Segenggam Cinta Untuk Uci

Segenggam Cinta Untuk Uci

bab 1

Bab 1

Uci mengusap peluh yang mengucur deras di dahinya. Gadis berusia 23 tahun itu nampak bersemangat mengais rezeki di kota yang memiliki udara panas begitu menyengat.

"Fiuh, akhirnya selesai juga!" gumam Uci mulai bersiap untuk pulang ke kontrakan kecil yang ia tinggali di Kota Jakarta.

"Uci, aku pulang duluan!" pamit teman-teman Uci pada gadis manis itu.

Uci melempar senyum sembari melambaikan tangan. Akhirnya satu hari yang berat telah kembali terlewati, meskipun meninggalkan penat.

Uci melangkahkan kakinya menuju rumah kecil yang ia tinggali di tanah perantauan. Gadis desa itu dengan nekadnya mengadu nasib di kota metropolitan, hingga akhirnya Uci berhasil mendapatkan pekerjaan tetap dan perlahan mulai menata hidupnya demi masa depan.

"Makan dulu apa mandi dulu, ya?" gumam Uci begitu gadis itu sampai di gubuk tempat peristirahatan.

Baru saja Uci hendak meletakkan tas, tiba-tiba saja ponsel kecil milik gadis itu berdering kencang. Uci sontak merogoh tasnya dan mengambil benda kecil berharga yang ia manfaatkan setiap harinya untuk menghubungi keluarga di kampung.

"Ibu?" gumam Uci sembari menatap layar ponselnya. Nampaknya gadis itu mendapatkan panggilan telepon dari sang ibu, Bu Sumi.

"Halo, Bu? Ada apa?"

"Halo, Uci? Kamu di mana sekarang? Kamu sudah pulang, kan?" tanya Bu Sumi pada sang putri.

"Sudah, Bu. Bicara saja kalau Ibu perlu sesuatu. Uci udah pulang ke kontrakan," sahut Uci.

Sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan oleh Bu Sumi pada Uci. Biasanya wanita paruh baya itu tidak pernah menghubungi Uci setelah mendapatkan uang kiriman dari putrinya itu.

"Jadi gini, tidak lama lagi kan kakak kamu akan menikah. Ibu butuh sepuluh juta secepatnya. Ibu harus segera menyiapkan keperluan Kholifah," terang Bu Sumi.

Uci terdiam. Sepuluh juta? Dari mana gadis itu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Pikirnya.

"Sepuluh juta, Bu? Bukannya acara Kak Kholifah masih lama? Kemarin juga Uci baru saja mengirimkan uang ke Ibu," ujar Uci mencoba menolak halus permintaan dari sang ibu.

Ekspresi Bu Sumi pun langsung berubah. Yang tadinya wanita paruh baya itu berbicara lembut, kini nampaknya ibu dari Uci itu bersiap untuk memaki sang putri.

"Maksud kamu apa? Kamu mau menolak? Begitu?" sungut Bu Sumi mulai mengeluarkan taring. "Hajatan kakak kamu ini sudah tidak lama lagi! Kamu lupa, ya? Atau memang sengaja lupa?"

Uci terdiam sejenak. Gadis itu sudah terbiasa diomeli oleh sang ibu hanya karena uang.

"Bukan begitu, Bu. Kalau sepuluh juta dalam waktu dekat, Uci tidak punya. Pakai uang kiriman Uci yang kemarin dulu bagaimana untuk mencicil kebutuhan hajatan?" tanya Uci dengan sopan.

Bukannya menerima balasan yang baik, Uci justru menerima bentakan. "Pakai uang kiriman kamu, bagaimana? Uang kiriman kamu itu cuma berapa? Itu juga sudah habis untuk keperluan rumah! Ibu sama saudara-saudara kamu mau makan apa kalau kita pakai uang itu buat ngurus keperluan hajatan?" omel Bu Sumi.

Uci masih berusaha membujuk sang ibu dengan sabar. Bagi Uci, uang sepuluh juta terlalu besar. Gadis itu juga masih menanggung kebutuhan anggota keluarga yang lain. Dengan gaji yang tidak seberapa, Uci sudah berusaha menjadi anak yang berbakti. Tapi sepertinya uang yang ia berikan pada ibunya tidak pernah cukup.

"Bagaimana, Uci? Kamu tidak mau membantu ibu bapak kamu? Kamu tidak ingin menyumbang untuk pernikahan kakak kamu sendiri?" sentak Bu Sumi memaksa Uci untuk menuruti permintaannya.

"Bukannya Uci tidak mau membantu Bu. Tapi Uci tidak punya uang sebanyak itu," sahut Uci meminta pengertian dari sang ibu.

Namun, sejak dulu Bu Sumi memang tidak pernah memahami Uci. Hal yang dipikirkan oleh wanita paruh baya itu hanyalah uang, uang, dan uang dari anaknya.

"Jadi begini caramu berbakti pada orang tua? Begini cara kamu membalas ibu dan bapak kamu yang sudah melahirkan dan merawat kamu sampai kamu bisa menghasilkan uang? Kamu ingin menikmati uang kamu sendiri, begitu?" omel Bu Sumi makin melebar ke mana-mana.

Jika sang ibu sudah mengomel sampai seperti ini, Uci sudah tidak bisa membantah. Bu Sumi selalu saja membawa-bawa kata "berbakti" dan "balas budi" untuk memeras anak gadisnya itu.

"Kamu ingin jadi anak yang durhaka? Kamu tidak kasihan pada bapak dan ibu kamu yang pontang-panting mencarikan uang untuk acara hajatan kakak kamu?" sungut Bu Sumi lagi.

Wanita paruh baya itu tak ada habisnya mengomel dan membentak Uci yang keberatan untuk mengirimkan uang kembali.

"Kalau memang tidak ada biaya, bisa 'kan acara hajatannya sederhana saja? Uci benar-benar tidak ada uang lagi, Bu." Uci masih berusaha untuk membujuk sang ibu, tapi sayangnya perkataan Uci hanya membuat Bu Sumi semakin murka.

"Enak aja kamu kalau ngomong, ya? Mau sederhana yang bagaimana lagi? Jaman sekarang apa-apa itu mahal! Ibu juga tidak membuat acara yang mewah! Kamu ingin Ibu hanya mengundang keluarga inti saja makan nasi sama kerupuk di rumah saat hajatan kakak kamu nanti? Malu sama tetangga, Uci!"

Manik mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Semakin lama, perkataan Bu Sumi makin menyakitkan.

"Bagaimana? Kamu benar-benar menolak mengirimkan uang?" sentak Bu Sumi lagi.

Karena Bu Sumi yang terus mendesak, mau tak mau Uci pun harus menuruti keinginan Bu Sumi. "Akan Uci usahakan, Bu. Kasih Uci waktu, ya? Uci akan kirimkan uangnya satu minggu lagi," ujar Uci.

Mendengar hal tersebut, Bu Sumi masih merasa tidak puas. "Satu minggu? Kelamaan!" timpal Bu Sumi.

"Kirimkan uangnya dalam tiga hari!" sambung wanita paruh baya itu tanpa mengasihani Uci sedikit pun.

"Tidak bisa bu. Uji butuh waktu untuk mengumpulkan uangnya. Setidaknya tolong beri uji waktu lebih lama, "minta uji.

"Ibu juga sudah memiliki banyak keperluan yang mendesak! Pokoknya Ibu tidak mau tahu! Kamu harus kirimkan uangnya dalam tiga hari, atau kamu tidak perlu pulang lagi!" sahut Bu Sumi kemudian mematikan sambungan telepon.

Uci menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi uji harus menyiapkan banyak uang untuk kebutuhan keluarganya. Hal seperti ini sudah biasa dialami oleh Uci. Keluarganya selalu saja menuntut uang padanya meskipun Uci sudah banyak membantu keperluan rumah.

"Aku harus cari uang ke mana?" gumam Uci mulai kebingungan.

Gadis itu termenung sejenak. Pikiran Uci mulai kacau. Entah bagaimana caranya gadis itu bisa mencari uang dengan jumlah besar dalam waktu singkat.

"Aku minta bantuan ke siapa, ya?" Uci mulai mengotak-atik telepon genggam miliknya. Gadis itu mencoba menghubungi teman-temannya dan mencari pinjaman ke sana kemarin demi mengumpulkan uang sepuluh juta dalam waktu tiga hari.

Sayangnya, teman-teman Uci juga tidak banyak yang bisa membantu. Teman-teman uji juga kebanyakan orang susah. Mana mungkin ada yang mau memberikan pinjaman sebesar itu pada Uci.

"Bagaimana ini?" gerutu Uci mulai panik saat dirinya membaca banyak pesan dari sang ibu yang menagih uang sepuluh juta tersebut.

Karena sudah suntuk dan tidak sanggup lagi menatap layar ponsel, akhirnya Uci pun sengaja menyimpan ponselnya di bawah bantal, kemudian gadis itu memilih untuk menghirup udara segar di luar guna menenangkan pikiran sejenak. "Terus-terusan memikirkan uang hanya membuatku pusing," gumam Uci tatapan mata kosong saat tengah berjalan-jalan seorang diri di malam yang gelap.

"Uci!" Tiba-tiba saja Uci mendengar suara panggilan seseorang dari kejauhan. Gadis itu celingukan dan melihat seorang pria berbadan tinggi tegap yang melambaikan tangan ke arahnya.

Uci melempar senyum dan bergegas menghampiri pria ramah yang menyapa dirinya itu. Pria itu tidak lain ialah kenalan Uci bernama Hengki, yang bekerja sebagai karyawan carwash di dekat kontrakannya.

"Mas Hengki?" sapa Uci pada temannya itu.

"Apa yang kamu lakukan malam-malam di sini?"

"Tidak ada, Mas. Aku hanya sedang berjalan-jalan saja mencari angin," sahut Uci.

"Ada apa? Lagi suntuk, ya? Lagi banyak masalah?"

Uci menghela nafas. Gadis itu pun akhirnya mencari bangku dan menikmati udara malam bersama dengan Hengki sembari berbincang sejenak.

Sambil menyeruput satu botol minuman dingin, Uci menceritakan tentang dirinya yang saat ini tengah sibuk mencari pinjaman sebesar sepuluh juta untuk ibunya. "Aku sedang bingung sekali, Mas. Aku sudah mencoba menghubungi teman-temanku, tapi hasilnya nihil."

Hengki mendengarkan cerita Uci dengan seksama. Pria itu turut prihatin dengan kesulitan Uci yang saat ini sedang sibuk mencari pinjaman ke sana kemari.

"Sudah malam, Mas! Uci pamit dulu, ya?" pamit Uci, begitu gadis itu menyadari jika malam sudah semakin larut.

Belum sempat Uci bangkit dari bangku, Hengki pun langsung menahan Uci dan mengucapkan hal yang tak terduga. "Kalau kamu mau, aku bisa membantu. Aku akan memberikan pinjaman untukmu," ujar Hengki tiba-tiba.

****

Terpopuler

Comments

Rizky Uchi

Rizky Uchi

baru ini jumpa novel yg nmnya Uci 🤣🤣🤣 serasa itu diriku 🤣

2023-03-13

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!