Lara Sang Menantu
Langkah kaki yang terburu-buru hanya bersambut lambaian tangan sang istri. Gadis itu merasa kesepian tanpa adanya Rahil, tetapi detik berikutnya merasa bersyukur karena kedua orang tua sang suami sudah menerimanya sebagai menantu. Itu yang ia pikirkan.
"Bu, Yah, boleh tahu dimana kamar Mas Rahil? Fathia mau naruh tas dulu," ucap Fathia dengan sopan mencoba tetap merebut hati kedua mertuanya.
Ibu Maisara tersenyum sinis menyembunyikan niat hatinya. Tak ingin bertindak terlalu frontal, ia mengulurkan tangan berharap disambut hangat sang menantu. Melihat niat baik sang istri, membuat Ayah Yusuf tersenyum sumringah. Betapa tenang hatinya melihat penerimaan yang dilakukan wanita itu.
Sebagai seorang menantu baru yang benar-benar tidak tahu setiap sudut rumah. Fathia menerima uluran tangan dengan hati berbunga-bunga. Berpikir mendapatkan ibu mertua idaman. Siapa yang tidak bahagia ketika memasuki rumah baru dan disambut sepenuh hati.
Kepergian kedua wanita beda usia itu, membuat Ayah Yusuf memilih duduk seraya kembali mengambil koran pagi yang sempat terabaikan selama beberapa waktu. Dibiarkannya ibu mertua dan menantu untuk saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi, Ibu Maisara justru membawa Fathia ke tempat yang dianggapnya pantas.
Mata mengerjap mencoba mencerna maksud dari ibu mertuanya. Wanita yang kini melepaskan genggaman tangan, lalu memberikan sikat kamar mandi. Apa maksud dari semua itu? Belum sempat bertanya, Ibu Maisara sudah menyalakan shower hingga membasahi tubuhnya.
"Bu ...,"
Tatapan tajam dengan senyum mencebik yang memandang rendah menantunya. "Tahu diri jadi orang. Disini kamu cuma istri, bukan menantu ku. Bersihin kamar mandi! Kebetulan bibi libur seminggu."
Bukan hanya terkejut, tetapi hatinya mencelos tak berdaya menahan kenyataan yang ternyata sangat menyakitkan. Ibu mertuanya masih belum menerima kehadirannya. Apakah senyuman penyambutan hanyalah sebagai impian semu?
Angan yang tenggelam dalam kesendirian menikmati rintihan hati yang menyesakkan. Hawa dingin yang menelusup menghantarkan setengah harapan dari awal kisah kehidupannya. Ingatan yang terasa kosong membawanya kembali pada kebersamaan semua itu bermula.
Sinar mentari di atas cakrawala yang cukup menyengat, tak menyurutkan hati seorang pemuda yang tengah berbunga-bunga. Setelah mengucapkan janji suci untuk menyatukan hubungan cinta bersama sang pujaan hati. Kini langkah kaki keduanya berjalan beriringan keluar meninggalkan pelataran KUA.
"Mas, apa kita akan langsung pulang ke rumah?" tanya seorang gadis dengan senyum lesung pipi yang terus menyebarkan rona bahagia.
Fathia Inayat namanya. Gadis yang memiliki paras ayu dengan lesung pipi ketika tersenyum, dan selalu berpenampilan sederhana itu adalah gadis impian untuk pemuda sepertinya. Meskipun hanya bekerja sebagai sales make up di salah satu gerai mall. Tetap saja memiliki kehidupan yang mandiri.
Betapa ia tidak memungkiri nikmat akan penyatuan hubungan mereka. Setelah penolakan yang dilakukannya untuk memperjuangkan cinta. Akhirnya hari ini sah menjadi suami istri. Genggaman tangan yang terus mengalirkan kesadaran bahwa semua bukanlah sekedar mimpi.
"Fathia, kamu gak papa 'kan kalau kita pulang ke rumah orang tuaku? Kebetulan rumah yang hendak ku bangun masih dalam tahap observasi lahan." Rahil mencoba untuk memulai hubungan mereka dan berpikir dengan tinggal bersama Ibu dan Ayah akan menyatukan istrinya bersama keluarga inti.
Sebagai seorang istri memiliki tanggung jawab untuk menurut keputusan sang suami. Apalagi ia sadar bahwa pernikahan antara dirinya dan Rahil atas dasar cinta, tetapi masih belum mendapatkan restu sepenuhnya dari pihak keluarga. Seenggaknya ia bisa mencoba untuk memulai hubungan dengan status baru.
Diusapnya tangan sang suami menyatukan pandangan mata dengan cinta yang tulus mengalir di dalam hatinya. "Dimanapun suami ku tinggal. Disanalah tempat ku berada. Apapun keputusanmu, aku akan selalu mendukung Mas."
Kerelaan yang ikhlas membawa Fathia pada kehidupan rumah tangga yang baru. Impian sederhana seorang istri untuk mendapatkan dukungan yang sama dari suaminya, sederhana sebagai seorang menantu ia berharap bisa meluluhkan hati kedua mertuanya.
Seperti yang sudah diputuskan. Akhirnya Rahil membawa Fathia untuk pulang ke rumah orang tuanya. Perjalanan selama empat puluh menit di iringi canda tawa membahas kisah cinta mereka. Apa yang lebih baik dari pernikahan hati? Tentu restu orang-tua yang menyertai, namun tak semua pasangan bisa mendapatkan restu.
Mobil Mercedes-Benz warna putih mulai mengurangi laju kendaraannya. Begitu mendekati pintu gerbang besi yang menjulang tidak begitu tinggi. Pak Satpam berlari bergegas membukakan pintu ketika melihat mobil yang familiar milik Tuan Muda.
Seperti biasa jendela kaca depan terbuka sekedar melemparkan seulas senyum. Begitu mobil berhenti, lalu melepaskan sabuk pengaman. Barulah membuka pintu, kemudian turun. Namun kali ini, langkah kaki berlari kecil memutari depan mobil menyambut nyonya muda.
Rahil mengulurkan tangan kanannya, "Mari, Istriku. Selamat datang di rumah baru."
"Terima kasih, Mas Rahil." sambut Fathia menerima uluran tangan sang suami, tak lupa senyum yang masih saja menghiasi wajahnya.
Keduanya kembali berjalan berdampingan menyusuri halaman rumah yang cukup untuk tempat parkir lima mobil. Tidak begitu luas, tapi cukup untuk bermain sepak bola. Yah, setidaknya jika memiliki banyak anak. Tidak kesulitan mencari tempat bermain.
Langkah kaki terus berjalan hingga mencapai pintu utama. Fathia menghentikan langkahnya, menahan pergerakan Rahil yang langsung menatap sang istri dengan tatapan lembut. Paham akan rasa ragu dan takut gadis itu, setelah penolakan yang dilakukan orang tuanya beberapa minggu yang lalu.
"Fathia, Istriku. Namamu sudah menyatu dengan namaku menjadi Fathia Inayat Rahil Yusuf Mustafa. Baik ayah atau ibu, mereka akan menyayangimu sebagai putrinya sendiri. Percaya sama suamimu ini. Ayo, kita sudah ditunggu." Rahil meyakinkan Fathia agar tidak mundur dari awal baru kehidupan mereka.
Setelah memastikan hatinya mantap. Langkah kaki kembali siap melangkah maju. Pintu utama dibuka oleh suaminya, semilir angin yang berhembus sedikit memberikan kesegaran di tengah cuaca yang panas. Keduanya masuk tanpa melepaskan genggaman tangan.
Benar saja yang diucapkan Rahil. Orang tuanya sudah menunggu di ruang tamu menyambut kedatangan mereka. Senyuman yang menyentuh hati, seketika menghilangkan rasa takut Fathia. Gadis itu menurut mengikuti Rahil yang menyalami tangan ibu dan ayahnya.
"Nak, kemana dulu kalian? Ini udah telat, loh." Ibu Maisara memulai obrolan sekedar mempertanyakan keterlambatan, senyum yang terkembang berusaha untuk dipertahankan.
Rahil melepaskan tangan Fathia dari genggaman tangannya, lalu merengkuh tubuh wanita berusia empat puluh tujuh itu agar tetap tenang. "Maafin, Rahil karena telat. Biasa jalan macet, Bu."
"Yowes, bawa istrimu istirahat, Nak." sahut Ayah Yusuf yang melihat Fathia kelelahan, tapi belum sempat dijawab oleh putranya.
Pemuda itu mengambil ponsel yang berdering begitu nyaring. Sedikit terkejut dengan nama yang memanggilnya, lalu tanpa berkata-kata melipir meninggalkan ruang tamu. Entah apa yang terjadi, tetapi setelah lima menit kembali ke ruang tamu dengan wajahnya yang tegang.
"Bu, Yah, Fathia, aku harus kembali ke kantor karena boss baru saja datang dan memerlukan jadwal pekerjaan secepat mungkin. Rahil pamit dulu, Assalamu'alaikum."
Dingin menusuk membawa kesadarannya kembali bersama sepintas ingatan yang telah berlalu menghadirkan segenggam semangat baru. Walau ia sadar, ketidaksukaan sang ibu mertua baru saja dimulai dan entah sampai kapan perjuangannya akan terus berlanjut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
KK yunia hadir.
2023-04-11
0
𝐀𝗋ƶ𝖾ᥣα
pintar banget akting ibu mertuanya
2023-04-02
0
Ibu Wawa
iss jahat bangat tu mertuanya, kasihan😏
2023-03-06
1