Ya Allah, kuatkan hamba untuk mendapatkan hati ibu mertua. Sabarkanlah diri ini untuk ikhlas menerima cobaan yang memang tertulis dalam takdir kehidupan. Biarlah restu menjadi akhir perjuangan agar pernikahan kami dipenuhi keberkahan.~doa Fathia dengan derai air mata yang membasahi kedua pipinya.
Pukulan sapu yang dilakukan sang ibu mertua masih bisa ditahannya karena ingatan impian dalam rumah tangga selalu memberikan keteguhan hati. Secara perlahan melewati hari demi hari dengan sindiran dan hinaan yang masih bisa ditoleransi. Satu minggu telah berlalu. Tidak ada yang berubah.
"Fathia, wajahmu pucat. Apa kamu sakit?" Rahil menatap istrinya dari pantulan cermin, di saat ia merapikan kemeja kerjanya. "Jika iya, aku antar ke dokter. Aku tidak mau istriku kelelahan."
"Mas ini, terlalu over protective. Ade baik, kok. Lihat masih kuat angkat gelas," balas Fathia menyunggingkan senyum hingga menampilkan lesung pipi yang menambah manis wajah ayunya.
Candaan yang selalu menghantarkan kehangatan. Yah, itulah gadis yang membuatnya luluh pada pandangan pertama. Polos, tetapi sangat menawan, bahkan baik hati dan juga penyayang. Siapa yang tidak jatuh hati dengan gadis seperti Fathia?
Namun, rasa was-was selalu menyergap hatinya. Ia tahu, jika ibunya menginginkan gadis lain untuk menjadi istri idaman. Akan tetapi, Fathia tidak memiliki kekurangan dan itulah yang ingin dia buktikan. Hanya saja, selama beberapa hari setelah menikah masih disibukkan dengan pekerjaan kantor.
Langkah kaki berjalan menghampiri sang istri yang sibuk merapikan tempat tidur mereka. "Fathia, apa semua baik?"
Satu pertanyaan yang tulus, tetapi terdengar begitu keramat. Jika mungkin, hatinya sudah menjerit mengatakan kebenaran akan luka yang tertoreh di dalam jiwanya. Namun bibir kelu tak berdaya dan memilih diam untuk ketenangan keluarga.
Seulas senyum kebahagiaan menghadirkan perasaan lega. Pria itu bersyukur, istrinya tidak memiliki masalah apapun di dalam rumah dan akur bersama kedua orang tuanya. Apa yang lebih baik dari itu? Yah, kebersamaan keluarga adalah yang utama. Selain itu, ia memiliki kesibukan yang terkadang tidak bisa ditunda.
"Mas, berangkat sana! Lihat udah mau jam tujuh, nanti macet loh." Fathia mencoba mengingatkan, lebih tepatnya untuk menghindari pertanyaan yang bisa menjebaknya.
Kecupan hangat mendarat memberikan salam perpisahan pagi. Seperti biasa, ia akan mengantarkan suaminya sampai pintu depan, lalu menunggu hingga mobil melewati pintu gerbang dengan suara klakson yang menjadi permulaan perang antara batin dan kenyataan.
Belum juga berbalik, suara panas menghentak gendang telinganya. Suara panggilan ibu mertua yang terdengar melengking dari dalam rumah. "Iya, Bu." Gadis itu bergegas masuk menghampiri sumber suara yang ternyata tengah berdiri di ruangan pakaian ganti.
Di atas meja setrika sudah menumpuk banyak pakaian kering yang lusuh dan kusut. Cukup paham dengan keinginan ibu mertuanya yang ingin dia membereskan setrikaan semua pakaian di depan mata. Hanya saja, hati merasa dilema. Takut melakukan kesalahan lagi.
"Heh! Malah diliatin doang. Setrika semua!" Ibu Maisara melemparkan sachet pewangi yang ada di sebelahnya hingga mengenai wajah Fathia.
Gadis itu hanya diam tak bergeming. Tanpa mempedulikan raut wajah sendu sang menantu, Ibu Maisara meninggalkan ruang ganti pakaian. Wanita itu membiarkan pekerjaan pelayan yang sengaja diliburkan untuk dikerjakan menantunya seorang diri.
Selain mengirit pengeluaran, maka misi memisahkan putra dari istri tak berguna seperti Fathia bisa dijalankan tanpa hambatan. Yah, apalagi setelah tak sengaja mendengar percakapan antara Rahil dan Fathia yang membahas tentang rumah baru. Tentu tidak bisa dibiarkan.
Kesibukan Fathia menyetrika pakaian sampai melupakan waktu. Gadis itu tak sempat melirik ke arah jam di dinding. Jika bukan karena suara panggilan sang ibu mertua yang kembali menyentak kesadarannya. Tangan dan pandangan tak akan mendapatkan waktu untuk istirahat sejenak.
"Fathia! Buruan siapin makan siang." Ibu Maisara yang sibuk mewarnai kuku tangan di ruang tamu masih sempat berteriak untuk mendapatkan pelayanan terbaik, sedangkan yang dipanggil tersentak hingga lari terburu-buru menuju dapur.
Setelah beberapa jam menggenggam setrikaan, tangannya sedikit kram. Tak elak sesekali pisau terlepas dari pegangan tangan. Menyiapkan bahan makanan yang sudah tersedia dan berusaha secepat mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan dapurnya. Namun, tiba-tiba ditengah ritual memasak tercium aroma gosong.
"Kok bau gak enak, ya?" Dilihatnya gorengan perkedel di atas wajan, tapi masih setengah matang, lalu memeriksa nasi liwet yang juga masih dalam keadaan aman. "Kenapa baunya semakin menyengat?"
Rasa penasaran Fathia, membawa langkah kakinya meninggalkan dapur. Tentu setelah mematikan kompor untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan. Indra penciuman yang mengikuti bau tak sedap terus membawanya ke ruang ganti. Betapa terkejutnya, ketika melihat setrikaan masih menyala dan kemeja biru sudah dalam keadaan berlubang.
Niat hati ingin menyelamatkan, tapi langkahnya didahului sang ibu mertua yang langsung mencabut kabel setrikaan, lalu menyingkirkan benda penghantar panas itu. Kemudian mengangkat kemeja kesayangan milik Rahil. Kemeja itu hadiah pertama darinya untuk memulai karir setelah menyelesaikan jenjang pendidikan S2.
"Bu, Fathia gak sengaja." cicit gadis itu dengan tubuh yang langsung gemetar refleksi dari rasa takutnya.
Lubang yang menganga menampakkan wajah murka merah padam sang ibu mertua. "Kerjaan mu selalu tidak becus. Nyuci, jadi ngerusak baju. Nyapu, berakhir guci pecah, masak, rasa tidak enak, sekarang nyetrika justru ngebakar kemeja kesayangan putraku."
"Kamu itu bisanya apa?" Ibu Maisara melemparkan kemeja putranya tepat mengenai wajah Fathia, "Duduk! Awas saja lari."
Rasa takut yang semakin melanda, membuat gadis itu menurut. Suara detak jantung yang semakin berdenyut cepat tak memberikan keberanian untuk melawan. Entah kemana perginya sang ibu mertua, tetapi lima menit yang berlalu begitu lama. Justru tergantikan rasa yang tidak bisa ia bayangkan.
Suara pecutan terdengar menyentak, lirikan mata menangkap ekor tali rotan yang ada di belakangnya. "Bu ....,"
Suara protesnya terbungkam dengan kibasan tali rotan yang menyentuh punggungnya. Sakit, perih bercampur panas menjalar menghantarkan rasa hangat yang mengalir di punggung. Sekali hentakan masih ditahan, dua kali terasa menyengat, hingga ketiga kali meluluhkan tubuh takutnya.
"Ingat cambuk ini sebelum berbuat kesalahan lagi. Kamu memang tidak pantas menjadi menantu ku. Ingat itu!" Dilemparkannya cambuk ke depan hingga tergeletak di depan wajah Fathia yang lemas terkulai di lantai.
Tidak ada isak tangis, hanya air mata yang mengalir membasahi pipi dengan rasa nikmat akan remuk tubuhnya. Kin ia sadar, bahwa sampai kapanpun wanita yang dianggap sebagai ibu mertua. Tidak akan pernah menoleh untuk memberikan kasih sayang seorang ibu. Apapun perjuangannya hanya akan menjadi debu tak berarti.
Di sisa kesadarannya. Sang ayah mertua datang membantunya untuk berpindah tempat. Tatapan sendu dengan bibir tak mampu berucap menjelaskan situasi yang ada hanyalah peperangan antara ia dan ibu mertua. Tidak ada lagi pekerjaan rumah tangga dan semua itu karena rasa sakit di punggungnya.
Mentari yang bersinar perlahan menuju peraduan menjemput sang malam tanpa bulan dan bintang. Entah sudah berapa lama meratapi nasib dalam kesendirian hingga sentuhan lembut membangunnya. Tatapan mata yang meneduhkan memberi secercah sinar harapan.
"Lelah ya? Mau ke dokter? Mas gak mau lihat kamu sakit." ucap Rahil sembari mengusap wajah istrinya yang terlihat pucat, tetapi gadis itu justru kembali memejamkan mata menikmati sentuhannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
KK kasi 2 iklan biar semangat nulis nya.
2023-04-11
1
𝐀𝗋ƶ𝖾ᥣα
Rahil salah besar kalau mengira Fathia diperlukan baik oleh ibunya, kasihan banget nasib Fathia
2023-04-02
0