Bab 1
Uci mengusap peluh yang mengucur deras di dahinya. Gadis berusia 23 tahun itu nampak bersemangat mengais rezeki di kota yang memiliki udara panas begitu menyengat.
"Fiuh, akhirnya selesai juga!" gumam Uci mulai bersiap untuk pulang ke kontrakan kecil yang ia tinggali di Kota Jakarta.
"Uci, aku pulang duluan!" pamit teman-teman Uci pada gadis manis itu.
Uci melempar senyum sembari melambaikan tangan. Akhirnya satu hari yang berat telah kembali terlewati, meskipun meninggalkan penat.
Uci melangkahkan kakinya menuju rumah kecil yang ia tinggali di tanah perantauan. Gadis desa itu dengan nekadnya mengadu nasib di kota metropolitan, hingga akhirnya Uci berhasil mendapatkan pekerjaan tetap dan perlahan mulai menata hidupnya demi masa depan.
"Makan dulu apa mandi dulu, ya?" gumam Uci begitu gadis itu sampai di gubuk tempat peristirahatan.
Baru saja Uci hendak meletakkan tas, tiba-tiba saja ponsel kecil milik gadis itu berdering kencang. Uci sontak merogoh tasnya dan mengambil benda kecil berharga yang ia manfaatkan setiap harinya untuk menghubungi keluarga di kampung.
"Ibu?" gumam Uci sembari menatap layar ponselnya. Nampaknya gadis itu mendapatkan panggilan telepon dari sang ibu, Bu Sumi.
"Halo, Bu? Ada apa?"
"Halo, Uci? Kamu di mana sekarang? Kamu sudah pulang, kan?" tanya Bu Sumi pada sang putri.
"Sudah, Bu. Bicara saja kalau Ibu perlu sesuatu. Uci udah pulang ke kontrakan," sahut Uci.
Sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan oleh Bu Sumi pada Uci. Biasanya wanita paruh baya itu tidak pernah menghubungi Uci setelah mendapatkan uang kiriman dari putrinya itu.
"Jadi gini, tidak lama lagi kan kakak kamu akan menikah. Ibu butuh sepuluh juta secepatnya. Ibu harus segera menyiapkan keperluan Kholifah," terang Bu Sumi.
Uci terdiam. Sepuluh juta? Dari mana gadis itu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Pikirnya.
"Sepuluh juta, Bu? Bukannya acara Kak Kholifah masih lama? Kemarin juga Uci baru saja mengirimkan uang ke Ibu," ujar Uci mencoba menolak halus permintaan dari sang ibu.
Ekspresi Bu Sumi pun langsung berubah. Yang tadinya wanita paruh baya itu berbicara lembut, kini nampaknya ibu dari Uci itu bersiap untuk memaki sang putri.
"Maksud kamu apa? Kamu mau menolak? Begitu?" sungut Bu Sumi mulai mengeluarkan taring. "Hajatan kakak kamu ini sudah tidak lama lagi! Kamu lupa, ya? Atau memang sengaja lupa?"
Uci terdiam sejenak. Gadis itu sudah terbiasa diomeli oleh sang ibu hanya karena uang.
"Bukan begitu, Bu. Kalau sepuluh juta dalam waktu dekat, Uci tidak punya. Pakai uang kiriman Uci yang kemarin dulu bagaimana untuk mencicil kebutuhan hajatan?" tanya Uci dengan sopan.
Bukannya menerima balasan yang baik, Uci justru menerima bentakan. "Pakai uang kiriman kamu, bagaimana? Uang kiriman kamu itu cuma berapa? Itu juga sudah habis untuk keperluan rumah! Ibu sama saudara-saudara kamu mau makan apa kalau kita pakai uang itu buat ngurus keperluan hajatan?" omel Bu Sumi.
Uci masih berusaha membujuk sang ibu dengan sabar. Bagi Uci, uang sepuluh juta terlalu besar. Gadis itu juga masih menanggung kebutuhan anggota keluarga yang lain. Dengan gaji yang tidak seberapa, Uci sudah berusaha menjadi anak yang berbakti. Tapi sepertinya uang yang ia berikan pada ibunya tidak pernah cukup.
"Bagaimana, Uci? Kamu tidak mau membantu ibu bapak kamu? Kamu tidak ingin menyumbang untuk pernikahan kakak kamu sendiri?" sentak Bu Sumi memaksa Uci untuk menuruti permintaannya.
"Bukannya Uci tidak mau membantu Bu. Tapi Uci tidak punya uang sebanyak itu," sahut Uci meminta pengertian dari sang ibu.
Namun, sejak dulu Bu Sumi memang tidak pernah memahami Uci. Hal yang dipikirkan oleh wanita paruh baya itu hanyalah uang, uang, dan uang dari anaknya.
"Jadi begini caramu berbakti pada orang tua? Begini cara kamu membalas ibu dan bapak kamu yang sudah melahirkan dan merawat kamu sampai kamu bisa menghasilkan uang? Kamu ingin menikmati uang kamu sendiri, begitu?" omel Bu Sumi makin melebar ke mana-mana.
Jika sang ibu sudah mengomel sampai seperti ini, Uci sudah tidak bisa membantah. Bu Sumi selalu saja membawa-bawa kata "berbakti" dan "balas budi" untuk memeras anak gadisnya itu.
"Kamu ingin jadi anak yang durhaka? Kamu tidak kasihan pada bapak dan ibu kamu yang pontang-panting mencarikan uang untuk acara hajatan kakak kamu?" sungut Bu Sumi lagi.
Wanita paruh baya itu tak ada habisnya mengomel dan membentak Uci yang keberatan untuk mengirimkan uang kembali.
"Kalau memang tidak ada biaya, bisa 'kan acara hajatannya sederhana saja? Uci benar-benar tidak ada uang lagi, Bu." Uci masih berusaha untuk membujuk sang ibu, tapi sayangnya perkataan Uci hanya membuat Bu Sumi semakin murka.
"Enak aja kamu kalau ngomong, ya? Mau sederhana yang bagaimana lagi? Jaman sekarang apa-apa itu mahal! Ibu juga tidak membuat acara yang mewah! Kamu ingin Ibu hanya mengundang keluarga inti saja makan nasi sama kerupuk di rumah saat hajatan kakak kamu nanti? Malu sama tetangga, Uci!"
Manik mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Semakin lama, perkataan Bu Sumi makin menyakitkan.
"Bagaimana? Kamu benar-benar menolak mengirimkan uang?" sentak Bu Sumi lagi.
Karena Bu Sumi yang terus mendesak, mau tak mau Uci pun harus menuruti keinginan Bu Sumi. "Akan Uci usahakan, Bu. Kasih Uci waktu, ya? Uci akan kirimkan uangnya satu minggu lagi," ujar Uci.
Mendengar hal tersebut, Bu Sumi masih merasa tidak puas. "Satu minggu? Kelamaan!" timpal Bu Sumi.
"Kirimkan uangnya dalam tiga hari!" sambung wanita paruh baya itu tanpa mengasihani Uci sedikit pun.
"Tidak bisa bu. Uji butuh waktu untuk mengumpulkan uangnya. Setidaknya tolong beri uji waktu lebih lama, "minta uji.
"Ibu juga sudah memiliki banyak keperluan yang mendesak! Pokoknya Ibu tidak mau tahu! Kamu harus kirimkan uangnya dalam tiga hari, atau kamu tidak perlu pulang lagi!" sahut Bu Sumi kemudian mematikan sambungan telepon.
Uci menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi uji harus menyiapkan banyak uang untuk kebutuhan keluarganya. Hal seperti ini sudah biasa dialami oleh Uci. Keluarganya selalu saja menuntut uang padanya meskipun Uci sudah banyak membantu keperluan rumah.
"Aku harus cari uang ke mana?" gumam Uci mulai kebingungan.
Gadis itu termenung sejenak. Pikiran Uci mulai kacau. Entah bagaimana caranya gadis itu bisa mencari uang dengan jumlah besar dalam waktu singkat.
"Aku minta bantuan ke siapa, ya?" Uci mulai mengotak-atik telepon genggam miliknya. Gadis itu mencoba menghubungi teman-temannya dan mencari pinjaman ke sana kemarin demi mengumpulkan uang sepuluh juta dalam waktu tiga hari.
Sayangnya, teman-teman Uci juga tidak banyak yang bisa membantu. Teman-teman uji juga kebanyakan orang susah. Mana mungkin ada yang mau memberikan pinjaman sebesar itu pada Uci.
"Bagaimana ini?" gerutu Uci mulai panik saat dirinya membaca banyak pesan dari sang ibu yang menagih uang sepuluh juta tersebut.
Karena sudah suntuk dan tidak sanggup lagi menatap layar ponsel, akhirnya Uci pun sengaja menyimpan ponselnya di bawah bantal, kemudian gadis itu memilih untuk menghirup udara segar di luar guna menenangkan pikiran sejenak. "Terus-terusan memikirkan uang hanya membuatku pusing," gumam Uci tatapan mata kosong saat tengah berjalan-jalan seorang diri di malam yang gelap.
"Uci!" Tiba-tiba saja Uci mendengar suara panggilan seseorang dari kejauhan. Gadis itu celingukan dan melihat seorang pria berbadan tinggi tegap yang melambaikan tangan ke arahnya.
Uci melempar senyum dan bergegas menghampiri pria ramah yang menyapa dirinya itu. Pria itu tidak lain ialah kenalan Uci bernama Hengki, yang bekerja sebagai karyawan carwash di dekat kontrakannya.
"Mas Hengki?" sapa Uci pada temannya itu.
"Apa yang kamu lakukan malam-malam di sini?"
"Tidak ada, Mas. Aku hanya sedang berjalan-jalan saja mencari angin," sahut Uci.
"Ada apa? Lagi suntuk, ya? Lagi banyak masalah?"
Uci menghela nafas. Gadis itu pun akhirnya mencari bangku dan menikmati udara malam bersama dengan Hengki sembari berbincang sejenak.
Sambil menyeruput satu botol minuman dingin, Uci menceritakan tentang dirinya yang saat ini tengah sibuk mencari pinjaman sebesar sepuluh juta untuk ibunya. "Aku sedang bingung sekali, Mas. Aku sudah mencoba menghubungi teman-temanku, tapi hasilnya nihil."
Hengki mendengarkan cerita Uci dengan seksama. Pria itu turut prihatin dengan kesulitan Uci yang saat ini sedang sibuk mencari pinjaman ke sana kemari.
"Sudah malam, Mas! Uci pamit dulu, ya?" pamit Uci, begitu gadis itu menyadari jika malam sudah semakin larut.
Belum sempat Uci bangkit dari bangku, Hengki pun langsung menahan Uci dan mengucapkan hal yang tak terduga. "Kalau kamu mau, aku bisa membantu. Aku akan memberikan pinjaman untukmu," ujar Hengki tiba-tiba.
****
Bab 2
Uci mematung. Niat hati gadis itu hanya ingin mencurahkan kegundahan di hatinya, bukan untuk meminta bantuan pada Hengki. Uci sendiri juga sadar jika Hengki juga orang susah sama seperti dirinya. Tentu saja Uci tidak akan berani meminta bantuan pada Hengki.
"Maksud kamu apa, Mas? Aku cuma ingin numpang curhat saja. Aku bisa meminta pinjaman pada teman kerja nanti," ujar Uci.
Hengki mengulas senyum. "Aku tidak sedang bercanda, Uci. Aku benar-benar berniat ingin membantu kamu. Terima saja, ya? Kamu belum menemukan pinjaman sedikit pun, kan?" tawar Hengki.
Uci masih berusaha keras menolak. Mana bisa ia merepotkan yang sama susahnya seperti dirinya. Lebih baik Uci mencari pinjaman di tempat lain.
"Tidak perlu, Mas. Terima kasih banyak atas niat baiknya, tapi Uci akan berusaha mencari pinjaman di tempat lain," sahut Uci.
"Kenapa? Kamu pikir aku tidak punya uang?" celetuk Hengki.
Semua orang juga akan mengira Hengki tidak punya uang. Bagaimana tidak? Pria itu bekerja banting tulang siang dan malam di tempat carwash dengan bayaran yang tidak seberapa. Ditambah lagi, Hengki juga masih harus menekuni pekerjaan sebagai ojek online untuk menambah penghasilan. Semua orang yang mengenal Hengki tahu betul bagaimana sulitnya Hengki mendapatkan uang.
"Bukan begitu, Mas. Simpan saja uangnya untuk keperluan Mas. Kebutuhan Mas juga banyak, kan?" timpal Uci tanpa berniat menyinggung Hengki sedikit pun.
Sebenarnya Uci juga tidak ingin menolak bantuan. Namun, gadis itu juga merasa tidak enak hati untuk menerima pertolongan dari orang yang sama susahnya dengan dirinya.
"Kamu yang lebih membutuhkan, bukan? Kamu tunggu di sini sebentar, ya!" ujar Hengki pada Uci, kemudian pria itu berlari meninggalkan Uci di tempat tersebut.
"Mas mau ke mana?" tanya Uci pada Hengki.
"Tunggu saja di sana sebentar!" teriak Hengki dari kejauhan.
Mau tak mau, Uci pun akhirnya menunggu Hengki di tempat tersebut. Tak Lama kemudian, Hengki pun muncul dengan membawa satu kresek hitam yang ditentengnya.
Dengan napas terengah-engah, pria itu melempar senyum pada Uci sembari menyodorkan kresek hitam yang di bawanya. "Ambil ini!" ujar Hengki pada Uci.
"Apa ini, Mas?" tanya Uci kemudian membuka bungkus kresek tersebut, dan menemukan uang segepok yang diikat dengan tali karet di dalam sana.
Uci terkejut bukan main sangat melihat uang tersebut. Ternyata Hengki tidak bercanda saat menawarkan untuk meminjami dirinya uang. Saat itu juga, Hengki langsung mengambilkan uang dan memberikannya pada Uci.
"Jumlahnya pas sepuluh juta. Benar ini nominal yang kamu butuhkan? Tidak kurang?" tanya Hengki.
Sudut mata Uci mulai berair. Rasanya ingin sekali gadis itu menangis sekarang juga. "Mas benar-benar ingin meminjamkan uang ini padaku?"
"Kamu sudah memegang uangnya, kan? Pakai saja!" timpal Hengki dengan santainya.
Setengah hati Uci merasa lega, tapi setengah hati gadis itu masih merasa tak enak hati untuk menerima. "Ini uang tabungan Mas, kan? Kalau Mas butuh nanti bagaimana?"
"Kamu tenang saja. Aku masih punya uang simpanan lain. Lagi pula ini hanya uang simpanan untuk menikah. Bukan uang simpanan untuk keperluan darurat," ujar Hengki. Pria itu berusaha keras membujuk Uci agar gadis itu menerima bantuan darinya. Hengki benar-benar ikhlas dan berniat membantu Uci yang tengah kesulitan.
"Tapi, Mas ...."
"Sudah! Tidak perlu banyak tapi! Kamu terima saja!" tegas Hengki.
Uci terdiam sejenak. Gadis itu benar-benar terharu dengan bantuan tak terduga yang ia dapatkan di malam itu.
"Pakai saja, Uci! Nanti aku akan menagih kamu saat aku mempunyai rencana untuk menikah!" celetuk Hengki sembari tertawa kecil.
Uci masih mematung tanpa kata. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Sekeras apa pun Uci menolak, Hengki masih saja tetap memaksa.
"Aku hanya meminjamimu, kan? Aku tidak memberikan uang ini secara cuma-cuma padamu, kan? Kenapa kamu sulit sekali untuk menerimanya? Kamu harus mengembalikannya suatu hari nanti," ucap Hengki.
"Benar Uci boleh menggunakan uang ini?" tanya Uci mulai membuka suara.
"Pakai saja! Kamu bisa mengembalikannya nanti!" ujar Hengki tak merasa keberatan sedikit pun.
Uci mengusap sudut matanya yang sudah berair. Rasanya ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk membalas kebaikan dari temannya itu.
"Terima kasih banyak, Mas. Terima kasih banyak atas bantuannya!" ucap Uci penuh rasa syukur. "Uci janji, Uci akan segera melunasi pinjaman ini!"
Hengki mengusap lembut kepala Uci. "Doakan saja aku tidak cepat menikah! Dengan begitu aku tidak akan menagih uang ini dalam waktu dekat," celoteh Hengki membuat Uci tertawa.
Uci benar-benar lega. Pertemuannya dengan Hengki tanpa disengaja malam ini akhirnya membuat sakit kepalanya hilang.
"Mas sudah makan malam? Mau beli nasi padang bersama?" tawar Uci pada Hengki.
"Setelah mendapatkan pinjaman, kamu langsung ingin menghamburkan uangnya untuk nasi padang?" omel Hengki sembari menjitak kepala Uci.
Uci menampakan cengiran kuda. Gadis itu tak hanya berutang uang pada Hengki, tapi juga berhutang budi. Jika saja Hengky tidak memberinya bantuan, entah bagaimana nasib Uci esok nanti.
"Beli makanan yang enak dan segera pulang untuk istirahat. Malam ini kamu sudah bisa tidur nyenyak, kan?" imbuh Hengky.
"Terima kasih banyak, Mas. Malam ini Uci bisa tidur nyenyak berkat Mas," ucap Uci.
"Kamu terlalu berlebihan! Aku kan sudah bilang kalau aku tidak memberikan uang ini. Ini hanya pinjaman. Kenapa kamu berlebihan sekali pada orang yang memberikan utang padamu?" cibir Hengki.
"Ini tetap bantuan besar, Mas. Banyak orang di luar sana yang punya uang, tapi tidak punya niat untuk membantu," sahut Uci.
Sebelum malam semakin larut, keduanya pun segera berpisah dan beristirahat di tempat masing-masing. Uci terus bersenandung girang selama berjalan menuju kembali ke kontrakannya.
Meskipun setelah ini Uci harus mencicil utang pada Hengki, tapi setidaknya gadis itu sudah berhasil memenuhi permintaan ibunya dan membantu biaya pernikahan kakaknya.
"Untung saja uangnya sudah dapat," gumam Uci dengan kelegaan luar biasa.
Keesokan harinya, Uci segera memberikan kabar pada ibunya kalau dirinya hendak mengirimkan uang. "Halo, Bu?" sapa Uci pada Bu Sumi melalui sambungan telepon.
"Kenapa lagi kamu telepon?" tanya Bu Sumi dengan nada ketus.
"Uci sudah dapat uangnya, Bu. Sudah Uci kirimkan ya uangnya. Ibu bisa memeriksanya sekarang," ungkap Uci pada sang ibu.
"Benarkah?" tanya Bu Sumi dengan manik mata berbinar.
"Benar, Bu. Jumlahnya sesuai permintaan Ibu," ujar Uci.
Mendadak sambungan telepon pun langsung diputus oleh Bu Sumi. Wanita paruh baya itu pun segera memeriksa uangnya tanpa melanjutkan obrolan dengan Uci di telepon.
Wanita paruh baya itu pun dibuat girang bukan main saat mengambil uang senilai sepuluh juta yang telah dikirimkan oleh Uci padanya. "Uangnya benar-benar sudah masuk!" ucap Bu Sumi dengan girang.
Setelah mendapatkan uang, wanita paruh baya itu tidak berniat sedikit pun untuk menghubungi Uci. Untuk sekedar mengatakan kalau uangnya sudah diambil saja, Bu Sumi tidak mau. Apalagi untuk mengucapkan kata terima kasih. Tak pernah sedikit pun wanita paruh baya itu mengucapkan terima kasih kepada putrinya yang sudah banting tulang membantu dirinya selama ini.
[Uangnya sudah diambil, Bu? Semoga bermanfaat, ya! Semoga acara hajatan Kak Kholifah lancar.]
Uci menyempatkan diri mengirimkan pesan singkat untuk sang ibu. Namun sayangnya Bu Sumi tidak menggubris pesan darinya. Wanita paruh baya itu benar-benar bagai kacang lupa kulit. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Bu Sumi langsung membuang Uci begitu saja.
"Semoga Uci bisa terus berbakti pada Ibu," gumam Uci masih bisa bersyukur disaat gadis itu hanya dimanfaatkan oleh keluarganya yang mata duitan.
*****
Bab 3
"Alhamdulillah!" Uci tak henti-hentinya mengucap syukur begitu ia mengetahui gajinya yang sudah masuk.
"Lebih baik aku bayar kontrakan sekarang juga!" gumam Uci setelah mengambil uang gajinya untuk mengurus kehidupannya bulan ini.
Sebagai quality control sebuah perusahaan elektronik, gaji Uci memang tidak terlalu besar. Hanya sekitar delapan jutaan saja.
Untuk hidup di kota besar, tentu saja uang segitu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar Uci. Ditambah lagi, Uci harus mengurus keluarganya yang selalu menuntut uang pada dirinya. Uci benar-benar harus menghemat pengeluaran demi bisa mencukupi kebutuhan keluarganya di kampung.
Belum lagi, biaya hidup di kota juga cukup mahal. Sewa kontrakan saja sangat mahal. Namanya juga Jakarta. Semuanya serba mahal.
"Sayang sekali bulan ini tidak ada lembur," gumam Uci. Setidaknya Uci bisa mendapatkan penghasilan tambahan jika ada lembur. Tapi sayangnya beberapa bulan terakhir ini pabriknya tidak mengadakan lembur, sehingga uji tidak mendapatkan penghasilan tambahan.
Baru saja gadis itu mengambil gaji, ponsel Uci sudah ramai dengan pesan dan panggilan dari Bu Sumi. "Halo, Uci? Kamu sudah gajian, kan?" tanya Bu Sumi.
Setiap tanggal gajian, Uci pasti diteror oleh ibunya. Setiap bulannya Bu Sumi selalu menghubungi Uci, tapi hanya untuk menanyakan uang. Bukan untuk menanyakan keadaan putrinya.
"Sudah, Bu. Ini Uci baru saja ambil uang gaji," ujar Uci.
"Kalau sudah gajian, kenapa kamu belum kirim uang juga?" omel Bu Sumi.
"Kamu mau nunggu sampai ibu kelaparan dulu, ya?" sambung wanita paruh baya itu mengomel tanpa henti.
Selalu saja omelan itu yang uji dengar setiap kali hari gajian tiba. "Maaf, Bu! Ini baru saja Uci mau kirim uang ke Ibu," ujar Uci mencoba menjelaskan.
"Buruan kirim uangnya!" sentak Bu Sumi, kemudian wanita paruh baya itu memutuskan sambungan telepon.
Baru saja Uci hendak mengirim uang, tiba-tiba saja sebuah pesan masuk dari Bu Sumi. Wanita paruh baya itu memberikan daftar keperluan keluarga pada Uci i, dan menyebutkan nominal uang yang tidak sedikit.
"Aku harus kirim uang sebanyak ini?" gumam Uci agak terkejut saat membaca pesan dari ibunya yang meminta uang dengan nominal yang cukup besar.
Selalu saja seperti ini. Untuk kiriman ibunya saja, Uci hampir menghabiskan sebagian besar gajinya. Belum lagi gadis itu masih harus bertahan selama satu bulan di kota metropolitan tersebut. Bagaimana Uci bisa menyambung hidup dengan uang yang tidak seberapa? Apalagi bulan ini gadis itu juga tidak mendapatkan uang tambahan. Terlebih lagi Uci juga harus mulai mengumpulkan uang untuk membayar utangnya pada Hengki.
"Kalau begini terus, bagaimana aku bisa mencicil hutang kepada Mas Hengki?" gerutu Uci mulai dibuat sakit kepala.
Setiap kali menerima gaji, Uci tak pernah bisa menikmati hasil kerja kerasnya. Semuanya pasti habis untuk mengurus kebutuhan rumah. Bahkan untuk mengurus kebutuhannya sendiri pun, Uci harus melakukan penghematan besar-besaran.
[Uci sudah kirim uangnya.]
Uci segera mengirimkan pesan singkat pada sang ibu usai ia mengirimkan jatah bulanan. Seperti biasa, tak ada sekalipun ucapan terima kasih yang dilontarkan oleh sang ibu.
"Yang penting bayar kontrakan dulu bulan ini!" gumam Uci.
Usai membayar kontrakan, barulah Uci pergi berbelanja untuk kebutuhan dirinya selama satu bulan menggunakan uang seadanya. "Beli sabun sedikit saja, deh!" ujar Uci.
"Beli mie instan aja deh yang banyak!" sambung gadis itu.
Saat tengah sibuk berbelanja di sebuah warung grosir yang tak jauh dari kontrakan, Uci pun lagi-lagi tak sengaja berjumpa dengan Hengki. "Uci!" sapa Hengki dengan ramah pada Uci yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Eh, Mas Hengki!"
Hengki melirik ke arah keranjang belanja yang dibawa oleh Uci. "Beli mie banyak banget!" celetuk Hengki usai melihat banyaknya bungkus mie instan yang diambil oleh Uci.
"Buat stok, Mas!" sahut Uci sembari tertawa kecil.
Malu sekali saat Uci berjumpa dengan Hengki. Gadis itu belum mencicil utangnya pada Hengki sedikit pun.
"Sekali-sekali belilah nasi padang!" kelakar Hengki.
Uci mengangguk sembari tertawa kecil. "Mas Hengki beli apa?" tanya Uci.
"Beli sampo aja!" sahut Hengky. "Sekalian beli satu renteng buat satu bulan," celetuk Hengki.
Hengkang yang begitu ramah benar-benar membuat Uci merasa nyaman setiap kali berbincang dengan pria supel itu. Mereka pun melanjutkan obrolan mereka, hingga keluar bersama dari warung tersebut.
"Mas Hengki mau ke mana setelah ini?" tanya Uci.
"Kenapa? Kamu mau ngajak nge-date?" gurau Hengki.
Uci mengangguk dengan semangat. Walaupun tidak seberapa, tapi gadis itu ingin berusaha membalas kebaikan Hengki yang sudah memberinya pinjaman tempo hari.
"Temenin Uci beli nasi padang, yuk!" ajak Uci.
"Habis gajian, ya?" sahut Hengki.
"Ikut aja, mas!"
Uci benar-benar mengajak Hengki untuk menikmati makan malam bersama dengan menu nasi padang. Keduanya menikmati satu piring penuh nasi padang sembari berbincang bersama di sela-sela acara makan malam mereka.
"Mas mau nambah apa lagi? Nambah aja! Uci yang traktir!" ujar Uci pada Hengki.
"Wah, dalam rangka apa, nih? Kamu ulang tahun, ya?" tanya Hengki.
"Bagi-bagi rezeki sekali-sekali boleh dong, Mas?" sahut Uci.
Sembari mengunyah makanan, Uci pun menyempatkan diri untuk meminta maaf dan meminta pengertian dari Hengki karena dirinya yang belum bisa mencicil uang sepuluh juta yang ia pinjam sebelumnya.
"Mas belum ada rencana nikah dalam waktu dekat, kan?" tanya Uci.
"Kenapa? Kamu mau bantu mencarikan calon istri?" gurau Hengki.
"Kalau Mas mau, boleh-boleh saja!" sahut Uci. "Mas mau calon istri yang seperti apa? Yang cantik? Yang seksi?"
Hengki hanya bisa tertawa. 'Yang bisa masak aja, Uci. Biar aku tidak kelaparan nanti," sahut Hengki.
"Sama anak pemilik warung nasi padang mau?"
Keduanya tertawa hingga akhirnya acara makan malam mereka pun usai. Sambil menikmati potongan buah, Uci kembali mengajak Hengki mengobrol. "Mengenai uang yang Uci pinjam kemarin ... Uci cicil sedikit-sedikit ya, Mas?" cetus Uci pada Hengki.
"Baru juga kemarin kamu pinjam! Santai saja," tukas Hengki.
Uci makin malu dan merasa tak enak pada Hengki. Tapi penghasilan yang dimiliki oleh gadis itu bulan ini memang tidak memungkinkan untuk mencicil utang. "Biasanya di pabrik Uci ada lembur, Mas. Tapi akhir-akhir ini lagi tidak ada lembur. Jadi Uci tidak punya penghasilan tambahan," terang Uci mencurahkan kegundahan di hatinya.
"Sudah! Kamu terlalu perlu memikirkan hal itu. Nanti aja bisa kamu cicil dikit-dikit kalau kamu sudah ada uang," timpal Hengk.
"Terima kasih banyak ya, Mas. Uci selalu aja bikin repot Mas," sahut Uci merasa sungkan pada Hengki.
"Tenang aja, Uci! Aku belum butuh kok," ujar Hengki.
"Uci bakal coba cari penghasilan tambahan. Selagi tidak ada lembur, Uci jadi pengen cari kerjaan sampingan lain. Lumayan buat tambah-tambah," ungkap Uci.
Keesokan harinya, Uci benar-benar mulai mencari pekerjaan sampingan yang bisa ia lakukan setelah pulang bekerja. Gadis itu mencari banyak informasi mengenai pekerjaan paruh waktu ataupun pekerjaan sampingan lain yang bisa ia kerjakan setelah dirinya pulang dari pabrik.
Sayangnya setelah berhari-hari mencari pekerjaan, Uci belum juga mendapatkan pekerjaan sampingan yang ia butuhkan. Hingga akhirnya, gadis itu kembali berjumpa dengan Hengki dan kembali mengobrol dengan pria itu. "Gimana pekerjaan sampingannya? Sudah dapat?" tanya Hengki.
"Belum, Mas! Ternyata cari penghasilan tambahan susah juga ya," cetus Uci.
"Memangnya kamu pengen pekerjaan yang seperti apa?"
"Apa saja, Mas. Yang penting tidak mengganggu pekerjaan Uci di pabrik," cetus Uci.
"Kalau kerja di cafe ... kamu mau tidak?" tawar Hengki kemudian.
Lagi-lagi pria itu menjadi malaikat penolong bagi Uci. Setelah memberikan pinjaman, kali ini Hengki akan membantu Uci mencari pekerjaan sampingan dengan merekomendasikan tempat kerja yang bisa dimasuki oleh Uci.
"Cafe? Cafe di mana, Mas?" tanya Uci.
"Tidak jauh dari sini. Namanya Cafe Skylar. Nungkin kamu tahu?"
Uci membulatkan mata. Meskipun tak pernah memasuki cafe tersebut, tapi tentu saja Uci sangat tahu cafe terkenal yang ada di daerahnya itu.
"Benar Uci bisa kerja di sana?" tanya Uci.
"Kamu beneran mau?"
Uci langsung mengangguk dengan antusias. Mana mungkin gadis itu akan menolak pekerjaan?
"Mau, Mas!"
"Nanti aku akan bilang pada temanku. Kalau ada kabar, aku akan menghubungimu!"
Akhirnya, berkat bantuan dari Hengki, Uci pun bisa mendapatkan pekerjaan sampingan di Cafe Skylar. Entah bagaimana Uci bisa membalas kebaikan dari Hengki.
"Mas Hengky kenalannya banyak sekali, ya," komentar Uci saat dirinya diantarkan oleh Hengki ke cafe tersebut.
"Kebetulan salah satu kenalan di sini pernah mencuci mobil di tempat bos aku," sahut Hengki.
"Terima kasih banyak ya Mas atas bantuannya. Uci tidak tahu lagi harus gimana buat berterima kasih ke Mas," ucap Uci tulus.
Hengki mengulas senyum. "Tidak perlu sungkan begitu. Aku senang bisa membantu kamu. Semoga kamu betah di sini, ya?"
Hari ini akan menjadi hari pertama Uci bekerja di cafe hits tersebut. Uci akan bekerja di sana pada malam hari setelah selesai bekerja di pabrik, dan pada akhir pekan saat ia libur dari pabrik.
Beberapa hari Uci bekerja di cafe tersebut, semuanya berjalan cukup lancar. Uci bekerja sebagai pramusaji yang mengantarkan makanan ke meja-meja pengunjung. Meskipun pekerjaannya cukup menguras fisik, tapi Uci sangat bersyukur dirinya masih diberikan kesempatan untuk mencari penghasilan tambahan.
"Uci, tolong antar ini ke meja sepuluh!" ujar salah seorang teman Uci sembari memberikan nampan berisi minuman panas pada Uci.
"Baik!" Uci segera mengambil nampan tersebut dan berjalan menuju ke meja pengunjung.
Namun, hari ini Uci mendapatkan masalah pertama di tempat kerja barunya. Karena lantai yang terlalu licin, Uci pun hampir terpeleset saat dirinya membawa nampan berisi minuman.
Untungnya Uci tidak jatuh, tapi minuman yang dibawa oleh gadis itu pun tumpah dan tidak sengaja mengenai seseorang. Orang yang terkena tumpahan minuman tersebut langsung menjerit begitu ia merasakan panasnya air yang tertuang ke celananya.
'Astaga, apa yang sudah aku lakukan?' batin Uci menjerit.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!