“Udah dua minggu, tapi namanya masih nampang di mana-mana.” Ucap seorang karyawan perempuan yang matanya fokus menatap layar televisi di dinding kantin perusahaan. Di sana, tampak sosok pemimpin perusahaan mereka yang baru, Segara Adhitama, tengah menghadiri acara peresmian gedung pemerintah kota yang pembangunannya di-handle oleh perusahaan mereka, Future Plan.
Future Plan merupakan salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta yang sering berkolaborasi dengan pemerintah dalam berbagai proyek pembangunan. Perusahaan yang telah berdiri selama 13 tahun itu mukanya dipimpin oleh Damian Adhitama. Namun, semenjak beberapa bulan yang lalu, kondisi kesehatan Damian menurun drastis sehingga Segara sebagai anak semata wayang akhirnya ditunjuk untuk menggantikan posisinya sementara waktu—sampai kondisinya membaik.
Paras Segara yang tampan serta keterampilannya dalam mengatasi berbagai permasalahan di perusahaan membuat namanya nampang di berbagai media. Banyak orang yang membicarakan tentang dirinya. Merasa kagum karena di usianya yang masih terbilang muda—27 tahun—Segara telah mampu memimpin perusahaan besar yang mempekerjakan ratusan karyawan. Apalagi, diketahui bahwa sebelumnya Segara belum pernah ikut campur dalam urusan perusahaan. Selama ini, yang publik tahu hanya sebatas Damian memiliki seorang putra yang tidak ingin dipublikasikan.
Berkat namanya yang nampang di mana-mana, orang-orang juga mulai penasaran dengan kehidupan pribadinya. Mereka sibuk mencari tahu, mulai dari background pendidikan sampai ke hal-hal yang lebih personal seperti apakah lelaki itu sudah memiliki kekasih—atau bahkan sudah menikah.
Tapi, seperti sudah terbiasa untuk tidak menunjukkan kehidupan pribadinya kepada khalayak umum, tidak ada satu informasi pun yang akhirnya berhasil diungkap ke publik. Segara benar-benar menjaga agar privasinya tetap aman. Hal itu kemudian membuatnya mendapatkan julukan baru; si pemimpin perusahaan yang tampan dan misterius.
“Segara Adhitama, si pemimpin perusahaan yang tampan dan misterius. Cih! Ada-ada aja orang berita.” Prawira, seorang karyawan lain ikut buka suara.
“Tapi Pak Segara emang misterius banget nggak, sih? Masa iya, nggak ada satupun informasi soal dia yang bisa diungkap ke publik?” Anesti karyawan perempuan yang tadi pertama kali membuka obrolan, kembali bersuara. Ditatapnya satu persatu rekan kerja satu divisi yang ikut bergabung di meja tempatnya makan.
Meja bundar itu berisi 5 orang, 3 perempuan dan 2 laki-laki. Pandangan Anesti kemudian berhenti pada seorang karyawan perempuan yang terlihat paling tidak peduli dengan obrolan mereka, sibuk menyantap makanan sambjl memainkan ponsel.
“Menurut gue, kita nggak berhak tahu juga sih soal kehidupan pribadinya Pak Segara. Kita kan di sini cuma kerja, dan Pak Segara konteksnya juga kerja, bukan mau show off tentang kehidupan pribadinya.” Komentar seorang karyawan pria yang duduk di sebelah Prawira. Doni, namanya.
“Tapi kalau terlalu tertutup juga aneh nggak, sih? Kayak ada yang sengaja ditutup-tutupin. Gimana kalau ternyata dia itu aslinya adalah psikopat gila yang suka bunuh-bunuh orang, terus bagian tubuh tertentu dari orang-orang itu dia simpan sebagai suvenir?” komentar karyawan perempuan lain bernama Selly. Ia tampak bergidik ngeri, mengusap lengannya yang terbalut blus lengan panjang dengan gaya yang dramatis.
“Lo kebanyakan nonton drama!” Prawira mencerca, lantas menggeleng tak habis pikir dengan pemikiran aneh rekan kerjanya itu.
“Ya, kan, siapa tahu!” Selly sewot sendiri. Jelas saja dia tidak terima kalau opininya ditampik begitu saja oleh Prawira.
“Kalau menurut lo, gimana, Mel?” Anesti tiba-tiba melemparkan pertanyaan itu kepada satu-satunya orang yang tidak berkomentar apapun sejak tadi.
Yang ditanya mendongakkan kepala, menatap Anesti sebentar kemudian kembali menunduk menatap ponselnya. “Mau dia psikopat atau bukan, nggak ada urusannya sama kita. Lagian, bener apa kata Doni. Kita di sini kerja cari duit, bukan buat urusin kehidupan pribadi orang lain.” Jawabnya acuh tak acuh.
Anesti menghela napas. Bukan ini jawaban yang dia harapkan. Tapi mengingat sifat tertutup Pamela yang tidak jauh berbeda dengan Segara yang sedang mereka gunjingkan saat ini, Anesti berusaha untuk maklum.
“Udah deh, mendingan buruan habisin makanan kalian. Sepuluh menit lagi jam makan siang kita habis.” Doni menyeletuk, memutuskan untuk menjadi penengah agar perdebatan tentang seperti apa sosok Segara yang sebenarnya tidak melebar ke mana-mana.
“Gue duluan.”
Pamela tahu-tahu sudah berdiri, membuatnya dihadiahi tatapan heran dari keempat rekan kerjanya. Makanannya belum habis, tapi dia sudah tidak tahan berada di situasi semacam ini. Bukan karena Pamela tidak suka mendengar rekan kerjanya yang lain bergosip, hanya saja objek yang sedang mereka bicarakan sekarang ini memiliki tempat tersendiri di hatinya, dan mendengar rekannya bergunjing tentang lelaki itu membuatnya tidak nyaman.
Selepas pergi meninggalkan kantin, Pamela tidak langsung kembali ke ruang kerjanya. Dia malah melangkahkan kaki menuju tangga darurat untuk naik rooftop. Langkahnya terhenti di depan pintu keluar menuju rooftop. Pintu berwarna hijau tua itu sedikit terbuka, mengindikasikan bahwa seseorang sudah lebih dulu keluar dari sana.
“Ck! Keduluan.” Pamela berdecak sebal. Bertanya-tanya siapa gerangan yang datang ke rooftop tengah hari begini. Padahal biasanya tidak akan ada yang mau mendatangi tempat ini selain dirinya. Selain panas, di sini juga tidak ada pemandangan apapun yang bisa dinikmati. Nongkrong di ruang santai lantai 5 jelas lebih menyenangkan ketimbang di sini.
Tidak mau ambil pusing tentang siapa yang ada di luar sana, Pamela tetap melanjutkan langkah. Namun keherannya justru semakin bertambah kala matanya menemukan sosok yang tak terduga berdiri membelakanginya. Laki-laki yang sedari tadi menjadi bahan gosip rekan kerjanya itu ada di sana.
Segara berdiri sambil menopangkan sebelah lengan ke beton pembatas yang setinggi perut orang dewasa, sedangkan satu lengannya lagi berdiam di samping tubuh. Ada sebatang rokok yang belum dinyalakan di sela-sela jemari panjang lelaki itu.
“Ngapain di sini?” tanya Pamela dari jarak tiga langkah di belakang Segara.
Laki-laki itu menoleh, sama sekali tidak terlihat terkejut akan kehadiran Pamela yang diam-diam mengendap seperti maling. “Kamu sendiri ngapain di sini?” laki-laki itu balik bertanya. Diam-diam, dia juga sibuk meneliti setiap inci wajah lelah Pamela. Seakan sedang berusaha mencari sesuatu di sana—sebuah pengakuan.
“Mau ngerokok.” Pamela melanjutkan langkah, menghabiskan jarak yang semula terbentang hingga kini dia berdiri tepat di samping Segara. Lalu, dia mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam rok sepan pendek di bawah lutut, menarik sebatang kemudian segera memantik dan mengisap lintingan tembakau itu kuat-kuat.
Lama sekali asap yang Pamela hirup tak kunjung diembuskan, membuat Segara menatap perempuan itu keheranan. Apakah tidak terasa sesak? Atau ... perempuan itu memang sengaja ingin menelan semua asap itu sampai habis tak bersisa? Tapi untuk apa? Kenapa harus menimbun asap-asap itu di dalam dada, kalau dengan mengeluarkannya bisa sekaligus membantu mengurai beban berat yang selama ini ditanggung?
Bersambung
Segara memutuskan untuk tidak bertanya soal asap-asap yang ternyata betulan Pamela telan. Ia beralih menanyakan hal lain. “Ada smooking room di setiap ruang kerja masing-masing divisi, kenapa repot-repot datang ke sini?”
Tidak seperti Pamela yang sudah mengisap rokoknya berkali-kali, Segara masih enggan menyalakan miliknya. Benda berwarna putih itu hanya dia mainkan di sela-sela jari diputar-putar, sesekali disentil lalu kembali dia biarkan terdiam seperti semula.
“Kamu sendiri ngapain di sini? Di ruangan kamu yang private itu, kamu malah bisa leluasa mau ngapain aja.” Pamela melirik Segara sekilas. Nampak olehnya ekspresi datar di wajah Segara yang tidak berubah sama sekali.
“Pengap. Aku pusing lihat berkas-berkas di atas meja.” Segara terkekeh.
Pamela hanya mengangguk. Berusaha memaklumi keadaan Segara yang sekarang. Laki-laki itu awalnya hanya menghabiskan waktu untuk mengurus putri semata wayangnya, Mikhaela. Dan sekarang, tiba-tiba saja dia diberi amanah untuk mengurus perusahaan sebesar ini. Wajar jika lelaki itu merasa sedikit tertekan.
“Mikha apa kabar?” tanya Pamela lagi. Tiba-tiba dia teringat pada putri semata wayang Segara yang baru berusia 4 tahun itu. Sudah lama sekali rasanya dia tidak bertemu dengan bocah menggemaskan itu. Terakhir kali mungkin 2 bulan yang lalu, saat dia dan ayahnya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Damian.
“She’s good. Nggak pernah rewel walaupun aku sering pulang telat akhir-akhir ini.”
“Kamu butuh pengasuh buat Mikha, nggak?” tawar Pamela tiba-tiba, membuat Segara yang semula menatap lurus ke depan, pada jajaran gedung pencakar langit di seberang mereka, menoleh.
“Aku masih bisa handle.”
Jawaban itu lantas membuat Pamela tergelak. Bodoh memang dia menawarkan bantuan kepada Segara. Dia lupa, bahwa ada satu prinsip hidup yang selalu lelaki itu pegang teguh sedari dulu; selagi bisa dikerjakan sendiri, jangan menyusahkan orang lain.
“Tapi, Mel,”
“Kenapa?”
Hening beberapa saat. Pamela dan Segara saling pandang, sibuk menerka maksud dari tatapan masing-masing. Kontak mata mereka baru terputus saat Segara tiba-tiba mengalihkan pandangannya setelah menghela napas.
Dahi Pamela berkerut, heran sebab tidak biasanya Segara bersikap seperti ini. Segara yang dia kenal selalu mampu mengatakan apapun yang ada di kepalanya secara tegas, tanpa ragu. Tapi kali ini, laki-laki itu terlihat banyak berpikir.
“Heh! Kenapa?” tagih Pamela sambil memukul pelan bahu Segara.
“Nothing “ Segara masih menatap lurus ke depan.
“Nggak jelas banget, deh.” Pamela mendumal. Diliriknya jam di pergelangan tangan kirinya, kemudian gantian dia yang menghela napas. Sudah jam 1 kurang 2 menit. Kenapa waktu terasa cepat sekali berlalu saat dirinya sedang bersama dengan Segara? Seolah semesta memang tidak mengijinkannya untuk berlama-lama menikmati momen berdua dengan laki-laki yang sudah mengisi hatinya sejak bertahun-tahun lamanya itu.
“Aku harus balik kerja. See you, salam buat Mikha.” Pamela mematikan rokoknya yang sisa setengah, membiarkan puntungnya di atas beton pembatas lalu menepuk punggung Segara pelan sebelum berjalan menjauhi laki-laki itu.
Belum sampai kakinya di depan pintu, Segara tiba-tiba memanggil namanya, membuatnya membalikkan badan cepat.
“Jangan keseringan ngerokok, nggak sehat.” Kata laki-laki itu.
Pamela hanya tersenyum sekilas. Ketika ia berbalik untuk melanjutkan langkah, senyumnya seketika pudar. Ada pedih yang merayapi dadanya, membuatnya sesak seakan asap rokok yang dia hisap bermenit-menit lalu baru berefek terhadap paru-parunya sekarang.
Seharusnya dia senang Segara memperingatinya tentang bahaya merokok. Tapi mengingat fakta bahwa lelaki itu peduli padanya hanya sebatas karena mereka berteman, membuat hatinya terasa ngilu. Cinta tak terbalasnya benar-benar menyiksa, dan Pamela masih tidak memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya.
Bodoh! Pamela mengutuk dirinya sendiri—untuk apapun yang sudah dan belum sempat dia lakukan. Langkahnya semakin lebar, menuruni tangga secara terburu-buru sambil berusaha mengusir segala hal yang mengganggu pikirannya.
...****************...
Pukul setengah sembilan malam. Segara masih sibuk dengan berkas-berkas di atas meja. Beberapa menit yang lalu, asisten rumah tangga yang dia titipi untuk menjaga Mikha menelepon, mengabarkan bahwa bocah itu baru saja tertidur. Ada perasaan tidak enak saat Segara lagi-lagi harus membiarkan putri semata wayangnya itu tidur tanpa dirinya. Padahal selama 4 tahun, Segara tidak pernah absen dalam memantau setiap tumbuh kembang sang putri.
Setelah membubuhkan tanda tangan di berkas kontrak terakhir, Segara menutup map berwarna hitam itu dan mulai merapikan satu persatu berkas yang berserakan di atas meja. Gerakan tangannya kemudian terhenti sewaktu matanya tidak sengaja melihat selembar foto yang terselip di antara berkas-berkas yang sedang dia bereskan.
Itu adalah foto mendiang istrinya—Karenina Seruni Halim—yang telah tewas dalam sebuah kecelakaan beruntun 4 tahun lalu, ketika usia Mikha baru menginjak 2 bulan.
Kehilangan seseorang yang disayang untuk selamanya memang selalu meninggalkan bekas luka yang sulit untuk disembuhkan. Begitu juga dengan Segara. Kehilangan Karenina membuatnya seperti kehilangan separuh jiwa. Ia mungkin sudah bertindak nekat dengan menyusul sang istri tercinta kalau saja pikiran warasnya tidak membawanya kembali untuk mengingat nasib Mikha.
“Mikha masih terlalu kecil untuk menjadi yatim piatu. Kamu boleh jadi kehilangan seorang istri, tapi Mikha telah kehilangan seorang ibu yang bahkan wajahnya belum sempat diabadikan dalam memori. Jangan menambah luka baru untuk Mikha.”
Itu adalah kalimat yang Segara ucapkan kepada dirinya sendiri saat sedang terpuruk. Kalimat yang pertama kali ia ucapkan saat hampir saja menghabisi nyawanya sendiri dengan melompat dari jembatan penyeberangan yang sepi.
Waktu itu jam 2 dini hari. Ia menyelinap keluar dari rumah dengan dalih ingin joging dan menitipkan Mikha kepada ibunya, Margaretha. Namun entah bagaimana, dia malah berakhir di atas jembatan penyeberangan dengan isi kepala yang ribut menyuruhnya untuk segera melompat.
Nasib baik pikiran warasnya masih bekerja. Kalau tidak, entah bagaimana nasib Mikha sekarang.
“Kamu bahagia di sana, Sayang?” tanyanya pada sosok Karenina yang tampak tersenyum manis di dalam foto. Mata kecilnya tampak ikut tersenyum saat sudut-sudut bibirnya terangkat ke atas. Cantik. Entah apa ada padanan kata yang lebih tepar untuk menggambarkan sosok Karenina selain kata cantik.
“Mikha tumbuh jadi anak yang cantik dan cerdas. Minggu lalu, dua mulai merengek untuk dibelikan sepeda, tapi aku nggak kasih karena khawatir dia akan jatuh sewaktu main tanpa pengawasan aku.” Ia terkekeh. Mengingat wajah lucu Mikha yang ngambek seharian karena dia menolak membelikan bocah itu sepeda roda 4.
“Dia anteng, tapi kalau udah ngambek, ampun deh ... Sebelas duabelas banget sama kamu, susah dibujuknya.” Adunya sambil terkekeh pelan. Segara selalu berusaha bersikap tegar saat mengajak Karenina mengobrol. Tapi pada akhirnya, senyum palsu itu tetap luntur juga. Ia tidak bisa berbohong bahwa luka atas kepergian Karenina masih begitu basah—dan dia butuh lebih banyak waktu untuk merawatnya.
“Maafin aku, Ren. Maaf karena aku gagal lindungin kamu.” Ia melirih, memegangi dadanya yang kembali terasa sesak.
Bersambung
“Maafin aku, Ren. Maaf karena aku gagal lindungin kamu.”
“Tapi, Ren, aku janji akan cari tahu penyebab sebenarnya dari kecelakaan yang menimpa kamu. Aku tahu ada yang nggak beres, Ren.” Senyum yang redup, kini semakin pudar kala Segara mengingat kembali perihal kecelakaan yang merenggut nyawa Karenina—yang menurutnya janggal.
Polisi sudah menutup kasusnya dan menetapkan sopir mereka yang saat itu berusia akhir 40-an sebagai tersangka. Katanya, lelaki itu terbukti mengemudi dalam keadaan mengantuk sehingga menyebabkan kendaraan mereka oleng dan menabrak beberapa kendaraan lain. Empat orang meninggal dalam tragedi itu, termasuk Karenina dan sang sopir, serta dua orang penumpang mobil yang bertabrakan langsung dengan mobil mereka. Sementara 3 orang pengendara motor mengalami luka-luka berat dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Berhubung tersangka utama yang telah ditetapkan oleh polisi ikut tewas dalam kejadian naas tersebut, kasusnya otomatis ditutup begitu saja.
Tapi Segara tidak lantas percaya begitu saja. Dia yakin kecelakaan itu tidak terjadi semata-mata hanya karena sopir mereka yang mengantuk. Segara curiga ada seseorang yang telah merencanakan semuanya.
Bukan tanpa alasan mengapa Segara berpikir demikian. Sebab beberapa hari sebelum peristiwa naas itu terjadi, ada beberapa kejadian aneh yang juga nyaris merenggut nyawa anggota keluarganya yang lain. Salah satunya adalah peristiwa kebakaran di rumahnya yang hampir membuat Karenina dan asisten rumah tangga mereka tewas terpanggang. Setelah diselidiki, kebakaran itu ternyata disebabkan oleh konsleting listrik.
Beberapa kabel ditemukan mengelupas, padahal sehari sebelumnya mereka baru saja melakuka pemeriksaan terhadap sambungan listrik dan gas. Beruntung pertolongan datang tepat waktu sehingga nyawa Karenina bisa diselamatkan.
Meski sudah tahu ada yang tidak beres, Segara tidak lantas bisa dengan mudah mencari tahu siapa dalang di balik kejadian ini. Dari kejadian kebakaran itu, misalnya. Dia disuguhkan seorang tersangka yang sama sekali tidak masuk di logikanya.
Tukang kebun yang biasa Karenina panggil untuk merawat taman kecil miliknya di halaman belakang, tertangkap kamera CCTV sedang mengutak-atik beberapa kabel di rumah mereka. Kepada polisi, lelaki berusia pertengahan 30-an itu mengaku hanya ingin balas dendam pada Karenina karena sempat bersikap kasar kepadanya.
Padahal, Segara yakin seluruh dunia juga tahu kalau Karenina adalah manusia paling lemah lembut di muka bumi ini. Terlebih lagi Segara sangat mengenal istrinya itu. Bagaimana mungkin dia percaya istrinya bisa berbuat kasar kepada orang lain hingga menimbulkan dendam?
Tapi lagi-lagi Segara harus menyimpan kecurigaan itu seorang diri. Perusahaan yang waktu itu masih dipimpin oleh ayahnya masih dalam keadaan sibuk, jadi dia tidak tega untuk menambah beban pikiran ayahnya dengan berbagai spekulasi yang belum terbukti benar.
Akhirnya, selama 4 tahun, Segara bergerak sendirian untuk mencari tahu tentang kebenaran di balik kematian Karenina juga kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya.
“Siapapun itu yang udah bikin kamu menjadi seperti ini, aku janji akan kirim dia ke neraka, Ren. Aku janji.” Segara merasa dadanya semakin sesak. Seperti ada bongkahan batu besar yang menyumbat saluran pernapasannya sehingga membuat pasokan oksigen tidak dapat mengalir lancar ke paru-parunya.
Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihannya, Segara pun bangkit. Foto Karenina dia masukkan ke dalam laci, kemudian dia menyambar jas yang tersampir di bahu sofa ruang kerjanya lantas bergegas keluar setelah mematikan semua lampu.
Segara melangkah cepat menuju lift, tepat saat lift berhenti di lantainya dan pintunya terbuka. Langkahnya terhenti sebentar saat melihat Pamela ada di dalam lift itu sendirian. Diam-diam, dia bertanya kepada dirinya sendiri. Mengapa perempuan itu masih ada di kantor jam segini? Dan... kenapa dia datang dari lantai atas, padahal ruangan perempuan itu ada di bawah ruang kerjanya?
“Mau masuk, nggak?” suara Pamela membuyarkan lamunannya. Ia segera berlari memasuki lift sebelum pintu besi itu kembali tertutup. Tidak enak juga membiarkan Pamela terlalu lama menunggu sambil menahan agar pintu lift tidak tertutup.
Hanya ada keheningan selama beberapa saat setelah Segara berhasil masuk dan pintu lift kembali tertutup. Baik Segara maupun Pamela tampaknya masih enggan untuk membuka obrolan lebih dulu.
Sampai akhirnya, pintu lift terbuka di lantai 6, siap untuk mengangkut beberapa orang lagi menuju basement. Seorang karyawan perempuan masuk ke dalam lift, berdiri di tengah-tengah di depan Segara dan Pamela yang memilih berdiri agak di belakang. Dari kartu pengenal yang mengalung di lehernya, mereka tahu perempuan itu dari bagian logistik. Perempuan itu tampak cuek saja saat memasuki lift, hanya sibuk memainkan ponsel sehingga mungkin tidak melihat siapa yang ada di dalam lift bersamanya.
Itu sebuah keberuntungan, pikir Segara. Sebab dia masih terlalu canggung bila harus berhadapan dengan para karyawan yang terpaksa tersenyum manis di depannya, membungkuk sopan padahal Segara tahu kalau di belakangnya, mereka sering membicarakan tentang dirinya. Entah itu hal baik ataupun buruk.
Segara sama sekali tidak keberatan akan hal itu. Menjadi objek gosip orang lain bukanlah sesuatu yang bisa dia kendalikan. Selama ia tidak mendengar dengan telinganya sendiri tentang apa yang orang-orang itu bicarakan tentang dirinya, maka Segara tidak akan ambil pusing.
Pintu lift kembali terbuka. Kali ini di lantai 1. Si karyawan perempuan yang masih sibuk memainkan ponsel berjalan keluar. Menyisakan keheningan antara Pamela dan Segara berlanjut sampai lift membawa keduanya turun ke basement.
Saat pintu lift terbuka di basement, Pamela dan Segara berjalan secara bersamaan sehingga membuat bahu mereka saling berbenturan. Selama beberapa detik, mereka terdiam dan saling pandang. Lalu tawa mereka pecah begitu saja.
“Aku duluan!” Pamela memukul pelan bahu Segara agar menyingkir dari pintu supaya dia bisa keluar lebih dulu.
Tapi Segara tidak mau kalah. Lelaki itu malah menarik lengan Pamela sambil berkata, “Nggak, aku dulu!”
Tubuh kurus Pamela tergeser mundur dengan mudah karena kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan Segara. Dan dengan tawa yang menyebalkan, Segara berjala keluar dari lift dengan langkah mundur. Seolah-olah sengaja ingin menampakkan wajah menyebalkannya kepada Pamela.
“Apaan banget, cowok kok nggak mau ngalah!” Pamela kesal. Ia berjalan keluar dari lift dengan langkah yang mengentak-entak. Tangannya terlipat di depan dada, bibirnya mencebik—dan hal itu malah membuat tawa Segara semakin menjadi-jadi. Gelak tawa itu menggelar, memenuhi seluruh penjuru basement yang sepi. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana.
“Katanya kesetaraan gender, kok masih menuntut cowok untuk mengalah sama cewek?” Segara mencibir. Mereka kini berjalan beriringan. Suara hak sepatu yang Pamela kenakan seolah menjadi musik latar dari obrolan santai yang rasanya sudah lama tidak terjadi di antara dua teman masa kecil itu.
“Hei, itu namanya bukan menuntut. Itu disebut manner, Segara. Manner!” Pamela menekankan setiap kata yang dia ucapkan, membuat Segara kembali tergelak.
“Iya, iya. I’m so sorry.”
“Cih! Minta maaf model apa sambil nyengir begitu?” Pamela memukul keras bahu Segara, membuat si lelaki mengaduh.
“Kamu tuh makannya apa sih, Mel? Badan kamu kecil, tapi kali mukul sakit banget.” Segara mengusap bahunya yang terasa panas karena pukulan. Tapi si pelaku malah mengendikkan bahu, berjalan lebih cepat menuju Honda Civic hitam miliknya yang terparkir di sebelah Pajero milik Segara.
Segara tidak berusaha mengejar. Dia juga tidak benar-benar kesal karena Pamela memukul bahunya. Malahan, saat perempuan itu melongokkan kepala dari jendela mobil yang dibuka sebelum melajukan kendaraannya, Segara tersenyum.
“Aku duluan. Bye!” Pamela melambaikan tangan, lalu mobilnya melaju meninggalkan basement. Menyisakan Segara yang terdiam cukup lama di samping mobilnya dengan pikiran yang kembali melayang-layang. Perlahan, senyumnya kembali pudar.
Setelah menghabiskan waktu bermenit-menit dengan menyelami pikirannya sendiri, Segara cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Dia ingin segera sampai di rumah untuk tidur bersama Mikha. Karena sungguh, dia merindukan anak itu.
Segara mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa selepas kepergiannya, seseorang muncul dari balik badan mobil dengan senyum sinis yang terpatri di bibirnya. Ia telah melihat dan mendengar semua percakapan yang terjadi antara Segara dan Pamela, membuatnya merasa memiliki sesuatu untuk dilakukan dengan itu.
“Segara yang katanya misterius itu rupanya berteman dengan salah satu karyawannya? Terlebih orang itu adalah Pamela, si Queen of Ice? Oh, what a big news!” seru seseorang itu sebelum masuk ke dalam mobil dengan senyum miring yang tampak mengerikan.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!