NovelToon NovelToon

Lara Sang Menantu

Bab 1: Hari Pertama Rumah Mertua

Langkah kaki yang terburu-buru hanya bersambut lambaian tangan sang istri. Gadis itu merasa kesepian tanpa adanya Rahil, tetapi detik berikutnya merasa bersyukur karena kedua orang tua sang suami sudah menerimanya sebagai menantu. Itu yang ia pikirkan.

"Bu, Yah, boleh tahu dimana kamar Mas Rahil? Fathia mau naruh tas dulu," ucap Fathia dengan sopan mencoba tetap merebut hati kedua mertuanya.

Ibu Maisara tersenyum sinis menyembunyikan niat hatinya. Tak ingin bertindak terlalu frontal, ia mengulurkan tangan berharap disambut hangat sang menantu. Melihat niat baik sang istri, membuat Ayah Yusuf tersenyum sumringah. Betapa tenang hatinya melihat penerimaan yang dilakukan wanita itu.

Sebagai seorang menantu baru yang benar-benar tidak tahu setiap sudut rumah. Fathia menerima uluran tangan dengan hati berbunga-bunga. Berpikir mendapatkan ibu mertua idaman. Siapa yang tidak bahagia ketika memasuki rumah baru dan disambut sepenuh hati.

Kepergian kedua wanita beda usia itu, membuat Ayah Yusuf memilih duduk seraya kembali mengambil koran pagi yang sempat terabaikan selama beberapa waktu. Dibiarkannya ibu mertua dan menantu untuk saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi, Ibu Maisara justru membawa Fathia ke tempat yang dianggapnya pantas.

Mata mengerjap mencoba mencerna maksud dari ibu mertuanya. Wanita yang kini melepaskan genggaman tangan, lalu memberikan sikat kamar mandi. Apa maksud dari semua itu? Belum sempat bertanya, Ibu Maisara sudah menyalakan shower hingga membasahi tubuhnya.

"Bu ...,"

Tatapan tajam dengan senyum mencebik yang memandang rendah menantunya. "Tahu diri jadi orang. Disini kamu cuma istri, bukan menantu ku. Bersihin kamar mandi! Kebetulan bibi libur seminggu."

Bukan hanya terkejut, tetapi hatinya mencelos tak berdaya menahan kenyataan yang ternyata sangat menyakitkan. Ibu mertuanya masih belum menerima kehadirannya. Apakah senyuman penyambutan hanyalah sebagai impian semu?

Angan yang tenggelam dalam kesendirian menikmati rintihan hati yang menyesakkan. Hawa dingin yang menelusup menghantarkan setengah harapan dari awal kisah kehidupannya. Ingatan yang terasa kosong membawanya kembali pada kebersamaan semua itu bermula.

Sinar mentari di atas cakrawala yang cukup menyengat, tak menyurutkan hati seorang pemuda yang tengah berbunga-bunga. Setelah mengucapkan janji suci untuk menyatukan hubungan cinta bersama sang pujaan hati. Kini langkah kaki keduanya berjalan beriringan keluar meninggalkan pelataran KUA.

"Mas, apa kita akan langsung pulang ke rumah?" tanya seorang gadis dengan senyum lesung pipi yang terus menyebarkan rona bahagia.

Fathia Inayat namanya. Gadis yang memiliki paras ayu dengan lesung pipi ketika tersenyum, dan selalu berpenampilan sederhana itu adalah gadis impian untuk pemuda sepertinya. Meskipun hanya bekerja sebagai sales make up di salah satu gerai mall. Tetap saja memiliki kehidupan yang mandiri.

Betapa ia tidak memungkiri nikmat akan penyatuan hubungan mereka. Setelah penolakan yang dilakukannya untuk memperjuangkan cinta. Akhirnya hari ini sah menjadi suami istri. Genggaman tangan yang terus mengalirkan kesadaran bahwa semua bukanlah sekedar mimpi.

"Fathia, kamu gak papa 'kan kalau kita pulang ke rumah orang tuaku? Kebetulan rumah yang hendak ku bangun masih dalam tahap observasi lahan." Rahil mencoba untuk memulai hubungan mereka dan berpikir dengan tinggal bersama Ibu dan Ayah akan menyatukan istrinya bersama keluarga inti.

Sebagai seorang istri memiliki tanggung jawab untuk menurut keputusan sang suami. Apalagi ia sadar bahwa pernikahan antara dirinya dan Rahil atas dasar cinta, tetapi masih belum mendapatkan restu sepenuhnya dari pihak keluarga. Seenggaknya ia bisa mencoba untuk memulai hubungan dengan status baru.

Diusapnya tangan sang suami menyatukan pandangan mata dengan cinta yang tulus mengalir di dalam hatinya. "Dimanapun suami ku tinggal. Disanalah tempat ku berada. Apapun keputusanmu, aku akan selalu mendukung Mas."

Kerelaan yang ikhlas membawa Fathia pada kehidupan rumah tangga yang baru. Impian sederhana seorang istri untuk mendapatkan dukungan yang sama dari suaminya, sederhana sebagai seorang menantu ia berharap bisa meluluhkan hati kedua mertuanya.

Seperti yang sudah diputuskan. Akhirnya Rahil membawa Fathia untuk pulang ke rumah orang tuanya. Perjalanan selama empat puluh menit di iringi canda tawa membahas kisah cinta mereka. Apa yang lebih baik dari pernikahan hati? Tentu restu orang-tua yang menyertai, namun tak semua pasangan bisa mendapatkan restu.

Mobil Mercedes-Benz warna putih mulai mengurangi laju kendaraannya. Begitu mendekati pintu gerbang besi yang menjulang tidak begitu tinggi. Pak Satpam berlari bergegas membukakan pintu ketika melihat mobil yang familiar milik Tuan Muda.

Seperti biasa jendela kaca depan terbuka sekedar melemparkan seulas senyum. Begitu mobil berhenti, lalu melepaskan sabuk pengaman. Barulah membuka pintu, kemudian turun. Namun kali ini, langkah kaki berlari kecil memutari depan mobil menyambut nyonya muda.

Rahil mengulurkan tangan kanannya, "Mari, Istriku. Selamat datang di rumah baru."

"Terima kasih, Mas Rahil." sambut Fathia menerima uluran tangan sang suami, tak lupa senyum yang masih saja menghiasi wajahnya.

Keduanya kembali berjalan berdampingan menyusuri halaman rumah yang cukup untuk tempat parkir lima mobil. Tidak begitu luas, tapi cukup untuk bermain sepak bola. Yah, setidaknya jika memiliki banyak anak. Tidak kesulitan mencari tempat bermain.

Langkah kaki terus berjalan hingga mencapai pintu utama. Fathia menghentikan langkahnya, menahan pergerakan Rahil yang langsung menatap sang istri dengan tatapan lembut. Paham akan rasa ragu dan takut gadis itu, setelah penolakan yang dilakukan orang tuanya beberapa minggu yang lalu.

"Fathia, Istriku. Namamu sudah menyatu dengan namaku menjadi Fathia Inayat Rahil Yusuf Mustafa. Baik ayah atau ibu, mereka akan menyayangimu sebagai putrinya sendiri. Percaya sama suamimu ini. Ayo, kita sudah ditunggu." Rahil meyakinkan Fathia agar tidak mundur dari awal baru kehidupan mereka.

Setelah memastikan hatinya mantap. Langkah kaki kembali siap melangkah maju. Pintu utama dibuka oleh suaminya, semilir angin yang berhembus sedikit memberikan kesegaran di tengah cuaca yang panas. Keduanya masuk tanpa melepaskan genggaman tangan.

Benar saja yang diucapkan Rahil. Orang tuanya sudah menunggu di ruang tamu menyambut kedatangan mereka. Senyuman yang menyentuh hati, seketika menghilangkan rasa takut Fathia. Gadis itu menurut mengikuti Rahil yang menyalami tangan ibu dan ayahnya.

"Nak, kemana dulu kalian? Ini udah telat, loh." Ibu Maisara memulai obrolan sekedar mempertanyakan keterlambatan, senyum yang terkembang berusaha untuk dipertahankan.

Rahil melepaskan tangan Fathia dari genggaman tangannya, lalu merengkuh tubuh wanita berusia empat puluh tujuh itu agar tetap tenang. "Maafin, Rahil karena telat. Biasa jalan macet, Bu."

"Yowes, bawa istrimu istirahat, Nak." sahut Ayah Yusuf yang melihat Fathia kelelahan, tapi belum sempat dijawab oleh putranya.

Pemuda itu mengambil ponsel yang berdering begitu nyaring. Sedikit terkejut dengan nama yang memanggilnya, lalu tanpa berkata-kata melipir meninggalkan ruang tamu. Entah apa yang terjadi, tetapi setelah lima menit kembali ke ruang tamu dengan wajahnya yang tegang.

"Bu, Yah, Fathia, aku harus kembali ke kantor karena boss baru saja datang dan memerlukan jadwal pekerjaan secepat mungkin. Rahil pamit dulu, Assalamu'alaikum."

Dingin menusuk membawa kesadarannya kembali bersama sepintas ingatan yang telah berlalu menghadirkan segenggam semangat baru. Walau ia sadar, ketidaksukaan sang ibu mertua baru saja dimulai dan entah sampai kapan perjuangannya akan terus berlanjut.

Bab 2: Hari Kedua Dirumah Mertua

Hari pertama di rumah mertua. Fathia harus membersihkan kamar mandi, tetapi bukan kamar mandi utama. Melainkan kamar mandi yang biasanya digunakan untuk pelayan atau tamu yang datang berkunjung. Pakaian basahnya tak menghalangi gerakan tangan yang terus menyikat lantai marmer putih sedikit kecoklatan.

Berteman air mata yang bercampur aroma pembersih lantai menyisakan rasa sesak di dada. Mencoba untuk tetap tegar, meski hatinya terasa perih. Namun, mengingat restu yang harus di dapat. Bibirnya memilih diam tanpa syarat. Satu pekerjaan yang harus diselesaikan, membuat ia menyimpan duka pertama ke dalam lubuk hati terdalam.

Ketika hatinya memilih Rahil sebagai pujaan hati. Sungguh dirinya tidak menyangka bisa menikah dengan pemuda yang mengajarkan banyak hal tentang kehidupan mandiri, namun hubungan itu mendapatkan penolakan karena satu alasan yang kuat yaitu perjodohan. Pernikahan terjadi karena keras hati dengan harapan orang tua mau merestui.

Kini Fathia sadar, bahwa posisinya tidak lebih dari menantu tak di anggap. Meski begitu, niat hati sudah bulat. Ia akan memperjuangkan haknya sebagai istri dan menantu demi pernikahan cinta yang menjadi tujuan hidupnya sekarang.

Satu hari telah berlalu, bersambung hari kedua. Namun, tidak ada perubahan. Fathia pikir ibu mertua hanya ingin mengujinya sebagai menantu yang bisa diandalkan. Ternyata dugaannya salah karena begitu Rahil berpamitan dan suara deru mobil tidak terdengar lagi. Maka Ibu Maisara mulai bertindak dengan menunjukkan sisi wajahnya yang asli.

Baru saja menyelesaikan sarapan pagi, tiba-tiba wanita paruh baya itu melemparkan pakaian kotor ke mukanya. Terkejut? Sangat, tetapi sadar akan pekerjaan yang terbiasa ia lakukan di rumahnya sendiri. Di saat bersamaan, ponsel yang tergeletak di atas meja berdering dan itu mengalihkan perhatiannya.

"Siapa tuh? Selingkuhan mu?" sindir Ibu Maisara dengan tatapan menyelidik, membuat Fathia was-was meski tetap mengambil ponselnya untuk menjawab panggilan.

"Assalamu'alaikum, Bu." ucap salam menyambut panggilan yang jelas tertera nama manager toko tempatnya bekerja.

Jawaban salam dari seberang yang berlanjut dengan pertanyaan sederhana, sontak menyadarkan Fathia yang lupa meminta izin untuk libur bekerja. Padahal niat awal memang tidak memerlukan libur kerja selain di hari pernikahannya. Apalagi pagi ini, ia lupa memberikan konfirmasi ketidakhadiran.

"Maaf, Bu Sasha. Saya benar-benar lupa untuk mengabari masih memerlukan waktu untuk keluarga," Sesaat menjeda penjelasannya, Fathia memikirkan ulang kondisinya yang kemungkinkan sulit untuk melanjutkan pekerjaan. "Bu, saya izin hari ini libur, lagi. Bilamana Ibu tidak berkenan, saya akan mengirimkan surat resign agar tidak menjadi beban pekerja yang lain."

Tanpa ada angin, atau hujan. Pengunduran diri diajukan. Selama ini Fathia bekerja dengan giat, bahkan di hari libur saja ketika toko memiliki jam lembur. Gadis itu tetap bersedia membantu pekerja yang lain agar bisa mendapatkan bonus untuk tambahan tabungan.

Percakapan yang cukup singkat, membuat Ibu Maisara tersenyum kecewa. Ia pikir akan mendapatkan berita baik, yah jika menantunya memiliki selingkuhan. Mudah saja membuat sang putra untuk melepaskan gadis di depannya itu, tapi sayang. Harapan hanyalah ilusi.

"Cuci yang bersih! Awas sampai ada noda sedikit saja." tukas Ibu Maisara begitu Fathia menjauhkan ponsel dari telinga, lalu melenggang pergi tanpa rasa bersalah.

Satu persatu pakaian dipungut tanpa ada beban dengan ucapan hati yang terus mengalir menguatkan dirinya sendiri. Meyakinkan jiwa bahwa semua yang terjadi hanyalah proses menuju keberhasilan hubungan barunya. Pekerjaan yang menumpuk, membuat Fathia tak membuang waktunya lagi.

Akan tetapi, ketika memasuki ruangan yang biasanya digunakan untuk mencuci pakaian menggunakan mesin cuci. Fathia tercengang dengan benda kotak yang kondisinya tidak bisa digunakan lagi. Ada kabel tapi isi di dalam mesin cuci menghilang kemana? Tidak mungkin rusak begitu saja.

Mau, tak mau, mengumpulkan pakaian untuk dicuci secara manual menggunakan tangan. Dipilihnya pakaian kotor berwarna dan yang putih polos di beda ember, lalu menuangkan deterjen. Sejenak membiarkan agar terendam dan mudah dikucek nantinya.

"Lima belas menit cukup. Jadi aku cuci piring dulu." gumam Fathia menatap rendaman pakaiannya dengan senyum tipis, lalu pergi meninggalkan ruangan itu untuk kembali ke meja makan.

Pekerjaan rumah bukanlah hal asing untuk dikerjakan karena di rumah lama hanya tinggal bersama ayahnya saja. Meski menyadari, perintah dari ibu mertuanya hanyalah untuk memberikan ujian mental. Gadis itu mencoba menikmati tanpa mengambil hati. Satu pekerjaan, beralih ke pekerjaan lain tanpa memperdulikan cucuran keringat.

Dalam hitungan jam, kondisi rumah sudah bersih, rapi dan wangi. Begitu tiba waktu makan siang, Fathia menyajikan makanan diatas meja. Menu yang biasa dimasak dan dihidangkan untuk ayah tercintanya yaitu semur daging, sambel cabe rawit, tahu tepung crispy dan lalapan.

Ayah Yusuf langsung menyerbu dengan semangat, tetapi tidak dengan Ibu Maisara. Begitu kedua mertuanya duduk di tempat masing-masing. Fathia mengambilkan piring, lalu menyendok nasi beserta lauk dan pauk. Meletakkan ke atas meja masing-masing.

"Silahkan dicicipi, Bu, Yah." ucap Fathia mempersilahkan, namun niat hati ingin ikut duduk terhenti karena tatapan tajam Ibu mertua yang mengisyaratkan agar ia tetap diam berdiri menonton saja.

"Nak, duduklah! Masa yang cape masak malah gak makan." tegur Ayah Yusuf mencoba yang membuat Fathia dilema. "Fathia! Jangan sampai Rahil mengadu kami tidak sayang kamu, Nak. Ayo, kita makan bersama."

"Ayah ini, orang gak mau masih aja dipaksa." sindir Ibu Maisara ngedumel tak rela jika makan semeja bareng menantunya.

Sesi makan siang dipenuhi ketegangan. Apalagi tiba-tiba Ibu Maisara tersedak dengan matanya yang berair. "Kamu itu, mau bunuh ibu, ya? Ngasih cabe gak kira-kira. Perut orang tua itu beda, gak sama kaya perutmu yang masih bisa melar."

Ocehan sang istri yang tidak karuan, membuat Ayah Yusuf mengusap dadanya sendiri. Sebagai seorang suami yang berulang kali mengingatkan, ternyata tak bisa mengubah tabiat wanita itu. "Bu, bicaranya di jaga. Fathia menantu kita, satu-satunya lagi."

Bukannya menerima nasehat dari suaminya. Ibu Maisara beranjak dari tempat duduknya tanpa menghabiskan makanan. Seketika menghentikan tangan Fathia yang bahkan belum menyuap satu butir nasi pun. Tidak enak keadaan yang terjadi barusan.

Namun, Ayah Yusuf memperhatikan seraya mengulurkan tangan agar ia melanjutkan makan. Antara tertekan dan terpaksa, akhirnya satu suap nasi masuk ke dalam mulutnya. Terasa begitu seret dan enggan untuk ditelan, tetapi masih berusaha menikmati makanan yang berubah menjadi hambar.

Lima menit kemudian, suara teriakan dari halaman belakang mengejutkan dua insan yang masih mengunyah makanan. Sontak saja meninggalkan ruang makan dengan langkah kaki yang berlari menyusuri beberapa koridor ruangan hingga mencapai pintu halaman belakang rumah.

Wajahnya yang memerah bukan karena terkena pantulan terik matahari, tetapi akibat gaun putih kesukaannya kini berubah menjadi warna biru dan merah yang menodai pandangan mata. Tatapan mata tajam dengan tangan yang menggenggam erat gaunnya. Melihat itu, Ayah Yusuf bergegas menghampiri sang istri.

"Kau! Kemari!" seru Ibu Maisara dengan suara yang keras mengagetkan Fathia, tetapi anehnya langkah kakinya tetap berjalan menuju wanita paruh baya itu. "Bagus ya, pekerjaanmu? Kau lihat gaun kesukaanku rusak? Memangnya bisa ganti?"

"Bu, istighfar." Ayah Yusuf berusaha merengkuh tubuh istrinya, tetapi tangannya ditepis.

Langkah kaki Fathia yang semakin mendekat, membuat wanita itu mengedarkan pandangan mata kesekitarnya hingga menemukan apa yang dia butuhkan. Gaun yang rusak diserahkan kepada suaminya, lalu bergegas mengambil sapu lidi yang teronggok menyandar di batang pohon jambu.

Entah bagaimana semua bermula. Ayah Yusuf yang mencoba menghalangi tindakan sang istri, justru mendapatkan ancaman, sedangkan Fathia terdiam dengan tubuh gemetar. Untuk pertama kalinya, rasa takut menguasai jiwa dan raga. Apalagi ketika hantaman keras menyentuh punggungnya hingga menghadirkan suara rintihan sakit yang tertahan.

Lima kali pukulan menumpahkan emosi sang ibu mertua yang kalap. Punggung terasa begitu nyeri dan sakit, tetapi yang lebih terluka adalah batinnya. Kepergian Ayah Yusuf bersama Ibu Maisara, meninggalkan tubuh lemahnya dalam kesendirian. Lelehan air mata tak lagi mampu untuk bertahan.

Bab 3: Bukan Menantu Idaman

Ya Allah, kuatkan hamba untuk mendapatkan hati ibu mertua. Sabarkanlah diri ini untuk ikhlas menerima cobaan yang memang tertulis dalam takdir kehidupan. Biarlah restu menjadi akhir perjuangan agar pernikahan kami dipenuhi keberkahan.~doa Fathia dengan derai air mata yang membasahi kedua pipinya.

Pukulan sapu yang dilakukan sang ibu mertua masih bisa ditahannya karena ingatan impian dalam rumah tangga selalu memberikan keteguhan hati. Secara perlahan melewati hari demi hari dengan sindiran dan hinaan yang masih bisa ditoleransi. Satu minggu telah berlalu. Tidak ada yang berubah.

"Fathia, wajahmu pucat. Apa kamu sakit?" Rahil menatap istrinya dari pantulan cermin, di saat ia merapikan kemeja kerjanya. "Jika iya, aku antar ke dokter. Aku tidak mau istriku kelelahan."

"Mas ini, terlalu over protective. Ade baik, kok. Lihat masih kuat angkat gelas," balas Fathia menyunggingkan senyum hingga menampilkan lesung pipi yang menambah manis wajah ayunya.

Candaan yang selalu menghantarkan kehangatan. Yah, itulah gadis yang membuatnya luluh pada pandangan pertama. Polos, tetapi sangat menawan, bahkan baik hati dan juga penyayang. Siapa yang tidak jatuh hati dengan gadis seperti Fathia?

Namun, rasa was-was selalu menyergap hatinya. Ia tahu, jika ibunya menginginkan gadis lain untuk menjadi istri idaman. Akan tetapi, Fathia tidak memiliki kekurangan dan itulah yang ingin dia buktikan. Hanya saja, selama beberapa hari setelah menikah masih disibukkan dengan pekerjaan kantor.

Langkah kaki berjalan menghampiri sang istri yang sibuk merapikan tempat tidur mereka. "Fathia, apa semua baik?"

Satu pertanyaan yang tulus, tetapi terdengar begitu keramat. Jika mungkin, hatinya sudah menjerit mengatakan kebenaran akan luka yang tertoreh di dalam jiwanya. Namun bibir kelu tak berdaya dan memilih diam untuk ketenangan keluarga.

Seulas senyum kebahagiaan menghadirkan perasaan lega. Pria itu bersyukur, istrinya tidak memiliki masalah apapun di dalam rumah dan akur bersama kedua orang tuanya. Apa yang lebih baik dari itu? Yah, kebersamaan keluarga adalah yang utama. Selain itu, ia memiliki kesibukan yang terkadang tidak bisa ditunda.

"Mas, berangkat sana! Lihat udah mau jam tujuh, nanti macet loh." Fathia mencoba mengingatkan, lebih tepatnya untuk menghindari pertanyaan yang bisa menjebaknya.

Kecupan hangat mendarat memberikan salam perpisahan pagi. Seperti biasa, ia akan mengantarkan suaminya sampai pintu depan, lalu menunggu hingga mobil melewati pintu gerbang dengan suara klakson yang menjadi permulaan perang antara batin dan kenyataan.

Belum juga berbalik, suara panas menghentak gendang telinganya. Suara panggilan ibu mertua yang terdengar melengking dari dalam rumah. "Iya, Bu." Gadis itu bergegas masuk menghampiri sumber suara yang ternyata tengah berdiri di ruangan pakaian ganti.

Di atas meja setrika sudah menumpuk banyak pakaian kering yang lusuh dan kusut. Cukup paham dengan keinginan ibu mertuanya yang ingin dia membereskan setrikaan semua pakaian di depan mata. Hanya saja, hati merasa dilema. Takut melakukan kesalahan lagi.

"Heh! Malah diliatin doang. Setrika semua!" Ibu Maisara melemparkan sachet pewangi yang ada di sebelahnya hingga mengenai wajah Fathia.

Gadis itu hanya diam tak bergeming. Tanpa mempedulikan raut wajah sendu sang menantu, Ibu Maisara meninggalkan ruang ganti pakaian. Wanita itu membiarkan pekerjaan pelayan yang sengaja diliburkan untuk dikerjakan menantunya seorang diri.

Selain mengirit pengeluaran, maka misi memisahkan putra dari istri tak berguna seperti Fathia bisa dijalankan tanpa hambatan. Yah, apalagi setelah tak sengaja mendengar percakapan antara Rahil dan Fathia yang membahas tentang rumah baru. Tentu tidak bisa dibiarkan.

Kesibukan Fathia menyetrika pakaian sampai melupakan waktu. Gadis itu tak sempat melirik ke arah jam di dinding. Jika bukan karena suara panggilan sang ibu mertua yang kembali menyentak kesadarannya. Tangan dan pandangan tak akan mendapatkan waktu untuk istirahat sejenak.

"Fathia! Buruan siapin makan siang." Ibu Maisara yang sibuk mewarnai kuku tangan di ruang tamu masih sempat berteriak untuk mendapatkan pelayanan terbaik, sedangkan yang dipanggil tersentak hingga lari terburu-buru menuju dapur.

Setelah beberapa jam menggenggam setrikaan, tangannya sedikit kram. Tak elak sesekali pisau terlepas dari pegangan tangan. Menyiapkan bahan makanan yang sudah tersedia dan berusaha secepat mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan dapurnya. Namun, tiba-tiba ditengah ritual memasak tercium aroma gosong.

"Kok bau gak enak, ya?" Dilihatnya gorengan perkedel di atas wajan, tapi masih setengah matang, lalu memeriksa nasi liwet yang juga masih dalam keadaan aman. "Kenapa baunya semakin menyengat?"

Rasa penasaran Fathia, membawa langkah kakinya meninggalkan dapur. Tentu setelah mematikan kompor untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan. Indra penciuman yang mengikuti bau tak sedap terus membawanya ke ruang ganti. Betapa terkejutnya, ketika melihat setrikaan masih menyala dan kemeja biru sudah dalam keadaan berlubang.

Niat hati ingin menyelamatkan, tapi langkahnya didahului sang ibu mertua yang langsung mencabut kabel setrikaan, lalu menyingkirkan benda penghantar panas itu. Kemudian mengangkat kemeja kesayangan milik Rahil. Kemeja itu hadiah pertama darinya untuk memulai karir setelah menyelesaikan jenjang pendidikan S2.

"Bu, Fathia gak sengaja." cicit gadis itu dengan tubuh yang langsung gemetar refleksi dari rasa takutnya.

Lubang yang menganga menampakkan wajah murka merah padam sang ibu mertua. "Kerjaan mu selalu tidak becus. Nyuci, jadi ngerusak baju. Nyapu, berakhir guci pecah, masak, rasa tidak enak, sekarang nyetrika justru ngebakar kemeja kesayangan putraku."

"Kamu itu bisanya apa?" Ibu Maisara melemparkan kemeja putranya tepat mengenai wajah Fathia, "Duduk! Awas saja lari."

Rasa takut yang semakin melanda, membuat gadis itu menurut. Suara detak jantung yang semakin berdenyut cepat tak memberikan keberanian untuk melawan. Entah kemana perginya sang ibu mertua, tetapi lima menit yang berlalu begitu lama. Justru tergantikan rasa yang tidak bisa ia bayangkan.

Suara pecutan terdengar menyentak, lirikan mata menangkap ekor tali rotan yang ada di belakangnya. "Bu ....,"

Suara protesnya terbungkam dengan kibasan tali rotan yang menyentuh punggungnya. Sakit, perih bercampur panas menjalar menghantarkan rasa hangat yang mengalir di punggung. Sekali hentakan masih ditahan, dua kali terasa menyengat, hingga ketiga kali meluluhkan tubuh takutnya.

"Ingat cambuk ini sebelum berbuat kesalahan lagi. Kamu memang tidak pantas menjadi menantu ku. Ingat itu!" Dilemparkannya cambuk ke depan hingga tergeletak di depan wajah Fathia yang lemas terkulai di lantai.

Tidak ada isak tangis, hanya air mata yang mengalir membasahi pipi dengan rasa nikmat akan remuk tubuhnya. Kin ia sadar, bahwa sampai kapanpun wanita yang dianggap sebagai ibu mertua. Tidak akan pernah menoleh untuk memberikan kasih sayang seorang ibu. Apapun perjuangannya hanya akan menjadi debu tak berarti.

Di sisa kesadarannya. Sang ayah mertua datang membantunya untuk berpindah tempat. Tatapan sendu dengan bibir tak mampu berucap menjelaskan situasi yang ada hanyalah peperangan antara ia dan ibu mertua. Tidak ada lagi pekerjaan rumah tangga dan semua itu karena rasa sakit di punggungnya.

Mentari yang bersinar perlahan menuju peraduan menjemput sang malam tanpa bulan dan bintang. Entah sudah berapa lama meratapi nasib dalam kesendirian hingga sentuhan lembut membangunnya. Tatapan mata yang meneduhkan memberi secercah sinar harapan.

"Lelah ya? Mau ke dokter? Mas gak mau lihat kamu sakit." ucap Rahil sembari mengusap wajah istrinya yang terlihat pucat, tetapi gadis itu justru kembali memejamkan mata menikmati sentuhannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!