Hari pertama di rumah mertua. Fathia harus membersihkan kamar mandi, tetapi bukan kamar mandi utama. Melainkan kamar mandi yang biasanya digunakan untuk pelayan atau tamu yang datang berkunjung. Pakaian basahnya tak menghalangi gerakan tangan yang terus menyikat lantai marmer putih sedikit kecoklatan.
Berteman air mata yang bercampur aroma pembersih lantai menyisakan rasa sesak di dada. Mencoba untuk tetap tegar, meski hatinya terasa perih. Namun, mengingat restu yang harus di dapat. Bibirnya memilih diam tanpa syarat. Satu pekerjaan yang harus diselesaikan, membuat ia menyimpan duka pertama ke dalam lubuk hati terdalam.
Ketika hatinya memilih Rahil sebagai pujaan hati. Sungguh dirinya tidak menyangka bisa menikah dengan pemuda yang mengajarkan banyak hal tentang kehidupan mandiri, namun hubungan itu mendapatkan penolakan karena satu alasan yang kuat yaitu perjodohan. Pernikahan terjadi karena keras hati dengan harapan orang tua mau merestui.
Kini Fathia sadar, bahwa posisinya tidak lebih dari menantu tak di anggap. Meski begitu, niat hati sudah bulat. Ia akan memperjuangkan haknya sebagai istri dan menantu demi pernikahan cinta yang menjadi tujuan hidupnya sekarang.
Satu hari telah berlalu, bersambung hari kedua. Namun, tidak ada perubahan. Fathia pikir ibu mertua hanya ingin mengujinya sebagai menantu yang bisa diandalkan. Ternyata dugaannya salah karena begitu Rahil berpamitan dan suara deru mobil tidak terdengar lagi. Maka Ibu Maisara mulai bertindak dengan menunjukkan sisi wajahnya yang asli.
Baru saja menyelesaikan sarapan pagi, tiba-tiba wanita paruh baya itu melemparkan pakaian kotor ke mukanya. Terkejut? Sangat, tetapi sadar akan pekerjaan yang terbiasa ia lakukan di rumahnya sendiri. Di saat bersamaan, ponsel yang tergeletak di atas meja berdering dan itu mengalihkan perhatiannya.
"Siapa tuh? Selingkuhan mu?" sindir Ibu Maisara dengan tatapan menyelidik, membuat Fathia was-was meski tetap mengambil ponselnya untuk menjawab panggilan.
"Assalamu'alaikum, Bu." ucap salam menyambut panggilan yang jelas tertera nama manager toko tempatnya bekerja.
Jawaban salam dari seberang yang berlanjut dengan pertanyaan sederhana, sontak menyadarkan Fathia yang lupa meminta izin untuk libur bekerja. Padahal niat awal memang tidak memerlukan libur kerja selain di hari pernikahannya. Apalagi pagi ini, ia lupa memberikan konfirmasi ketidakhadiran.
"Maaf, Bu Sasha. Saya benar-benar lupa untuk mengabari masih memerlukan waktu untuk keluarga," Sesaat menjeda penjelasannya, Fathia memikirkan ulang kondisinya yang kemungkinkan sulit untuk melanjutkan pekerjaan. "Bu, saya izin hari ini libur, lagi. Bilamana Ibu tidak berkenan, saya akan mengirimkan surat resign agar tidak menjadi beban pekerja yang lain."
Tanpa ada angin, atau hujan. Pengunduran diri diajukan. Selama ini Fathia bekerja dengan giat, bahkan di hari libur saja ketika toko memiliki jam lembur. Gadis itu tetap bersedia membantu pekerja yang lain agar bisa mendapatkan bonus untuk tambahan tabungan.
Percakapan yang cukup singkat, membuat Ibu Maisara tersenyum kecewa. Ia pikir akan mendapatkan berita baik, yah jika menantunya memiliki selingkuhan. Mudah saja membuat sang putra untuk melepaskan gadis di depannya itu, tapi sayang. Harapan hanyalah ilusi.
"Cuci yang bersih! Awas sampai ada noda sedikit saja." tukas Ibu Maisara begitu Fathia menjauhkan ponsel dari telinga, lalu melenggang pergi tanpa rasa bersalah.
Satu persatu pakaian dipungut tanpa ada beban dengan ucapan hati yang terus mengalir menguatkan dirinya sendiri. Meyakinkan jiwa bahwa semua yang terjadi hanyalah proses menuju keberhasilan hubungan barunya. Pekerjaan yang menumpuk, membuat Fathia tak membuang waktunya lagi.
Akan tetapi, ketika memasuki ruangan yang biasanya digunakan untuk mencuci pakaian menggunakan mesin cuci. Fathia tercengang dengan benda kotak yang kondisinya tidak bisa digunakan lagi. Ada kabel tapi isi di dalam mesin cuci menghilang kemana? Tidak mungkin rusak begitu saja.
Mau, tak mau, mengumpulkan pakaian untuk dicuci secara manual menggunakan tangan. Dipilihnya pakaian kotor berwarna dan yang putih polos di beda ember, lalu menuangkan deterjen. Sejenak membiarkan agar terendam dan mudah dikucek nantinya.
"Lima belas menit cukup. Jadi aku cuci piring dulu." gumam Fathia menatap rendaman pakaiannya dengan senyum tipis, lalu pergi meninggalkan ruangan itu untuk kembali ke meja makan.
Pekerjaan rumah bukanlah hal asing untuk dikerjakan karena di rumah lama hanya tinggal bersama ayahnya saja. Meski menyadari, perintah dari ibu mertuanya hanyalah untuk memberikan ujian mental. Gadis itu mencoba menikmati tanpa mengambil hati. Satu pekerjaan, beralih ke pekerjaan lain tanpa memperdulikan cucuran keringat.
Dalam hitungan jam, kondisi rumah sudah bersih, rapi dan wangi. Begitu tiba waktu makan siang, Fathia menyajikan makanan diatas meja. Menu yang biasa dimasak dan dihidangkan untuk ayah tercintanya yaitu semur daging, sambel cabe rawit, tahu tepung crispy dan lalapan.
Ayah Yusuf langsung menyerbu dengan semangat, tetapi tidak dengan Ibu Maisara. Begitu kedua mertuanya duduk di tempat masing-masing. Fathia mengambilkan piring, lalu menyendok nasi beserta lauk dan pauk. Meletakkan ke atas meja masing-masing.
"Silahkan dicicipi, Bu, Yah." ucap Fathia mempersilahkan, namun niat hati ingin ikut duduk terhenti karena tatapan tajam Ibu mertua yang mengisyaratkan agar ia tetap diam berdiri menonton saja.
"Nak, duduklah! Masa yang cape masak malah gak makan." tegur Ayah Yusuf mencoba yang membuat Fathia dilema. "Fathia! Jangan sampai Rahil mengadu kami tidak sayang kamu, Nak. Ayo, kita makan bersama."
"Ayah ini, orang gak mau masih aja dipaksa." sindir Ibu Maisara ngedumel tak rela jika makan semeja bareng menantunya.
Sesi makan siang dipenuhi ketegangan. Apalagi tiba-tiba Ibu Maisara tersedak dengan matanya yang berair. "Kamu itu, mau bunuh ibu, ya? Ngasih cabe gak kira-kira. Perut orang tua itu beda, gak sama kaya perutmu yang masih bisa melar."
Ocehan sang istri yang tidak karuan, membuat Ayah Yusuf mengusap dadanya sendiri. Sebagai seorang suami yang berulang kali mengingatkan, ternyata tak bisa mengubah tabiat wanita itu. "Bu, bicaranya di jaga. Fathia menantu kita, satu-satunya lagi."
Bukannya menerima nasehat dari suaminya. Ibu Maisara beranjak dari tempat duduknya tanpa menghabiskan makanan. Seketika menghentikan tangan Fathia yang bahkan belum menyuap satu butir nasi pun. Tidak enak keadaan yang terjadi barusan.
Namun, Ayah Yusuf memperhatikan seraya mengulurkan tangan agar ia melanjutkan makan. Antara tertekan dan terpaksa, akhirnya satu suap nasi masuk ke dalam mulutnya. Terasa begitu seret dan enggan untuk ditelan, tetapi masih berusaha menikmati makanan yang berubah menjadi hambar.
Lima menit kemudian, suara teriakan dari halaman belakang mengejutkan dua insan yang masih mengunyah makanan. Sontak saja meninggalkan ruang makan dengan langkah kaki yang berlari menyusuri beberapa koridor ruangan hingga mencapai pintu halaman belakang rumah.
Wajahnya yang memerah bukan karena terkena pantulan terik matahari, tetapi akibat gaun putih kesukaannya kini berubah menjadi warna biru dan merah yang menodai pandangan mata. Tatapan mata tajam dengan tangan yang menggenggam erat gaunnya. Melihat itu, Ayah Yusuf bergegas menghampiri sang istri.
"Kau! Kemari!" seru Ibu Maisara dengan suara yang keras mengagetkan Fathia, tetapi anehnya langkah kakinya tetap berjalan menuju wanita paruh baya itu. "Bagus ya, pekerjaanmu? Kau lihat gaun kesukaanku rusak? Memangnya bisa ganti?"
"Bu, istighfar." Ayah Yusuf berusaha merengkuh tubuh istrinya, tetapi tangannya ditepis.
Langkah kaki Fathia yang semakin mendekat, membuat wanita itu mengedarkan pandangan mata kesekitarnya hingga menemukan apa yang dia butuhkan. Gaun yang rusak diserahkan kepada suaminya, lalu bergegas mengambil sapu lidi yang teronggok menyandar di batang pohon jambu.
Entah bagaimana semua bermula. Ayah Yusuf yang mencoba menghalangi tindakan sang istri, justru mendapatkan ancaman, sedangkan Fathia terdiam dengan tubuh gemetar. Untuk pertama kalinya, rasa takut menguasai jiwa dan raga. Apalagi ketika hantaman keras menyentuh punggungnya hingga menghadirkan suara rintihan sakit yang tertahan.
Lima kali pukulan menumpahkan emosi sang ibu mertua yang kalap. Punggung terasa begitu nyeri dan sakit, tetapi yang lebih terluka adalah batinnya. Kepergian Ayah Yusuf bersama Ibu Maisara, meninggalkan tubuh lemahnya dalam kesendirian. Lelehan air mata tak lagi mampu untuk bertahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
mertua kejam
2023-04-11
0
𝐀𝗋ƶ𝖾ᥣα
astaghfirullah, kenapa selalu negative thinking sama Fathia sih?
2023-04-02
0
Ibu Wawa
sedih bangat, kasihan sama fahia, kok mau saja kamu di gituan☹️☹️☹️☹️
2023-03-06
1