Waktu sudah menginjak pukul sepuluh malam, tetapi kamar putrinya masih menyala terang. Gadis dengan piyama putih bermotif bunga sakura duduk termenung di atas kursi depan jendela sembari memeluk boneka panda yang ukurannya lebih besar dari si pemeluk.
Namanya adalah Raisa Samara. Gadis berusia sepuluh tahun yang terbiasa menyendiri tanpa memiliki ruang lingkup pertemanan yang bisa menjadi teman sepermainan. Selama ini ia hanya menjalani rutinitas harian sebagai seorang pelajar dengan homeschooling, serta beberapa les privat sesuai hobi si gadis itu.
Suara ketukan pintu tak mengusik lamunannya, bahkan Raisa enggan untuk menoleh melihat siapa yang datang untuk mengunjunginya. Aroma parfum maskulin bercampur aroma segar lautan sudah cukup menjelaskan identitas si pemilik derap langkah kaki yang mendekat ke arahnya.
"Papa tidak jadi ke Amerika?" tanya Raisa, lalu merenggangkan pelukan boneka, kemudian bersembunyi di belakang punggung boneka kesayangannya.
Pria dewasa yang dipanggil papa oleh Raisa itu, ia duduk jongkok di depan putrinya. Lalu meraih kedua tangan mungil yang melingkar di perut panda, kemudian mengusap menyalurkan kasih sayang yang ia miliki. "Papa tetap disini bersamamu. Jika memang harus pergi, maka duniaku harus di sisiku. Raisa putri papa dan kehidupan yang selalu menjadi nomor satu."
"Jangankan Amerika, Papa akan menolak semua kerjasama bisnis yang bisa merenggut senyuman bahagia putriku. Kamulah alasan Papa membesarkan perusahaan, jadi bisakah beri satu senyum untuk untuk malam ini?" bujuk Pria itu sebagaimana biasanya.
Selama ini ia hanya menjalani kehidupan tanpa ada keinginan egois untuk diri sendiri. Setiap keputusan berawal dari putrinya dan berakhir untuk sang putri. Tidak ada aturan yang bisa mengubah semua itu karena baginya hanya ada satu kebahagiaan sejati yaitu senyum Raisa.
Bujukan sang papa memudarkan kekesalannya, tetapi hati ingin mendapatkan kepastian nyata. "Papa janji gak akan pergi tanpa Raisa?" Si gadis menatap pria di depannya penuh keseriusan.
Tatapan mata tajam sedalam air yang tenang terpatri menenggelamkan diri ke dalam keteduhan seorang ayah. Tidak ada yang bisa mengasihi lebih dari sang papa, ia sadar itu. Akan tetapi rasa takut di hati akan kesendirian hanya bisa teralihkan bersama kebersamaan keduanya. Selain itu, ia bingung akan berpulang ke rumah mana.
"Papa janji, sekarang minum susu dan istirahat." Boneka panda disingkirkan agar jarak tidak lagi ada, lalu ia merengkuh tubuh putrinya membawa gadis itu ke tempat peristirahatan.
Ranjang king size yang tertutup sprei hitam. Raisa memang pecinta warna hitam, tetapi pakaiannya masih sedikit beragam meski beberapa terkesan membosankan. Jika dibelikan gaun, justru hanya menumpuk di lemari pisah dengan tulisan dijual ulang.
Biarlah malam menjadi saksi antara cinta dan kasih sayang kedua insan dalam ikatan kekeluargaan. Waktu yang berlalu menyambut sang surya yang bersinar terang. Awal baru kehidupan dengan rajutan harapan yang digenggam bersambut suara kicauan burung menentramkan.
"De, apa kamu tidak bersiap? Manager tempatmu bekerja bisa marah loh, kalau cuti terus." Tatapan mata terpatri pada sang istri yang sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya, tetapi yang ditatap berpura-pura tidak peka.
"Nak, benar yang dikatakan suamimu. Pergilah bersiap dan berangkat kerja bareng Rahil. Kalian searah 'kan?" sambung Ayah Yusuf dengan pertanyaan sederhananya.
Perbincangan yang tidak bermutu, membuat Ibu Maisara masa bodo. Selain senyum palsu yang tersungging, wanita itu tidak peduli jika menantu tak dianggapnya dipecat sekalipun dari pekerjaan. Baginya yang terpenting menghancurkan reputasi si menantu agar bisa dicerai oleh Rahil. Akan tetapi bagaimana cara dia memisahkan pasutri baru itu?
"Iya Mas, Pak. Fathia permisi balik ke dalam," pamit Fathia setelah melayani suami dan mertua, tetapi tak seorangpun kecuali ibu mertuanya yang melihat cara jalan wanita itu seperti diseret paksa.
Apa pernikahan mereka berjalan baik? Jika hanya karena pergulatan ranjang, mana mungkin sampai jalan pincang. Pasti ada yang tidak beres dan wajib diselidiki.~ ucap hati Ibu Maisara dengan senyum samar yang tersirat.
Hari ini, Fathia kembali bekerja dan berangkat bersama Rahil. Meski arah dari tempat keduanya mencari nafkah berbeda arah. Pria itu tetap melakukan tugasnya sebagai seorang suami, ia tidak sadar wanita yang duduk di sebelah mengalami demam parah.
"Mas, mall sudah ada di depan. Aku turun sini aja, kamu bisa berangkat kerja. Jangan sampai telat karena mengantarkan aku." ucap Fathia lembut tanpa ada rasa takut, membuat Rahil menepikan mobil.
Begitu mobil berhenti, Fathia melepaskan sabuk pengaman. Ia tak lupa meraih tangan suaminya untuk berpamitan, "Hati-hati ya, Mas. Jangan lupa makan siang."
"Fathia, apa kamu baik-baik saja? Tubuhmu panas loh, kita ke dokter saja ya." ajak Rahil menahan tangan istrinya, tetapi wanita itu buru-buru menarik tangan seraya menggelengkan kepala.
Keduanya tetap berpisah setelah melakukan argumen singkat. Fathia menolak ajakan Rahil dengan alasan pekerjaan, tetapi alasan sebenarnya adalah ia tak ingin sang suami tahu tentang luka cambuk yang masih terasa perih menyakitkan. Apalagi sampai ada pertengkaran antara ibu dan anak.
Bagaimanapun keadaannya, ia wajib menjaga aib ibu mertua karena semua yang terjadi pasti untuk kebaikan dikemudian hari. Pemikiran yang begitu positif hingga lupa kepedulian di dapat bukan dengan cara kasihan melainkan kasih sayang. Menantu satu ini terlalu naif menamai hubungan tanpa timbal balik.
Langkah kaki terus berjalan menyusuri lantai marmer yang begitu luas dan panjang. Fathia buru-buru ikut masuk ke lift tanpa peduli sekitarnya. Satu yang dia pikirkan yaitu berharap ibu manager masih mau mengampuninya karena lalai dalam pekerjaan. Meski hati sudah siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun.
"Ya Allah, kenapa terasa lama sekali? Aku telat banget," Fathia melihat jam yang tertera di layar ponsel, ternyata sudah pukul delapan lebih lima menit. "Buruan atuh sampai."
Kegelisahan si wanita yang sepertinya tidak melihat situasi sekitar menarik perhatian seseorang. Entah kenapa kepolosan Fathia mengingatkan ia pada seseorang. Tatapan mata dengan wajahnya yang manis berpadu menjadi pahatan yang luwes. Siapa wanita itu?
Tiba-tiba suara lift terbuka, lalu orang-orang mulai keluar satu persatu. Begitu juga dengan Fathia, tetapi beberapa saat kemudian wanita itu kembali masuk ke dalam lift. "Astafirullah, salah lantai."
Kepolosan yang mempengaruhi dia yang menjadi pengamat menahan senyum berdiri dipojokan. Tak ingin mengusik hingga dibiarkannya si wanita polos melakukan apapun.
Lucu sekali kamu, jadi pengen kubawa pulang.~batinnya menikmati waktu yang sangat jarang bisa ia miliki karena sepanjang hari terbiasa mengurus berkas yang menggunung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
𝐀𝗋ƶ𝖾ᥣα
heran banget punya mertua seperti itu, apa ga bisa ya tidak mengurusi rumah tangga anaknya?
2023-04-02
0
Ibu Wawa
siapakah itu ya, mungkin adakah ada lelaki lain suka, dan akan menyelamatkan hidup Fathia darin mertua kejamnya itu?????? "
2023-03-06
1