di depan Segara dan Pamela yang memilih berdiri agak di belakang. Dari kartu pengenal yang mengalung di lehernya, mereka tahu perempuan itu dari bagian logistik. Perempuan itu tampak cuek saja saat memasuki lift, hanya sibuk memainkan ponsel sehingga mungkin tidak melihat siapa yang ada di dalam lift bersamanya.
Itu sebuah keberuntungan, pikir Segara. Sebab dia masih terlalu canggung bila harus berhadapan dengan para karyawan yang terpaksa tersenyum manis di depannya, membungkuk sopan padahal Segara tahu kalau di belakangnya, mereka sering membicarakan tentang dirinya. Entah itu hal baik ataupun buruk.
Segara sama sekali tidak keberatan akan hal itu. Menjadi objek gosip orang lain bukanlah sesuatu yang bisa dia kendalikan. Selama ia tidak mendengar dengan telinganya sendiri tentang apa yang orang-orang itu bicarakan tentang dirinya, maka Segara tidak akan ambil pusing.
Pintu lift kembali terbuka. Kali ini di lantai 1. Si karyawan perempuan yang masih sibuk memainkan ponsel berjalan keluar. Menyisakan keheningan antara Pamela dan Segara berlanjut sampai lift membawa keduanya turun ke basement.
Saat pintu lift terbuka di basement, Pamela dan Segara berjalan secara bersamaan sehingga membuat bahu mereka saling berbenturan. Selama beberapa detik, mereka terdiam dan saling pandang. Lalu tawa mereka pecah begitu saja.
“Aku duluan!” Pamela memukul pelan bahu Segara agar menyingkir dari pintu supaya dia bisa keluar lebih dulu.
Tapi Segara tidak mau kalah. Lelaki itu malah menarik lengan Pamela sambil berkata, “Nggak, aku dulu!”
Tubuh kurus Pamela tergeser mundur dengan mudah karena kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan Segara. Dan dengan tawa yang menyebalkan, Segara berjala keluar dari lift dengan langkah mundur. Seolah-olah sengaja ingin menampakkan wajah menyebalkannya kepada Pamela.
“Apaan banget, cowok kok nggak mau ngalah!” Pamela kesal. Ia berjalan keluar dari lift dengan langkah yang mengentak-entak. Tangannya terlipat di depan dada, bibirnya mencebik—dan hal itu malah membuat tawa Segara semakin menjadi-jadi. Gelak tawa itu menggelar, memenuhi seluruh penjuru basement yang sepi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana.
“Katanya kesetaraan gender, kok masih menuntut cowok untuk mengalah sama cewek?” Segara mencibir. Mereka kini berjalan beriringan. Suara hak sepatu yang Pamela kenakan seolah menjadi musik latar dari obrolan santai yang rasanya sudah lama tidak terjadi di antara dua teman masa kecil itu.
“Hei, itu namanya bukan menuntut. Itu disebut manner, Segara. Manner!” Pamela menekankan setiap kata yang dia ucapkan, membuat Segara kembali tergelak.
“Iya, iya. I’m so sorry.”
“Cih! Minta maaf model apa sambil nyengir begitu?” Pamela memukul keras bahu Segara, membuat si lelaki mengaduh.
“Kamu tuh makannya apa sih, Mel? Badan kamu kecil, tapi kali mukul sakit banget.” Segara mengusap bahunya yang terasa panas karena pukulan. Tapi si pelaku malah mengendikkan bahu, berjalan lebih cepat menuju Honda Civic hitam miliknya yang terparkir di sebelah Pajero milik Segara.
Segara tidak berusaha mengejar. Dia juga tidak benar-benar kesal karena Pamela memukul bahunya. Malahan, saat perempuan itu melongokkan kepala dari jendela mobil yang dibuka sebelum melajukan kendaraannya, Segara tersenyum.
“Aku duluan. Bye!” Pamela melambaikan tangan, lalu mobilnya melaju meninggalkan basement. Menyisakan Segara yang terdiam cukup lama di samping mobilnya dengan pikiran yang kembali melayang-layang. Perlahan, senyumnya kembali pudar.
Setelah menghabiskan waktu bermenit-menit dengan menyelami pikirannya sendiri, Segara cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Dia ingin segera sampai di rumah untuk tidur bersama Mikha. Karena sungguh, dia merindukan anak itu.
Segara mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa selepas kepergiannya, seseorang muncul dari balik badan mobil dengan senyum sinis yang terpatri di bibirnya. Ia telah melihat dan mendengar semua percakapan yang terjadi antara Segara dan Pamela, membuatnya merasa memiliki sesuatu untuk dilakukan dengan itu.
“Segara yang katanya misterius itu rupanya berteman dengan salah satu karyawannya? Terlebih orang itu adalah Pamela, si Queen of Ice? Oh, what a big news!” seru seseorang itu sebelum masuk ke dalam mobil dengan senyum miring yang tampak mengerikan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Zenun
sepertinya... orang itu sejujurnya ngincer segara. Tapi malah kena Karenina. Iya nggak sih?hehe
2023-04-11
1
neng ade
Siapa si penguntit itu .. Sagara dan Pamela sama2 sosok yg misterius .. mungkinkah Pamela yg melakukan pada istri nya Sagara .. karena mereka bersahabat dari kecil tapi Sagara tak menyadari sikap Pamela yg mencintainya
2023-04-03
1
Dewi Payang
ini nih si jahatnya
2023-03-04
1