Siang yang cukup terik di Kota Gudeg, Yogyakarta. Seorang pria paruh baya, tampak membuka pintu kendaraan yang baru saja diparkirkan di halaman depan sebuah rumah megah, dengan arsitektur unik perpaduan modern dan jawa kuno. Walaupun tidak mengenakan setelan formal, tapi penampilan pria tadi sungguh rapi dan juga bersih. Dari gaya berpakaiannya, terlihat jelas bahwa dia bukanlah orang sembarangan.
Dengan bantuan seorang wanita muda yang baru keluar dari pintu sopir, pria tadi menapakkan kakinya di atas deretan paving blok. Meskipun agak tertatih, tapi si pria tetap berusaha untuk berjalan sendiri. “Tongkat Papa mana?” tanya wanita muda itu menatap heran.
“Ya ampun, ketinggalan di dalam mobil,” jawab si pria sambil menepuk kening sendiri. Sementara, wanita muda yang membantunya tadi hanya dapat menggerutu pelan.
“Yang ikhlas, Nduk,” tegur si pria. Namun, wanita muda tadi tak menggubrisnya sama sekali.
Susena Suwardana. Duda berusia lima puluh tujuh tahun yang masih terlihat sehat dan bugar. Gaya hidup sehat serta lingkungan yang bagus, membuat dia tampak jauh lebih muda dari usianya. Padahal, Susena memiliki tiga anak perempuan yang semuanya telah dewasa. Dua di antara putrinya tadi bahkan telah berumah tangga.
Hanum Salsabila, merupakan putri pertama Susena. Usianya saat ini adalah tiga puluh tahun. Dia telah berumah tangga, dan memiliki dua orang anak yang luar biasa aktif. Selalu saja ada kericuhan setiap harinya, yang ditimbulkan oleh kedua anak Hanum yang berjenis kelamin laki-laki.
Gendhis Maheswari, adalah anak kedua Susena. Gadis itu sudah berusia dua puluh tujuh tahun, tapi masih betah melajang. Entah apa yang melatarbelakangi gadis dengan penampilan kurang anggun itu, sehingga dia tak juga mencari pasangan hidup.
Namun, untungnya karena Gendhis hampir tak memiliki teman wanita, sehingga Susena masih dapat bernapas lega. Jadi, hanya Gendhis dan Tuhan lah yang mengetahui apa yang menjadi alasan gadis itu menjauhkan diri dari yang namanya pernikahan.
Apa yang terjadi pada Gendhis, sangat jauh berbeda dengan adiknya Utari Maharani. Bungsu dari tiga bersaudara itu, kini telah berusia dua puluh lima tahun. Utari memilih menikah muda, setelah patah hati yang sangat menyakitkan dari mantan pacarnya dulu.
“Sekadar mengingatkan, besok Papa ada acara reuni bersama teman-teman SMA. Berhubung kaki kanan Papa yang kemarin cedera belum pulih benar, jadi Papa belum bisa menginjak pedal rem dengan baik. Jika kalian masih ingin melihat Papa duduk di meja makan seperti saat ini, tentunya Papa tidak akan dibiarkan nyetir sendiri, bukan? Tentu saja. Lagi pula, Papa belum mempersiapkan surat wasiat.” Susena memulai santap siang dengan sebuah pengumuman penting, yang membuat ketiga putrinya saling pandang.
“Besok suamiku kembali dari luar kota. Jadi, aku akan pulang untuk menyambut dia.” Utari mengungkapkan alasannya dengan segera, sebelum sang ayah menunjuk dirinya menjadi sopir.
Lain lagi dengan Hanum. Ibu dua anak itu berpura-pura tak mendengar, dengan cara menyibukkan diri bersama kedua putranya yang sedang ribut berebut makanan.
Susena pun seakan sudah dapat menebak apa yang akan menjadi alasan putri sulungnya tersebut. Perhatiannya seketika tertuju kepada Gendhis. Gadis dengan rambut yang digulung asal-asalan itu, tak memiliki alasan apapun seperti kedua saudarinya.
“Ah tidak! Kenapa Papa melihatku seperti itu? Aku sudah mengantar Papa periksa ke dokter. Kenapa harus aku lagi yang menjadi sopir Papa?” protes Gendhis sebelum sang ayah mengatakan sesuatu padanya. “Lagi pula, sudah kusarankan berkali-kali agar Papa segera mencari sopir baru pengganti pak Maryono,” ujar gadis itu lagi seraya mengempaskan napas pelan.
“Mencari pegawai itu sama seperti mencari jodoh. Yang namanya kecocokan tetap penting. Papa tidak mau mencari sopir secara sembarangan,” ujar Susena. Dia memulai santap siang pada hari itu. Berada di rumah sakit selama lebih dari dua jam, membuat duda kaya tersebut merasa pusing, layaknya orang masuk angin.
“Tidak akan ada dua orang yang sama, Pa. Papa boleh saja merasa nyaman dengan kinerja pak Maryono. Jika mau, di luaran sana masih banyak anak muda yang juga dapat diandalkan. Contohnya aku yang dulu sedih karena putus sama Charles. Eh, buktinya sekarang aku sudah nikah sama Byakta.” Utari mengakhiri kata-katanya dengan satu suap makanan, lalu mengunyahnya perlahan.
“Ya. Padahal kamu tuh dulu katanya mau bunuh diri waktu putus sama si Caca. Dunia berakhir saat kalian nggak pacaran lagi. Hadeuh, lebay!” cibir Gendhis sambil menyantap makanan dari dalam piring di hadapannya.
“Mbak tuh bisa bicara begitu, karena Mbak kan belum pernah pacaran dengan serius,” balas Utari tak mau kalah. “Mbak nggak tahu bagaimana rasanya putus cinta dan patah hati dengan begitu dalam.”
“Aku nggak suka dengan komitmen gila dan mengikat seperti itu. Aku sering mendengar banyak keluhan dari beberapa kenalan. Menurutku pacaran itu hanya merupakan sarana untuk menguruskan badan karena beban pikiran. Lagi pula, aku akan memproteksi diri dari yang namanya patah hati. Tidak ada kata terpuruk karena cinta dalam kamus kehidupan Gendhis Maheswari,” ujar gadis yang gemar mengenakan celana jeans sobek-sobek dan t-shirt longgar itu.
“Ah baguslah. Itu artinya kamu tidak usah pacaran. Papa akan langsung saja mencarikan kamu calon suami,” celetuk Susena dengan yakin. Apa yang dikatakan duda sukses tersebut telah berhasil membuat Gendhis tersedak, hingga gadis itu seakan dicekik dengan kencang. “Kenapa, Dhis? Papa tidak mau kamu menjadi perawan tua seperti bu Cucu,” ujar Susena lagi tanpa menghiraukan anak gadisnya yang sedang meneguk segelas air putih dengan terburu-buru.
“What? Bu Cucu? Dari mana Papa tahu jika bu Cucu adalah perawan tua?” Hanum yang sejak tadi sibuk mengendalikan kedua putranya, ikut menimpali.
“Dari grup chat bapak-bapak di blok sini,” sahut Susena dengan enteng. Namun, sesaat kemudian duda anak tiga tersebut tampak menyesal dan ingin menarik kembali kata-katanya jika bisa. Pria dengan rambut yang sudah bercampur uban itu hanya menggeleng pelan, demi menepis perasaan tak nyaman atas tatapan aneh ketiga putrinya.
……
Keesokan harinya. Sesuai dengan yang sudah direncanakan kemarin, Susena pergi ke sebuah Gedung serbaguna yang menjadi tempat berlangsungnya acara reuni akbar dengan teman-teman SMA. Di sana, terdapat aula besar yang disulap menjadi arena temu kangen antar sahabat lama.
Dengan wajah tak berseri sama sekali, Gendhis keluar dari dalam mobil. Tanpa melepas kacamata hitam yang menjadi pelengkap penampilan trendinya, Ghendis membukakan pintu bagi sang ayah lalu membantu pria paruh baya tersebut turun. “Apa Papa harus kuantar ke dalam?” tawar Gendhis mencoba terlihat semanis mungkin di hadapan Susena, yang berpenampilan jauh lebih rapi dari biasanya.
“Ah tidak usah. Papa masih sanggup berjalan sampai ke dalam. Ini hanya luka kecil,” sahut Susena sambil menegakkan tubuhnya hingga terlihat jauh lebih tegap.
“Lalu kenapa aku harus mengantar ke sini?” sindir Gendhis dengan ekor mata yang tiba-tiba menangkap seorang wanita tengah berjalan menuju ke arah mereka. Gendhis tak mengenal wanita paruh baya berwajah mirip orang India tadi. Namun, si wanita melambai sambil tersenyum hangat
kepada sang ayah. Sudah pasti bahwa wanita yang masih terlihat cantik itu merupakan teman lama Susena.
“Sena! Astaga!” sapa si wanita dengan ekspresi tak percaya.
“Kalini?” Susena tersenyum lebar saat menyambut wanita bernama Kalini, yang langsung menyalaminya.
.
.
.
Hai, hai, ada cerita menarik dan pastinya seru dari sahabat otor. Mampir, yuk ❤️
“Ya ampun. Kamu sama sekali tidak berubah, ya. Minum apa, sih? Formalin, ya? Kok awet muda sekali,” kelakar wanita paruh baya yang bernama Kalini tadi. “Eh, ini putrimu?” tanyanya kemudian. Wanita yang masih terlihat cantik di usia tak muda lagi itu memperhatikan Gendhis dengan sorot teramat ramah.
“Iya. Ini putri keduaku. Namanya Gendhis.” Susena menyenggol lengan putrinya yang tak segera menanggapi.
“Oh hai, Tante. Apa kabar?” sapa Gendhis sedikit tergagap. Dia juga berusaha untuk bersikap seramah mungkin.
“Cantik sekali. Cocok dengan namanya. Gendhis, artinya gula. Gula identik dengan manis atau sesuatu yang menyenangkan,” sanjung Kalini tanpa henti, seraya menjabat hangat tangan Gendhis.
“Ayo, kita lanjutkan ngobrol di dalam,” ajak Kalini. Dia mengarahkan Susena dan putrinya masuk ke aula luas yang sudah didekorasi sedemikian indah. Di sana juga terdapat panggung yang berukuran cukup besar.
“Sudah menikah?” tanya Kalini berbasa-basi pada Gendhis, saat mereka berjalan melintasi ruangan.
“Jangan tanyakan masalah pernikahan padanya, Kalini. Putriku memiliki prinsip bahwa lebih baik sendiri daripada hidup bersama orang yang tidak tepat,” jawab Susena sebelum Gendhis sempat membuka mulut.
“Wah, dalam sekali filosofinya.” Kalini berdecak kagum.
“Jangan percaya, Tante. Papa saya cuma mengada-ada. Bukannya saya tidak mau menikah, hanya belum ketemu jodohnya saja,” sanggah Gendhis sembari meringis kecil.
“Lho, ‘kan kamu sendiri yang sering bicara begitu. Papa cuma mengutip kata-katamu,” balas Susena tak mau kalah.
“Ah jadi lapar.” Gendhis kembali berdecak pelan. Dalam hati, dia harus memperbanyak stok sabarnya pada sang ayah tersayang.
“Oh, Nak Gendhis mau kudapan? Di sebelah sana.” Kalini menunjuk ke meja prasmanan yang tertata rapi di salah satu sudut ruangan.
“Ya sudah. Kamu makan-makan dulu. Papa mau ngobrol sama teman-teman dan Kalini.” Dengan senyuman lebar, Susena mendorong-dorong tubuh Gendhis agar menjauh darinya.
Namun, bukannya menurut. Gendhis justru malah melingkarkan tangannya pada lengan sang ayah. “Ceria amat, Pa,” bisik gadis itu. “Mantan pacar, ya? Pantesan Papa ngotot ingin ikut reuni,” celotehnya.
“Sst! Sudah jangan cerewet. Tugas kamu cuma mengantar Papa. Bukan berkomentar.” Setelah berkata demikian, Susena buru-buru merapikan rambutnya yang masih rapi.
“Ya ampun.” Gendhis berdecak pelan. Sambil memaksakan senyum, dia melepaskan tangannya dari lengan sang ayah, lalu mengangguk sopan pada Kalini yang terus-terusan memperhatikannya dengan tatapan kagum. “Saya permisi dulu, Tante,” pamitnya.
“Iya silakan. Selamat menikmati ya, Gendhis,” ucap Kalini. Setelah itu dia beralih kepada Susena. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua senior tadi. Gendhis tak dapat mendengar lagi. Selain karena jaraknya dengan sang ayah sudah cukup jauh, suara alunan musik yang memekakkan telinga juga menggema di setiap sudut aula.
Kesepian di tengah keramaian, begitulah perasaan Gendhis saat itu. Namun, rasa sepi tadi segera terobati dengan banyaknya hidangan beraneka macam yang menggugah selera. “Wah, ada dimsum,” soraknya ceria. Dengan segera, Gendhis mengambil sebuah piring dan garpu, lalu mencomot beberapa buah.
Kacamata yang awalnya bertengger di atas kepala, terjatuh dan bertengger tepat di depan mata. Beruntung Gendhis memiliki hidung yang mancung, sehingga kacamatanya tak melorot. Sambil mengunyah dimsum dan membawa tongkat sang papa, gadis tomboy itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Bagaimanapun juga, dia mengkhawatirkan kondisi Susena yang belum seratus persen pulih.
Belum habis makanan di dalam piring, seseorang tiba-tiba menepuk bahu Gendhis. Gadis itu segera menoleh dan mendapati seorang wanita yang seumuran sang ayah. “Mau duduk, Nak? Sini Ibu bantu,” ujarnya seraya memegang tangan Gendhis lalu menuntunnya.
“Tidak usah, Bu. Saya berdiri saja,” tolak Gendhis halus.
“Tidak apa-apa, jangan sungkan. Ibu kebetulan mempunyai sekolah luar biasa. Banyak anak-anak dengan kebutuhan khusus yang berada dalam tanggung jawab Ibu. Banyak juga di antaranya yang tidak bisa melihat, alias tuna netra,” terang wanita itu yang membuat Gendhis seketika tersedak.
Putri kedua dari tiga bersaudara itu segera membuka kacamatanya dan melotot pada wanita yang tidak dikenal tadi. “Bu, saya tidak cacat. Ini tongkat berjalan punya papa saya,” jelas Gendhis sedikit emosi. Dia juga mengarahkan ujung tongkatnya ke tempat sang ayah berdiri.
“Oh, ya ampun. Saya kira tidak bisa melihat.” Untuk menutupi rasa malu, wanita itu tertawa sambil menepuk lengan Gendhis kuat-kuat.
Gendhis yang tengah berusaha sekuat tenaga menahan emosi, hanya bisa tersenyum kaku. Saat itu juga dia kehilangan nafsu makannya.
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu tidak salah. Sayalah yang keliru karena berada di sini,” ucapnya seraya berlalu sambil meletakkan piring kosong di atas meja.
Sikap sang ayah sudah cukup membuat darah di kepala mendidih, malah ditambah lagi dengan adegan tak perlu seperti tadi. Gendhis pun memutuskan untuk keluar dari aula dan duduk di bangku taman depan gedung serbaguna.
Dua jam lamanya gadis itu menunggu sang ayah selesai temu kangen. Satu per satu peserta reuni meninggalkan gedung. Pada akhirnya, Susena pun muncul dan berjalan mendekat dengan wajah berseri. “Kok di sini? Bukannya kamu tadi ingin wisata kuliner?” tanya pria itu keheranan. Di sebelahnya, berdiri Kalini dengan raut yang selalu terlihat ceria.
“Sudah kenyang,” sahut Gendhis malas-malasan. “Ayo pulang!” ajaknya seraya berdiri dari duduk.
“Tunggu sebentar. Kita tunggu tante Kalini sampai dijemput putranya,” cegah Susena.
“Eh tidak usah, Sena. Pulang saja duluan,” tolak Kalini.
“Kamu mau menunggu bersama siapa? Sudah tidak ada orang di sini,” ujar Susena sedikit memaksa.
“Bagaimana ya?” Kalini tampak berpikir keras untuk beberapa saat. “Ya sudah. Nanti kalau sampai jam empat anakku belum menjemput, kalian boleh pulang,” putusnya kemudian.
“Oke." Susena mengangguk setuju. Mereka bertiga pun memutuskan untuk menunggu di taman depan gedung serbaguna hingga Kalini dijemput. Namun, sampai lewat waktu yang ditentukan, jemputan tak jua datang.
Bahkan kini waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, sehingga Susena memutuskan untuk mengantar Kalini pulang. “Aku tidak tega meninggalkanmu sendiri di sini. Biar kuantar saja,” ujarnya.
“Eh tidak usah. Aku tidak mau merepotkan,” tolak Kalini dengan segera.
“Sama sekali tidak merepotkan, Tante. Lagi pula rute kita searah,” sahut Gendhis. Alasan sebenarnya adalah dia hanya ingin cepat-cepat berbaring di dalam kamar sambil menonton serial action kesayangannya di tv digital berbayar.
“Ya sudah. Tante manut apa kata kalian saja,” putus Kalini pada akhirnya.
“Alhamdulillah." Gendhis bergumam lirih. “Mari, Tante." Gadis itu mengarahkan teman SMA sang ayah untuk masuk ke mobil. Dia masuk paling akhir setelah Susena duduk dengan nyaman di kursi depan.
Gendhis melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, menuju kawasan perumahan elite yang menjadi tempat tinggal Kalini. Dia baru berhenti di depan gerbang besar yang berbentuk unik dan terbuat dari kayu. Setelah seorang satpam membukakan gerbang tersebut, Gendhis kembali menjalankan kendaraan hingga parkir di halaman depan yang begitu luas dan asri. Pepohonan rindang tumbuh di kiri kanan jalan kecil seukuran mobil yang membelah halaman berumput.
“Ayo masuk,” ajak Kalini setelah dia turun dari mobil. Dalam hati, Gendhis berharap jika sang ayah akan menolaknya. Akan tetapi, keinginannya sama sekali tak terkabul. Susena malah menyambut ajakan Kalini dengan senang hati.
“Wah terima kasih. Rumahmu bagus sekali, dan juga sangat luas tentunya,” ujar Susena. Dia turun dari mobil dengan susah payah, sehingga mau tak mau Gendhis harus membantunya.
“Ini semua berkat Chand. Dia yang merenovasi rumah hingga jadi seperti ini,” jawab Kalini ceria.
“Chand … siapa, ya?” tanya Susena ragu.
“Chand anak sulungku. Sama seperti Gendhis. Dia juga masih jomlo,” terang Kalini tanpa beban.
“Oh.” Susena manggut-manggut sambil melangkah dengan hati-hati menaiki tangga, kemudian memasuki teras rumah.
“Ah, aku jadi ada ide,” cetus Kalini, ketika Susena dan Gendhis sudah duduk di sofa mahal ruang tamunya.
“Apa itu?” tanya Susena penasaran.
“Kita jodohkan saja anak-anak kita,” jawab Kalini dengan antusias.
.
.
.
Hai, hai, mampir dulu, yuk di karya keren teman otor yang satu ini
Gendhis dan Susena sama-sama terbelalak saat mendengar ide luar biasa yang tercetus dari bibir Kalini. Ayah dan anak itu terkejut bukan main, meski raut wajah duda awet muda itu terlihat sumringah. Lain lagi dengan Gendhis. Apa yang Kalini ucapkan barusan, membuatnya seketika merasa mulas dan ingin buang air besar.
"Aduh, Tante. Boleh ikut ke kamar kecil nggak?" Gendhis tampak meringis.
"Oh silakan," jawab Kalini dengan segera. "Ayo, Tante antar," ucap wanita paruh baya itu sambil beranjak dari duduknya. Dia lalu berjalan ke bagian lain rumah dengan diikuti Gendhis yang benar-benar sudah merasa tak tahan. "Itu yang pintunya warna biru," tunjuk Kalini pada pintu yang dimaksud.
"Oh iya. Terima kasih, Tante." Dengan segera, Gendhis masuk ke sana. Hasratnya untuk buang hajat sudah tak tertahankan lagi. Perutnya tiba-tiba saja terasa melilit dan tidak nyaman. Gendhis berpikir bahwa itu semua karena dia menyantap dimsum dengan chili oil yang terlalu banyak.
Sambil duduk di atas closet, Gendhis pun termenung. Itu sudah menjadi hal yang biasa dilakukan gadis dua puluh tujuh tahun tersebut. Closet adalah tempat ternyaman bagi dia untuk memikirkan segala hal, mulai dari yang ringan hingga masalah paling berat sekalipun. Beberapa saat kemudian, Gendhis sudah selesai dengan ritualnya. Dia lalu keluar dari dalam kamar mandi. "Aduh lega," ucap gadis itu sambil mengusap-usap perut. Wajahnya pun terlihat jauh lebih berseri.
"Cepat buatkan kopi. Aku lupa harus jemput mama di acara reuni," suruh seorang pria yang tampak sedang berdiri dengan setengah bersandar pada countertop kitchen. Posisi wajah si pria sedikit menunduk. Dia juga terus memijit keningnya. "Astaga, kepalaku pusing sekali," keluh pria bertubuh tegap itu.
Sementara Gendhis yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi, hanya terpaku melihat penampakan yang berada tak jauh dari tempatnya. Pria itu berambut gelap dan tebal, juga terlihat sedikit acak-acakan. Dia mengenakan t-shirt lengan pendek berwarna merah marun yang dilengkapi celana tidur cokelat muda.
"Kenapa diam saja? Cepat buatkan aku kopi," suruh pria itu lagi sambil mengarahkan wajahnya kepada Gendhis. Seketika, dia menautkan alis. Pria tadi memandang Gendhis dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Pembantu baru ya?" celetuknya.
Namun, Gendhis tak menanggapi. Dia masih memperhatikan si pria yang ternyata memiliki paras yang sangat tampan. Baru kali ini, gadis itu mengagumi keindahan fisik lawan jenisnya secara tulus dari hati yang terdalam.
Namun, kata 'pembantu' seketika membuyarkan kesan indah Gendhis terhadap pria tampan berkaus merah marun tadi. Dia lebih memilih berlalu dari sana tanpa banyak bicara. Akan tetapi, wajahnya masih terus mengarah kepada si pria.
Gendhis hampir saja menabrak dinding tembok, andai sensor dari ketajaman instingnya tak bekerja dengan baik. Meski agak malu, tapi gadis itu tak ingin kehilangan rasa percaya diri. Dia segera bergeser ke lawang pintu, lalu keluar dari dapur dengan terburu-buru.
"Gadis aneh," gumam pria tadi sambil menggeleng pelan. Dia lalu melihat jam yang terpajang di dinding. "Astaga!" Dengan segera, pria tampan itu berlalu keluar dari dapur. Dengan langkah tergesa-gesa, dia bermaksud untuk kembali ke kamar yang berada di lantai dua. Namun, suara gelak tawa dari ruang tamu, telah membuatnya menghentikan langkah. Dia pun berjalan ke arah ruangan yang dimaksud.
Di ruangan tamu yang cukup luas itu, tampaklah Kalini sedang berbincang hangat bersama seorang pria asing dengan rentang usia sama seperti wanita tersebut. Perhatian pria tampan berambut gelap tadi, kemudian tertuju kepada sosok lain yang sedang menatap ke arahnya dengan sorot aneh. “Ma,” sapa si tampan berkaus merah marun dengan suara berat tertahan.
Seketika, Kalini menghentikan obrolan hangatnya bersama pria yang tak lain adalah Susena. Wanita paruh baya tersebut segera menoleh. Dia lalu berdiri dan beranjak ke arah di mana si pemilik rambut gelap tadi berada. “Chand. Mama pikir kamu sedang keluar, makanya ditunggu lama tapi nggak datang-datang,” ujar Kalini menyambut putra sulungnya yang bernama Chand.
“Maaf, Ma. Aku ketiduran,” jawab Chand dengan raut sedikit tak enak. “Aku baru bangun dan tadinya akan menjemput Mama ke sana, tapi ….”
“Untung ada om Sena dan putrinya. Jadi, tadi Mama numpang mobil mereka.” Kalini mengalihkan pandangan kepada ayah dan anak yang seketika memasang sikap tubuh tegap. Terutama Susena. Dia memperlihatkan seberapa besar wibawanya. Sementara Gendhis, hanya mencuri-curi pandang.
“Ayo gabung dulu sini,” ajak Kalini seraya menarik lembut lengan putra sulungnya. Dia lalu mendudukkan Chand tak jauh dari tempat di mana dirinya berada. “Ini lho, anak sulung yang aku ceritakan tadi. Bagaimana menurutmu, Sen?” Kalini melirik ke arah Chand yang tampak kebingungan.
“Tampan sekali. Mengingatkanku pada masa muda dulu. Sama persis,” ujar Susena penuh percaya diri.
“Ah, kamu ini. Aku juga tahu seperti apa kamu saat remaja,” balas Kalini seraya mengibaskan tangannya.
“Eh, tapi itu kenyataan. Buktinya saja kamu ….” Susena tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena melihat Kalini yang melotot padanya. Sebuah isyarat mata sarat akan makna. “Kamu sering memotivasi aku agar masuk agency model,” lanjut Susena, meski arah pembicaraan dia yang sebenarnya bukanlah ke sana.
Sementara Gendhis sudah sangat merasa bosan. Sejak beberapa saat yang lalu, dia terus menjadi kambing conge antara sang ayah dengan Kalini. Tak ada yang Gendhis lakukan selain bermain ponsel. Namun, obrolan ngalor-ngidul antara dua sejoli yang hampir karatan itu masih terdengar jelas, sehingga membuat dirinya yang merupakan seorang timeless single (jomblo tak terbatas waktu), merasa tidak nyaman. Gendhis semakin sadar, bahwa dirinya benar-benar seorang amatir dalam hal percintaan.
“Nah, Chand.” Kalini kembali mengarahkan perhatian kepada putra sulungnya yang tengah merapikan rambut menggunakan jari tangan. “Ini om Susena, teman Mama waktu SMA. Itu purti kedua om Sena, namanya Gendhis. Bagus ya namanya, cocok sama orangnya,” ujar kalini dengan senyuman yang menyiratkan banyak makna kepada Chand.
“Oh.” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Chand, saat menanggapi ucapan sang ibu.
“Oh?” ulang Kalini dengan wajah heran. Dia lalu menyenggol lengan Chand, sebagai isyarat lain.
Tanpa harus dikomando lagi, Chand kemudian mengarahkan pandangan kepada Susena. “Om,” sapanya sok ramah. “Saya Chand, putra sulung Mama Kalini.” Pria tampan berkulit bersih itu memperkenalkan dirinya dengan sopan kepada Susena. Dia bahkan menjabat tangan ayahanda Gendhis tersebut.
“Apa kabar, Chand? Kamu sangat tampan, mirip sekali dengan mamamu,” celetuk Susena.
“Pa,” tegur Gendhis dengan segera.
“Ah maksud Om, wajah kamu memang cukup mirip dengan Kalini. Itu sudah pasti, ya. Wong Kalini adalah ibu kamu.” Susena tertawa sendiri atas ucapannya barusan.
Tingkah sang ayah membuat Gandhis hanya bisa menggaruk keningnya. “Dhis, ayo kenalan dulu sama Chand. Siapa tahu kalian bisa cocok. Apalagi kalian sama-sama jomblo,” celetuk Susena lagi tanpa beban sama sekali.
“Aku bukan jomblo, Pa. Aku adalah timeless single,” bantah Gendhis meralat pernyataan sang ayah.
“Iyalah terserah kamu. Intinya kalian berdua sama-sama sendiri,” balas Susena.
Gendhis pun tak berminat untuk menanggapi lagi. Saat itu dia hanya ingin pulang, karena film kesayangannya akan segera dimulai. Gadis itu terlihat gelisah, padahal dia sudah membuang semua ampas di tubuhnya. Namun, paras tampan Chand ternyata membuat dia kembali merasa mulas.
.
.
.
Hai, hai, bagi yang hobi baca cerita vampir. Bacaan ini pasti cocok utk kalian. Yuk, mampir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!