Bab 3
"Alhamdulillah!" Uci tak henti-hentinya mengucap syukur begitu ia mengetahui gajinya yang sudah masuk.
"Lebih baik aku bayar kontrakan sekarang juga!" gumam Uci setelah mengambil uang gajinya untuk mengurus kehidupannya bulan ini.
Sebagai quality control sebuah perusahaan elektronik, gaji Uci memang tidak terlalu besar. Hanya sekitar delapan jutaan saja.
Untuk hidup di kota besar, tentu saja uang segitu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar Uci. Ditambah lagi, Uci harus mengurus keluarganya yang selalu menuntut uang pada dirinya. Uci benar-benar harus menghemat pengeluaran demi bisa mencukupi kebutuhan keluarganya di kampung.
Belum lagi, biaya hidup di kota juga cukup mahal. Sewa kontrakan saja sangat mahal. Namanya juga Jakarta. Semuanya serba mahal.
"Sayang sekali bulan ini tidak ada lembur," gumam Uci. Setidaknya Uci bisa mendapatkan penghasilan tambahan jika ada lembur. Tapi sayangnya beberapa bulan terakhir ini pabriknya tidak mengadakan lembur, sehingga uji tidak mendapatkan penghasilan tambahan.
Baru saja gadis itu mengambil gaji, ponsel Uci sudah ramai dengan pesan dan panggilan dari Bu Sumi. "Halo, Uci? Kamu sudah gajian, kan?" tanya Bu Sumi.
Setiap tanggal gajian, Uci pasti diteror oleh ibunya. Setiap bulannya Bu Sumi selalu menghubungi Uci, tapi hanya untuk menanyakan uang. Bukan untuk menanyakan keadaan putrinya.
"Sudah, Bu. Ini Uci baru saja ambil uang gaji," ujar Uci.
"Kalau sudah gajian, kenapa kamu belum kirim uang juga?" omel Bu Sumi.
"Kamu mau nunggu sampai ibu kelaparan dulu, ya?" sambung wanita paruh baya itu mengomel tanpa henti.
Selalu saja omelan itu yang uji dengar setiap kali hari gajian tiba. "Maaf, Bu! Ini baru saja Uci mau kirim uang ke Ibu," ujar Uci mencoba menjelaskan.
"Buruan kirim uangnya!" sentak Bu Sumi, kemudian wanita paruh baya itu memutuskan sambungan telepon.
Baru saja Uci hendak mengirim uang, tiba-tiba saja sebuah pesan masuk dari Bu Sumi. Wanita paruh baya itu memberikan daftar keperluan keluarga pada Uci i, dan menyebutkan nominal uang yang tidak sedikit.
"Aku harus kirim uang sebanyak ini?" gumam Uci agak terkejut saat membaca pesan dari ibunya yang meminta uang dengan nominal yang cukup besar.
Selalu saja seperti ini. Untuk kiriman ibunya saja, Uci hampir menghabiskan sebagian besar gajinya. Belum lagi gadis itu masih harus bertahan selama satu bulan di kota metropolitan tersebut. Bagaimana Uci bisa menyambung hidup dengan uang yang tidak seberapa? Apalagi bulan ini gadis itu juga tidak mendapatkan uang tambahan. Terlebih lagi Uci juga harus mulai mengumpulkan uang untuk membayar utangnya pada Hengki.
"Kalau begini terus, bagaimana aku bisa mencicil hutang kepada Mas Hengki?" gerutu Uci mulai dibuat sakit kepala.
Setiap kali menerima gaji, Uci tak pernah bisa menikmati hasil kerja kerasnya. Semuanya pasti habis untuk mengurus kebutuhan rumah. Bahkan untuk mengurus kebutuhannya sendiri pun, Uci harus melakukan penghematan besar-besaran.
[Uci sudah kirim uangnya.]
Uci segera mengirimkan pesan singkat pada sang ibu usai ia mengirimkan jatah bulanan. Seperti biasa, tak ada sekalipun ucapan terima kasih yang dilontarkan oleh sang ibu.
"Yang penting bayar kontrakan dulu bulan ini!" gumam Uci.
Usai membayar kontrakan, barulah Uci pergi berbelanja untuk kebutuhan dirinya selama satu bulan menggunakan uang seadanya. "Beli sabun sedikit saja, deh!" ujar Uci.
"Beli mie instan aja deh yang banyak!" sambung gadis itu.
Saat tengah sibuk berbelanja di sebuah warung grosir yang tak jauh dari kontrakan, Uci pun lagi-lagi tak sengaja berjumpa dengan Hengki. "Uci!" sapa Hengki dengan ramah pada Uci yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Eh, Mas Hengki!"
Hengki melirik ke arah keranjang belanja yang dibawa oleh Uci. "Beli mie banyak banget!" celetuk Hengki usai melihat banyaknya bungkus mie instan yang diambil oleh Uci.
"Buat stok, Mas!" sahut Uci sembari tertawa kecil.
Malu sekali saat Uci berjumpa dengan Hengki. Gadis itu belum mencicil utangnya pada Hengki sedikit pun.
"Sekali-sekali belilah nasi padang!" kelakar Hengki.
Uci mengangguk sembari tertawa kecil. "Mas Hengki beli apa?" tanya Uci.
"Beli sampo aja!" sahut Hengky. "Sekalian beli satu renteng buat satu bulan," celetuk Hengki.
Hengkang yang begitu ramah benar-benar membuat Uci merasa nyaman setiap kali berbincang dengan pria supel itu. Mereka pun melanjutkan obrolan mereka, hingga keluar bersama dari warung tersebut.
"Mas Hengki mau ke mana setelah ini?" tanya Uci.
"Kenapa? Kamu mau ngajak nge-date?" gurau Hengki.
Uci mengangguk dengan semangat. Walaupun tidak seberapa, tapi gadis itu ingin berusaha membalas kebaikan Hengki yang sudah memberinya pinjaman tempo hari.
"Temenin Uci beli nasi padang, yuk!" ajak Uci.
"Habis gajian, ya?" sahut Hengki.
"Ikut aja, mas!"
Uci benar-benar mengajak Hengki untuk menikmati makan malam bersama dengan menu nasi padang. Keduanya menikmati satu piring penuh nasi padang sembari berbincang bersama di sela-sela acara makan malam mereka.
"Mas mau nambah apa lagi? Nambah aja! Uci yang traktir!" ujar Uci pada Hengki.
"Wah, dalam rangka apa, nih? Kamu ulang tahun, ya?" tanya Hengki.
"Bagi-bagi rezeki sekali-sekali boleh dong, Mas?" sahut Uci.
Sembari mengunyah makanan, Uci pun menyempatkan diri untuk meminta maaf dan meminta pengertian dari Hengki karena dirinya yang belum bisa mencicil uang sepuluh juta yang ia pinjam sebelumnya.
"Mas belum ada rencana nikah dalam waktu dekat, kan?" tanya Uci.
"Kenapa? Kamu mau bantu mencarikan calon istri?" gurau Hengki.
"Kalau Mas mau, boleh-boleh saja!" sahut Uci. "Mas mau calon istri yang seperti apa? Yang cantik? Yang seksi?"
Hengki hanya bisa tertawa. 'Yang bisa masak aja, Uci. Biar aku tidak kelaparan nanti," sahut Hengki.
"Sama anak pemilik warung nasi padang mau?"
Keduanya tertawa hingga akhirnya acara makan malam mereka pun usai. Sambil menikmati potongan buah, Uci kembali mengajak Hengki mengobrol. "Mengenai uang yang Uci pinjam kemarin ... Uci cicil sedikit-sedikit ya, Mas?" cetus Uci pada Hengki.
"Baru juga kemarin kamu pinjam! Santai saja," tukas Hengki.
Uci makin malu dan merasa tak enak pada Hengki. Tapi penghasilan yang dimiliki oleh gadis itu bulan ini memang tidak memungkinkan untuk mencicil utang. "Biasanya di pabrik Uci ada lembur, Mas. Tapi akhir-akhir ini lagi tidak ada lembur. Jadi Uci tidak punya penghasilan tambahan," terang Uci mencurahkan kegundahan di hatinya.
"Sudah! Kamu terlalu perlu memikirkan hal itu. Nanti aja bisa kamu cicil dikit-dikit kalau kamu sudah ada uang," timpal Hengk.
"Terima kasih banyak ya, Mas. Uci selalu aja bikin repot Mas," sahut Uci merasa sungkan pada Hengki.
"Tenang aja, Uci! Aku belum butuh kok," ujar Hengki.
"Uci bakal coba cari penghasilan tambahan. Selagi tidak ada lembur, Uci jadi pengen cari kerjaan sampingan lain. Lumayan buat tambah-tambah," ungkap Uci.
Keesokan harinya, Uci benar-benar mulai mencari pekerjaan sampingan yang bisa ia lakukan setelah pulang bekerja. Gadis itu mencari banyak informasi mengenai pekerjaan paruh waktu ataupun pekerjaan sampingan lain yang bisa ia kerjakan setelah dirinya pulang dari pabrik.
Sayangnya setelah berhari-hari mencari pekerjaan, Uci belum juga mendapatkan pekerjaan sampingan yang ia butuhkan. Hingga akhirnya, gadis itu kembali berjumpa dengan Hengki dan kembali mengobrol dengan pria itu. "Gimana pekerjaan sampingannya? Sudah dapat?" tanya Hengki.
"Belum, Mas! Ternyata cari penghasilan tambahan susah juga ya," cetus Uci.
"Memangnya kamu pengen pekerjaan yang seperti apa?"
"Apa saja, Mas. Yang penting tidak mengganggu pekerjaan Uci di pabrik," cetus Uci.
"Kalau kerja di cafe ... kamu mau tidak?" tawar Hengki kemudian.
Lagi-lagi pria itu menjadi malaikat penolong bagi Uci. Setelah memberikan pinjaman, kali ini Hengki akan membantu Uci mencari pekerjaan sampingan dengan merekomendasikan tempat kerja yang bisa dimasuki oleh Uci.
"Cafe? Cafe di mana, Mas?" tanya Uci.
"Tidak jauh dari sini. Namanya Cafe Skylar. Nungkin kamu tahu?"
Uci membulatkan mata. Meskipun tak pernah memasuki cafe tersebut, tapi tentu saja Uci sangat tahu cafe terkenal yang ada di daerahnya itu.
"Benar Uci bisa kerja di sana?" tanya Uci.
"Kamu beneran mau?"
Uci langsung mengangguk dengan antusias. Mana mungkin gadis itu akan menolak pekerjaan?
"Mau, Mas!"
"Nanti aku akan bilang pada temanku. Kalau ada kabar, aku akan menghubungimu!"
Akhirnya, berkat bantuan dari Hengki, Uci pun bisa mendapatkan pekerjaan sampingan di Cafe Skylar. Entah bagaimana Uci bisa membalas kebaikan dari Hengki.
"Mas Hengky kenalannya banyak sekali, ya," komentar Uci saat dirinya diantarkan oleh Hengki ke cafe tersebut.
"Kebetulan salah satu kenalan di sini pernah mencuci mobil di tempat bos aku," sahut Hengki.
"Terima kasih banyak ya Mas atas bantuannya. Uci tidak tahu lagi harus gimana buat berterima kasih ke Mas," ucap Uci tulus.
Hengki mengulas senyum. "Tidak perlu sungkan begitu. Aku senang bisa membantu kamu. Semoga kamu betah di sini, ya?"
Hari ini akan menjadi hari pertama Uci bekerja di cafe hits tersebut. Uci akan bekerja di sana pada malam hari setelah selesai bekerja di pabrik, dan pada akhir pekan saat ia libur dari pabrik.
Beberapa hari Uci bekerja di cafe tersebut, semuanya berjalan cukup lancar. Uci bekerja sebagai pramusaji yang mengantarkan makanan ke meja-meja pengunjung. Meskipun pekerjaannya cukup menguras fisik, tapi Uci sangat bersyukur dirinya masih diberikan kesempatan untuk mencari penghasilan tambahan.
"Uci, tolong antar ini ke meja sepuluh!" ujar salah seorang teman Uci sembari memberikan nampan berisi minuman panas pada Uci.
"Baik!" Uci segera mengambil nampan tersebut dan berjalan menuju ke meja pengunjung.
Namun, hari ini Uci mendapatkan masalah pertama di tempat kerja barunya. Karena lantai yang terlalu licin, Uci pun hampir terpeleset saat dirinya membawa nampan berisi minuman.
Untungnya Uci tidak jatuh, tapi minuman yang dibawa oleh gadis itu pun tumpah dan tidak sengaja mengenai seseorang. Orang yang terkena tumpahan minuman tersebut langsung menjerit begitu ia merasakan panasnya air yang tertuang ke celananya.
'Astaga, apa yang sudah aku lakukan?' batin Uci menjerit.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments