Mengejar Cinta Sang Duda
Siang yang cukup terik di Kota Gudeg, Yogyakarta. Seorang pria paruh baya, tampak membuka pintu kendaraan yang baru saja diparkirkan di halaman depan sebuah rumah megah, dengan arsitektur unik perpaduan modern dan jawa kuno. Walaupun tidak mengenakan setelan formal, tapi penampilan pria tadi sungguh rapi dan juga bersih. Dari gaya berpakaiannya, terlihat jelas bahwa dia bukanlah orang sembarangan.
Dengan bantuan seorang wanita muda yang baru keluar dari pintu sopir, pria tadi menapakkan kakinya di atas deretan paving blok. Meskipun agak tertatih, tapi si pria tetap berusaha untuk berjalan sendiri. “Tongkat Papa mana?” tanya wanita muda itu menatap heran.
“Ya ampun, ketinggalan di dalam mobil,” jawab si pria sambil menepuk kening sendiri. Sementara, wanita muda yang membantunya tadi hanya dapat menggerutu pelan.
“Yang ikhlas, Nduk,” tegur si pria. Namun, wanita muda tadi tak menggubrisnya sama sekali.
Susena Suwardana. Duda berusia lima puluh tujuh tahun yang masih terlihat sehat dan bugar. Gaya hidup sehat serta lingkungan yang bagus, membuat dia tampak jauh lebih muda dari usianya. Padahal, Susena memiliki tiga anak perempuan yang semuanya telah dewasa. Dua di antara putrinya tadi bahkan telah berumah tangga.
Hanum Salsabila, merupakan putri pertama Susena. Usianya saat ini adalah tiga puluh tahun. Dia telah berumah tangga, dan memiliki dua orang anak yang luar biasa aktif. Selalu saja ada kericuhan setiap harinya, yang ditimbulkan oleh kedua anak Hanum yang berjenis kelamin laki-laki.
Gendhis Maheswari, adalah anak kedua Susena. Gadis itu sudah berusia dua puluh tujuh tahun, tapi masih betah melajang. Entah apa yang melatarbelakangi gadis dengan penampilan kurang anggun itu, sehingga dia tak juga mencari pasangan hidup.
Namun, untungnya karena Gendhis hampir tak memiliki teman wanita, sehingga Susena masih dapat bernapas lega. Jadi, hanya Gendhis dan Tuhan lah yang mengetahui apa yang menjadi alasan gadis itu menjauhkan diri dari yang namanya pernikahan.
Apa yang terjadi pada Gendhis, sangat jauh berbeda dengan adiknya Utari Maharani. Bungsu dari tiga bersaudara itu, kini telah berusia dua puluh lima tahun. Utari memilih menikah muda, setelah patah hati yang sangat menyakitkan dari mantan pacarnya dulu.
“Sekadar mengingatkan, besok Papa ada acara reuni bersama teman-teman SMA. Berhubung kaki kanan Papa yang kemarin cedera belum pulih benar, jadi Papa belum bisa menginjak pedal rem dengan baik. Jika kalian masih ingin melihat Papa duduk di meja makan seperti saat ini, tentunya Papa tidak akan dibiarkan nyetir sendiri, bukan? Tentu saja. Lagi pula, Papa belum mempersiapkan surat wasiat.” Susena memulai santap siang dengan sebuah pengumuman penting, yang membuat ketiga putrinya saling pandang.
“Besok suamiku kembali dari luar kota. Jadi, aku akan pulang untuk menyambut dia.” Utari mengungkapkan alasannya dengan segera, sebelum sang ayah menunjuk dirinya menjadi sopir.
Lain lagi dengan Hanum. Ibu dua anak itu berpura-pura tak mendengar, dengan cara menyibukkan diri bersama kedua putranya yang sedang ribut berebut makanan.
Susena pun seakan sudah dapat menebak apa yang akan menjadi alasan putri sulungnya tersebut. Perhatiannya seketika tertuju kepada Gendhis. Gadis dengan rambut yang digulung asal-asalan itu, tak memiliki alasan apapun seperti kedua saudarinya.
“Ah tidak! Kenapa Papa melihatku seperti itu? Aku sudah mengantar Papa periksa ke dokter. Kenapa harus aku lagi yang menjadi sopir Papa?” protes Gendhis sebelum sang ayah mengatakan sesuatu padanya. “Lagi pula, sudah kusarankan berkali-kali agar Papa segera mencari sopir baru pengganti pak Maryono,” ujar gadis itu lagi seraya mengempaskan napas pelan.
“Mencari pegawai itu sama seperti mencari jodoh. Yang namanya kecocokan tetap penting. Papa tidak mau mencari sopir secara sembarangan,” ujar Susena. Dia memulai santap siang pada hari itu. Berada di rumah sakit selama lebih dari dua jam, membuat duda kaya tersebut merasa pusing, layaknya orang masuk angin.
“Tidak akan ada dua orang yang sama, Pa. Papa boleh saja merasa nyaman dengan kinerja pak Maryono. Jika mau, di luaran sana masih banyak anak muda yang juga dapat diandalkan. Contohnya aku yang dulu sedih karena putus sama Charles. Eh, buktinya sekarang aku sudah nikah sama Byakta.” Utari mengakhiri kata-katanya dengan satu suap makanan, lalu mengunyahnya perlahan.
“Ya. Padahal kamu tuh dulu katanya mau bunuh diri waktu putus sama si Caca. Dunia berakhir saat kalian nggak pacaran lagi. Hadeuh, lebay!” cibir Gendhis sambil menyantap makanan dari dalam piring di hadapannya.
“Mbak tuh bisa bicara begitu, karena Mbak kan belum pernah pacaran dengan serius,” balas Utari tak mau kalah. “Mbak nggak tahu bagaimana rasanya putus cinta dan patah hati dengan begitu dalam.”
“Aku nggak suka dengan komitmen gila dan mengikat seperti itu. Aku sering mendengar banyak keluhan dari beberapa kenalan. Menurutku pacaran itu hanya merupakan sarana untuk menguruskan badan karena beban pikiran. Lagi pula, aku akan memproteksi diri dari yang namanya patah hati. Tidak ada kata terpuruk karena cinta dalam kamus kehidupan Gendhis Maheswari,” ujar gadis yang gemar mengenakan celana jeans sobek-sobek dan t-shirt longgar itu.
“Ah baguslah. Itu artinya kamu tidak usah pacaran. Papa akan langsung saja mencarikan kamu calon suami,” celetuk Susena dengan yakin. Apa yang dikatakan duda sukses tersebut telah berhasil membuat Gendhis tersedak, hingga gadis itu seakan dicekik dengan kencang. “Kenapa, Dhis? Papa tidak mau kamu menjadi perawan tua seperti bu Cucu,” ujar Susena lagi tanpa menghiraukan anak gadisnya yang sedang meneguk segelas air putih dengan terburu-buru.
“What? Bu Cucu? Dari mana Papa tahu jika bu Cucu adalah perawan tua?” Hanum yang sejak tadi sibuk mengendalikan kedua putranya, ikut menimpali.
“Dari grup chat bapak-bapak di blok sini,” sahut Susena dengan enteng. Namun, sesaat kemudian duda anak tiga tersebut tampak menyesal dan ingin menarik kembali kata-katanya jika bisa. Pria dengan rambut yang sudah bercampur uban itu hanya menggeleng pelan, demi menepis perasaan tak nyaman atas tatapan aneh ketiga putrinya.
……
Keesokan harinya. Sesuai dengan yang sudah direncanakan kemarin, Susena pergi ke sebuah Gedung serbaguna yang menjadi tempat berlangsungnya acara reuni akbar dengan teman-teman SMA. Di sana, terdapat aula besar yang disulap menjadi arena temu kangen antar sahabat lama.
Dengan wajah tak berseri sama sekali, Gendhis keluar dari dalam mobil. Tanpa melepas kacamata hitam yang menjadi pelengkap penampilan trendinya, Ghendis membukakan pintu bagi sang ayah lalu membantu pria paruh baya tersebut turun. “Apa Papa harus kuantar ke dalam?” tawar Gendhis mencoba terlihat semanis mungkin di hadapan Susena, yang berpenampilan jauh lebih rapi dari biasanya.
“Ah tidak usah. Papa masih sanggup berjalan sampai ke dalam. Ini hanya luka kecil,” sahut Susena sambil menegakkan tubuhnya hingga terlihat jauh lebih tegap.
“Lalu kenapa aku harus mengantar ke sini?” sindir Gendhis dengan ekor mata yang tiba-tiba menangkap seorang wanita tengah berjalan menuju ke arah mereka. Gendhis tak mengenal wanita paruh baya berwajah mirip orang India tadi. Namun, si wanita melambai sambil tersenyum hangat
kepada sang ayah. Sudah pasti bahwa wanita yang masih terlihat cantik itu merupakan teman lama Susena.
“Sena! Astaga!” sapa si wanita dengan ekspresi tak percaya.
“Kalini?” Susena tersenyum lebar saat menyambut wanita bernama Kalini, yang langsung menyalaminya.
.
.
.
Hai, hai, ada cerita menarik dan pastinya seru dari sahabat otor. Mampir, yuk ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Mystera11
mampir...
2023-03-25
1
Mawar Putih
mampir kak
2023-03-07
1